FB

FB


Ads

Jumat, 14 November 2014

Pendekar Super Sakti Jilid 009

Dapat dibayangkan betapa hancur dan sakit hati Lauw-pangcu melihat anak buahnya terbasmi habis oleh Si Setan Botak yang lihai itu. Kematian kurang lebih lima puluh orang anggauta Pek-lian Kai-pang ini hampir menghabiskan semua anggautanya sehingga mereka yang kebetulan tidak berada di situ dan bebas dari kematian hanya tinggal beberapa orang saja.

Dengan dendam sedalam lautan, Lauw-pangcu mengurus jenazah semua anak buahnya, dibantu oleh Kang-lam Sam-eng yang kini tinggal dua orang, Khu Cen Tiam dan Liem Sian saja karena sumoi mereka, Bhok Khim, terculik oleh Si Kakek Sakti. Dua orang anak murid Siauw-lim-pai ini pun di samping amat menyesal, juga amat marah dan sakit hati.

“Sudah kucegah tadi ji-wi enghiong bersama Bhok-lihiap untuk tidak mencampuri urusan kami,” demikian Lauw-pangcu berkata penuh penyesalan. “Sekarang terbukti, selain ji-wi terluka, juga Bhok-lihiap terculik. Ahh, semua ini gara-gara Pek-lian Kai-pang. Lebih celaka lagi, malapetaka ini dibawa datang oleh muridku sendiri, si jahanam Sie Han!”

Khu Cen Tiam dan Liem Sian menghibur ketua kai-pang yang berduka itu.
“Pangcu jangan berkata demikian. Kita sama-sama anggauta Ho-han-hwe, sudah bersumpah sehidup semati menghadapi penjajah dan para pengkhianat bangsa. Lebih baik kita lekas bereskan pekerjaan di sini dan cepat mengumpulkan saudara-saudara di Ho-han-hwe untuk merundingkan hal ini dan agar dapat menolong Sumoi dari tangan iblis itu.”

“Ahhhhh, iblis itu terlampau sakti. Di dunia ini hanya ada lima orang datuk besar yang ilmu kepandaiannya amat luar biasa. Kita di Ho-han-hwe, siapakah kiranya yang akan mampu melawannya?”

Demikian keluh Lauw-pangcu dengan hati gentar kalau ia teringat akan sepak terjang Si Setan Botak tadi.

“Diantara saudara kita banyak yang lihai, kalau perlu aku akan memberi tahu para susiok dan juga tokoh-tokoh besar di dunia kang-ouw. Sute tadi telah menantangnya tiga hari lagi. Dalam waktu tiga hari kita harus dapat mendatangkan bala bantuan untuk membunuh iblis itu dan menolong sumoi.”

Demikianlah, setelah penguburan sekian banyaknya jenazah itu selesai, tiga orang gagah ini bersama Sin Lian yang dalam usia sekecil itu sudah mengalami hal-hal yang menegangkan dan pembunuhan-pembunuhan massal yang mengerikan, pergi meninggalkan tempat itu menuju ke kota Tiong-kwan lalu menghubungi para pejuang yang bergabung dalam perkumpulan Ho-han-hwe. Sibuklah mereka semua itu mengundang orang-orang pandai dalam persiapan mereka menghadapi Kang-thouw-kwi Gak Liat.

Adapun Kang-thouw-kwi Gak Liat yang menunggang kuda sambil memangku tubuh Bhok Khim yang tertotok lemas, diiringkan oleh Ouwyang Seng dan Han Han, pergi menuju ke timur menyusuri pantai Sungai Huang-ho. Setelah melakukan perjalanan setengah hari, mereka tiba di pantai yang berbatu-batu dan kakek itu berkata.

“Berhenti di sini!” Ia meloncat turun, masih memondong tubuh Bhok Khim.

“Di sinikah tempatnya batu-batu bintang yang dicari suhu?” tanya Ouwyang Seng.

Si Setan Botak mengangguk.
“Kau ajak Han Han mencari di pantai, sebanyak mungkin. Kau sudah tahu macamnya, seperti yang pernah kuperlihatkan dulu, Kongcu. Batu-batu itu penting sekali untuk latihanmu. Nah, aku mau mengaso bersama Si Manis ini!”

Ouwyang Seng melihat betapa gurunya membungkuk dan mencium leher Bhok Khim yang menggeliat dan meronta lemah, tertawa bergelak, kemudian menangkap tangan Han Han dan ditarik sambil membentak.

“Bujang malas, hayo bantu aku mencari batu bintang!”

Akan tetapi sekali merenggutkan tangannya, Han Han melepaskan diri. Matanya terbelalak marah memandang ke arah Gak Liat Si Setan Botak yang sudah duduk di atas batu-batu kecil yang halus sambil memangku tubuh Bhok Khim dan mempermainkan rambut gadis itu yang hitam panjang.

Han Han dapat menduga apa yang akan dilakukan oleh kakek botak itu terhadap Bhok Khim dan terbayanglah semua peristiwa jahanam yang menimpa diri kakak perempuannya dan ibunya. Melihat Bhok Khim ia merasa seperti melihat cicinya sendiri yang telah lenyap, sungguhpun pandang mata Bhok Khim padanya bukanlah seperti pandang mata cicinya yang penuh kasih sayang. Dengan langkah lebar ia menghampiri Gak Liat dan setelah tiba di depannya, Han Han menudingkan telunjuknya dan berkata, suaranya nyaring.

“Locianpwe adalah seorang yang sakti, dapat mengalahkan pengeroyokan puluhan orang. Akan tetapi mengapa kini melakukan perbuatan yang amat hina dan rendah?”

“Han Han, tutup mulutmu yang busuk!”

Ouwyang Seng membentak marah, akan tetapi Si Setan Botak tertawa dan memberi isyarat dengan tangannya kepada muridnya untuk mundur. Kemudian ia memandang wajah Han Han. Sejenak pandang mata mereka bertemu dan kakek botak itu berseru perlahan.

“Demi iblis....! Matamu mata iblis....! Eh, bocah, perbuatan hina dan rendah apa yang telah kulakukan?”

Han Han menuding ke arah Bhok Khim yang menggeliat-geliat di pangkuan kakek botak itu.

“Lepaskan cici itu dan aku baru dapat menganggap locianpwe seorang gagah dan sakti yang tidak melakukan perbuatan hina!”

Si Setan Botak memandang terbelalak, lalu menunduk dan memandang wajah Bhok Khim yang cantik manis, kemudian tertawa terbahak-bahak.

“Ini kau anggap perbuatan hina dan rendah? Ha-ha-ha-ha!”

Dengan sengaja kakek ini lalu mengelus-elus pipi Bhok Khim yang halus, kemudian jari-jari tangannya menjalar ke bawah, meraba-raba leher dan dada. Gadis itu menggeliat dan meronta lemah, akan tetapi karena ia berada dalam keadaan tertotok, ia tidak dapat melepaskan diri, kemudian meramkan mata dan merintih perlahan.

Kemarahan Han Han memuncak. Dengan mata berapi ia memandang kakek botak itu dan membentak,

“Locianpwe! Kau tidak akan menghina wanita!”

Kakek itu mengangkat mukanya memandang sambil tertawa, akan tetapi begitu pandang matanya bertemu dengan sinar mata Han Han, seketika tawanya terhenti, ia terbelalak, mulutnya ternganga dan terdengarlah ia berkata perlahan,

“Aku.... aku....”

Tentu saja Ouwyang Seng menjadi bengong menyaksikan keadaan suhunya ini, maka ia berseru keras dan heran,

“Suhu....! Apa artinya ini....?”

Sesungguhnya, pandang mata dan suara Han Han yang sedang marah itu mengandung tenaga mujijat yang tidak sewajarnya. Demikian kuat dan mujijat tenaga sakti ini sehingga seorang seperti Kang-thouw-kwi Gak Liat sendiri, seorang diantara Lima Datuk Besar, sampai terpengaruh!

Sayangnya, Han Han sendiri tidak sadar dan tidak tahu akan kekuatan dahsyat yang tersembunyi dalam pandang mata dan kekuatan pikirannya sehingga tentu saja ia tidak dapat memanfaatkannya. Selain itu, Kang-thouw-kwi Gak Liat adalah seorang kakek yang sudah mencapai tingkat tinggi sekali dalam ilmu-ilmunya, maka ia cepat tersadar begitu mendengar seruan muridnya. Ia sadar dengan kaget sekali dan melempar tubuh Bhok Khim ke samping.

Gadis itu terguling dan rebah miring, tanpa dapat bangun. Di lain saat Gak Liat telah menyambar lengan Han Han dan ditariknya anak itu duduk di atas batu-batu kali, di depannya. Sejenak kakek itu memandang dengan penuh perhatian sepasang mata Han Han yang masih bersinar-sinar sungguhpun kini kemarahan anak itu mereda karena melihat Bhok Khim sudah dilepaskan.

“Eh, Han Han, coba katakan, siapakah nama Ayahmu?”

Kalau Han Han ditanya riwayatnya, tentu ia tidak akan sudi menceritakannya, karena hal itu akan mengharuskan ia bercerita tentang malapetaka ngeri yang menimpa ayah bundanya. Akan tetapi kalau hanya ditanya nama ayahnya saja, ia tidak keberatan untuk menjawab, apalagi ia memang hendak menyenangkan hati kakek ini agar selanjutnya tidak akan mengganggu Bhok Khim.

“Ayahku bernama Sie Bun An.”

“Ayahmu ahli silat tinggi dan tokoh kang-ouw?”

“Ah, tidak sama sekali, locianpwe. Ayah seorang sastrawan, dan semenjak kecil Ayah melarang aku belajar silat, hanya memberi pelajaran tulis dan baca.”

Ia berterus terang dengan suara keras. Kalau dahulu di depan Lauw-pangcu ia tidak mengaku pandai membaca, kini di depan Si Setan Botak ia malah sengaja mengatakan ayahnya sastrawan. Hal ini pun ada sebabnya, yaitu karena di situ hadir Ouwyang Seng. Han Han yang sering kali mengalami penghinaan dari Ouwyang Seng putera pangeran, kini mendapat kesempatan untuk menyatakan bahwa dia adalah putera sastrawan dan pandai membaca kitab, dan dalam hal ini ia tidak mau kalah oleh Ouwyang Seng!

Mendengar ini, kakek botak itu tampak kecewa dan pandang matanya penuh selidik terheran-heran.

“Matamu itu.... hemmm.... Han Han, kau katakan, siapa nama Kong-kongmu (Kakekmu)? Barangkali aku mengenalnya.”

“Aku tidak pernah melihat Kong-kong,” jawab Han Han sejujurnya. “Dan Ayahku tidak banyak bercerita tentang Kong-kong. Hanya mengatakan bahwa Kong-kong adalah seorang perantau dan namanya Sie Hoat....”

Kakek botak itu meloncat bangun dan tertawa terbahak-bahak.
“Sie Hoat....? Sie Hoat Si Dewa Pencabut Bunga? Ha-ha-ha-ha-ha, engkau cucu Jai-hwa-sian (Dewa Pencabut Bunga)? Pantas.... pantas....”

Han Han bengong, mengira bahwa Si Botak ini selain lihai juga miring otaknya! Ayahnya adalah seorang sastrawan yang kaya raya, biarpun ayahnya belum pernah bercerita tentang kakeknya, namun ia dapat menduga bahwa kakeknya pun tentu seorang sastrawan. Mengapa kakek botak ini menyebutnya Jai-hwa-sian (Dewa Pencabut Bunga)? Dengan pandang mata penasaran Han Han menatap wajah kakek botak itu dan bertanya.

“Kenapa locianpwe tertawa? Apakah locianpwe mengenal Kakekku?”

“Ha-ha-ha! Mengenal Jai-hwa-sian Sie Hoat? Ha-ha, dia sainganku terbesar dahulu! Dia masih hutang beberapa pukulan dariku. Dan kau.... ha-ha-ha, engkau cucunya mencela aku karena aku membelai seorang gadis cantik? Sungguh lucu, dan ingin aku melihat muka Sie Hoat kalau mendengar dan melihat ini semua ha-ha-ha-ha!”

“Locianpwe, apa yang locianpwe maksudkan....?” Han Han bertanya dengan suara keras, hatinya penuh rasa penasaran.

Akan tetapi Kang-thouw-kwi Gak Liat hanya tertawa bergelak, lalu seperti orang gila ia memandang ke atas, ke arah awan yang berarak di langit.

“Dan kini cucumu menjadi pelayanku, Sie Hoat! Kalau engkau masih hidup, hayo datanglah dan jemputlah cucumu, ha-ha-ha!”

Kemudian matanya memandang ke arah tubuh Bhok Khim yang masih rebah miring di atas tanah dan dengan langkah lebar menghampiri, lalu menyambar tubuh itu yang diangkatnya.

“Locianpwe tidak boleh....!”

Akan tetapi ucapan Han Han ini terhenti karena lengannya telah ditangkap oleh Ouwyang Seng dan tubuhnya diseret pergi dari tempat itu.

“Engkau bocah tak tahu diri, berani sekali mengganggu suhu! Apakah engkau sudah bosan hidup? Anak kecil mencampuri urusan orang tua, sungguh lancang. Lebih baik kau bantu aku mencari batu-batu bintang. Kau pemberani, aku suka kepada anak pemberani dan aku tidak senang melihat kau dibunuh suhu kalau dia sudah marah. Kalau kau baik kepadanya, siapa tahu engkau akan diambil murid seperti aku!”

Han Han yang terus diajak pergi sampai di tepi sungai yang banyak batu-batu karangnya, mengerti juga betapa tak mungkin ia dapat mencegah perbuatan kakek botak yang demikian sakti itu. Sedangkan dalam pegangan Ouwyang Seng saja ia sudah tidak mampu berkutik. Ia tertarik mendengar tentang bintang dan tentang kemungkinan ia diambil murid.

“Untuk apakah batu bintang? Dan batu bintang macam apa yang dimaksud?”

Tanyanya sambil memperhatikan ketika Ouwyang Seng mulai memilih-milih batu di antara batu karang yang banyak terdapat di situ.

“Kau lihat baik-baik batu ini dan bantu mencari sebanyaknya, nanti kuceritakan,” jawab Ouwyang Seng.

Han Han melihat batu yang dipilih bocah itu dan melihat bahwa batu itu kecil-kecil, paling besar sebesar tangannya dan bentuknya seperti pecahan batu karang, runcing-runcing dan tajam, akan tetapi warnanya kemerahan. Ia lalu membantu dan mencari batu-batu seperti itu yang tidak banyak terdapat di situ, harus dicari dan dipilih dengan teliti baru dapat menemukan beberapa potong. Sambil mencari Ouwyang Seng lalu memberi keterangan.

Seperti yang pernah didengar bocah ini dari gurunya, ratusan tahun yang lalu banyak orang menyaksikan benda besar seperti bola api melayang turun di daerah lembah Sungai Huang-ho ini. Benda itu menurut dugaan banyak orang pandai adalah sepotong batu besar pecahan dari bintang, karena itu, melihat bahwa di daerah itu kemudian tampak banyak sekali pecahan-pecahan batu berwarna kemerahan, batu-batu ini disebut batu bintang.

Akan tetapi ketika orang berusaha mempergunakannya, batu-batu yang kecil ini tidak ada gunanya, bahkan untuk bahan bangunan pun tidak sebaik batu kali biasa, maka sampai ratusan tahun kemudian batu-batu ini tidak diperhatikan orang.

“Akan tetapi suhu yang sakti luar biasa melihat sifat yang mujijat dari batu-batu ini,” demikian Ouwyang Seng melanjutkan ceritanya. “Sifat yang cocok sekali untuk memperhebat ilmu kepandaian suhu yang berdasarkan pada tenaga Yang-kang.”

Sambil memandangi batu-batu kemerahan itu penuh perhatian dengan hati tertarik sekali, Han Han lalu bertanya.

“Sifat mujijat apakah? Dan apa itu Yang-kang?”

“Ah, dasar kau hijau bodoh tidak tahu apa-apa!” Ouwyang Seng mengomel. “Masa tidak tahu Yang-kang? Ketahuilah, guruku adalah seorang di antara Lima Datuk Besar, dan ilmu kesaktiannya menjulang setinggi bintang di langit. Di dunia ini tidak ada seorang pun manusia sanggup menandingi ilmunya yang disebut Hwi-yang-sin-ciang (Tangan Sakti Inti Api). Dengan hawa dari tangannya, guruku dapat membuat kayu terbakar. Nah, batu-batu bintang ini mengandung tenaga mujijat dari Yang-kang, dan menurut suhu, ada inti panasnya matahari tersembunyi di dalamnya. Agaknya bintang yang pecah ini tadinya berada di dekat matahari, aku tidak tahu jelas. Batu-batu ini dipergunakan oleh suhu untuk melatih kedua lengan.”

“Bagaimana caranya?”

“Kau akan melihat sendiri! Tahukah engkau bahwa kedua lenganku ini dapat bertahan direndam air yang mendidih?”

“Ah, masa....?” Tentu saja Han Han tidak percaya.

Ouwyang Seng tersenyum bangga dan menyingsingkan kedua lengan bajunya sehingga tampak kedua lengannya yang berkulit putih dan halus.

“Kedua lenganku ini kelak kalau sudah jadi benar seperti kedua lengan suhu, akan membuat aku dapat menjagoi seluruh jagat! Kalau sudah selesai latihanku, sekali sampok saja aku dapat membuat hangus tubuh lawan yang bagaimana kuat sekalipun!”

Han Han memandang dengan melongo, setengah tidak percaya, akan tetapi juga ngeri dan kagum. Benarkah di dunia ada ilmu seperti itu? Ia akan melihat dan membuktikan sendiri. Berkali-kali ia dihina orang karena ia tidak bisa silat dan tidak memiliki kekuatan yang mujijat. Kalau dia sampai dapat menjadi seorang pandai, bukankah dengan mudah ia dapat menentang semua orang yang jahat-jahat itu? Memang ia dapat membayangkan betapa senangnya memiliki sepasang lengan tangan yang lihai seperti itu, dapat mengeluarkan hawa panas seperti api!

“Benarkah semua yang kau katakan itu, Ouwyang Seng?”

Tiba-tiba bocah itu melotot dan membentak marah,
“Han Han! Dimana kesopananmu? Katamu sendiri kau keturunan sastrawan, mengapa tidak tahu sopan santun? Kau sekarang menjadi pelayan suhuku, berarti kau pelayanku juga. Dan ketahuilah bahwa Ayahku adalah Pangeran Ouwyang Cin Kok yang berpengaruh besar sekali di kota raja. Sudah seharusnya kalau kau juga menghormat padaku kalau kau tahu akan sopan santun!”

Wajah Han Han menjadi merah. Tentu saja ia tahu akan semua peraturan ini, peraturan “sopan santun” yang diciptakan oleh kerajaan, yang mengharuskan si kecil mencium ujung sepatu si bangsawan, si miskin menyembah-nyembah si kaya! Ia mengerti bahwa dia memang bersalah, maka ia menghela napas dan mengulangi pertanyaannya.

“Maaf, benarkah semua yang kau ceritakan tadi, Ouwyang-kongcu?”

Berseri wajah Ouwyang Seng.
“Bagus! Memang benar dugaanku, kau bukan sembarangan pengemis dan kini aku percaya bahwa engkau tentu keturunan seorang terpelajar. Guruku sendiri menyebutku Kongcu, tentu saja engkau pun harus menghormatku. Tentu benar apa yang kuceritakan tadi dan engkau ini memang bernasib baik sekali, Han Han. Menjadi pelayan guruku berarti menemukan harta yang tak ternilai harganya, karena sedikit banyak engkau tentu akan dapat memetik ilmunya. Akan tetapi sudah tentu saja jangan harap mendapatkan sebanyak aku, karena aku muridnya. Mengerti? Hayo cepat kumpulkan batu bintang yang banyak.”

Han Han mengangguk dan mereka berdua asyik mencari-cari batu bintang sampai terkumpul cukup banyak. Ouwyang Seng membungkus batu-batu itu dengan kantung kain yang memang sudah dibawanya, lalu menyuruh Han Han memanggulnya.

Mereka berdua lalu kembali ketempat dimana tadi mereka meninggalkan Kang-thouw-kwi Gak Liat. Ketika kedua orang anak itu tiba di situ, Han Han melihat bahwa kakek botak itu duduk di atas batu dengan mata dipejamkan dan mulut menyeringai, sedangkan tak jauh dari situ ia melihat Bhok Khim sedang melangkah pergi. Wajah wanita itu pucat dan ia melangkah pergi sambil terisak menangis.

“Ho-ho, Manis, kenapa menangis? Laporkan saja kepada Ceng San Hwesio bahwa akulah yang mengganggumu, dan dia tentu tidak akan bisa berbuat sesuatu ho-ho-ha-ha!”

Wanita muda itu tiba-tiba membalikkan tubuhnya dan Han Han melihat betapa mata yang merah itu memandang penuh kebencian, wajah yang pucat itu basah air mata dan ia bergidik. Belum pernah selama hidupnya ia menyaksikan wajah yang membayangkan kemarahan, kebencian dan dendam sehebat itu! Bhok Khim lalu membalikkan tubuhnya lagi dan berlari, meninggalkan isak tangis yang bercampur dengan suara ketawa bergelak Si Kakek Botak.

“Sudah mendapatkan banyak batu bintang? Bagus, mari kita melanjutkan perjalanan pulang agar dapat cepat-cepat engkau berlatih, Kongcu.”

Tubuh kakek botak yang tadinya duduk, tiba-tiba melambung ke atas dan pandang mata Han Han sampai menjadi berkunang ketika ia berusaha mengikuti gerakan kakek itu. Tahu-tahu Si Kakek Botak sudah duduk di atas punggung kudanya! Ouwyang Seng agaknya tidak heran menyaksikan demonstrasi kepandaian yang bagi Han Han seperti orang bermain sulap ini, bahkan lalu menepuk pundaknya.

“Hayo kita berangkat, Han Han. Hari sudah hampir gelap!”

Kembali mereka melakukan perjalanan tanpa banyak cakap. Kuda yang ditunggangi oleh kakek botak yang duduk melenggut seperti orang mengantuk itu berjalan di depan, diikuti oleh Han Han yang memanggul kantung berisi batu-batu bintang, dan paling belakang adalah Ouwyang Seng yang berjalan sambil kadang-kadang mendorong pundak Han Han disuruh cepat agar jangan tertinggal langkah kuda.

Menjelang malam, tibalah mereka di tempat yang dijadikan tempat tinggal Kang-thouw-kwi Gak Liat. Han Han tertegun dan memandang kagum. Rumah itu adalah sebuah gedung yang indah sekali, yang letaknya berada di sebelah timur kota Tiong-kwan, di dekat Sungai Suang-ho dan mempunyai tanah yang luas, yang dipagari dengan pagar tembok tinggi. Inilah bukan sembarang rumah, pikirnya. Seperti istana saja!

“Rumah siapa ini....?”

Tanyanya ketika mereka memasuki rumah itu setelah dua orang pelayan menyambut kuda tunggangan Si Kakek Botak dan Ouwyang Seng mengajak Han Han untuk terus menuju ke belakang melalui pintu samping, berbeda dengan kakek botak yang langsung memasuki gedung dari pintu tengah.

“Heh-heh, rumah siapa lagi? Ini rumahku!”

“Rumahmu....?” Han Han makin kagum.

“Bodoh, bukankah sudah kukatakan bahwa Ayahku adalah Pangeran Ouwyang Cin Kok? Apa artinya rumah ini bagi Ayah? Ini hanyalah sebuah rumah pesanggrahan yang biasanya ditinggali keluargaku di waktu musim panas. Kini dipergunakan oleh suhu untuk mengajar ilmu silat kepadaku. Hayolah! Kau makan dulu, kemudian tidur. Besok kita bekerja!”

Ouwyang Seng lalu memanggil pelayan, menyuruh pelayan memberi makan kepada Han Han dan memberi sebuah kamar untuk tidur. Kemudian kongcu itu pun melenyapkan diri ke dalam rumah gedung dan malampun tiba.

Pada keesokan harinya, Han Han terbangun pagi-pagi sekali. Keadaan di dalam gedung masih sunyi, tanda bahwa semua penghuninya masih tidur. Ia berindap-indap keluar dari kamarnya, yaitu sebuah kamar kecil di antara kamar-kamar untuk bujang di bagian belakang gedung, dan dengan hati-hati Han Han mencari jalan untuk lari minggat dari situ.

Betapapun tertarik hatinya untuk menyaksikan Ouwyang Seng berlatih dan kalau mungkin dia sendiri menerima pelajaran dari Setan Botak itu, namun ia masih memilih bebas daripada tekanan mereka dan dipaksa menjadi pelayan.

Karena kedua kaki Han Han telanjang, ia dapat melangkah secara hati-hati sekali tanpa mengeluarkan suara dan berhasil melewati kamar-kamar bujang tanpa membangunkan mereka.

Akan tetapi alangkah kecewa hatinya ketika ia mendapat kenyataan bahwa rumah gedung itu terkurung tembok tinggi sekali dan tidak ada jalan keluar sama sekali kecuali memanjat pintu gerbang atau tembok! Akan tetapi pintu gerbang pun terlalu tinggi untuknya. Selagi ia termangu bingung, terdengar suara tertawa.

“Ho-ho-ha-ha, kau hendak lari kemana?”

Han Han terkejut dan cepat menengok, akan tetapi keadaan di sekelilingnya tetap sunyi dan gelap. Tidak tampak bayangan seorang manusia pun, juga tidak tampak dimana adanya Setan Botak tua yang tadi ia dengar suaranya. Ia bergidik. Hebat bukan ilmu kesaktian kakek itu.

Mungkinkah dapat melihatnya dari dalam gedung dan dapat mengirim suaranya seperti itu? Karena maklum bahwa usahanya untuk lari sia-sia belaka dan tak mungkin dapat ia lakukan, Han Han lalu kembali ke dalam kamarnya dan ia duduk bersila dan bersamadhi seperti yang pernah dilatihnya di bawah bimbingan Lauw-pangcu.

Setelah Ouwyang Seng bangun, Han Han diajak pergi ke tempat latihan. Tempat ini dahulunya dijadikan sebuah gudang besar, akan tetapi sejak Gak Liat tinggal di situ, oleh kakek ini dijadikan semacam lian-bu-thia (ruangan bermain silat) lengkap dengan dapurnya dimana ia melatih diri dan muridnya untuk memperkuat Yang-kang dengan bantuan batu-batu bintang.

Masih ada lagi sebuah tempat yang letaknya di belakang gedung dan tempat ini penuh rahasia. Kalau para pelayan di gedung itu masih diperbolehkan memasuki lian-bu-thia, maka tidak seorang pun kecuali kakek botak itu sendiri yang boleh memasuki tempat terlarang di belakang gedung ini.

Tempat itu dahulunya menjadi kebun dari gedung itu, akan tetapi kabarnya sebelum Pangeran Ouwyang membangun gedung di situ, kebun itu dahulunya sebuah tanah kuburan kuno. Di tempat inilah Gak Liat secara rahasia menggembleng diri memperdalam kesaktian karena sebagai seorang di antara Lima Datuk Besar ia harus selalu memperdalam ilmu agar jangan sampai kalah oleh datuk lain.

Han Han mendengar semua ini dari Ouwyang Seng.
“Engkau harus taat akan perintah suhu kalau kau ingin hidup,” antara lain putera pangeran itu berkata. “Kalau suhu sudah marah dan menghendaki nyawamu, biar ada seribu orang dewa sekalipun tidak akan dapat menolongmu. Kau ingat baik-baik, sekali-kali jangan memasuki daerah terlarang di belakang gedung ini karena siapa saja, termasuk aku sendiri, kalau berani melanggar larangan ini, akan mati!”

Diam-diam Han Han tidak puas hatinya. Terlalu sekali Setan Botak itu, demikian pikirnya. Karena ketidak senangan hatinya ia memberi nama Setan Botak kepada kakek itu. Mudah saja memutuskan mati hidupnya orang lain!

Akan tetapi ia tidak mau banyak cakap. Ia maklum bahwa keadaannya seperti seorang tahanan, tidak dapat lari dan terpaksa ia harus bekerja di situ. Ia tidak bodoh, tidak mau nekat memperlihatkan ketidak senangannya karena berada dalam keadaan tidak berdaya. Aku harus dapat memetik keuntungan sebanyaknya dalam keadaan seperti ini, pikirnya.

Maka ia lalu membantu pekerjaan di dalam lian-bu-thia seperti yang diperintahkan Ouwyang Seng. Ia harus mengisi air yang diambilnya dari sumur, memenuhi sebuah kwali baja yang amat besar dan yang ditaruh di atas perapian. Juga ia harus memukuli batu-batu bintang sampai menjadi kecil-kecil, mempergunakan sebuah palu besi. Pekerjaan ini sukar dan meletihkan karena batu-batu bintang itu cukup keras. Tiap kali beradu dengan palu besi, mengeluarkan titik-titik api dan kalau mengenai kulit lengan, terasa panas sekali!





Tidak ada komentar:

Posting Komentar