FB

FB


Ads

Jumat, 14 November 2014

Pendekar Super Sakti Jilid 008

Setelah merobohkan Han Han, Sin Lian lalu menerjang Ouwyang Seng yang menyambutnya sambil tertawa-tawa mengejek. Bertandinglah dua orang anak itu dengan seru.

Akan tetapi, ternyata Ouwyang Seng jauh lebih pandai dan Sin Lian segera terdesak. Hanya karena keberaniannya yang luar biasa ditambah kemarahannya saja yang membuat anak perempuan itu bergerak dengan ganas dan dahsyat sehingga untuk sementara dapat membuat Ouwyang Seng repot juga.

Han Han lebih tertarik menonton ke arah Si Setan Botak yang diserbu oleh Lauw-pangcu dan anak buahnya, karena ia menduga bahwa tentu akan terjadi pertandingan hebat sekali. Jauh lebih hebat daripada perkelahian antara dua orang anak itu yang tidak menarik hatinya.

Apalagi karena Sin Lian telah menendangnya, ia menjadi marah dan tidak sudi membantu anak perempuan itu menghadapi Ouwyang Seng. Dianggapnya bahwa dua orang anak itu sama saja jahatnya sehingga siapa pun juga yang kalah diantara mereka, ia tidak peduli. Dengan pikiran ini, Han Han lalu bangkit, dadanya masih sesak akan tetapi ia memaksa diri berjalan lalu memanjat pohon agar dapat menonton lebih jelas lagi.

Apa yang dilihat Han Han membuat ia begitu kaget dan ngeri sehingga hampir saja ia terjungkal dari atas pohon kalau ia tidak cepat-cepat memeluk cabang pohon. Mula-mula yang maju adalah tujuh Orang pengemis Pek-lian Kai-pang yang mengurung kakek botak itu sambil menerjang dengan tongkat mereka.

Akan tetapi Si Setan Botak hanya berdiri tegak. Sambil tersenyum ia menangkap tongkat pertama, mencengkeram ujung tongkat menjadi berkeping-keping dan sekali tangannya bergerak memutar, kepingan kayu itu menyambar sekelilingnya dan.... tujuh orang pengemis Pek-lian Kai-pang itu roboh dan berkelojotan terus mati!

Itulah semacam kejadian yang seperti main sulap saja, sukar untuk dipercaya. Akan tetapi bagi para ahli silat di situ merupakan kepandaian yang amat hebat. Kepingan-kepingan ujung tongkat kayu itu hanya benda kecil yang ringan dan tidak terlalu keras, namun di tangan kakek botak ini, dapat menjadi senjata rahasia yang tepat sekali menancap dan memasuki dahi tujuh orang lawan sehingga menembus otak dan membuat mereka roboh binasa seketika! Kepandaian yang hebat dan juga kekejaman yang amat menyeramkan.

“Heh-heh-heh....!”

Si Setan Botak terkekeh, kelihatannya girang sekali dan matanya memandang para anggauta Pek-lian Kai-pang yang menjadi marah dan mengepungnya ketat itu seperti mata seorang guru memandang murid-murid kecil yang nakal!

Kembali belasan orang pengemis maju menerjang dengan tongkat, kini secara berbareng sambil berteriak keras. Harus diketahui bahwa para anggauta Pek-lian Kai-pang rata-rata memiliki ilmu silat tinggi sehingga serangan mereka ini bukanlah serangan ngawur, melainkan dengan jurus-jurus Pek-lian-kun-hoat yang ampuh.

Namun, kakek botak itu sama sekali tidak mengelak. Belasan batang tongkat itu dengan tepat mengenai sasaran, ada yang mengemplang kepala botaknya, ada yang menghantam leher, menusuk dada, menotok lambung. Pendeknya, seluruh bagian tubuhnya yang berbahaya pada saat yang hampir sama secara bertubi-tubi menerima hantaman atau tusukan ujung tongkat.

Riuh-rendah teriakan para pengemis, dan ramai pula suara bak-bik-buk tongkat-tongkat itu mengenai tubuh Si Kakek Botak. Namun sama sekali kakek itu tidak bergeming, senyumnya masih melebar dan tiba-tiba tangan kirinya menyambar kaki seorang pengemis dan mulailah ia mengamuk.

Tubuh pengemis yang menjadi senjata di tangannya itu diputar sedemikian rupa dan terdengarlah suara “prak-prak-prak!” berulang kali ketika kepala orang itu bertemu dengan kepala-kepala para lawannya. Para pengeroyok itu roboh malang-melintang dengan kepala pecah, sedikitnya ada sepuluh orang jumlahnya. Mereka itu binasa karena sedikitnya kepala mereka retak-retak bertemu dengan kepala orang yang dijadikan senjata. Adapun kepala orang itu sendiri setelah dilempar ke samping, telah hancur dan tidak menyerupai kepala!

Lauw-pangcu marah bukan main sampai hampir pingsan. Melihat betapa anak buahnya tewas, dalam keadaan mengerikan seperti itu, ia bukannya menjadi takut, sebaliknya ia malah menjadi nekat untuk mengadu nyawa. Sambil berseru nyaring, Lauw-pangcu menyerbu ke depan, diikuti oleh teman-temannya yang masih ada kurang lebih tiga puluh orang.

“Heh-heh-heh, bagus! Biar kubasmi habis kalian hari ini!” kata Si Setan Botak dan tiba-tiba tubuhnya berputar satu kali, kedua lengannya didorongkan ke depan.

Han Han yang melihat kakek itu, terbelalak heran karena melihat betapa telapak kedua tangan kakek itu kemerahan dan mengepulkan asap, seolah-olah tangan itu telah menjadi besi panas! Dan akibatnya hebat sekali. Dua puluh orang lebih menjerit ngeri den roboh bergelimpangan, tak dapat bangun kembali!

Hanya Lauw-pangcu, dan dua orang pembantunya yang paling tinggi ilmunya, terhuyung ke belakang akan tetapi tidak roboh. Muka mereka pucat dan napas mereka terengah-engah, mata mereka terbelalak memandang teman-teman yang roboh. Hampir lima puluh orang anggauta Pek-lian Kai-pang dalam sekejap mata saja, dalam tiga gebrakan, telah tewas menjadi korban Si Setan Botak yang ternyata lihai bukan main itu!

Han Han kini menjadi ngeri, akan tetapi di dalam hatinya juga timbul rasa kagum terhadap Si Setan Botak. Bagaimana ada orang sampai bisa begitu sakti? Dan ia mulai khawatir melihat gurunya. Ketika ia mengerling ke arah Sin Lian, ternyata gadis cilik ini pun sudah terdesak hebat, bahkan beberapa kali telah kena ditampar oleh Ouwyang Seng.






Ia melihat betapa Sin Lian menjadi nekat, menerjang maju tanpa perhitungan lagi dan sebuah sabetan kaki Ouwyang Seng membuat gadis itu terguling roboh. Ouwyang Seng menubruknya dan menangkap kedua lengannya terus dipuntir ke belakang, ditelikung sehingga Sin Lian tidak mampu bergerak lagi!

“Kau bocah galak seperti kucing! Kucing tidak berpakaian! Maka akan kutelanjangi kau, biar kapok dan hendak kulihat apakah kau masih berani banyak lagak!” kata Ouwyang Seng tertawa-tawa dan tangannya mulai merenggut pakaian gadis cilik itu.

Wajah Han Han menjadi merah. Teringat ia akan peristiwa di dalam rumahnya, teringat akan keadaan kakak perempuannya dan keadaan ibunya, dan dengan hati panas ia memaki.

“Ouwyang Seng, kau bangsat kecil tak tahu malu! Apa yang akan kau lakukan itu? Tidak tahu sopan, tidak bersusila kau!"

Ouwyang Seng hanya terkekeh dan tangannya sudah mencengkeram leher baju Sin Lian yang meronta-ronta tanpa hasil. Pada saat itu, tubuh Ouwyang Seng terlempar dan seorang wanita cantik sudah berdiri di situ, membangunkan Sin Lian dan berkata halus.

“Anak, kau minggirlah.”

Han Han terbelalak. Gerakan wanita itu amat cepat seperti seekor burung walet menyambar, tiba-tiba sudah di situ, melemparkan tubuh Ouwyang Seng. Dia itu seorang wanita yang usianya antara tiga puluh tahun, cantik dan gagah sekali, pakaiannya serba hitam sehingga membuat kulit leher dan tangannya tampak amat putih kemerahan. Rambutnya disanggul tinggi dan di punggungnya tergantung sebatang pedang dalam sarung pedang indah terukir. Dan kiranya yang datang secara cepat dan aneh bukan hanya wanita cantik itu, karena entah dari mana Han Han sendiri tidak tahu, di situ telah berdiri pula dua orang.

Yang seorang berusia kurang lebih empat puluh lima tahun, bertubuh pendek kecil dan tangannya memegang sebatang cambuk besi. Laki-laki ini biarpun pendek kecil, namun memiliki pandang mata yang keren berwibawa. Adapun laki-laki ke dua adalah seorang berusia empat puluh tahun, bertubuh tinggi besar berwajah gagah, di tangannya memegang sebatang toya kuningan yang kelihatannya berat sekali.

Laki-laki pendek yang memegang cambuk besi itu menjura ke arah Lauw-pangcu yang masih pucat dan berkata,

“Lauw-pangcu harap jangan khawatir, sekuat tenaga kami akan membantumu menghadapi iblis ini!”

Lauw-pangcu kelihatan lega ketika menyaksikan munculnya tiga orang ini, akan tetapi ia pun merasa tidak enak dan cepat berkata,

“Kang-lam Sam-eng harap tidak mencampuri urusan ini, biarlah kami semua mati sebagai orang gagah di tangan Kang-thouw-kwi Gak Liat!”

Mendengar disebutnya nama ini, tiga orang gagah yang disebut Kang-lam Sam-eng (Tiga Pendekar Kang-lam) ini menjadi terkejut sekali. Otomatis mereka itu saling mendekati dan siap dengan senjata masing-masing, bahkan wanita cantik itu pun telah mencabut pedangnya.

“Hemmm, sudah lama mendengar Kang-thouw-kwi Gak Liat sebagai seorang datuk persilatan tingkat tinggi, baru sekarang menyaksikan kekejamannya. Lauw-pangcu, kami akan siap membantu mati-matian!” kata pula laki-laki pendek penuh semangat.

Si Setan Botak memandang penuh perhatian lalu tertawa.
“Ha-ha-ha, kalian bocah-bocah kemarin sore! Aku pernah mendengar bahwa Kang-lam Sam-eng adalah jago-jago cilik murid-murid Siauw-lim-pai. Benarkah?”

“Kami memang anak murid Siauw-lim-pai. Dan sudah menjadi tugas setiap orang murid Siauw-lim-pai untuk membasmi orang jahat dan pengkhianat bangsa!” kata wanita cantik itu, suaranya nyaring dan merdu.

“Heh-heh, kau cantik dan bersemangat! Apakah kalian bertiga ini murid Ceng San Hwesio?” tanya pula Si Setan Botak memandang rendah.

“Ceng San Hwesio adalah Sukong (Kakek Guru) kami!” kini Si Tinggi Besar menjawab, suaranya sesuai dengan tubuhnya, menggeledek.

Tiga orang itu bukanlah orang-orang sembarangan, melainkan murid-murid Siauw-lim-pai yang terkenal gagah perkasa. Karena mereka tinggal di Kang-lam dan selalu melakukan perjuangan bersama, maka mereka terkenal sebagai Kang-lam Sam-eng atau Tiga Pendekar Kang-lam yang amat disegani kawan ditakuti lawan.

Yang tertua dan bertubuh pendek kecil itu adalah Khu Cen Tiam berjuluk Thi-pian-sian (Dewa Cambuk Besi). Orang ke dua yang tinggi besar bernama Liem Sian berjuluk Sin-pang (Si Toya Sakti) dan orang ke tiga, wanita cantik itu adalah seorang wanita yang masih gadis tidak mau menikah karena belum juga menjumpai pria yang mencocoki hatinya, bernama Bhok Khim dan berjuluk Bi-kiam (Si Pedang Cantik).

Sebagai murid-murid Siauw-lim-pai, tentu saja mereka berjiwa patriot dan selalu mendukung perjuangan kaum pemberontak yang menentang masuknya penjajah bangsa Mancu.

Akan tetapi ketika Kang-thouw-kwi Gak Liat mendengar jawaban Liem Sian, ia tertawa bergelak,

“Ha-ha-ha-ha! Kiranya hanya cucu si tua Ceng San Hwesio? Ahhh, bocah-bocah tak tahu diri. Lebih baik kalian lekas pergi karena aku tidak mau melihat Ceng San Hwesio kehilangan tiga orang cucunya. Kalau Ceng San Hwesio sendiri yang datang, barulah patut melayani aku beberapa jurus.”

Ucapan ini amat tekebur dan memang sesungguhnya bukan semata-mata karena sombong, akan tetapi karena memang tingkat kepandaian Si Setan Botak ini hanya akan dapat dilayani oleh ketua Siauw-lim-pai yang tua itu.

Bagi Kang-lam Sam-eng yang belum pernah mengenal kelihaian Si Setan Botak, ucapan itu dianggap sombong dan amat menghina, maka mereka lalu membentak nyaring dan maju menerjang, diikuti pula oleh Lauw-pangcu dan dua orang pembantunya sehingga kini Si Setan Botak dikeroyok oleh enam orang yang berkepandaian tinggi.

Han Han yang menonton dari atas pohon dan dapat melihat setiap pertempuran itu dengan jelas, merasa tak senang hatinya. Ia tidak tahu siapa salah siapa benar, siapa jahat siapa baik diantara kedua fihak itu, akan tetapi terhadap Si Setan Botak ia tidak senang karena menganggapnya amat kejam, membunuhi banyak orang seperti orang membunuh semut saja. Terhadap Lauw-pangcu dan Kang-lam Sam-eng, ia merasa tidak senang karena menganggap mereka ini curang, mengeroyok seorang lawan dengan begitu banyak kawan.

Sebagai murid-murid perguruan tinggi Siauw-lim-pai, tentu saja Kang-lam Sam-eng tidak bersikap seperti para anak buah Pek-lian-pai yang suka “main keroyok” secara kacau-balau. Pertempuran sekacau itu hanya dilakukan oleh orang-orang yang masih rendah tingkatnya.

Memang, mereka mengurung dan mengeroyok, namun mereka melakukan penyerangan secara teratur dan boleh dibilang satu demi satu, hanya saling susul dan berganti-ganti. Mula-mula terdengar bentakan nyaring dan tubuh Bhok Khim si wanita cantik sudah melayang ke atas, pedangnya berubah menjadi sinar terang ketika ia menyerang kakek botak itu. Sebuah serangan yang amat dahsyat, karena selain tubuh itu meluncur ke depan dengan cepat dan kuat, pedangnya digerak-gerakkan ujungnya, sukar diduga lawan bagian mana dari tubuhnya yang akan menjadi sasaran.

Namun kakek botak itu hanya tertawa dan masih tetap berdiri tegak seperti tadi, sama sekali tidak mengelak. Ketika sinar pedang sudah menyentuhnya, ia hanya menggerakkan kedua tangan ke atas.

“Krakkk! Brettttt....! Ha-ha-ha-ha!”

Tubuh Bhok Khim mencelat ke samping dan jatuh bergulingan, lalu gadis itu meloncat bangun, tangan kiri sibuk berusaha menutupkan baju bagian dadanya yang sudah robek lebar memperlihatkan sebagian buah dadanya, sedangkan pedangnya sudah pindah ke tangan kakek botak dalam keadaan patah menjadi dua!

Pucatlah wajah semua orang. Kakek itu tadi menerima sambaran pedang dengan tangan kosong! Menangkap pedang dan mematahkannya sambil tangannya yang satu lagi secara nakal merobek baju Bhok Khim. Sungguh merupakan perbuatan yang amat luar biasa.

“Iblis tua bangka!” Liem Sian menerjang dengan toya kuningannya.

Siauw-lim-pai amat terkenal dengan ilmu toyanya, terkenal kokoh kuat dan sukar dicari bandingnya. Dan kini Liem Sian membuktikan keunggulannya. Buktinya kakek botak itu tidak berani lagi berdiri diam, melainkan menggeser kakinya dan begitu ujung toya menyodok perutnya, ia memapaki ujung toya itu dengan tendangan kaki dari samping.

“Ayaaa....!”

Liem Sian terhuyung. Bukan main kuatnya tendangan itu, membuat ia hampir saja roboh dan toyanya hampir terlempar.

Saat itu dipergunakan oleh Khu Cen Tiam, orang tertua dari Kang-lam Sam-eng untuk menerjang dengan cambuk besinya.

“Tar-tar....!”

Cambuk besi ini meledak dan menyambar kepala kakek botak. Kang-thouw-kwi Gak Liat tertawa dan mengangkat pedang rampasan yang tinggal sepotong tadi, membabat ujung cambuk.

“Cringgg....!” Bunga api berpijar dan ujung cambuk itu patah!

Lauw-pangcu dan dua orang kawannya sudah maju pula menubruk dan mulailah Si Kakek Botak dikeroyok. Bahkan Bhok Khim yang sudah membetulkan bajunya yang robek kini telah menyambar sebatang pedang lain yang ia temukan di antara mayat-mayat anggauta Pek-lian Kai-pang, lalu maju mengeroyok.

Kakek botak itu gerakannya tidak cepat, bahkan kelihatan amat lambat. Namun setiap gerakan mengandung tenaga sakti yang dahsyat sehingga senjata lawan tidak ada yang dapat menyentuh kulitnya.

Sambil tertawa-tawa ia menghalau semua serangan dengan dorongan-dorongan hawa pukulan dahsyat ini, kemudian melanjutkan dengan pukulan. Setiap pukulan atau dorongan yang disertai pengerahan sin-kang yang aneh dari tangannya yang berubah merah dan mengeluarkan asap, tentu merobohkan lawannya!

Akibatnya, dalam waktu singkat saja, dua orang pembantu Lauw-pangcu roboh tewas, Lauw-pangcu sendiri roboh terluka. Khu Cen Tiam kehilangan cambuk dan lengannya patah tulangnya. Liem Sian patah-patah toyanya dan sambungan pundaknya patah pula, adapun Bhok Kim sudah tertotok dan kini pinggang gadis itu dikempit oleh Kang-thouw-kwi Gak Liat!

Kakek ini terbahak-bahak tertawa sedangkan muridnya, Ouwyang Seng, kini sudah datang mendekat sambil menuntun kuda, wajahnya berseri dan pandang matanya penuh kebanggaan. Sin Lian lari menubruk ayahnya yang terluka dadanya sambil memanggil nama ayahnya yang pingsan.

“Ayah...., Ayahhh....!”

Biarpun lengannya sudah patah tulangnya, Khu Cen Tiam masih berdiri gagah. Demikian pula Liem Sian yang terlepas sambungan pundak kirinya. Mereka berdiri dengan muka pucat dan memandang kakek botak penuh kemarahan dan kebencian.

“Locianpwe adalah seorang datuk terkemuka. Kami sudah kalah, hal ini sudah lazim dalam pertandingan, kalau tidak menang tentu kalah. Akan tetapi mengapa locianpwe menawan sumoi kami? Harap locianpwe membebaskannya,”

Kata Khu Cen Tiam yang menyebut locianpwe, karena memang dalam hatinya ia takluk dan kagum akan kehebatan ilmu kepandaian kakek yang merupakan seorang di antara Lima Datuk Hitam itu.

Lima Datuk Besar atau Lima Datuk Hitam sama saja karena Lima Datuk itu adalah lima orang berilmu tinggi yang merupakan orang-orang tingkat pertama di dunia persilatan, akan tetapi karena kelimanya merupakan tokoh-tokoh yang kejam, maka diam-diam orang menyebut mereka Lima Datuk Hitam!

“Heh-heh-heh, kalau tidak memandang muka Ceng San Hwesio, apakah kalian bertiga masih dapat bernapas saat ini? Sumoimu ini manis, biar dia menemaniku untuk beberapa hari, sebagai penebus nyawa kalian!”

Khu Cen Tiam dan Liem Sian membentak marah. Biarpun sudah terluka, kemarahan mereka membuat mereka menerjang maju, namun dengan hanya dorongan tangan kiri saja, keduanya sudah terbanting dan terjengkang ke belakang!

“Baik, kalau kamu iblis tua bangka memang ada keberanian, datanglah ke kota Tiong-kwan tiga hari lagi. Kami para anggauta Ho-han-hwe (Perkumpulan Para Patriot) menantangmu membuat perhitungan!”

“Sute....!”

Khu Cen Tiam menegur, akan tetapi ucapan sudah dikeluarkan dan kakek botak itu tertawa bergelak.

“Bagus.... bagus.... kiranya akan diadakan pertemuan di Tiong-kwan? Tentu saja aku datang, sekalian mengembalikan sumoimu yang kupinjam. Ha-ha-ha!”

Setelah berkata demikian, sekali tubuhnya melayang, kakek itu sambil mengempit tubuh Bhok Khim yang tak dapat bergerak itu sudah berada di atas kuda, kemudian menoleh kepada Ouwyang Seng dan berkata,

“Mari, Kongcu. Jangan lupa ajak pelayan itu!”

Dengan tangannya kakek itu mendorong ke arah pohon dan “kraaakkkkk!” batang pohon itu patah dan pohonnya tumbang, membawa tubuh Han Han runtuh ke bawah bersama-sama!

Han Han bergulingan, kulitnya lecet-lecet dan cambuk di tangan Ouwyang Seng sudah meledak di atas kepalanya.

“Hayo tuntun kuda suhu, kau pemalas!” bentak putera pangeran itu.

Han Han menoleh ke arah Sin Lian, melihat Sin Lian melotot kepadanya. Ia menghela napas, mengangkat pundak, lalu berjalan menghampiri kuda dan menuntun kendali kuda itu, berjalan di depan kuda.

Terdengar olehnya tangis Sin Lian, akan tetapi karena kuda itu jalannya cepat sehingga punggungnya beherapa kali terdorong moncong kuda, Han Han mempercepat langkahnya dan sebentar saja sudah keluar dari dalam hutan itu.

**** 008 ****





Tidak ada komentar:

Posting Komentar