FB

FB


Ads

Jumat, 09 Oktober 2015

Kisah Para Pendekar Pulau Es Jilid 060

Tentu saja Cin Liong menjadi bingung. Dia hanya dapat membuat gerakan lemah, akan tetapi tidak mampu menolak dalam keadaan terbelenggu kaki tangannya seperti itu. Dan ketika bibir yang lunak itu mencium bibirnya, bagaimana pun juga darah mudanya tersirap, jantungnya berdebar-debar dan seperti otomatis, bibirnya juga membalas, menyambut ciuman itu. Hal ini terasa oleh Liok Bwee yang mengeluarkan keluhan, mendekap lebih kuat dan mencium penuh nafsu sampai keduanya terengah-engah.

“Taihiap.... terimalah aku, aku mencintamu.... dengan seluruh jiwa ragaku.... aku akan menjadi seorang isteri yang mencinta, setia dan akan melakukan apa saja yang kau kehendaki....”

“Nona, tenanglah dan mari kita bicara baik-baik. Cinta adalah urusan hati, tidak mungkin orang dipaksa untuk mencinta atau membenci. Bebaskan dulu totokanku dan mari kita bicara dengan hati terbuka....”

Gadis itu menggeleng kepalanya.
“Tidak, taihiap. Aku hanya mempunyai dua pilihan. Kalau engkau berjanji mau menerima cintaku, berjanji akan mengambilku sebagai isterimu, baru aku akan membebaskan totokanmu, bahkan akan membebaskanmu dari sini, dari ancaman para suheng-ku dan para anak buah Eng-jiauw-pang.”

“Dan kalau aku menolak, engkau akan membunuhku?”

Kembali Liok Bwee menggeleng.
“Tidak, aku cinta padamu, aku tidak akan tega untuk membunuhmu. Kalau engkau menolak, aku akan menjagamu semalam ini, akan tetapi besok aku tak mungkin dapat mencegah kalau para suheng-ku datang membunuhmu.”

“Nona, tidak dapatkah engkau melihat betapa tak masuk akalnya maksudmu ini? Mana mungkin engkau memaksa seseorang untuk mencinta? Mana mungkin pertalian cinta dihubungkan dengan pemerasan seperti yang kau lakukan ini! Engkau seolah-olah hendak menukar nyawaku dengan janji cintaku. Apakah engkau tidak melihat bahwa kalau aku berjanji menerima cintamu karena aku takut dibunuh, maka janji dan cintaku itu adalah palsu, sekedar untuk alat menyelamatkan diri? Nona, janganlah engkau membiarkan dirimu ikut tersesat. Bebaskan totokanku dan mari kita bicara. Bagaimana pun juga, sudah jelas bahwa engkau adalah seorang yang baik, dan di antara kita terdapat pertalian persahabatan....”

“Aku membutuhkan cinta, bukan persahabatan.”

“Nona, cinta timbul kalau hati tertarik, terutama oleh budi bahasa dan kelakuan yang baik. Kalau hati ditekan, tak mungkin timbul cinta. Tidakkah kau dapat menyadari hal ini? Kalau kita bersahabat, mungkin dari situ dapat tumbuh perasaan cinta, bukan dari paksaan.”

Tiba-tiba gadis itu menangis dan merangkulnya kembali.
“Ah, taihiap, aku takut.... aku takut kalau aku membebaskanmu, kau lalu meninggalkan aku tanpa janji.... dan aku.... hidupku akan kehilangan pegangan lagi....”

“Akan tetapi kalau engkau mempergunakan kesempatan ini untuk memerasku, untuk memaksaku membalas cintamu, sikapmu ini saja sudah menjauhkan hatiku, nona. Apakah engkau tidak menyadari akan hal ini? Dan seorang gadis seperti engkau, betapa mudahnya mencari seorang suami yang akan sungguh-sungguh mencintamu, asal saja engkau tidak mengikuti jejak lingkunganmu yang sesat.”

“Kao-taihiap.... aku.... aku takut untuk menerima cinta pria lain. Aku belum pernah bertemu dengan pria sepertimu.... aku hanya menginginkan engkau seorang....” Gadis itu kembali menciuminya dengan penuh kemesraan dan rasa cinta yang bercampur dengan nafsu birahi.

“Braaakkk....!”

Tiba-tiba daun pintu ruangan itu pecah berantakan dan muncullah lima orang suheng gadis itu dengan muka merah saking marahnya. Kedua tangan mereka masing-masing telah memakai sarung tangan cakar garuda, menandakan bahwa mereka telah berada dalam keadaan siap tempur! Liok Bwee terkejut dan melepaskan rangkulannya dari tubuh Cin Liong, dengan marah menghadap lima orang suheng-nya itu.

“Kalian sungguh tidak tahu aturan, dan tidak pantas kuanggap sebagai saudara tua!” bentaknya.

Si kumis tebal menudingkan telunjuknya ke arah muka gadis itu.
“Dan engkau sungguh tidak tahu malu dan amat merendahkan dirimu seperti pengemis cinta, lebih rendah dari pada seorang pelacur! Mendiang suhu menunjuk seorang di antara kami sebagai calon suamimu dan engkau tinggal memilih seorang di antara kami. Akan tetapi engkau menolak kami semua dan kini mengemis cinta dari seorang musuh besar, pembunuh ayahmu sendiri!”

“Tutup mulutmu!” bentak Liok Bwee. “Apa pedulimu dengan urusan pribadiku? Aku tidak sudi menjadi isteri seorang di antara kalian dan kalian menjadi sakit hati. Cih, tak tahu malu. Aku memilih siapa pun untuk menjadi suamiku, apa hubungannya dengan kalian?”

Si kumis tebal menyeringai dan empat orang suheng-nya juga tersenyum mengejek. Memang mereka merasa sakit hati karena ditolak sumoi mereka itu.

“Sumoi, kami tidak peduli engkau mau memilih orang macam apa untuk menjadi suamimu. Engkau hendak memilih anjing Kao Cin Liong ini pun terserah, bukan urusan kami. Akan tetapi, si keparat Kao Cin Liong ini adalah pembunuh suhu dan kami sudah bersumpah untuk membalas dendam atas kematian suhu. Maka, sekarang juga dia harus mati di tangan kami. Engkau boleh menikah dengan bangkainya saja!”

Berkata demikian, si kumis menubruk ke arah Cin Liong yang belum mampu melawan itu, kedua tangan cakar baja itu terulur.

“Tahan!”

Liok Bwee berteriak sambil bergerak ke samping, kedua lengannya menangkis serangan maut dari twa-suheng-nya itu.

“Plak! Plak!”

Tubuh Liok Bwee terhuyung akan tetapi serangan si kumis tebal gagal. Marahlah murid pertama dari ketua Eng-jiauw-pang itu.

“Sumoi, engkau hendak membela musuh besar, melindungi pembunuh ayahmu sendiri?”






“Dia adalah tawananku, siapa pun tidak boleh mengganggunya!” bentak Liok Bwee dengan sikap garang dan ia sudah meloncat ke depan tempat tidur itu, melindungi Cin Liong.

Melihat ini, lima orang murid kepala Eng-jiauw-pang itu menjadi marah bukan main. Mereka melangkah maju dengan sinar mata penuh ancaman.

“Sumoi, menyingkirlah. Biarkan kami membalas dendam kepada musuh besar kita, dan selanjutnya kami tidak akan mencampuri urusanmu lagi,” kata pula seorang di antara mereka.

“Tidak!”

Si kumis tebal melangkah maju.
“Sumoi, sekali lagi kuperingatkan, jangan melindungi musuh. Menyingkirlah!”

“Tidak. Siapa pun tidak boleh mengganggunya selama aku masih hidup!”

“Sumoi, itu berarti pengkhianatan! Kami akan menganggap engkau berpihak kepada musuh dan terpaksa kami akan menggunakan kekerasan terhadapmu!”

“Terserah! Kalian orang-orang berwatak pengecut, beraninya hanya pada orang yang sudah tidak mampu melawan. Untuk dapat menjamahnya, kalian harus melangkahi mayatku!” gadis itu berkata dengan nekat.

“Engkau anak durhaka! Murid murtad!” Si kumis tebal berteriak marah dan dia pun sudah menyerang sumoi-nya sendiri dengan gerakan yang amat cepat dan kuat.

Liok Bwee mengelak dan balas menyerang. Walau pun ia puteri mendiang Eng-jiauw Siauw-ong, akan tetapi ia tidak pernah memakai sarung tangan cakar garuda. Sejak kecil ia merasa tidak senang dan jijik dengan senjata ini, maka oleh ayahnya yang lihai ia dilatih ilmu silat tangan kosong, terutama sekali ilmu menotok. Ilmu inilah yang kini ia pergunakan untuk melawan dua tangan baja twa-suheng-nya.

Totokan-totokan jari kedua tangannya menyambar dan menyambut serangan lawan dan karena ilmu menotok jalan darah ini memang diciptakan oleh Eng-jiauw Siauw-ong untuk mengganti ilmu cakar baja yang tidak disukai puterinya, maka tentu saja ilmu menotok ini tepat sekali untuk menghadapi cakar baja itu.

Terjadilah perkelahian yang amat seru, ramai dan mati-matian antara sumoi melawan twa-suheng-nya itu. Empat orang suheng-nya yang lain hanya berdiri menonton karena mereka merasa yakin sekali bahwa twa-suheng itu tentu akan dapat mengalahkan sang sumoi.

Dari tempat dia rebah, Cin Liong memperhatikan perkelahian itu dan dia pun dapat melihat bahwa kalau hanya satu lawan satu, ilmu silat tangan kosong yang disertai ilmu totokan lihai dari Liok Bwee itu akan mampu menandingi cakar baja dari si kumis tebal.

Akan tetapi di situ masih ada empat orang suheng gadis itu yang dia tahu setiap saat dapat turun tangan membantu si kumis. Maka dia amat mengkhawatirkan keselamatan gadis yang mempertahankan nyawanya dan membelanya mati-matian itu.

Cin Liong kembali mengerahkan tenaga sinkang-nya, namun tetap saja jalan darahnya belum pulih dan tenaga sinkang-nya tidak mau timbul, hanya dia mampu menggerakkan tubuhnya agak lebih kuat dari pada tadi. Betapa pun juga, dengan kekuatan otot biasa, tidak mungkin melepaskan diri dari belenggu kaki tangan itu dan ini berarti bahwa dia tidak akan mampu melindungi diri sendiri, apalagi membantu Liok Bwee.

“Nona, bebaskan totokanku!”

Tiba-tiba dia berseru karena kiranya hanya nona itu yang akan mampu membebaskannya. Sekali terbebas, tak sukar baginya untuk mematahkan belenggu dan menghajar lima orang tokoh Eng-jiauw-pang itu.

Liok Bwee yang sedang berkelahi mati-matian melawan twa-suheng-nya, mendengar teriakan ini dan teringatlah ia bahwa pria yang dicintanya itu terancam bahaya maut dan hanya akan selamat kalau totokan yang membuatnya tidak berdaya itu dibebaskan. Ia pun tahu akan kesaktian pemuda itu dan dapat menduga bahwa sekali totokannya dibebaskan, pemuda itu akan mampu melepaskan diri dari belenggu dan sekali terlepas, lima orang suheng-nya ini bukanlah lawannya.

Maka ia pun cepat mengelak dari sambaran cakar besi twa-suheng-nya yang agaknya sudah marah sekali kepadanya karena telah mengirim serangan maut yang bermaksud merobohkan dan menewaskan itu. Lalu, cepat sekali Liok Bwee meloncat ke samping, ke arah pembaringan di mana Cin Liong rebah dengan maksud untuk membebaskan totokannya atas diri pemuda itu.

Tapi, empat orang suheng-nya yang sudah tahu akan maksudnya, cepat menubruknya dari kanan kiri sebelum ia sempat mendekati Cin Liong. Delapan buah cakar baja menyerangnya dan tentu saja Liok Bwee tidak dapat melawan serangan empat orang ini sehingga kedua lengannya telah kena dicengkeram!

“Lepaskan aku! Keparat! Lepaskan aku!” teriaknya dan meronta sehingga kuku-kuku baja itu merobek baju dan kulit lengannya sehingga berdarah.

Akan tetapi empat orang itu tidak mau melepaskannya dan pada saat itu, si kumis tebal yang agaknya sudah marah dan benci sekali kepada sumoi yang bukan saja menolak cintanya akan tetapi kini malah mencinta dan melindungi musuh besar Eng-jiauw-pang, agaknya sudah tidak dapat menahan panasnya hati lagi. Pada saat itu dia menubruk sambil menggerakkan kedua cakar bajanya.

“Crott! Crottt!” Cakar baja yang runcing itu telah mencengkeram tengkuk dan punggung Liok Bwee.

“Aihhhhh....!” Liok Bwee menjerit saking nyerinya ketika kuku-kuku baja yang tajam itu menusuk kulit dagingnya.

Melihat ini, empat orang suheng-nya yang lain melepaskannya dan twa-suheng-nya, si kumis tebal itu, agaknya juga terkejut sendiri melihat betapa dia telah mencengkeram tubuh sumoi-nya yang tadinya pernah dicintanya! Maklum bahwa dia telah membunuh sumoi-nya, kemarahannya lalu ditumpahkan kepada Cin Liong. Dia mengangkat tubuh sumoi-nya yang telah tak berdaya itu ke atas kepalanya, dengan masih mencengkeram tengkuk dan punggung, lalu dilontarkannya tubuh sumoi-nya itu dengan penuh geram ke arah Cin Liong yang rebah di atas pembaringan.

“Nih, ambillah sebelum engkau kucincang!” bentaknya.

“Brukkkk....!”

Tubuh Liok Bwee yang sudah lunglai itu menimpa Cin Liong di atas pembaringan dan dipan ini pun runtuh terguling. Tentu saja tubuh pemuda itu terbawa pula, terguling di atas lantai dalam keadaan menelungkup.

Dengan wajah beringas dan pandang mata bengis, lima orang itu kini menghampiri Cin Liong dengan cepat, seolah-olah mereka hendak berlomba membunuh atau menyiksa musuh besar yang sudah tidak berdaya, rebah menelungkup dengan kaki tangan terbelenggu dan tubuh tertotok itu. Tubuh Liok Bwee juga terlempar sampai ke sudut ruangan di mana ia menggeletak mandi darah, tidak mampu bergerak lagi.

“Jangan bunuh dia terlalu cepat!” Si kumis tebal memperingatkan para sute-nya.

Musuh besar ini amat dibencinya dan sudah mendatangkan banyak sekali kerugian. Bukan hanya kematian suhu mereka, akan tetapi juga kematian empat orang anak buah, bahkan kini matinya Liok Bwee juga dia timpakan kepada pemuda yang amat dibencinya itu. Para sute-nya mengerti dan setuju, maka mereka menubruk dengan maksud mencengkeram dan menyiksa musuh besar itu agar mati perlahan-lahan dan mengalami penderitaan yang amat hebat.

Akan tetapi, pada saat mereka berlima menubruk ke arah tubuh yang menelungkup tak berdaya itu, tiba-tiba terdengar suara lengking nyaring dari mulut Cin Liong. Tubuhnya yang menelungkup itu tiba-tiba saja bergerak, membalik dan kedua tangannya yang tadinya terbelenggu itu mendadak saja bergerak. Belenggu itu terlepas dan kedua tangannya mendorong dengan kekuatan yang dahsyat, juga belenggu pada kedua kakinya putus semua pada saat itu juga!

“Blaaarrrr....!”

Hebat bukan main tenaga yang keluar dari kedua telapak tangan pemuda itu, seperti ada kilat meledak dan akibatnya, lima orang yang tadi menubruknya itu terlempar dan terjengkang semua, lalu terbanting keras ke atas lantai! Seketika itu dua orang di antara mereka tidak mampu bergerak lagi karena kepala mereka pecah. Mereka berdua inilah yang paling dekat dan langsung menerima hantaman kedua tangan Cin Liong.

Tiga orang yang lain hanya kena disambar hawa pukulan saja, akan tetapi hal itu cukup membuat mereka terjengkang dan terbanting keras. Mereka masih dapat bangkit dengan kepala pening dan muka mereka pucat, mata terbelalak saking kagetnya. Sama sekali mereka tidak mengetahui bahwa ketika tubuh Cin Liong terlempar dari atas dipan tadi dan jatuh menelungkup di atas lantai, pada saat itu Cin Liong dapat meminjam tenaga inti bumi, dengan Ilmu Sin-liong Hok-te dia dapat menggerakkan hawa sakti dari pusarnya dan seketika jalan darahnya pulih kembali diterjang oleh hawa sinkang yang berputar dari pusar.

Maka, saat para pengeroyoknya menubruk, dengan Sin-liong-ciang-hoat dia menyambut dan karena sinkang-nya masih sedang penuh-penuhnya menguasai kedua lengannya, maka tentu saja lima orang musuh itu tidak kuat menahan, bahkan yang terkena hantaman langsung seketika mati dengan kepala pecah sedangkan yang lain, termasuk si kumis tebal, terguncang hebat sehingga ketika mereka bangkit lagi, mereka merasa kepala mereka pening!

Cin Liong sudah bangkit dan pertama kali yang dilakukannya adalah meloncat ke dekat tubuh Liok Bwee, berlutut dan memeriksa gadis itu. Dia tidak mempedulikan akibat sambutannya terhadap lima orang pengeroyok itu. Dia melihat betapa punggung dan tengkuk gadis itu luka-luka, demikian pula kedua lengannya, terkena cakar-cakar baja yang mengandung racun! Cepat dia menotok beberapa jalan darah untuk menghentikan jalannya racun ke jantung, dan menotok jalan darah untuk mengurangi rasa nyeri.

Pada saat itu, si kumis dan dua orang sute-nya melihat kesempatan baik selagi pemuda itu memeriksa dan mengobati Liok Bwee. Dua orang sute si kumis tebal sudah menubruk dari kanan kiri. Cin Liong maklum bahwa dirinya diserang oleh dua orang dari kanan kiri. Maka ia pun dengan hati-hati menurunkan lagi tubuh Liok Bwee dan secepat kilat membalik, kedua tangannya menyambut dengan dorongan, menyambut dua orang yang menyerangnya.

“Dess! Desss....!”

Dua orang itu tidak sempat mengeluarkan teriakan lagi karena tubuh mereka terlempar ke atas dan sudah putus nyawanya sebelum tubuh mereka itu terbanting ke atas lantai! Melihat ini, si kumis tebal terbelalak dan dia pun meloncat.... menjauhkan diri dan hendak lari dari ruangan itu.

“Pengecut....!” Cin Liong memaki dan dia pun mengejar.

Akan tetapi si kumis tebal sudah berteriak memanggil anak buahnya, maka begitu tiba di luar ruangan itu, Cin Liong sudah dikepung oleh sisa anak buah Eng-jiauw-pang yang jumlahnya masih ada hampir tiga puluh orang! Mereka semua mempergunakan cakar garuda pada tangan mereka. Dengan dipimpin oleh si kumis tebal, mereka menyerbu dan mengeroyok Cin Liong dengan mati-matian.

Karena mereka semua tahu bahwa pemuda itu adalah musuh besar, pembunuh mendiang Eng-jiauw Siauw-ong, bahkan kini si kumis tebal berteriak-teriak memberi tahukan bahwa empat orang sute-nya dan sumoi-nya juga sudah tewas di tangan musuh ini, maka semua anggota mengeroyok mati-matian untuk membalas dendam.

Si kumis tebal sendiri pun selain memberi komando, ikut pula mengeroyok, mengerahkan seluruh tenaganya karena sekarang merupakan pengeroyokan dan harapan terakhir baginya, karena itu harus berhasil.

Akan tetapi, panglima muda putera pendekar Naga Sakti Gurun Pasir itu memang hebat sekali kepandaiannya. Cin Liong juga sudah marah dan juga dia melihat kenyataan betapa kejam dan jahatnya gerombolan ini, maka dia sudah mengambil keputusan untuk membasmi mereka sampai ke akar-akarnya.

Kini dia tidak ragu-ragu lagi dan dia mengerahkan sinkang-nya, memainkan Sin-liong-ciang-hoat dan tentu saja anak buah gerombolan itu merupakan makanan yang amat lunak bagi ilmu silatnya yang amat ampuh dan tenaganya yang mukjijat itu.

Setiap kali dia menyerang, tiga empat orang roboh dan tewas seketika sehingga tanpa memakan waktu lagi, para pengeroyok itu roboh berturut-turut dan akhirnya habislah mereka. Tempat itu penuh dengan mayat yang malang melintang dan tumpang tindih! Hanya tinggal si kumis tebal seorang saja yang belum roboh karena melihat kehebatan lawan tadi, dia menyingkir ke belakang anak buahnya dan memberi komando saja.

Melihat betapa semua anak buahnya roboh, si kumis ini menjadi ketakutan dan dia membalikkan tubuhnya untuk melarikan diri dari tempat itu. Namun, nampak bayangan berkelebat dan tahu-tahu musuh besar itu telah berada di depannya, menghadang dengan berdiri tegak dan sepasang mata pemuda itu mencorong seperti mata seekor naga sakti! Karena tidak melihat jalan lain untuk melarikan diri, si kumis tebal menjadi nekat.

“Haiiittttt....!”

Dia menyerbu dengan ganas, kedua tangannya membentuk cakar garuda dan tubuhnya meloncat ke atas lalu melayang turun, persis bagaikan seekor burung garuda yang terbang turun menyambar seekor kelinci. Namun, yang diserangnya sama sekali tidak mengelak atau menangkis, bahkan Cin Liong juga mengulur kedua lengannya dan kedua tangannya menyambut cengkeraman lawan!

“Plakkk! Plakkk!”

Kedua tangan itu bertemu. Secepat kilat Cin Liong mengerahkan sinkang pada jari-jari tangannya, lalu dia membuat gerakan mematahkan.

“Krekkk! Krekkk!”

Si kumis tebal menjerit mengerikan dan tubuhnya terkulai, akan tetapi kedua cakar garuda itu tertinggal dalam genggaman tangan Cin Liong karena kedua pergelangan tangannya patah tulangnya, kemudian putus sama sekali berikut daging, otot dan kulitnya karena Cin Liong membuat gerakan mematahkan dengan kekuatan yang amat dahsyat!

Kedua lengan itu buntung sebatas pergelangan tangan dan darah muncrat-muncrat. Si kumis tebal itu masih belum pingsan, melolong-lolong karena nyerinya sambil berlutut dan memandang kepada kedua lengannya yang buntung sambil menangis. Cin Liong membalikkan kedua cakar itu, kemudian menghantamkan kedua senjata itu ke arah pemiliknya.

“Crott! Crott!”

Si kumis roboh terjengkang dan kedua cakar garuda itu telah menancap dalam-dalam di kerongkongan dan dadanya. Agaknya ketika menyerang tadi, Cin Liong teringat akan apa yang dilakukan orang ini kepada Liok Bwee. Sejenak Cin Liong memandang tubuh lawan yang sudah tak dapat bergerak, kemudian dia meloncat masuk kembali ke dalam ruangan belakang.

Liok Bwee yang sudah membuka kedua matanya itu, nampak tersenyum ketika melihat siapa yang berlutut di dekatnya. Apalagi ketika Cin Liong mengangkat tubuh atasnya dan memangkunya, sinar matanya berseri gembira.

“Mereka.... mereka tewas semua....?” tanyanya lirih.

Cin Liong mengangguk.

“....aku.... aku akan mati.... ahhh, bagaimana aku nanti dapat menemui ayah di alam baka....?”

Melihat kesedihan gadis itu, Cin Liong jadi terharu. Bagaimana pun juga, gadis ini telah menyelamatkan nyawanya dan kini gadis ini kehilangan segala-galanya. Mula-mula dia kehilangan ayahnya, lalu kehilangan para suheng-nya dan anak buahnya, dan kini akan kehilangan nyawanya pula. Semua gara-gara dia! Dan gadis itu merasa takut untuk bertemu dengan ayahnya yang sudah meninggal lebih dahulu karena dia merasa telah mengkhianati Eng-jiauw-pang.

“Nona, kau.... maafkanlah aku....,” katanya lirih.

Alis yang berkerut itu cerah kembali.
“Ahh, tidak apa. Akan kuhadapi dia, biar di alam baka sekali pun, karena dialah yang bersalah, anak buahnya yang jahat. Taihiap.... engkau.... engkau tidak benci kepadaku....?”

Cin Liong terbelalak memandang wajah yang cantik itu. Benci? Ahhh, bagaimana dia dapat membenci gadis seperti ini?

“Tidak, nona. Aku.... sama sekali tidak benci kepadamu, aku bahkan.... suka sekali kepadamu....”

Cin Liong lalu mempererat dekapannya seolah-olah hendak membuktikan kata-katanya karena memang sesungguhnya tumbuh suatu perasaan sayang dan suka sekali dalam hatinya terhadap gadis yang malang nasibnya ini.

Wajah itu berseri-seri dan sepasang mata itu berkilat.
“Aihhh, terima kasih, taihiap.... kata-katamu itu akan menjadi sinar terang yang mengantarku ke alam sana.... terima kasih, aku sungguh cinta padamu, Kao-taihiap.... sungguh....”

Cin Liong semakin terharu, dan seperti ada dorongan yang amat kuat dia mendekatkan mukanya.
“Liok Bwee.... kau.... kau gadis yang malang....!”

Dan dia pun lalu menempelkan bibirnya pada mulut itu. Seperti tersentak kaget tubuh gadis itu mengejang, mulutnya terbuka dan Cin Liong lalu menciumnya dengan sepenuh hatinya, dengan sepenuh rasa sayangnya. Ketika dia melepaskan ciumannya dan memandang, wajah itu pucat sekali, akan tetapi berseri dan air mata mengalir di kedua pipinya yang pucat.

“....terima kasih, aku cinta padamu.... terima kasih....” Dan kepala itu terkulai, matanya terpejam dan napasnya putus. Gadis itu sudah menghembuskan napas terakhir dengan senyum di mulut!

Cin Liong tahu bahwa gadis yang dipangkunya itu telah meninggal dunia. Hal ini terasa begitu menusuk perasaan hatinya, membuatnya merasa kesepian dan kehilangan. Dia mendekap kepala itu dengan eratnya, memandangi wajahnya, menciuminya dengan air mata berlinang. Terasa sekali olehnya betapa dia membutuhkan Liok Bwee, betapa dia membutuhkan wanita, membutuhkan kasih sayang wanita, membutuhkan cinta kasih wanita. Dia merasa seperti setangkai bunga kekeringan, sebatang pohon kehausan.

“Bwee-moi.... ah, Bwee-moi....” keluhnya, akan tetapi ketika dia memejamkan matanya, terbayanglah wajah Suma Hui dan hatinya menjadi semakin berduka.

Tidak dapat disangkal lagi bahwa telah menjadi pembawaan manusia, betapa pria dan wanita saling membutuhkan dan keduanya diciptakan seolah-olah memang sudah harus saling mengisi. Wanita selalu mendambakan kasih sayang pria dan rasanya tak lengkap hidupnya tanpa adanya pria yang menyayangnya, melindunginya dan memanjakannya, membutuhkan dan mementingkan dirinya.

Di lain fihak, bagi seorang pria, kebutuhan akan adanya seorang wanita dalam hidupnya adalah mutlak. Dia selalu membutuhkan kasih sayang wanita, membutuhkan getaran dalam cinta kasih seorang wanita yang nampak dalam pandang matanya, dalam senyumnya, dalam suaranya dan dalam sentuhannya. Tanpa adanya seorang wanita yang menyayanginya seperti itu, seorang pria akan selalu merasa kehausan dan kekeringan, akan selalu merasa betapa hampa hidupnya.

Pria dan wanita memang merupakan dua unsur yang saling mengisi, saling melengkapi dan bersatunya kedua unsur Im dan Yang inilah yang menciptakan kehidupan, keindahan, dan keserasian, seperti matahari dengan bumi. Adanya yang satu tanpa adanya yang ke dua adalah pincang, janggal, dan tidak lengkap.

Dan ketimpangan ini, kesepian dan ketidak lengkapan ini mulai terasa mengganggu batin Cin Liong semenjak dia gagal dalam hubungan cinta kasihnya dengan wanita. Pertama dengan seorang pendekar wanita yang bernama Bu Ci Sian, kemudian kedua kalinya dengan Suma Hui dan kegagalan yang kedua kalinya ini lebih parah! Tidak saja Suma Hui memutuskan hubungan itu dengan tiba-tiba, bahkan ia kemudian mendengar bahwa pemutusan hubungan itu ditambah lagi dengan sebuah fitnah yang sangat menyakitkan hatinya, yaitu bahwa dia dituduh memperkosa Suma Hui!

Cin Liong mengubur jenazah Liok Bwee dengan kedukaan yang mendalam, kemudian dia melapor kepada kota yang berdekatan, kepada komandan kota itu sebagai seorang panglima muda agar komandan itu suka mengerahkan anak buahnya untuk mengurus mayat-mayat para anggota gerombolan Eng-jiauw-pang. Dia sendiri lalu melanjutkan perjalanan menuju ke Thian-cin untuk mencari Suma Hui!

Biar pun dia seorang pendekar sakti yang sudah biasa menghadapi hal-hal yang menegangkan bahkan ancaman-ancaman nyawa sehingga batinnya tergembleng dan dia memiliki ketabahan yang jarang dimiliki pendekar lain, namun ketika dia memasuki pekarangan rumah keluarga Suma, jantungnya tetap saja berdebar tegang dan hatinya tidak urung merasa gelisah sekali.

Dia telah mendengar dari orang tuanya betapa mereka telah mengalami penghinaan dari keluarga ini, bahkan hampir saja orang tuanya bentrok dengan keluarga ini. Dan dia mendengar pula betapa dia telah difitnah, dituduh telah memperkosa Suma Hui. Hal inilah yang harus dibereskannya dan dibikin terang.

Kalau toh keluarga Suma hendak menolak pinangannya terhadap Suma Hui, hal itu adalah hak mereka. Akan tetapi kalau mereka hendak menjatuhkan fitnah bahwa dia telah memperkosa Suma Hui, hal ini tidak boleh dibiarkan saja dan dia harus menerangkan persoalan yang amat gawat ini.

Di sepanjang perjalanannya menuju ke Thian-cin, tiada hentinya dia merenungkan fitnah yang amat aneh itu. Kiranya, keluarga seperti itu, keturunan langsung dari Pendekar Super Sakti, keluarga Pulau Es yang terkenal itu, tidak mungkin menjatuhkan fitnah sembarangan saja, apalagi fitnah berupa kejahatan perkosaan! Akan tetapi, mungkinkah seorang dara seperti Suma Hui itu berani atau sudi membohong?

Kalau Suma Hui tidak benar-benar menjadi korban perkosaan, apa artinya menuduh dia memperkosa? Benarkah gadis itu menjadi korban perkosaan? Ataukah Suma Hui sengaja berpura-pura dengan pamrih lain di balik itu? Pamrih yang bagaimana? Kalau benar terjadi peristiwa laknat itu, siapa orangnya yang akan dapat memperkosa seorang dara seperti Suma Hui? Akan tetapi dia lalu teringat kepada Jai-hwa Siauw-ok. Datuk sesat itu pun pernah hampir dapat memperkosa Suma Hui kalau saja dia tidak muncul di saat yang tepat!
Pendeknya, apa pun yang terjadi, dia harus menemui Suma Hui, menemui keluarga Suma untuk menerangkan semua persoalan dan untuk dapat menjawab pertanyaan-pertanyaan yang selalu mengganggu pikirannya itu.





Tidak ada komentar:

Posting Komentar