Tubuh Hek-giam-ong terjengkang dan bergulingan di atas tanah. Dadanya ampek, napasnya sesak dan setelah terbatuk-batuk, barulah ia meloncat bangun dan menghadapi lawannya dengan mata merah. Akan tetapi Giam Ki tidak peduli dan masih terus garuk-garuk.
“Kau masih belum mampus?” bentaknya dan kembali ia menerjang.
Memang gerakan Giam Ki lebih cekatan daripada Hek-giam-ong. Kembali tangan Giam Ki diangkat ke atas. Hek-giam-ong mengejek dengan dengusan marah, ia tidak mau ditipu lagi dan tahu bahwa lawannya yang agaknya mempunyai penyakit kudis ini tentu mengangkat tangan untuk menggaruk kepala yang gatal. Maka ia pun tidak mau mengelak, bahkan cepat melangkah maju dan menonjok dada Giam Ki.
“Bukkk! Desssss....!”
Dua tubuh yang tinggi besar itu terjengkang dan Ban-kin Hek-gu Giam Ki roboh kelenger (pingsan) karena tertonjok dadanya sehingga napasnya menjadi sesak, akan tetapi di lain fihak, Hek-giam-ong tadi pun kecelik karena sekali ini Giam Ki mengangkat tangan bukan untuk garuk-garuk lagi melainkan untuk memukul sehingga dalam saat yang bersamaan, Giam Ki berhasil menghantam pangkal leher Hek-giam-ong dengan tangan miring. Robohlah Hek-giam-ong dan tidak bergerak-gerak karena ia pun telah semaput (pingsan)!
Pek-giam-ong sudah menyambar tubuh kakaknya dan ia merasa lega bahwa kakaknya tidak terluka parah, hanya terguncang oleh kerasnya pukulan. Di lain fihak, para anggauta Ho-han-hwe telah mengangkat tubuh Ban-kin Hek-gu, dipimpin oleh Lauw-pangcu. Atas isyarat Song Kai Sin orang pertama Siauw-lim Chit-kiang tubuh Giam Ki yang pingsan itu dibawa mendekat. Song Kai Sin cepat memeriksa dan ia menghela napas panjang.
“Untung....” kata tokoh Siauw-lim-pai ini. “Tadinya ia keracunan maka ketika bertanding terus diganggu rasa gatal-gatal di tubuhnya. Tentu ia terkena racun ketika beradu tangan dengan iblis tua itu. Baiknya, pukulan Hek-giam-ong tadi pun mengandung hawa panas dan pukulan ini malah membuyarkan pengaruh racun di tubuhnya sehingga nyawanya tertolong.”
Pek-giam-ong yang marah menyaksikan saudaranya terluka, kini melangkah maju dengan sikap menantang. Akan tetapi ia dibentak gurunya,
“Mundurlah!” bagaikan seekor anjing dipecut, Pek-giam-ong mundur dan kembali ia merawat kakaknya.
Kini Kang-thouw-kwi Gak Liat melangkah maju, menyapu semua anggauta Ho-han-hwe dengan pandang mata yang membuat mereka itu merasa seram, kemudian sambil tersenyum lebar Si Setan Botak ini berkata.
“Aku sudah datang, siapa di antara anggauta Ho-han-hwe yang ternyata hanyalah segerombolan pemberontak ingin menyusul para anggauta Pek-lian Kai-pang?”
Suaranya penuh ejekan, akan tetapi matanya menatap ke arah Siauw-lim Chit-kiam karena hanya tokoh-tokoh Siauw-lim-pai ini sajalah yang dipandang cukup berharga untuk menjadi lawannya.
It-ci Sin-mo Tan Sun biarpun tubuhnya kecil namun hatinya besar. Ia maklum akan kelihaian kakek botak ini, namun ia merasa tidak puas kalau ia tidak turun tangan. Kalah atau mati sekalipun bukan apa-apa bagi seorang patriot, akan tetapi sungguh hina dan rendah kalau dianggap takut bertemu dangan lawan tangguh.
“Kang-thouw-kwi! Engkau bukan saja seorang datuk hitam yang jahat, juga sekarang malah menjadi pengkhianat bangsa! Aku It-ci Sin-mo Tan Sun tidak takut kepadamu, jagalah seranganku ini!”
Gerakan It-ci Sin-mo Tan Sun cepat sekali, jauh lebih cepat daripada gerakan Ban-kin Hek-gu Giam Ki. Tubuhnya melesat ke depan dan kedua tangannya digerakkan untuk menyerang dangan totokan-totokan maut.
Si Setan Botak tertawa-tawa dan hanya tampak ia menggoyang-goyangkan tubuhnya akan tetapi aneh, semua totokan It-ci Sin-mo tidak ada satu pun yang menyentuh kulitnya.
“Sut-sut-sut-cet-cet....!”
Cepat sekali It-ci Sin-mo Tan Sun melanjutkan totokan-totokannya secara bertubi-tubi, tubuhnya berloncatan mencari posisi yang baik. Namun, tak pernah ia mampu mengenai tubuh lawan biarpun kecepatan gerakannya membuat ia berada di belakang tubuh Si Setan Botak.
Padahal Kang-thouw-kwi Gak Liat tak pernah mengubah kedudukan kedua kakinya, hanya tubuhnya saja yang bergoyang-goyang akan tetapi entah bagaimana semua serangan lawan tidak ada yang berhasil.
Belasan orang anggauta Ho-han-hwe yang melihat betapa It-ci Sin-mo seperti dipermainkan, sudah bergerak mengurung hendak mengeroyok Si Setan Botak. Melihat ini, Pek-giam-ong berteriak keras dan tubuhnya menyambar ke depan, langsung ia menyerbu dan gegerlah tempat itu dangan jerit-jerit kesakitan dan robohnya beberapa orang anggauta Ho-han-hwe karena amukan Pek-giam-ong.
“Krek-krekkk....!”
Setan Botak menggerakkan kedua tangan menampar lengan lawan dan tubuh It-ci Sin-mo Tan Sun terlempar, kedua tengannya tergantung lumpuh karena tulang-tulang lengannya telah patah-patah!
“Huah-ha-ha-ha! Pek-giam-ong, pergilah dan bawa kakakmu pergi!”
Pek-giam-ong yang terkenal berwatak kejam seperti iblis itu kini merupakan seorang murid yang amat taat. Tanpa berani berlambat sedikit pun ia lalu meninggalkan para lawan yang tadi mengeroyoknya, menyambar tubuh kakaknya yang masih pingsan lalu sekali melompat ia lenyap dari tempat itu.
Lauw-pangcu dan kedua orang saudara Kang-lam Sam-eng membiarkannya saja lewat, karena yang menjadi sasaran untuk dibinasakan adalah Si Setan Botak yang kini hanya seorang diri saja di dalam kuil.
“Ha-ha-ha, Siauw-lim Chit-kiam, hanya kalianlah yang patut main-main danganku. Majulah!”
Lima orang anggauta Ho-han-hwe yang masih penasaran karena banyaknya kawan mereka yang roboh, masih mencoba untuk menyerang Si Setan Botak dangan senjata mereka, akan tetapi kini kakek botak itu berseru keras, kedua tangannya mendorong ke depan dan.... lima orang itu roboh dengan tubuh ha¬ngus dan mati seketika!
Itulah kehebatan ilmu pukulan Hwi-yang-sin-ciang yang sengaja diperlihatkan oleh Kang-thouw-kwi untuk membikin gentar hati lawan. Memang semua anggauta Ho-han-hwe menjadi pucat wajahnya melihat kedahsyatan ilmu kepandaian kakek botak ini, akan tetapi melihat itu, Siauw-lim Chit-kiam bukannya menjadi gentar, sebaliknya malah menjadi marah sekali.
“Kang-thouw-kwi, engkau telah berani menghina seorang murid Siauw-lim-pai. Hari ini kami Siauw-lim Chit-kiam akan mengadu nyawa danganmu! Beranikah engkau menghadapi gabungan Siauw-lim Chit-kiam?” kata Song Kai Sin dengan suara tenang namun sinar matanya membayangkan kemarahan.
“Huah-ha-ha-ha! Siauw-lim Chit-kiam masih terlalu ringan, boleh ditambah guru kalian. Mana Ceng San Hwesio ketua Siauw-lim-pai? Boleh datang membantu kalian, aku masih akan kurang puas. Ha-ha!”
“Omitohud.... engkau benar-benar tokoh sesat yang sengsara, Gak-locianpwe,” kata Lui Kong Hwesio orang ke dua dari Siauw-lim Chit-kiam sambil menggeser duduknya, bersila di sebelah kiri Song Kai Sin.
Kemudian secara berjajar, ketujuh orang tokoh Siauw-lim-pai ini duduk bersila, menurutkan urutan tingkat mereka. Dari kanan ke kiri mereka ini adalah Song Kai Sin, Lui Kong Hwesio, Ui Swan dan adiknya Ui Kiong, Lui Pek Hwesio, Liok Si Bhok dan Liong Ki Tek.
Sebetulnya, tujuh orang tokoh Siauw-lim-pai ini merupakan orang-orang berilmu tinggi yang mempunyai keistimewaan masing-masing. Jika dinilai secara perseorangan, tingkat masing-masing masih lebih tinggi daripada tingkat Ban-kin Hek-gu Giam Ki atau bahkan It-ci Sin-mo Tan Sun.
Akan tetapi, sekali ini, menghadapi seorang diantara Lima Datuk Besar, yaitu Kang-thouw-kwi Gak Liat yang amat terkenal diantara golongan sesat sebagai seorang yang memiliki kesaktian luar biasa, ketujuh orang takoh Siauw-lim-pai ini tidak berani berlaku sembrono, tidak berani memandang rendah dan karenanya mereka lalu bergabung untuk mengeluarkan ilmu gabungan mereka yang paling ampuh, yaitu Ilmu Pedang Chit-seng-sin-kiam yang secara khusus digubah oleh Ceng San Hwesio ketua Siauw-lim-pai untuk diajarkan kepada tujuh orang muridnya.
Chit-seng-sin-kiam (Pedang Sakti Tujuh Bintang) ini dapat dimainkan secara perorangan dan sudah merupakan sebuah ilmu pedang yang ampuh, akan tetapi permainannya tidak akan menjadi lengkap dan utuh kalau tidak dimainkan secara bergabung oleh tujuh orang itu. Kalau dimainkan secara bergabung, maka Chit-seng-sin-kiam merupakan sebuah kiam-tin (barisan pedang) yang sukar dilawan karena amat kuat.
Kang-thouw-kwi Gak Liat memandang dangan wajah berseri. Sudah lama ia mendengar akan ciptaan ilmu pedang ketua Siauw-lim-pai ini yang disarikan dari inti ilmu kepandaian Ceng San Hwesio. Kini ia berhadapan dangan kiam-tin ini, berarti bahwa ia berhadapan dengan Ceng San Hwesio, yang sejak dahulu merupakan lawan seimbang darinya.
Kalau ia bisa menangkan kiam-tin ini, berarti ia akan dapat menangkan Ceng San Hwesio pula! Ia melihat betapa tujuh orang murid Siauw-lim-pai itu sudah duduk bersila dengan pedang di tangan kanan, pandang mata lurus ke depan menatapnya. Bahkan tujuh pasang mata itu seolah-olah bersatu ketika memandangnya, menimbulkan wibawa yang kuat sekali.
“Ha-ha-ha, bagus sekali! Memang aku sudah lama ingin melihat sampai dimana lihainya Chit-seng-sin-kiam dari Ceng San Hwesio!”
Sambil tertawa, kakek botak ini lalu duduk bersila pula di depan ketujuh orang tokoh Siauw-lim-pai. Jarak diantara Setan Botak dan tujuh orang tokoh Siauw-lim-pai itu ada tiga meter jauhnya, dan kalau tujuh orang tokoh Siauw-lim-pai itu semua bersenjatakan pedang pusaka, adalah Setan Botak ini sambil tersenyum menghadapi mereka dengan kedua tangan kosong!
Memang datuk hitam ini sombong, akan tetapi kesombongannya tidaklah kosong belaka. Ia memang amat sakti dan biarpun kakek botak ini menyimpan sebatang pedang lemas yang ia belitkan di pinggang sebelah dalam bajunya, namun tidak pernah orang melihat ia mempergunakan senjata dalam pertempuran. Hal ini berarti bahwa ia masih memandang rendah Siauw-lim Chit-kiam!
Song Kai Sin dapat menduga sikap lawan, maka ia pun tidak mau banyak sungkan lagi. Kakek botak ini selain merupakan tokoh sesat yang amat jahat dan sudah sepatutnya dibasmi, juga telah menghina murid keponakan mereka, telah mencemarkannya dan berarti mencemarkan kehormatan Siauw-lim-pai pula.
Oleh karena itu, Song Kai Sin dan adik-adik seperguruannya maklum bahwa sekali ini mereka akan bertanding mati-matian, bukan saja untuk melenyapkan seorang tokoh sesat yang jahat, juga untuk mempertahankan nama dan kehormatan Siauw-lim-pai.
“Sudah siapkah engkau, Kang-thouw-kwi?”
“Ha-ha, sudah, sudah! Lekas keluarkan Chit-seng-sin-kiam itu!” jawab Si Botak sambil menggerak-gerakkan kedua lengannya yang segera menjadi kemerahan.
“Lihat pedang!”
Song Kai Sin berseru dan pedang di tangannya itu ia tusukan ke depan. Menurut pendapat dan pandangan umum, biarpun lengan dilonjorkan ditambah panjangnya pedang, masih belum dapat melewati jarak tiga meter itu.
Akan tetapi tanpa dapat dilihat mata, dari ujung pedang itu menyambar hawa pukulan yang amat kuat sehingga selain tampak sinar pedang yang keemasan juga terdengar suara mencicit yang aneh.
Kang-thouw-kwi mengangkat lengan kirinya dan menggetarkan jari tangannya. Tentu saja tangannya tidak menyentuh pedang yang dipegang Song Kai Sin, akan tetapi jelas tampak betapa pedang itu terpental dan lengan tangan orang pertama dari Siauw-lim Chit-kiam itu tergetar!
Melihat kehebatan tenaga sin-kang yang amat panas dari tangan Setan Botak, tokoh Siauw-lim-pai yang lainnya maklum bahwa mereka harus maju bersama. Maka serentak pedang-pedang mereka bergerak, ada yang membacok, ada yang menusuk, ada pula yang membabat.
Tampak sinar pedang berkelebatan menyilaukan mata, pantulan cahayanya gemerlapan di dinding ruangan yang luas itu. Apalagi setelah beberapa orang anggauta Ho-han-hwe tadi menyalakan belasan batang lilin dan menaruh lilin-lilin itu di atas lantai di kanan kiri ruangan, maka sinar-sinar pedang itu menjadi amat indahnya.
Tanpa terasa, senja telah berganti malam dan kini para anggauta Ho-han-hwe menonton pertandingan yang amat aneh dan yang belum pernah mereka saksikan selama hidupnya.
Betapa mereka tidak akan terheran-heran dan bengong menyaksikan pertandingan itu? Baik ketujuh orang tokoh Siauw-lim-pai itu maupun Setan Botak, hanya duduk berhadapan, bersila di atas lantai dan jarak antara mereka terlampau jauh sehingga mereka itu tidak dapat saling menyentuh. Akan tetapi, kini mereka “bertanding” dan tujuh orang itu mengeroyok Si Setan Botak dengan serangan-serangan pedang yang berubah menjadi sinar-sinar gemerlapan.
Sebaliknya, Setan Botak menggerak-gerakkan kedua lengannya, kadang-kadang menangkis, ada kalanya mencengkeram dan mendorong, bahkan balas memukul tanpa menyentuh pedang dan tubuh para pengeroyoknya. Kedua tangannya kini selain berwarna merah seperti api membara, juga mengepulkan uap putih seperti asap panas!
Kalau dilihat begitu saja, seolah-olah Si Setan Botak dan ketujuh Siauw-lim Chit-kiam sedang bermain-main. Mereka tidak saling sentuh, namun mereka bergerak dengan sungguh-sungguh dan ruangan itu kini seperti dihujani sinar-sinar gemerlapan dan udara menjadi sebentar panas sebentar dingin.
Hanya beberapa orang saja diantara mereka, yaitu Lauw-pangcu, kedua Kang-lam Sam-eng, Ban-kin Hek-gu yang sudah sadar dari pingsannya, dan It-ci Sin-mo yang maklum apa yang sedang terjadi dan mereka memandang dengan hati penuh ketegangan.
Mereka ini mengerti bahwa Siauw-lim Chit-kiam sedang bertanding melawan Si Setan Botak mengadu ilmu pedang yang digerakkan oleh tenaga sin-kang tingkat tertinggi! Mengerti pula betapa selain sinar-sinar gemerlapan itu mengandung hawa maut, juga gerakan tangan Setan Botak itu mengandung hawa pukulan jarak jauh yang amat dahsyat.
Akan tetapi mereka yang tidak mengerti cara pertandingan seperti ini, menjadi amat penasaran. Si Setan Botak dan kedua muridnya telah menyebar maut, kini Setan Botak itu hanya duduk bersila dan menggerak-gerakkan kedua tangan. Bukankah ini membuka kesempatan baik untuk membinasakannya? Mereka yang merasa amat benci kepada Setan Botak ini yang sudah membasmi Pek-lian Kai-pang dan menewaskan lima puluh orang lebih anggauta perkumpulan itu yang merupakan kawan-kawan seperjuangan mereka, kini ingin membalas dendam.
Tujuh orang anggauta Ho-han-hwe setelah saling memberi isyarat dengan kedipan mata dan diam-diam mengambil jalan memutar, serentak maju menerjang tubuh kakek botak yang bersila itu dari belakang. Mereka bertujuh menggunakan senjata dan menyerang secara berbareng.
“Celaka....!”
It-ci Sin-mo Tan Sun berseru. Juga teman-temannya yang tahu akan bahaya mengancam, berseru kaget namun sudah tidak keburu mencegah. Segera terdengar jerit-jerit mengerikan disusul robohnya tujuh orang anggauta Ho-han-hwe itu yang roboh tewas dengan tubuh tersayat-sayat dan ada pula yang roboh dengan tubuh hangus!
Mereka tadi seperti sekumpulan nyamuk yang menerjang api, tidak tahu bahwa udara di sekitar arena pertandingan aneh itu penuh dengan berkelebatnya sinar pedang yang tajam dan hawa pukulan yang mengandung panasnya api. Sebelum mereka dapat menyentuh tubuh Si Setan Botak, tubuh mereka lebih dulu sudah dihujani sinar pedang yang menyambar-nyambar dan hawa pukulan yang membakar!
Melihat ini, Song Kai Sin orang pertama Siauw-lim Chit-kiam berseru keras. Mereka bertujuh tadi terdesak hebat oleh Setan Botak yang benar-benar amat tangguh dan lihai sekali. Karena mereka melakukan pengeroyokan secara bertubi, maka setiap orang dari mereka mengadu tenaga dengan Kang-thouw-kwi dan ternyata bahwa mereka kalah kuat jauh sekali. Karena itu, gerakan pedang mereka makin lama makin lemah dan terdesak sehingga ketika tujuh orang anggauta Ho-han-hwe tadi maju, biarpun mereka tahu akan bahayanya, mereka tidak keburu menarik sinar pedang dan sinar pedang mereka itu ada yang mengenai tubuh para penyerbu.
Maka begitu Song Kai Sin berseru keras, tujuh orang Siauw-lim Chit-kiam lalu menggunakan siasat terakhir. Dengan tangan kiri mereka menyentuh punggung kawan yang bersila di sebelah kiri, tangan kanan memegang pedang dan kini mereka telah menyatukan tenaga.
Getaran sin-kang mereka bersatu dan karenanya gerakan pedang mereka pun sama, hanya merupakan satu serangan saja, akan tetapi yang mengandung tenaga tujuh kali lipat kuat daripada tenaga perorangan.
Ketika Si Setan Botak menangkis dengan dorongan Hwi-yang-sin-ciang, menghalau sinar pedang yang amat besar dan kuat yang menyambarnya, ia mengeluarkan seruan marah dan kaget. Ia berhasil menghalau sinar pedang itu, akan tetapi telapak tangan kirinya robek sedikit dan mengeluarkan darah!
“Keparat! Kalian sudah bosan hidup!” bentaknya dan kini Si Setan Botak menggunakan kedua tangannya menahan.
Hebat bukan main adu tenaga sakti ini. Tujuh orang Siauw-lim Chit-kiam yang menyentuh punggung dan menyalurkan tenaga disatukan dengan teman-teman seperguruan, sehingga tenaga mereka menjadi satu, kini menghadapi dorongan kedua tangan Setan Botak dan terjadilah adu tenaga, keras lawan keras!
Mereka tidak bergerak-gerak lagi, pedang mereka menuding ke satu jurusan, yaitu ke arah Kang-thouw-kwi yang sebaliknya mengulur kedua lengan ke depan, dangan kedua telapak tangan mendorong ke arah tujuh orang pengeroyoknya.
Wajah Siauw-lim Chit-kiam pucat dan penuh keringat, di lain fihak, wajah Kang-thouw-kwi menjadi merah sekali dan kepalanya mengepulkan uap panas! Dorong-mendorong terjadi, akan tetapi sedikit demi sedikit keadaan Siauw-lim Chit-kiam terdesak!
Lauw-pangcu yang melihat keadaan tidak menguntungkan ini lalu mendekati Khu Cen Tiam dan Liem Sian. Mereka bertiga ini sudah terluka, tentu saja tidak berani membantu. Andaikata mereka tidak terluka sekalipun, tingkat kepandaian mereka masih terlalu rendah untuk mencampuri pertandingan tingkat tinggi itu. Mereka berbisik-bisik dan akhirnya mengambil keputusan untuk menjalankan siasat yang telah mereka atur sebelumnya, yaitu hendak membakar kuil itu selagi Si Setan Botak terikat dalam pertandingan mati-matian melawan Siauw-lim Chit-kiam!
Memang siasat ini kalau dijalankan berarti akan membahayakan keselamatan Siauw-lim Chit-kiam sendiri, namun memang telah mereka sepakati sebelumnya bahwa untuk membasmi Si Setan Botak, Siauw-lim Chit-kiam bersedia untuk mergorbankan nyawa.
Dengan isyarat Lauw-pangcu, mereka semua mengundurkan diri dan mulailah mereka membakar kuil itu dari luar. Khu Cen Tiam dan Liem Sian yang membantu pekerjaan ini mengucurkan air mata, karena maklum bahwa nyawa ketujuh orang susiok (paman guru) mereka terancam maut bersama nyawa Setan Botak.
Para anggauta Ho-han-hwe demikian sibuknya dengan pekerjaan menuangkan minyak dan membakar kuil sehingga mereka tidak tahu betapa diantara kegelapan malam itu, sesosok tubuh kecil menyelinap memasuki kuil melalui bagian yang belum terbakar. Tubuh cilik ini bukan lain adalah Lauw Sin Lian, gadis cilik puteri Lauw-pangcu!
Sin Lian tadinya dititipkan kepada seorang sahabatnya oleh Lauw-pangcu. Akan tetapi, anak perempuan ini diam-diam merasa tidak senang. Ia tahu bahwa ayahnya dan teman-teman ayahnya sedang berusaha membalas dendam atas kematian semua anggauta Pek-lian Kai-pang. Dia ingin sekali menonton, bahkan kalau mungkin ingin sekali membantu! Selain itu, juga anak ini amat mengkhawatirkan keselamatan ayahnya, maka diam-diam ia minggat keluar dari rumah sahabat ayahnya itu dan berlari menyusul ayahnya.
Bocah ini amat cerdik dan ia menduga bahwa Ho-han-hwe pasti diadakan di kuil tua yang sudah tak terpakai di luar kota. Tanpa ragu-ragu ia langsung lari menuju ke kuil itu dan malam telah tiba ketika ia akhirnya sampai di tempat tujuan. Karena melihat banyak orang sibuk membakar kuil, hatinya makin gelisah. Ia tidak melihat ayahnya, dan untuk bertanya ia tidak berani, takut mendapat marah. Maka ia lalu menyelinap dan berhasil memasuki kuil dari bagian yang gelap dan yang belum dicium api.
Ruangan dalam kuil kosong itu mulai berasap. Diantara asap tipis, Sin Lian melihat musuh besar ayahnya, Setan Botak, duduk bersila membelakanginya, tak bergerak seperti sebuah arca batu yang menyeramkan, dengan kedua lengan dilonjorkan ke depan dan telapak tangan dibuka ke arah tujuh orang laki-laki yang bersikap keren dan yang kesemuanya memegang pedang. Juga tujuh orang itu diam tak bergerak seperti arca, akan tetapi muka mereka pucat dan penuh peluh, bahkan tubuh mereka, terutama tangan yang memegang pedang, mulai gemetar.
Melihat musuh besar itu, Sin Lian menjadi marah. Ia tidak tahu apa yang sedang dilakukan tujuh orang berpedang itu dengan musuhnya, akan tetapi melihat musuhnya duduk membelakanginya, diam seperti arca, ia melihat kesempatan baik untuk menyerang! Berindap-indap Sin Lian menghampiri kakek itu, setelah dekat ia lalu menerjang maju, memukul tengkuk.
“Dukkk....!”
Sin Lian terjengkang dan terbanting keras. Kepalanya menjadi pening, tangannya sakit, akan tetapi ia bandel, terus melompat bangun dan siap menyerang lagi. Ia tadi merasa betapa tengkuk kakek botak itu keras seperti baja, dan amat panas seperti baja dibakar. Ia tidak tahu betapa tujuh orang Siauw-lim Chit-kiam memandang kepadanya dengan heran dan juga khawatir. Memang bocah ini masih baik nasibnya, tidak seperti tujuh orang anggauta Ho-han-hwe tadi yang tewas secara konyol.
Kalau Siauw-lim Chit-kiam dan Setan Botak sedang bertanding seperti tadi, serang-menyerang antar sinar pedang yang digerakkan sin-kang dan pukulan jarak jauh Hwi-yang-sin-ciang yang amat dahsyat, tentu sebelum menyentuh tubuh Setan Botak, Sin Lian telah roboh tewas, kalau tidak hangus karena Hwi-yang-sin-ciang, tentu tersayat-sayat oleh sinar pedang Chit-seng-sin-kiam!
Akan tetapi kebetulan sekali pada saat itu, kedua fihak sedang mengadu tenaga sehingga kedua fihak seolah-olah saling menempel, saling mendorong dan tidak bergerak kemana-mana. Inilah sebabnya mengapa ketika Sin Lian memukul, ia tidak terkena pengaruh Hwi-yang-sin-ciang, melainkan terbanting roboh karena kekebalan tubuh kakek botak itu.
Betapapun juga, karena berani memukul Kang-thouw-kwi, tentu saja nyawa anak ini berada dalam cengkeraman maut. Sekali saja Kang-thouw-kwi bergerak, tentu bocah itu takkan dapat tertolong lagi nyawanya. Hal inilah yang membuat Siauw-lim Chit-kiam menjadi gelisah. Keadaan mereka sendiri terancam maut dan sedang terdesak hebat, bagaimana mereka akan dapat menolong bocah ini?
Mereka tadinya tidak mengharapkan dapat keluar sebagai pemenang karena makin lama, tenaga Setan Botak itu makin hebat, hawa di situ makin panas sebagai bukti bahwa Hwi-yang-sin-ciang makin unggul. Akan tetapi mereka merasa lega bahwa para anggauta Ho-han-hwe sudah mulai bergerak membakar kuil. Mereka akan mati dengan lega karena merasa yakin bahwa Si Setan Botak juga akan mati terbakar hidup-hidup!
“Kau masih belum mampus?” bentaknya dan kembali ia menerjang.
Memang gerakan Giam Ki lebih cekatan daripada Hek-giam-ong. Kembali tangan Giam Ki diangkat ke atas. Hek-giam-ong mengejek dengan dengusan marah, ia tidak mau ditipu lagi dan tahu bahwa lawannya yang agaknya mempunyai penyakit kudis ini tentu mengangkat tangan untuk menggaruk kepala yang gatal. Maka ia pun tidak mau mengelak, bahkan cepat melangkah maju dan menonjok dada Giam Ki.
“Bukkk! Desssss....!”
Dua tubuh yang tinggi besar itu terjengkang dan Ban-kin Hek-gu Giam Ki roboh kelenger (pingsan) karena tertonjok dadanya sehingga napasnya menjadi sesak, akan tetapi di lain fihak, Hek-giam-ong tadi pun kecelik karena sekali ini Giam Ki mengangkat tangan bukan untuk garuk-garuk lagi melainkan untuk memukul sehingga dalam saat yang bersamaan, Giam Ki berhasil menghantam pangkal leher Hek-giam-ong dengan tangan miring. Robohlah Hek-giam-ong dan tidak bergerak-gerak karena ia pun telah semaput (pingsan)!
Pek-giam-ong sudah menyambar tubuh kakaknya dan ia merasa lega bahwa kakaknya tidak terluka parah, hanya terguncang oleh kerasnya pukulan. Di lain fihak, para anggauta Ho-han-hwe telah mengangkat tubuh Ban-kin Hek-gu, dipimpin oleh Lauw-pangcu. Atas isyarat Song Kai Sin orang pertama Siauw-lim Chit-kiang tubuh Giam Ki yang pingsan itu dibawa mendekat. Song Kai Sin cepat memeriksa dan ia menghela napas panjang.
“Untung....” kata tokoh Siauw-lim-pai ini. “Tadinya ia keracunan maka ketika bertanding terus diganggu rasa gatal-gatal di tubuhnya. Tentu ia terkena racun ketika beradu tangan dengan iblis tua itu. Baiknya, pukulan Hek-giam-ong tadi pun mengandung hawa panas dan pukulan ini malah membuyarkan pengaruh racun di tubuhnya sehingga nyawanya tertolong.”
Pek-giam-ong yang marah menyaksikan saudaranya terluka, kini melangkah maju dengan sikap menantang. Akan tetapi ia dibentak gurunya,
“Mundurlah!” bagaikan seekor anjing dipecut, Pek-giam-ong mundur dan kembali ia merawat kakaknya.
Kini Kang-thouw-kwi Gak Liat melangkah maju, menyapu semua anggauta Ho-han-hwe dengan pandang mata yang membuat mereka itu merasa seram, kemudian sambil tersenyum lebar Si Setan Botak ini berkata.
“Aku sudah datang, siapa di antara anggauta Ho-han-hwe yang ternyata hanyalah segerombolan pemberontak ingin menyusul para anggauta Pek-lian Kai-pang?”
Suaranya penuh ejekan, akan tetapi matanya menatap ke arah Siauw-lim Chit-kiam karena hanya tokoh-tokoh Siauw-lim-pai ini sajalah yang dipandang cukup berharga untuk menjadi lawannya.
It-ci Sin-mo Tan Sun biarpun tubuhnya kecil namun hatinya besar. Ia maklum akan kelihaian kakek botak ini, namun ia merasa tidak puas kalau ia tidak turun tangan. Kalah atau mati sekalipun bukan apa-apa bagi seorang patriot, akan tetapi sungguh hina dan rendah kalau dianggap takut bertemu dangan lawan tangguh.
“Kang-thouw-kwi! Engkau bukan saja seorang datuk hitam yang jahat, juga sekarang malah menjadi pengkhianat bangsa! Aku It-ci Sin-mo Tan Sun tidak takut kepadamu, jagalah seranganku ini!”
Gerakan It-ci Sin-mo Tan Sun cepat sekali, jauh lebih cepat daripada gerakan Ban-kin Hek-gu Giam Ki. Tubuhnya melesat ke depan dan kedua tangannya digerakkan untuk menyerang dangan totokan-totokan maut.
Si Setan Botak tertawa-tawa dan hanya tampak ia menggoyang-goyangkan tubuhnya akan tetapi aneh, semua totokan It-ci Sin-mo tidak ada satu pun yang menyentuh kulitnya.
“Sut-sut-sut-cet-cet....!”
Cepat sekali It-ci Sin-mo Tan Sun melanjutkan totokan-totokannya secara bertubi-tubi, tubuhnya berloncatan mencari posisi yang baik. Namun, tak pernah ia mampu mengenai tubuh lawan biarpun kecepatan gerakannya membuat ia berada di belakang tubuh Si Setan Botak.
Padahal Kang-thouw-kwi Gak Liat tak pernah mengubah kedudukan kedua kakinya, hanya tubuhnya saja yang bergoyang-goyang akan tetapi entah bagaimana semua serangan lawan tidak ada yang berhasil.
Belasan orang anggauta Ho-han-hwe yang melihat betapa It-ci Sin-mo seperti dipermainkan, sudah bergerak mengurung hendak mengeroyok Si Setan Botak. Melihat ini, Pek-giam-ong berteriak keras dan tubuhnya menyambar ke depan, langsung ia menyerbu dan gegerlah tempat itu dangan jerit-jerit kesakitan dan robohnya beberapa orang anggauta Ho-han-hwe karena amukan Pek-giam-ong.
“Krek-krekkk....!”
Setan Botak menggerakkan kedua tangan menampar lengan lawan dan tubuh It-ci Sin-mo Tan Sun terlempar, kedua tengannya tergantung lumpuh karena tulang-tulang lengannya telah patah-patah!
“Huah-ha-ha-ha! Pek-giam-ong, pergilah dan bawa kakakmu pergi!”
Pek-giam-ong yang terkenal berwatak kejam seperti iblis itu kini merupakan seorang murid yang amat taat. Tanpa berani berlambat sedikit pun ia lalu meninggalkan para lawan yang tadi mengeroyoknya, menyambar tubuh kakaknya yang masih pingsan lalu sekali melompat ia lenyap dari tempat itu.
Lauw-pangcu dan kedua orang saudara Kang-lam Sam-eng membiarkannya saja lewat, karena yang menjadi sasaran untuk dibinasakan adalah Si Setan Botak yang kini hanya seorang diri saja di dalam kuil.
“Ha-ha-ha, Siauw-lim Chit-kiam, hanya kalianlah yang patut main-main danganku. Majulah!”
Lima orang anggauta Ho-han-hwe yang masih penasaran karena banyaknya kawan mereka yang roboh, masih mencoba untuk menyerang Si Setan Botak dangan senjata mereka, akan tetapi kini kakek botak itu berseru keras, kedua tangannya mendorong ke depan dan.... lima orang itu roboh dengan tubuh ha¬ngus dan mati seketika!
Itulah kehebatan ilmu pukulan Hwi-yang-sin-ciang yang sengaja diperlihatkan oleh Kang-thouw-kwi untuk membikin gentar hati lawan. Memang semua anggauta Ho-han-hwe menjadi pucat wajahnya melihat kedahsyatan ilmu kepandaian kakek botak ini, akan tetapi melihat itu, Siauw-lim Chit-kiam bukannya menjadi gentar, sebaliknya malah menjadi marah sekali.
“Kang-thouw-kwi, engkau telah berani menghina seorang murid Siauw-lim-pai. Hari ini kami Siauw-lim Chit-kiam akan mengadu nyawa danganmu! Beranikah engkau menghadapi gabungan Siauw-lim Chit-kiam?” kata Song Kai Sin dengan suara tenang namun sinar matanya membayangkan kemarahan.
“Huah-ha-ha-ha! Siauw-lim Chit-kiam masih terlalu ringan, boleh ditambah guru kalian. Mana Ceng San Hwesio ketua Siauw-lim-pai? Boleh datang membantu kalian, aku masih akan kurang puas. Ha-ha!”
“Omitohud.... engkau benar-benar tokoh sesat yang sengsara, Gak-locianpwe,” kata Lui Kong Hwesio orang ke dua dari Siauw-lim Chit-kiam sambil menggeser duduknya, bersila di sebelah kiri Song Kai Sin.
Kemudian secara berjajar, ketujuh orang tokoh Siauw-lim-pai ini duduk bersila, menurutkan urutan tingkat mereka. Dari kanan ke kiri mereka ini adalah Song Kai Sin, Lui Kong Hwesio, Ui Swan dan adiknya Ui Kiong, Lui Pek Hwesio, Liok Si Bhok dan Liong Ki Tek.
Sebetulnya, tujuh orang tokoh Siauw-lim-pai ini merupakan orang-orang berilmu tinggi yang mempunyai keistimewaan masing-masing. Jika dinilai secara perseorangan, tingkat masing-masing masih lebih tinggi daripada tingkat Ban-kin Hek-gu Giam Ki atau bahkan It-ci Sin-mo Tan Sun.
Akan tetapi, sekali ini, menghadapi seorang diantara Lima Datuk Besar, yaitu Kang-thouw-kwi Gak Liat yang amat terkenal diantara golongan sesat sebagai seorang yang memiliki kesaktian luar biasa, ketujuh orang takoh Siauw-lim-pai ini tidak berani berlaku sembrono, tidak berani memandang rendah dan karenanya mereka lalu bergabung untuk mengeluarkan ilmu gabungan mereka yang paling ampuh, yaitu Ilmu Pedang Chit-seng-sin-kiam yang secara khusus digubah oleh Ceng San Hwesio ketua Siauw-lim-pai untuk diajarkan kepada tujuh orang muridnya.
Chit-seng-sin-kiam (Pedang Sakti Tujuh Bintang) ini dapat dimainkan secara perorangan dan sudah merupakan sebuah ilmu pedang yang ampuh, akan tetapi permainannya tidak akan menjadi lengkap dan utuh kalau tidak dimainkan secara bergabung oleh tujuh orang itu. Kalau dimainkan secara bergabung, maka Chit-seng-sin-kiam merupakan sebuah kiam-tin (barisan pedang) yang sukar dilawan karena amat kuat.
Kang-thouw-kwi Gak Liat memandang dangan wajah berseri. Sudah lama ia mendengar akan ciptaan ilmu pedang ketua Siauw-lim-pai ini yang disarikan dari inti ilmu kepandaian Ceng San Hwesio. Kini ia berhadapan dangan kiam-tin ini, berarti bahwa ia berhadapan dengan Ceng San Hwesio, yang sejak dahulu merupakan lawan seimbang darinya.
Kalau ia bisa menangkan kiam-tin ini, berarti ia akan dapat menangkan Ceng San Hwesio pula! Ia melihat betapa tujuh orang murid Siauw-lim-pai itu sudah duduk bersila dengan pedang di tangan kanan, pandang mata lurus ke depan menatapnya. Bahkan tujuh pasang mata itu seolah-olah bersatu ketika memandangnya, menimbulkan wibawa yang kuat sekali.
“Ha-ha-ha, bagus sekali! Memang aku sudah lama ingin melihat sampai dimana lihainya Chit-seng-sin-kiam dari Ceng San Hwesio!”
Sambil tertawa, kakek botak ini lalu duduk bersila pula di depan ketujuh orang tokoh Siauw-lim-pai. Jarak diantara Setan Botak dan tujuh orang tokoh Siauw-lim-pai itu ada tiga meter jauhnya, dan kalau tujuh orang tokoh Siauw-lim-pai itu semua bersenjatakan pedang pusaka, adalah Setan Botak ini sambil tersenyum menghadapi mereka dengan kedua tangan kosong!
Memang datuk hitam ini sombong, akan tetapi kesombongannya tidaklah kosong belaka. Ia memang amat sakti dan biarpun kakek botak ini menyimpan sebatang pedang lemas yang ia belitkan di pinggang sebelah dalam bajunya, namun tidak pernah orang melihat ia mempergunakan senjata dalam pertempuran. Hal ini berarti bahwa ia masih memandang rendah Siauw-lim Chit-kiam!
Song Kai Sin dapat menduga sikap lawan, maka ia pun tidak mau banyak sungkan lagi. Kakek botak ini selain merupakan tokoh sesat yang amat jahat dan sudah sepatutnya dibasmi, juga telah menghina murid keponakan mereka, telah mencemarkannya dan berarti mencemarkan kehormatan Siauw-lim-pai pula.
Oleh karena itu, Song Kai Sin dan adik-adik seperguruannya maklum bahwa sekali ini mereka akan bertanding mati-matian, bukan saja untuk melenyapkan seorang tokoh sesat yang jahat, juga untuk mempertahankan nama dan kehormatan Siauw-lim-pai.
“Sudah siapkah engkau, Kang-thouw-kwi?”
“Ha-ha, sudah, sudah! Lekas keluarkan Chit-seng-sin-kiam itu!” jawab Si Botak sambil menggerak-gerakkan kedua lengannya yang segera menjadi kemerahan.
“Lihat pedang!”
Song Kai Sin berseru dan pedang di tangannya itu ia tusukan ke depan. Menurut pendapat dan pandangan umum, biarpun lengan dilonjorkan ditambah panjangnya pedang, masih belum dapat melewati jarak tiga meter itu.
Akan tetapi tanpa dapat dilihat mata, dari ujung pedang itu menyambar hawa pukulan yang amat kuat sehingga selain tampak sinar pedang yang keemasan juga terdengar suara mencicit yang aneh.
Kang-thouw-kwi mengangkat lengan kirinya dan menggetarkan jari tangannya. Tentu saja tangannya tidak menyentuh pedang yang dipegang Song Kai Sin, akan tetapi jelas tampak betapa pedang itu terpental dan lengan tangan orang pertama dari Siauw-lim Chit-kiam itu tergetar!
Melihat kehebatan tenaga sin-kang yang amat panas dari tangan Setan Botak, tokoh Siauw-lim-pai yang lainnya maklum bahwa mereka harus maju bersama. Maka serentak pedang-pedang mereka bergerak, ada yang membacok, ada yang menusuk, ada pula yang membabat.
Tampak sinar pedang berkelebatan menyilaukan mata, pantulan cahayanya gemerlapan di dinding ruangan yang luas itu. Apalagi setelah beberapa orang anggauta Ho-han-hwe tadi menyalakan belasan batang lilin dan menaruh lilin-lilin itu di atas lantai di kanan kiri ruangan, maka sinar-sinar pedang itu menjadi amat indahnya.
Tanpa terasa, senja telah berganti malam dan kini para anggauta Ho-han-hwe menonton pertandingan yang amat aneh dan yang belum pernah mereka saksikan selama hidupnya.
Betapa mereka tidak akan terheran-heran dan bengong menyaksikan pertandingan itu? Baik ketujuh orang tokoh Siauw-lim-pai itu maupun Setan Botak, hanya duduk berhadapan, bersila di atas lantai dan jarak antara mereka terlampau jauh sehingga mereka itu tidak dapat saling menyentuh. Akan tetapi, kini mereka “bertanding” dan tujuh orang itu mengeroyok Si Setan Botak dengan serangan-serangan pedang yang berubah menjadi sinar-sinar gemerlapan.
Sebaliknya, Setan Botak menggerak-gerakkan kedua lengannya, kadang-kadang menangkis, ada kalanya mencengkeram dan mendorong, bahkan balas memukul tanpa menyentuh pedang dan tubuh para pengeroyoknya. Kedua tangannya kini selain berwarna merah seperti api membara, juga mengepulkan uap putih seperti asap panas!
Kalau dilihat begitu saja, seolah-olah Si Setan Botak dan ketujuh Siauw-lim Chit-kiam sedang bermain-main. Mereka tidak saling sentuh, namun mereka bergerak dengan sungguh-sungguh dan ruangan itu kini seperti dihujani sinar-sinar gemerlapan dan udara menjadi sebentar panas sebentar dingin.
Hanya beberapa orang saja diantara mereka, yaitu Lauw-pangcu, kedua Kang-lam Sam-eng, Ban-kin Hek-gu yang sudah sadar dari pingsannya, dan It-ci Sin-mo yang maklum apa yang sedang terjadi dan mereka memandang dengan hati penuh ketegangan.
Mereka ini mengerti bahwa Siauw-lim Chit-kiam sedang bertanding melawan Si Setan Botak mengadu ilmu pedang yang digerakkan oleh tenaga sin-kang tingkat tertinggi! Mengerti pula betapa selain sinar-sinar gemerlapan itu mengandung hawa maut, juga gerakan tangan Setan Botak itu mengandung hawa pukulan jarak jauh yang amat dahsyat.
Akan tetapi mereka yang tidak mengerti cara pertandingan seperti ini, menjadi amat penasaran. Si Setan Botak dan kedua muridnya telah menyebar maut, kini Setan Botak itu hanya duduk bersila dan menggerak-gerakkan kedua tangan. Bukankah ini membuka kesempatan baik untuk membinasakannya? Mereka yang merasa amat benci kepada Setan Botak ini yang sudah membasmi Pek-lian Kai-pang dan menewaskan lima puluh orang lebih anggauta perkumpulan itu yang merupakan kawan-kawan seperjuangan mereka, kini ingin membalas dendam.
Tujuh orang anggauta Ho-han-hwe setelah saling memberi isyarat dengan kedipan mata dan diam-diam mengambil jalan memutar, serentak maju menerjang tubuh kakek botak yang bersila itu dari belakang. Mereka bertujuh menggunakan senjata dan menyerang secara berbareng.
“Celaka....!”
It-ci Sin-mo Tan Sun berseru. Juga teman-temannya yang tahu akan bahaya mengancam, berseru kaget namun sudah tidak keburu mencegah. Segera terdengar jerit-jerit mengerikan disusul robohnya tujuh orang anggauta Ho-han-hwe itu yang roboh tewas dengan tubuh tersayat-sayat dan ada pula yang roboh dengan tubuh hangus!
Mereka tadi seperti sekumpulan nyamuk yang menerjang api, tidak tahu bahwa udara di sekitar arena pertandingan aneh itu penuh dengan berkelebatnya sinar pedang yang tajam dan hawa pukulan yang mengandung panasnya api. Sebelum mereka dapat menyentuh tubuh Si Setan Botak, tubuh mereka lebih dulu sudah dihujani sinar pedang yang menyambar-nyambar dan hawa pukulan yang membakar!
Melihat ini, Song Kai Sin orang pertama Siauw-lim Chit-kiam berseru keras. Mereka bertujuh tadi terdesak hebat oleh Setan Botak yang benar-benar amat tangguh dan lihai sekali. Karena mereka melakukan pengeroyokan secara bertubi, maka setiap orang dari mereka mengadu tenaga dengan Kang-thouw-kwi dan ternyata bahwa mereka kalah kuat jauh sekali. Karena itu, gerakan pedang mereka makin lama makin lemah dan terdesak sehingga ketika tujuh orang anggauta Ho-han-hwe tadi maju, biarpun mereka tahu akan bahayanya, mereka tidak keburu menarik sinar pedang dan sinar pedang mereka itu ada yang mengenai tubuh para penyerbu.
Maka begitu Song Kai Sin berseru keras, tujuh orang Siauw-lim Chit-kiam lalu menggunakan siasat terakhir. Dengan tangan kiri mereka menyentuh punggung kawan yang bersila di sebelah kiri, tangan kanan memegang pedang dan kini mereka telah menyatukan tenaga.
Getaran sin-kang mereka bersatu dan karenanya gerakan pedang mereka pun sama, hanya merupakan satu serangan saja, akan tetapi yang mengandung tenaga tujuh kali lipat kuat daripada tenaga perorangan.
Ketika Si Setan Botak menangkis dengan dorongan Hwi-yang-sin-ciang, menghalau sinar pedang yang amat besar dan kuat yang menyambarnya, ia mengeluarkan seruan marah dan kaget. Ia berhasil menghalau sinar pedang itu, akan tetapi telapak tangan kirinya robek sedikit dan mengeluarkan darah!
“Keparat! Kalian sudah bosan hidup!” bentaknya dan kini Si Setan Botak menggunakan kedua tangannya menahan.
Hebat bukan main adu tenaga sakti ini. Tujuh orang Siauw-lim Chit-kiam yang menyentuh punggung dan menyalurkan tenaga disatukan dengan teman-teman seperguruan, sehingga tenaga mereka menjadi satu, kini menghadapi dorongan kedua tangan Setan Botak dan terjadilah adu tenaga, keras lawan keras!
Mereka tidak bergerak-gerak lagi, pedang mereka menuding ke satu jurusan, yaitu ke arah Kang-thouw-kwi yang sebaliknya mengulur kedua lengan ke depan, dangan kedua telapak tangan mendorong ke arah tujuh orang pengeroyoknya.
Wajah Siauw-lim Chit-kiam pucat dan penuh keringat, di lain fihak, wajah Kang-thouw-kwi menjadi merah sekali dan kepalanya mengepulkan uap panas! Dorong-mendorong terjadi, akan tetapi sedikit demi sedikit keadaan Siauw-lim Chit-kiam terdesak!
Lauw-pangcu yang melihat keadaan tidak menguntungkan ini lalu mendekati Khu Cen Tiam dan Liem Sian. Mereka bertiga ini sudah terluka, tentu saja tidak berani membantu. Andaikata mereka tidak terluka sekalipun, tingkat kepandaian mereka masih terlalu rendah untuk mencampuri pertandingan tingkat tinggi itu. Mereka berbisik-bisik dan akhirnya mengambil keputusan untuk menjalankan siasat yang telah mereka atur sebelumnya, yaitu hendak membakar kuil itu selagi Si Setan Botak terikat dalam pertandingan mati-matian melawan Siauw-lim Chit-kiam!
Memang siasat ini kalau dijalankan berarti akan membahayakan keselamatan Siauw-lim Chit-kiam sendiri, namun memang telah mereka sepakati sebelumnya bahwa untuk membasmi Si Setan Botak, Siauw-lim Chit-kiam bersedia untuk mergorbankan nyawa.
Dengan isyarat Lauw-pangcu, mereka semua mengundurkan diri dan mulailah mereka membakar kuil itu dari luar. Khu Cen Tiam dan Liem Sian yang membantu pekerjaan ini mengucurkan air mata, karena maklum bahwa nyawa ketujuh orang susiok (paman guru) mereka terancam maut bersama nyawa Setan Botak.
Para anggauta Ho-han-hwe demikian sibuknya dengan pekerjaan menuangkan minyak dan membakar kuil sehingga mereka tidak tahu betapa diantara kegelapan malam itu, sesosok tubuh kecil menyelinap memasuki kuil melalui bagian yang belum terbakar. Tubuh cilik ini bukan lain adalah Lauw Sin Lian, gadis cilik puteri Lauw-pangcu!
Sin Lian tadinya dititipkan kepada seorang sahabatnya oleh Lauw-pangcu. Akan tetapi, anak perempuan ini diam-diam merasa tidak senang. Ia tahu bahwa ayahnya dan teman-teman ayahnya sedang berusaha membalas dendam atas kematian semua anggauta Pek-lian Kai-pang. Dia ingin sekali menonton, bahkan kalau mungkin ingin sekali membantu! Selain itu, juga anak ini amat mengkhawatirkan keselamatan ayahnya, maka diam-diam ia minggat keluar dari rumah sahabat ayahnya itu dan berlari menyusul ayahnya.
Bocah ini amat cerdik dan ia menduga bahwa Ho-han-hwe pasti diadakan di kuil tua yang sudah tak terpakai di luar kota. Tanpa ragu-ragu ia langsung lari menuju ke kuil itu dan malam telah tiba ketika ia akhirnya sampai di tempat tujuan. Karena melihat banyak orang sibuk membakar kuil, hatinya makin gelisah. Ia tidak melihat ayahnya, dan untuk bertanya ia tidak berani, takut mendapat marah. Maka ia lalu menyelinap dan berhasil memasuki kuil dari bagian yang gelap dan yang belum dicium api.
Ruangan dalam kuil kosong itu mulai berasap. Diantara asap tipis, Sin Lian melihat musuh besar ayahnya, Setan Botak, duduk bersila membelakanginya, tak bergerak seperti sebuah arca batu yang menyeramkan, dengan kedua lengan dilonjorkan ke depan dan telapak tangan dibuka ke arah tujuh orang laki-laki yang bersikap keren dan yang kesemuanya memegang pedang. Juga tujuh orang itu diam tak bergerak seperti arca, akan tetapi muka mereka pucat dan penuh peluh, bahkan tubuh mereka, terutama tangan yang memegang pedang, mulai gemetar.
Melihat musuh besar itu, Sin Lian menjadi marah. Ia tidak tahu apa yang sedang dilakukan tujuh orang berpedang itu dengan musuhnya, akan tetapi melihat musuhnya duduk membelakanginya, diam seperti arca, ia melihat kesempatan baik untuk menyerang! Berindap-indap Sin Lian menghampiri kakek itu, setelah dekat ia lalu menerjang maju, memukul tengkuk.
“Dukkk....!”
Sin Lian terjengkang dan terbanting keras. Kepalanya menjadi pening, tangannya sakit, akan tetapi ia bandel, terus melompat bangun dan siap menyerang lagi. Ia tadi merasa betapa tengkuk kakek botak itu keras seperti baja, dan amat panas seperti baja dibakar. Ia tidak tahu betapa tujuh orang Siauw-lim Chit-kiam memandang kepadanya dengan heran dan juga khawatir. Memang bocah ini masih baik nasibnya, tidak seperti tujuh orang anggauta Ho-han-hwe tadi yang tewas secara konyol.
Kalau Siauw-lim Chit-kiam dan Setan Botak sedang bertanding seperti tadi, serang-menyerang antar sinar pedang yang digerakkan sin-kang dan pukulan jarak jauh Hwi-yang-sin-ciang yang amat dahsyat, tentu sebelum menyentuh tubuh Setan Botak, Sin Lian telah roboh tewas, kalau tidak hangus karena Hwi-yang-sin-ciang, tentu tersayat-sayat oleh sinar pedang Chit-seng-sin-kiam!
Akan tetapi kebetulan sekali pada saat itu, kedua fihak sedang mengadu tenaga sehingga kedua fihak seolah-olah saling menempel, saling mendorong dan tidak bergerak kemana-mana. Inilah sebabnya mengapa ketika Sin Lian memukul, ia tidak terkena pengaruh Hwi-yang-sin-ciang, melainkan terbanting roboh karena kekebalan tubuh kakek botak itu.
Betapapun juga, karena berani memukul Kang-thouw-kwi, tentu saja nyawa anak ini berada dalam cengkeraman maut. Sekali saja Kang-thouw-kwi bergerak, tentu bocah itu takkan dapat tertolong lagi nyawanya. Hal inilah yang membuat Siauw-lim Chit-kiam menjadi gelisah. Keadaan mereka sendiri terancam maut dan sedang terdesak hebat, bagaimana mereka akan dapat menolong bocah ini?
Mereka tadinya tidak mengharapkan dapat keluar sebagai pemenang karena makin lama, tenaga Setan Botak itu makin hebat, hawa di situ makin panas sebagai bukti bahwa Hwi-yang-sin-ciang makin unggul. Akan tetapi mereka merasa lega bahwa para anggauta Ho-han-hwe sudah mulai bergerak membakar kuil. Mereka akan mati dengan lega karena merasa yakin bahwa Si Setan Botak juga akan mati terbakar hidup-hidup!
Tidak ada komentar:
Posting Komentar