Pada waktu pelayan mempersilahkannya duduk di ruangan tamu sementara pelayan itu melaporkan kepada tuan rumah, Cin Liong duduk dengan hati berdebar tegang. Apa yang harus dikatakannya kepada Suma Kian Lee dan isterinya kalau mereka keluar menemuinya? Rasanya tidak patut kalau begitu datang dia langsung bicara tentang hal yang merupakan aib bagi keluarga itu. Lalu, apa yang harus dikatakannya? Bagaimana kalau begitu muncul, suami isteri sakti itu langsung menyerangnya? Haruskah dia melawan?
Akan tetapi dia teringat bahwa kini Suma Hui sudah menikah. Ahhh, itulah yang dapat dijadikannya alasan. Dia datang untuk menghaturkan selamat atas pernikahan itu!
Langkah kaki tegap yang menuju ke ruangan tamu itu terdengar demikian kerasnya oleh Cin Liong, menyaingi degup jantungnya. Dia sudah berdiri ketika daun pintu kamar tamu yang menembus ke ruangan dalam terbuka dan muncullah seorang laki-laki setengah tua gagah perkasa yang bukan lain adalah Suma Kian Lee. Sudah kurang lebih empat tahun dia tidak bertemu dengan pendekar ini dan nampak oleh Cin Liong betapa waktu empat tahun itu menambah usia sang pendekar seperti sepuluh tahun saja!
Pendekar itu nampak jauh lebih tua, rambutnya sudah hampir putih semua dan banyak garis-garis prihatin menghias mukanya, menjadi keriput-keriput mendalam. Matanya yang lebar itu masih tenang seperti dulu, juga masih tajam, tetapi ada bayangan duka di balik ketenangannya. Dan pada saat itu, sepasang mata itu terbelalak membayangkan kekagetan sehingga mengherankan hati Cin Liong yang sudah cepat menjura dengan sikap hormat.
“Kao Cin Liong....!” kata pendekar itu dengan suara jelas membayangkan rasa kaget melihat pemuda itu yang agaknya sama sekali tidak disangkanya akan muncul di kamar tamunya. “Engkau.... datang.... dengan maksud apakah....?”
Memang sejak dari pertemuan dengan ayah bundanya, Cin Liong sudah membawa ganjalan hati. Ayah bundanya telah mengalami penghinaan dari keluarga ini, mungkin juga penghinaan itu berlangsung di dalam ruangan tamu ini. Akan tetapi dia datang bukan untuk melampiaskan perasaan marah dan penasaran itu, melainkan untuk menjernihkan segala kekeruhan dan menerangkan semua kegelapan dalam perkara itu. Maka dia masih bersabar walau pun alisnya berkerut dan pandang matanya berkilat.
“Locianpwe, maafkanlah kalau kedatangan saya ini mengganggu. Saya datang untuk menghaturkan selamat atas pernikahan bibi Suma Hui. Sayang saya sedang bertugas sehingga tak dapat menghadiri pesta pernikahan itu. Juga saya menyampaikan ucapan selamat dari ayah dan ibu.”
Cin Liong sengaja menyebut locianpwe agar tidak menonjolkan hubungan keluarga di antara mereka, akan tetapi dia tetap menyebut bibi kepada Suma Hui mengingat bahwa gadis itu telah menikah dan tidak enaklah kalau dia tetap menyebut adik seperti biasa.
Akan tetapi, ucapan selamat dari Cin Liong ini terasa seperti pisau beracun menusuk hati pendekar itu. Wajahnya sebentar merah sebentar pucat dan sepasang matanya menatap wajah Cin Liong penuh selidik. Dia pun lupa untuk mempersilakan tamunya duduk dan mereka masih berdiri saling berhadapan.
“Terima kasih,” jawab Suma Kian Lee dengan suara lirih akibat menahan perasaan yang bergolak. “Lalu apa lagi keperluanmu mengunjungi kami?”
Kerut-merut di antara alis pemuda itu makin mendalam. Sungguh angkuh dan sombong sekali orang ini, pikirnya. Beginikah sikap putera dari mendiang Pendekar Super Sakti? Tentu saja dia tidak tahu bahwa sikap yang diperlihatkan oleh Suma Kian Lee itu sungguh sama sekali bukan sikap aslinya. Pendekar ini telah mengalami musibah, seteguh-teguhnya batu karang seperti dia telah dilanda badai yang amat hebat sehingga membuat kekokohan batinnya menjadi goyah.
“Memang ada lagi keperluan lain, locianpwe. Saya datang untuk membikin jernih kekeruhan yang terjadi antara keluarga locianpwe dan keluarga kami.”
“Bagus!” Suma Kian Lee berkata tegas dan mulutnya membayangkan senyum pahit. “Seorang gagah harus menghadapi segala keadaan dengan sikap gagah pula. Engkau datang karena merasa bahwa keluarga Kao telah menerima penghinaan dari keluarga kami?”
Kao Cin Liong mengangguk.
“Setidaknya menerima perlakuan yang tidak semestinya kami terima.”
“Bagus!” kembali pendekar itu berseru. “Mari kau ikut denganku, Kao Cin Liong!”
Melihat sikap yang tegas dan kaku itu, diam-diam di dalam hati Cin Liong sudah timbul penasaran dan hatinya semakin terbakar. Maka tanpa banyak cakap dia mengangguk dan mengikuti tuan rumah itu yang berjalan melalui lorong di samping rumah, menuju ke lian-bu-thia (ruangan berlatih silat). Dia pernah mengunjungi rumah ini dan sedikit banyak sudah mengenal keadaannya, maka dia pun hanya mengikuti saja dengan hati penasaran ketika tuan rumah membawanya ke ruangan itu.
Ruangan yang luas itu kosong dan keadaan amat sunyi, membuat hati Cin Liong menduga-duga ke mana perginya anggota keluarga lainnya. Kini mereka berdiri saling berhadapan di lian-bu-thia. Aneh sekali, Suma Kian Lee kini berseri-seri memandang wajah pemuda itu.
“Seorang gagah akan menyelesaikan urusan dengan cara yang gagah pula. Keluarga Kao telah merasa terhina oleh keluargaku dan sekarang engkau datang untuk membuat perhitungan, itu sudah adil sekali. Dan aku sebagai orang yang bertanggung jawab atas keluarga Suma, sudah berdiri di hadapanmu, siap untuk menebus kesalahan dengan cara yang gagah pula. Kao Cin Liong, aku sudah siap, majulah!” Suma Kian Lee memasang kuda-kuda dengan sikap yang gagah.
Cin Liong terkejut dan juga marah. Sungguh sombong, pikirnya. Akan tetapi dia masih ingat bahwa sungguh amat tidak baik menanam permusuhan dengan keluarga Suma, apalagi kalau diingat bahwa ibunya masih terhitung anggota keluarga Pulau Es pula. Dia datang untuk menjelaskan perkara, untuk mencari kebenaran, bukan untuk menuntut keadilan dengan membalas dendam.
“Akan tetapi, locianpwe, kedatangan saya bukan untuk berkelahi!” bantahnya.
“Kao Cin Liong, siapa yang mau berkelahi? Kita bertanding untuk membuat perhitungan yang ada. Aku tahu bahwa engkau adalah putera Si Naga Sakti Gurun Pasir dan engkau telah memiliki tingkat kepandaian yang setanding dengan aku, maka aku pun tidak malu untuk menandingimu. Mari, aku sudah siap. Kecuali kalau engkau seorang penakut, nah, tak perlu banyak cakap, pergilah.”
“Locianpwe terlalu tinggi hati dan terlalu memaksa!” bentak Cin Liong marah.
Akan tetapi dia teringat bahwa kini Suma Hui sudah menikah. Ahhh, itulah yang dapat dijadikannya alasan. Dia datang untuk menghaturkan selamat atas pernikahan itu!
Langkah kaki tegap yang menuju ke ruangan tamu itu terdengar demikian kerasnya oleh Cin Liong, menyaingi degup jantungnya. Dia sudah berdiri ketika daun pintu kamar tamu yang menembus ke ruangan dalam terbuka dan muncullah seorang laki-laki setengah tua gagah perkasa yang bukan lain adalah Suma Kian Lee. Sudah kurang lebih empat tahun dia tidak bertemu dengan pendekar ini dan nampak oleh Cin Liong betapa waktu empat tahun itu menambah usia sang pendekar seperti sepuluh tahun saja!
Pendekar itu nampak jauh lebih tua, rambutnya sudah hampir putih semua dan banyak garis-garis prihatin menghias mukanya, menjadi keriput-keriput mendalam. Matanya yang lebar itu masih tenang seperti dulu, juga masih tajam, tetapi ada bayangan duka di balik ketenangannya. Dan pada saat itu, sepasang mata itu terbelalak membayangkan kekagetan sehingga mengherankan hati Cin Liong yang sudah cepat menjura dengan sikap hormat.
“Kao Cin Liong....!” kata pendekar itu dengan suara jelas membayangkan rasa kaget melihat pemuda itu yang agaknya sama sekali tidak disangkanya akan muncul di kamar tamunya. “Engkau.... datang.... dengan maksud apakah....?”
Memang sejak dari pertemuan dengan ayah bundanya, Cin Liong sudah membawa ganjalan hati. Ayah bundanya telah mengalami penghinaan dari keluarga ini, mungkin juga penghinaan itu berlangsung di dalam ruangan tamu ini. Akan tetapi dia datang bukan untuk melampiaskan perasaan marah dan penasaran itu, melainkan untuk menjernihkan segala kekeruhan dan menerangkan semua kegelapan dalam perkara itu. Maka dia masih bersabar walau pun alisnya berkerut dan pandang matanya berkilat.
“Locianpwe, maafkanlah kalau kedatangan saya ini mengganggu. Saya datang untuk menghaturkan selamat atas pernikahan bibi Suma Hui. Sayang saya sedang bertugas sehingga tak dapat menghadiri pesta pernikahan itu. Juga saya menyampaikan ucapan selamat dari ayah dan ibu.”
Cin Liong sengaja menyebut locianpwe agar tidak menonjolkan hubungan keluarga di antara mereka, akan tetapi dia tetap menyebut bibi kepada Suma Hui mengingat bahwa gadis itu telah menikah dan tidak enaklah kalau dia tetap menyebut adik seperti biasa.
Akan tetapi, ucapan selamat dari Cin Liong ini terasa seperti pisau beracun menusuk hati pendekar itu. Wajahnya sebentar merah sebentar pucat dan sepasang matanya menatap wajah Cin Liong penuh selidik. Dia pun lupa untuk mempersilakan tamunya duduk dan mereka masih berdiri saling berhadapan.
“Terima kasih,” jawab Suma Kian Lee dengan suara lirih akibat menahan perasaan yang bergolak. “Lalu apa lagi keperluanmu mengunjungi kami?”
Kerut-merut di antara alis pemuda itu makin mendalam. Sungguh angkuh dan sombong sekali orang ini, pikirnya. Beginikah sikap putera dari mendiang Pendekar Super Sakti? Tentu saja dia tidak tahu bahwa sikap yang diperlihatkan oleh Suma Kian Lee itu sungguh sama sekali bukan sikap aslinya. Pendekar ini telah mengalami musibah, seteguh-teguhnya batu karang seperti dia telah dilanda badai yang amat hebat sehingga membuat kekokohan batinnya menjadi goyah.
“Memang ada lagi keperluan lain, locianpwe. Saya datang untuk membikin jernih kekeruhan yang terjadi antara keluarga locianpwe dan keluarga kami.”
“Bagus!” Suma Kian Lee berkata tegas dan mulutnya membayangkan senyum pahit. “Seorang gagah harus menghadapi segala keadaan dengan sikap gagah pula. Engkau datang karena merasa bahwa keluarga Kao telah menerima penghinaan dari keluarga kami?”
Kao Cin Liong mengangguk.
“Setidaknya menerima perlakuan yang tidak semestinya kami terima.”
“Bagus!” kembali pendekar itu berseru. “Mari kau ikut denganku, Kao Cin Liong!”
Melihat sikap yang tegas dan kaku itu, diam-diam di dalam hati Cin Liong sudah timbul penasaran dan hatinya semakin terbakar. Maka tanpa banyak cakap dia mengangguk dan mengikuti tuan rumah itu yang berjalan melalui lorong di samping rumah, menuju ke lian-bu-thia (ruangan berlatih silat). Dia pernah mengunjungi rumah ini dan sedikit banyak sudah mengenal keadaannya, maka dia pun hanya mengikuti saja dengan hati penasaran ketika tuan rumah membawanya ke ruangan itu.
Ruangan yang luas itu kosong dan keadaan amat sunyi, membuat hati Cin Liong menduga-duga ke mana perginya anggota keluarga lainnya. Kini mereka berdiri saling berhadapan di lian-bu-thia. Aneh sekali, Suma Kian Lee kini berseri-seri memandang wajah pemuda itu.
“Seorang gagah akan menyelesaikan urusan dengan cara yang gagah pula. Keluarga Kao telah merasa terhina oleh keluargaku dan sekarang engkau datang untuk membuat perhitungan, itu sudah adil sekali. Dan aku sebagai orang yang bertanggung jawab atas keluarga Suma, sudah berdiri di hadapanmu, siap untuk menebus kesalahan dengan cara yang gagah pula. Kao Cin Liong, aku sudah siap, majulah!” Suma Kian Lee memasang kuda-kuda dengan sikap yang gagah.
Cin Liong terkejut dan juga marah. Sungguh sombong, pikirnya. Akan tetapi dia masih ingat bahwa sungguh amat tidak baik menanam permusuhan dengan keluarga Suma, apalagi kalau diingat bahwa ibunya masih terhitung anggota keluarga Pulau Es pula. Dia datang untuk menjelaskan perkara, untuk mencari kebenaran, bukan untuk menuntut keadilan dengan membalas dendam.
“Akan tetapi, locianpwe, kedatangan saya bukan untuk berkelahi!” bantahnya.
“Kao Cin Liong, siapa yang mau berkelahi? Kita bertanding untuk membuat perhitungan yang ada. Aku tahu bahwa engkau adalah putera Si Naga Sakti Gurun Pasir dan engkau telah memiliki tingkat kepandaian yang setanding dengan aku, maka aku pun tidak malu untuk menandingimu. Mari, aku sudah siap. Kecuali kalau engkau seorang penakut, nah, tak perlu banyak cakap, pergilah.”
“Locianpwe terlalu tinggi hati dan terlalu memaksa!” bentak Cin Liong marah.
“Memang! Majulah, orang muda!” Anehnya, suara pendekar ini semakin gembira.
Melihat betapa lawannya sudah memasang kuda-kuda, Cin Liong yang tak sudi disebut pengecut itu sudah menerjang sambil mengeluarkan teriakan peringatan. Hantamannya amat kuat dan cepat, namun dengan indahnya serangan pertama itu dapat dihindarkan oleh Suma Kian Lee yang juga memiliki gerakan yang mantap dan kuat. Suma Kian Lee mengelak sambil membalas serangan dengan tidak kalah kuatnya, akan tetapi Cin Liong juga dapat mengelak dengan cepat.
Terjadilah serang-menyerang dengan serunya dan diam-diam kedua orang pendekar tua dan muda ini saling kagum akan kehebatan dan kegesitan lawan. Ilmu silat mereka berbeda sekali, dari sumber yang berlainan, akan tetapi keduanya sama kuatnya, sama indahnya dan sama mantapnya. Mungkin saja Kian Lee menang latihan dan menang matang, akan tetapi Cin Liong yang menang muda itu tentu saja menang napas dan menang cepat gerakannya.
“Lihat pukulan!”
Tiba-tiba Suma Kian Lee berseru setelah mereka bertanding lebih dari tiga puluh jurus dan hanya mengandalkan kecekatan mereka untuk saling mengelak dan saling membalas.
Kini pendekar Pulau Es itu mengerahkan tenaga Swat-im Sinkang dan menghantam dengan kecepatan yang tak mungkin dapat dielakkan lagi oleh lawan. Cin Liong terkejut, mengenal pukulan ampuh yang hawanya mengandung dingin luar biasa ini. Dia sudah mendengar bahwa para pendekar Pulau Es memiliki dua macam ilmu andalan, yaitu Swat-im Sin-ciang (Tangan Sakti Inti Salju) dan Hwi-yang Sin-ciang (Tangan Sakti Inti Api), maka merasa betapa dinginnya pukulan ini, dia dapat menduga bahwa ini tentulah pukulan Tenaga Sakti Inti Salju itu.
Dia pun cepat mengerahkan tenaganya dan karena maklum bahwa kekuatan lawan amatlah hebatnya, dia pun tidak mau membahayakan dirinya dan langsung saja dia menggunakan Ilmu Sin-liong Ciang-hoat dengan menggunakan tenaga inti bumi dalam pengerahan tenaga Sin-liong Hok-te. Tubuhnya tiba-tiba menelungkup dan saat pukulan datang, ia pun meloncat dan menerima pukulan kedua tangan itu dengan kedua telapak tangannya sendiri.
“Dessss....!”
Dua tenaga raksasa bertemu di tengah udara dan akibatnya, tubuh Cin Liong terpental ke belakang sampai tiga tombak. Akan tetapi sebaliknya Suma Kian-Lee terhuyung, mukanya menjadi pucat dan mulutnya mengeluarkan sedikit darah segar!
Cin Liong terkejut bukan main. Dia tidak merasa terluka walau pun tubuhnya terlempar, dan kini dia menghampiri lawannya, bermaksud untuk memeriksa kalau-kalau lawannya terluka parah. Akan tetapi, betapa kagetnya ketika kini Suma Kian Lee membentak lagi,
“Lihat pukulan....!”
Kali ini pukulan pendekar Pulau Es itu membawa hawa yang panas. Tahulah Cin Liong bahwa pukulan ini tentulah Hwi-yang Sin-ciang. Maka dia pun cepat mengumpulkan tenaga dan menerima pukulan itu dengan kedua telapak tangan. Untuk mengelakkan pukulan sakti seperti itu jauh lebih berbahaya lagi.
“Blaarrrr....!”
Cin Liong terlempar lagi dan terbanting keras, seluruh tubuhnya terasa panas dan dia terkejut bukan main. Akan tetapi hanya kepalanya yang terasa pening dan dia bangkit kembali, menggoyang-goyangkan kepalanya mengusir kepeningan. Ketika memandang, dia melihat lawannya masih berdiri tegak, namun tubuhnya bergoyang-goyang dan dari mulutnya mengalir darah segar lebih banyak lagi. Dan pendekar tua itu tersenyum!
“Bagus! Tidak memalukan engkau menjadi putera Naga Sakti Gurun Pasir dan engkau memang pantas mencuci penghinaan atas nama keluargamu. Aku tidak malu roboh di tanganmu. Mari lanjutkan....!” Dan Suma Kian Lee sudah melangkah maju lagi walau pun terhuyung-huyung.
Cin Liong kebingungan. Dia tahu bahwa lawannya terluka parah. Akan tetapi, lawannya masih hendak menyerang lagi, maka terpaksa dia pun cepat memasang kuda-kuda dengan waspada karena maklum bahwa para pendekar Pulau Es merupakan gudang-gudang ilmu silat tinggi yang amat hebat.
“Kao Cin Liong, terimalah seranganku!” kata Suma Kian Lee.
Akan tetapi pada saat dia melangkah maju, siap menerjang, terdengar jeritan nyaring.
“Tahan....!” Dan sesosok bayangan meluncur datang, lalu memeluknya dari belakang. “Suamiku, apa yang kau lakukan ini? Ya Tuhan.... engkau.... engkau terluka....!”
Wanita itu adalah Kim Hwee Li yang segera memapah suaminya diajak duduk di atas bangku di sudut ruangan yang luas itu.
Ditangani isterinya, Kian Lee tidak banyak membantah. Dia pun segera duduk bersila di atas lantai seperti yang diminta isterinya dan Kim Hwee Li sudah menempelkan kedua tangannya ke dada suaminya.
“Kao Cin Liong, ke sinilah dan bantu aku mengobati suamiku. Cepat!” kata wanita itu.
Cin Liong cepat menghampiri. Biar pun dia bingung sekali, akan tetapi dia tidak ragu-ragu untuk cepat duduk bersila di belakang kakek itu dan menempelkan kedua telapak tangannya ke punggung Kian Lee sambil mengerahkan sinkang perlahan-lahan. Dia pun tahu cara pengobatan dengan sinkang untuk menyembuhkan luka sebelah dalam tubuh orang.
Setelah diobati oleh pengerahan sinkang kedua orang itu, akhirnya wajah Kian Lee menjadi merah kembali dan pernapasannya menjadi tenang dan pulih. Dia menarik napas berkali-kali lalu berkata,
“Sudah, cukuplah....”
Kim Hwee Li melepaskan tangannya dan diturut pula oleh Cin Liong yang cepat bangkit berdiri mundur beberapa langkah, menanti dengan sikap hormat. Kim Hwee Li mengajak suaminya bangkit duduk di atas bangku dan nyonya itu setelah memandang wajah suaminya dan Cin Liong berganti-ganti, lalu membanting kakinya.
“Suamiku ini semakin tua semakin bandel dan keras kepala!”
Lalu nyonya itu menangis, mengusap air matanya dengan punggung tangan. Mengharukan sekali melihat nyonya ini menahan tangisnya seperti anak kecil yang sedih sekali.
Suma Kian Lee kembali menghela napas.
“Isteriku, kenapa engkau tidak membiarkan aku mati terhormat seperti orang gagah? Apa artinya hidup akan tetapi menanggung malu dan telah melakukan kesalahan memalukan yang besar sekali terhadap keluarga Kao? Aku hanya akan menjadi bahan ejekan orang saja.”
Kedua mata pendekar ini menjadi basah dan beberapa kali dia memejamkan mata untuk nenahan runtuhnya air matanya.
Dengan air mata masih menetes di sepanjang pipinya, Kim Hwee Li bangkit berdiri dan menepuk dada, membanting kakinya.
“Hendak kulihat siapa orangnya yang berani mengejek suamiku! Ingin kulihat siapa berani! Siapa....?”
Ia menantang-nantang seolah-olah di depannya berdiri seluruh manusia di dunia yang berani lancang mengejek suaminya yang dicintanya sepenuh hati.
Diam-diam Cin Liong kagum melihat nyonya ini dan dapat merasakan besarnya cinta yang terkandung dalam dada nyonya itu terhadap suaminya.
“Maaf.... ji-wi locianpwe.... sesungguhnya saya menjadi bingung sekali.... saya datang untuk menjernihkan suasana, tetapi kiranya malah diterima salah dan kalau kedatangan saya hanya makin mengeruhkan keadaan, harap sudi memberi penjelasan dan saya bersedia untuk minta maaf,” katanya merendah.
Kim Hwee Li menarik napas panjang.
“Duduklah, Cin Liong. Suamiku ini memang keras kepala dan keras hati pula. Dia sedang dalam keadaan sakit yang cukup parah karena guncangan batin. Dia tahu akan keadaannya itu maka agaknya menantangmu agar dia dapat mati di tanganmu.”
“Locianpwe....!” Cin Liong berseru terkejut sekali sambil memandang kepada Suma Kian Lee.
Jadi itukah gerangan sebabnya mengapa pendekar itu menantangnya dan membiarkan dirinya terluka dalam pertemuan tenaga sakti? Kiranya sedang menderita sakit sehingga lemah dan mencari kesempatan tewas dalam pertandingan itu! Dia bergidik. Tanpa disadarinya hampir dia menjadi pembunuh orang yang sedang lemah dan sakit!
“Apa.... apa artinya semua ini?”
Suma Kian Lee menarik napas panjang dan memandang pemuda itu. Kemuraman dan kedukaan membayang di wajahnya, sungguh berbeda dengan tadi ketika menghadapi maut, wajah pendekar itu berseri gembira.
“Kami telah menghina keluarga Kao, bahkan telah menjatuhkan fitnah keji atas dirimu yang ternyata tidak berdosa. Aku merasa malu sekali. Maka ketika engkau datang, mewakili keluargamu, sungguh kebetulan bagiku karena aku dapat menebus dosaku itu. Kekuatan kita seimbang, akan tetapi aku sedang sakit dan kalau aku tewas di tanganmu dalam sebuah pertandingan yang adil, aku.... aku tidak perlu malu bertemu dengan ayah bundamu....”
“Tapi, locianpwe. Kami sekeluarga sama sekali tidak mendendam atas perlakuan ji-wi locianpwe sekeluarga karena ayah juga merasa yakin bahwa ada sesuatu di balik semua itu. Begitu saya kembali ke rumah, ayah dan ibu menegur saya tentang.... ehh, tentang.... perkosaan yang katanya saya lakukan. Karena itulah saya penasaran, locianpwe, dan ingin membikin terang duduknya persoalan, bukan karena dendam oleh penghinaan itu. Kalau toh ada penghinaan itu terhadap keluarga kami, tentu terjadi karena kesalah pengertian di pihak locianpwe sekeluarga.”
“Memang sebenarnya demikianlah, Cin Liong. Ada salah pengertian besar di pihak kami yang baru kami ketahui setelah terlambat....,” kata Kim Hwee Li dengan suara berat.
“Akan tetapi, locianpwe, sebetulnya.... apakah yang telah terjadi dengan.... Hui-i (bibi Hui)? Ji-wi locianpwe mengetahui perasaan saya terhadap Hui-i, dan maafkan kalau pertanyaan saya itu terlalu mendesak, mengingat bahwa Hui-i sekarang telah menikah dengan bahagia....”
“Tidak! Dia.... dia.... ahhh....” Suma Kian Lee tidak melanjutkan kata-katanya dan menunduk dengan muka muram.
Cin Liong menatap wajah pendekar itu, lalu menoleh kepada isteri pendekar itu. Akan tetapi keduanya tidak melanjutkan keterangan mereka dan nampaknya berat sekali untuk bicara.
Akhirnya Kim Hwee Li berkata,
“Cin Liong, kami tidak dapat memberi tahu kepadamu....”
Cin Liong menunduk, merasa terpukul hatinya. Dia bagai diingatkan bahwa dia bukanlah apa.... apa, bukan keluarga dan tentu saja tidak berhak bertanya-tanpa tentang diri Suma Hui. Dia menundukkan mukanya dan berkata dengan suara berat,
“Maaf.... saya telah bersikap lancang....”
“Tidak, Cin Liong. Engkau telah kejatuhan fitnah, biar pun kini kami mengaku telah salah paham menjatuhkan fitnah keji, akan tetapi engkau berhak mengetahui apa yang telah terjadi maka sampai kami menuduhmu. Akan tetapi.... karena hal ini menyangkut pribadi Hui-ji, maka sebaiknyalah kalau engkau mendengarnya dari mulutnya sendiri, kalau ia mau menceritakan.”
“Tapi.... tapi.... Hui-i sudah....”
“Temui saja ia, Cin Liong,” kata wanita itu. “Ia sedang berlatih di telaga kecil sebelah barat di luar kota ini. Temuilah saja dan lihat saja perkembangannya nanti.”
Cin Liong sudah tahu di mana letaknya telaga kecil itu. Dia lalu memberi hormat kepada kedua orang tua itu, kemudian tanpa bicara lagi dia lalu keluar dan berlari cepat keluar dari kota Thian-cin menuju ke barat, ke arah telaga itu, tanpa mempedulikan orang-orang yang memandang heran melihat seorang pemuda berlari-lari secepat itu.
Seorang gadis dan seorang pemuda sedang berlatih silat di tepi telaga kecil itu. Latihan mereka sungguh akan mentakjubkan orang yang melihatnya. Akan tetapi tempat itu sunyi dan seandainya ada orang yang melihatnya, kiranya kedua orang muda itu tidak akan melakukan latihan di tempat itu.
Tadinya mereka berlatih silat tangan kosong, saling serang dengan hebatnya dan dari sambaran kedua tangan mereka ada hawa pukulan yang sangat kuat menyambar-nyambar, menimbulkan angin pukulan yang membuat pohon di sekitar tempat itu bergoyang-goyang seperti tertiup angin keras.
Kadang-kadang pukulan mereka itu mengeluarkan bunyi bercicitan, bahkan ada kalanya pukulan mereka mengeluarkan uap yang dingin sekali, kemudian berganti menjadi uap yang luar biasa panasnya! Keduanya sama tangkas, sama cepat dan pukulan-pukulan mereka sungguh menggiriskan hati siapa yang melihatnya.
Setelah berlatih silat tangan kosong, saling serang sampai seratus jurus lebih, mereka beristirahat sebentar, kemudian mereka berlatih di tepi telaga. Bergantian mereka mengirim pukulan-pukulan ke arah air telaga dan bukan main hebatnya pukulan itu. Pukulan yang mengandung hawa dingin aneh sekali sampai air yang terlanda pukulan mereka menjadi beku seperti salju dan es!
Kemudian, dengan pukulan yang hawanya panas mereka mencairkan kembali gumpalan-gumpalan salju itu, bahkan nona itu memasukkan lengannya ke air, menggerak-gerakkannya dengan pengerahan tenaga, mengirim getaran-getaran melalui tangannya dan air di sekeliling lengannya menjadi panas!
Mereka itu adalah Suma Hui dan Suma Ciang Bun, dua orang putera dan puteri pendekar Suma Kian Lee. Seperti telah kita ketahui, Suma Kian Lee merasa menyesal bukan main akan aib dan musibah yang menimpa diri puterinya, merasa menyesal bahwa dia telah salah pilih, telah menaruh kepercayaan yang amat besar kepada seorang pemuda seperti Louw Tek Ciang yang kemudian ternyata adalah seorang penjahat cabul murid Jai-hwa Siauw-ok! Dia bukan hanya mempercayai pemuda itu, bahkan telah mengambilnya sebagai murid, sebagai ahli waris ilmu-ilmu silat keluarga Pulau Es dan juga telah memilihnya sebagai mantu!
Setelah diketahuinya bahwa pemuda bejat akhlak itu seorang penjahat licik yang telah memperkosa Suma Hui, kemudian menggunakan nama Cin Liong untuk menjatuhkan fitnah, Suma Kian Lee baru sadar akan kebodohan dan kekeliruannya. Dia melarang kedua orang anaknya melakukan pencarian. Louw Tek Ciang sudah terlampau lihai bagi mereka, apalagi di sampingnya masih terdapat seorang datuk sesat seperti Jai-hwa Siauw-ok!
Maka, dia lalu menggembleng kedua orang anaknya itu siang malam tanpa mengenal lelah. Dua orang muda itu pun berlatih dengan amat tekunnya sehingga lewat dua tahun saja, mereka yang memang sudah mempunyai dasar ilmu-ilmu dari keluarga Pulau Es, telah menguasai kedua Ilmu Hwi-yang Sin-ciang dan Swat-im Sin-ciang yang amat hebat itu.
Sejak mengalami peristiwa yang amat mengguncangkan batinnya, yaitu pemerkosaan terhadap dirinya yang disusul dengan guncangan-guncangan lain, Suma Hui kini nampak matang dan ada garis-garis penderitaan di ujung bibir dan ujung matanya. Usianya baru dua puluh dua atau dua puluh tiga tahun, akan tetapi ia kelihatan lebih matang.
Dia telah digembleng pergalaman-pengalaman yang amat mengguncangkan batinnya. Pemerkosaan atas dirinya merupakan aib yang hebat, akan tetapi persangkaan yang sudah yakin bahwa pemerkosanya adalah Kao Cin Liong, pemuda yang dicintanya, benar-benar menghancurkan batinnya dan membuat ia hampir putus asa.
Kemudian, semua ini masih disusul lagi oleh peristiwa keributan antara keluarganya dan keluarga Kao, dan yang kemudian sekali, kenyataan bahwa pemerkosanya ternyata sama sekali bukanlah Kao Cin Liong melainkan Louw Tek Ciang, pemuda yang menjadi suheng-nya dan juga suaminya sendiri, benar-benar merupakan pukulan terakhir baginya.
Pukulan terakhir ini melandanya dengan perasaan-perasaan yang bercampur aduk. Ada rasa girang bahwa pemuda yang dicintanya, Kao Cin Liong, ternyata bukanlah seorang jahat dan sama sekali tidak melakukan perbuatan laknat itu! Rasa girang ini bercampur rasa penyesalan besar sekali karena ia telah menuduh pemuda itu, menuduhnya dan hampir membunuhnya. Bahkan menuduh Cin Liong langsung di depan orang tuanya yang mendatangkan penghinaan kepada keluarga Kao!
Di samping rasa girang dan sesal yang hampir tak tertahankan olehnya ini, ada lagi rasa marah dan dendam yang berkobar-kobar terhadap Louw Tek Ciang! Dendam inilah yang membuat Suma Hui berlatih dengan amat tekunnya, tidak ingat waktu, tidak mengenal lelah, seolah-olah tujuan hidupnya hanya tinggal belajar ilmu silat sepandai-pandainya untuk kemudian mencari dan membunuh Louw Tek Ciang si jahanam!
Suma Ciang Bun juga berlatih dengan sama giatnya. Bukan saja karena semangat belajar enci-nya itu menular kepadanya, akan tetapi juga pemuda ini mengalami ketegangan dan guncangan batin karena konflik-konflik yang terjadi di dalam dirinya sendiri. Melihat kelainan yang melanda batinnya, Ciang Bun menjadi gelisah sekali.
Enci-nya merupakan orang pertama, bahkan satu-satunya orang yang dipercayanya dan yang mengetahui keadaan dirinya. Akan tetapi enci-nya juga bingung dan tidak mampu menolongnya, bahkan tidak mampu memberi nasehat sehingga Ciang Bun lalu mencari pelarian dalam berlatih mati-matian.
Dengan melatih diri mati-matian tanpa mengenal lelah itu, sedikitnya dia dapat melupakan kegelisahannya dan karena dia tidak banyak bergaul, maka kelainan itu pun tidak terlalu mengganggunya.
Demikianlah, dengan latar belakang dorongan masing-masing, kedua orang enci dan adik ini berlatih dengan amat giatnya dan pada waktu itu, latihan-latihan mereka sudah mencapai tingkat terakhir dan hanya tinggal mematangkan saja dengan latihan selanjutnya.
Ayahnya telah menuangkan semua ilmunya kepada mereka, demikian juga ibu mereka. Saking besarnya semangat belajar mereka, Suma Hui bahkan mempelajari ilmu-ilmu aneh dari ibunya, yaitu ilmu pawang ular, ilmu untuk menaklukkan ular-ular yang dikuasai oleh ibunya, juga memperdalam ilmu pukulan Cui-beng Pat-ciang yang hanya delapan jurus akan tetapi amat hebatnya itu dari ibunya.
Bahkan, menurut petunjuk ibunya, gadis ini sudah berhasil memperoleh ular kalung emas, seekor ular yang amat berbisa, dan memeliharanya sehingga ular yang amat ganas itu jinak sekali terhadap Suma Hui, akan tetapi merupakan senjata yang amat ampuh terhadap lawan. Ayahnya kurang setuju, karena ilmu seperti itu, kalau digunakan untuk menghadapi lawan, termasuk ilmu sesat. Akan tetapi Suma Hui berjanji bahwa ia akan mempergunakan senjata ular dan ilmunya memanggil ular-ular itu hanya apabila menghadapi Tek Ciang dan kawan-kawannya, kaum sesat.
Suma Ciang Bun juga tidak mau kalah. Pemuda ini telah memilih ilmu yang diwarisi ayahnya dari mendiang neneknya, yakni nenek Lulu. Di samping ilmu-ilmu dari keluarga Pulau Es, pemuda ini juga mewarisi Ilmu Toat-beng Bian-kun dan Hong-in Bun-hoat. Kemudian, dari ibunya dia mempelajari ilmu melempar senjata rahasia berupa jarum-jarum halus yang harum baunya.
Melihat betapa puteranya amat berbakat bermain pedang, ayahnya memberi kepadanya sepasang pedang yang sangat baik buatannya, dari baja murni dan pedang itu amat indah, terukir bunga teratai dan pedang itu bernama Lian-hwa Siang-kiam (Sepasang Pedang Bunga Teratai).
Ciang Bun suka sekali dengan sepasang pedang yang tipis ini, yang dimasukkan dalam satu sarung. Gagangnya dihias emas permata dan diukir indah dengan gambar bunga-bunga teratai putih dan merah. Memang pada dasarnya Ciang Bun suka bersolek, maka sepasang pedang yang indah ini sangat disukainya. Dari ayahnya dia mempelajari ilmu pedang pasangan yang bernama Siang-mo Kiam-hoat (Ilmu Pedang Sepasang Iblis).
Demikianlah keadaan dua orang kakak beradik yang sedang berlatih silat di tepi telaga itu. Sejak tadi Cin Liong sudah tiba di situ dan hatinya diliputi rasa haru yang amat besar ketika dia melihat Suma Hui berlatih bersama Ciang Bun.
Suma Hui! Hatinya menjerit-jerit memanggil nama gadis itu dan rasa rindunya yang sudah mendalam itu membuat dia hampir tidak dapat menahannya. Ingin dia mendekati gadis itu, merangkulnya, menciumnya, dan membisikkan kata-kata cinta kepadanya. Saat itu terasa benar olehnya betapa dia sangat mencinta gadis itu! Betapa dia akan sukar untuk dapat melupakan gadis itu selama hidupnya dan betapa akan sukarnya mencari penggantinya.
“Hui-moi....!” Jeritan hati ini tanpa disadarinya lagi telah terlontar lewat mulutnya sendiri.
Suma Hui yang kini berada di tepi telaga itu bukan lagi Suma Hui kekasihnya dahulu. Dia sudah tidak bebas lagi karena telah menjadi isteri orang! Biar pun teriakannya tadi tidak begitu keras dan jaraknya masih jauh, akan tetapi agaknya suaranya terdengar oleh dua orang kakak beradik itu, atau mungkin juga mereka merasakan kehadirannya. Keduanya menoleh dan melihatnya.
Yang pertama kali berseru adalah Suma Ciang Bun. Pemuda itu sedemikian girangnya ketika melihat Cin Liong sehingga dia melompat dan menghampiri pemuda itu, lalu merangkulnya.
“Cin Liong, ke mana sajakah engkau selama ini? Ahhh, engkau kurus benar!”
Cin Liong hanya tersenyum dan memandang ke arah Suma Hui yang masih berdiri saja seperti telah berubah menjadi patung dan dia melihat betapa wajah gadis itu menjadi pucat sekali.
“Paman Ciang Bun, engkau kini sudah kelihatan dewasa. Ahh, ilmu silatmu tentu sudah tinggi sekali sekarang!” kata Cin Liong menanggapi kegembiraan yang diperlihatkan Ciang Bun.
“Cin Liong, kebetulan engkau datang. Kami memang sedang berlatih. Mari, kau beri petunjuk padaku agar aku dapat melihat di mana letak kekurangan dan kesalahanku!” berkata demikian, Ciang Bun lalu maju menyerang.
Melihat betapa lawannya sudah memasang kuda-kuda, Cin Liong yang tak sudi disebut pengecut itu sudah menerjang sambil mengeluarkan teriakan peringatan. Hantamannya amat kuat dan cepat, namun dengan indahnya serangan pertama itu dapat dihindarkan oleh Suma Kian Lee yang juga memiliki gerakan yang mantap dan kuat. Suma Kian Lee mengelak sambil membalas serangan dengan tidak kalah kuatnya, akan tetapi Cin Liong juga dapat mengelak dengan cepat.
Terjadilah serang-menyerang dengan serunya dan diam-diam kedua orang pendekar tua dan muda ini saling kagum akan kehebatan dan kegesitan lawan. Ilmu silat mereka berbeda sekali, dari sumber yang berlainan, akan tetapi keduanya sama kuatnya, sama indahnya dan sama mantapnya. Mungkin saja Kian Lee menang latihan dan menang matang, akan tetapi Cin Liong yang menang muda itu tentu saja menang napas dan menang cepat gerakannya.
“Lihat pukulan!”
Tiba-tiba Suma Kian Lee berseru setelah mereka bertanding lebih dari tiga puluh jurus dan hanya mengandalkan kecekatan mereka untuk saling mengelak dan saling membalas.
Kini pendekar Pulau Es itu mengerahkan tenaga Swat-im Sinkang dan menghantam dengan kecepatan yang tak mungkin dapat dielakkan lagi oleh lawan. Cin Liong terkejut, mengenal pukulan ampuh yang hawanya mengandung dingin luar biasa ini. Dia sudah mendengar bahwa para pendekar Pulau Es memiliki dua macam ilmu andalan, yaitu Swat-im Sin-ciang (Tangan Sakti Inti Salju) dan Hwi-yang Sin-ciang (Tangan Sakti Inti Api), maka merasa betapa dinginnya pukulan ini, dia dapat menduga bahwa ini tentulah pukulan Tenaga Sakti Inti Salju itu.
Dia pun cepat mengerahkan tenaganya dan karena maklum bahwa kekuatan lawan amatlah hebatnya, dia pun tidak mau membahayakan dirinya dan langsung saja dia menggunakan Ilmu Sin-liong Ciang-hoat dengan menggunakan tenaga inti bumi dalam pengerahan tenaga Sin-liong Hok-te. Tubuhnya tiba-tiba menelungkup dan saat pukulan datang, ia pun meloncat dan menerima pukulan kedua tangan itu dengan kedua telapak tangannya sendiri.
“Dessss....!”
Dua tenaga raksasa bertemu di tengah udara dan akibatnya, tubuh Cin Liong terpental ke belakang sampai tiga tombak. Akan tetapi sebaliknya Suma Kian-Lee terhuyung, mukanya menjadi pucat dan mulutnya mengeluarkan sedikit darah segar!
Cin Liong terkejut bukan main. Dia tidak merasa terluka walau pun tubuhnya terlempar, dan kini dia menghampiri lawannya, bermaksud untuk memeriksa kalau-kalau lawannya terluka parah. Akan tetapi, betapa kagetnya ketika kini Suma Kian Lee membentak lagi,
“Lihat pukulan....!”
Kali ini pukulan pendekar Pulau Es itu membawa hawa yang panas. Tahulah Cin Liong bahwa pukulan ini tentulah Hwi-yang Sin-ciang. Maka dia pun cepat mengumpulkan tenaga dan menerima pukulan itu dengan kedua telapak tangan. Untuk mengelakkan pukulan sakti seperti itu jauh lebih berbahaya lagi.
“Blaarrrr....!”
Cin Liong terlempar lagi dan terbanting keras, seluruh tubuhnya terasa panas dan dia terkejut bukan main. Akan tetapi hanya kepalanya yang terasa pening dan dia bangkit kembali, menggoyang-goyangkan kepalanya mengusir kepeningan. Ketika memandang, dia melihat lawannya masih berdiri tegak, namun tubuhnya bergoyang-goyang dan dari mulutnya mengalir darah segar lebih banyak lagi. Dan pendekar tua itu tersenyum!
“Bagus! Tidak memalukan engkau menjadi putera Naga Sakti Gurun Pasir dan engkau memang pantas mencuci penghinaan atas nama keluargamu. Aku tidak malu roboh di tanganmu. Mari lanjutkan....!” Dan Suma Kian Lee sudah melangkah maju lagi walau pun terhuyung-huyung.
Cin Liong kebingungan. Dia tahu bahwa lawannya terluka parah. Akan tetapi, lawannya masih hendak menyerang lagi, maka terpaksa dia pun cepat memasang kuda-kuda dengan waspada karena maklum bahwa para pendekar Pulau Es merupakan gudang-gudang ilmu silat tinggi yang amat hebat.
“Kao Cin Liong, terimalah seranganku!” kata Suma Kian Lee.
Akan tetapi pada saat dia melangkah maju, siap menerjang, terdengar jeritan nyaring.
“Tahan....!” Dan sesosok bayangan meluncur datang, lalu memeluknya dari belakang. “Suamiku, apa yang kau lakukan ini? Ya Tuhan.... engkau.... engkau terluka....!”
Wanita itu adalah Kim Hwee Li yang segera memapah suaminya diajak duduk di atas bangku di sudut ruangan yang luas itu.
Ditangani isterinya, Kian Lee tidak banyak membantah. Dia pun segera duduk bersila di atas lantai seperti yang diminta isterinya dan Kim Hwee Li sudah menempelkan kedua tangannya ke dada suaminya.
“Kao Cin Liong, ke sinilah dan bantu aku mengobati suamiku. Cepat!” kata wanita itu.
Cin Liong cepat menghampiri. Biar pun dia bingung sekali, akan tetapi dia tidak ragu-ragu untuk cepat duduk bersila di belakang kakek itu dan menempelkan kedua telapak tangannya ke punggung Kian Lee sambil mengerahkan sinkang perlahan-lahan. Dia pun tahu cara pengobatan dengan sinkang untuk menyembuhkan luka sebelah dalam tubuh orang.
Setelah diobati oleh pengerahan sinkang kedua orang itu, akhirnya wajah Kian Lee menjadi merah kembali dan pernapasannya menjadi tenang dan pulih. Dia menarik napas berkali-kali lalu berkata,
“Sudah, cukuplah....”
Kim Hwee Li melepaskan tangannya dan diturut pula oleh Cin Liong yang cepat bangkit berdiri mundur beberapa langkah, menanti dengan sikap hormat. Kim Hwee Li mengajak suaminya bangkit duduk di atas bangku dan nyonya itu setelah memandang wajah suaminya dan Cin Liong berganti-ganti, lalu membanting kakinya.
“Suamiku ini semakin tua semakin bandel dan keras kepala!”
Lalu nyonya itu menangis, mengusap air matanya dengan punggung tangan. Mengharukan sekali melihat nyonya ini menahan tangisnya seperti anak kecil yang sedih sekali.
Suma Kian Lee kembali menghela napas.
“Isteriku, kenapa engkau tidak membiarkan aku mati terhormat seperti orang gagah? Apa artinya hidup akan tetapi menanggung malu dan telah melakukan kesalahan memalukan yang besar sekali terhadap keluarga Kao? Aku hanya akan menjadi bahan ejekan orang saja.”
Kedua mata pendekar ini menjadi basah dan beberapa kali dia memejamkan mata untuk nenahan runtuhnya air matanya.
Dengan air mata masih menetes di sepanjang pipinya, Kim Hwee Li bangkit berdiri dan menepuk dada, membanting kakinya.
“Hendak kulihat siapa orangnya yang berani mengejek suamiku! Ingin kulihat siapa berani! Siapa....?”
Ia menantang-nantang seolah-olah di depannya berdiri seluruh manusia di dunia yang berani lancang mengejek suaminya yang dicintanya sepenuh hati.
Diam-diam Cin Liong kagum melihat nyonya ini dan dapat merasakan besarnya cinta yang terkandung dalam dada nyonya itu terhadap suaminya.
“Maaf.... ji-wi locianpwe.... sesungguhnya saya menjadi bingung sekali.... saya datang untuk menjernihkan suasana, tetapi kiranya malah diterima salah dan kalau kedatangan saya hanya makin mengeruhkan keadaan, harap sudi memberi penjelasan dan saya bersedia untuk minta maaf,” katanya merendah.
Kim Hwee Li menarik napas panjang.
“Duduklah, Cin Liong. Suamiku ini memang keras kepala dan keras hati pula. Dia sedang dalam keadaan sakit yang cukup parah karena guncangan batin. Dia tahu akan keadaannya itu maka agaknya menantangmu agar dia dapat mati di tanganmu.”
“Locianpwe....!” Cin Liong berseru terkejut sekali sambil memandang kepada Suma Kian Lee.
Jadi itukah gerangan sebabnya mengapa pendekar itu menantangnya dan membiarkan dirinya terluka dalam pertemuan tenaga sakti? Kiranya sedang menderita sakit sehingga lemah dan mencari kesempatan tewas dalam pertandingan itu! Dia bergidik. Tanpa disadarinya hampir dia menjadi pembunuh orang yang sedang lemah dan sakit!
“Apa.... apa artinya semua ini?”
Suma Kian Lee menarik napas panjang dan memandang pemuda itu. Kemuraman dan kedukaan membayang di wajahnya, sungguh berbeda dengan tadi ketika menghadapi maut, wajah pendekar itu berseri gembira.
“Kami telah menghina keluarga Kao, bahkan telah menjatuhkan fitnah keji atas dirimu yang ternyata tidak berdosa. Aku merasa malu sekali. Maka ketika engkau datang, mewakili keluargamu, sungguh kebetulan bagiku karena aku dapat menebus dosaku itu. Kekuatan kita seimbang, akan tetapi aku sedang sakit dan kalau aku tewas di tanganmu dalam sebuah pertandingan yang adil, aku.... aku tidak perlu malu bertemu dengan ayah bundamu....”
“Tapi, locianpwe. Kami sekeluarga sama sekali tidak mendendam atas perlakuan ji-wi locianpwe sekeluarga karena ayah juga merasa yakin bahwa ada sesuatu di balik semua itu. Begitu saya kembali ke rumah, ayah dan ibu menegur saya tentang.... ehh, tentang.... perkosaan yang katanya saya lakukan. Karena itulah saya penasaran, locianpwe, dan ingin membikin terang duduknya persoalan, bukan karena dendam oleh penghinaan itu. Kalau toh ada penghinaan itu terhadap keluarga kami, tentu terjadi karena kesalah pengertian di pihak locianpwe sekeluarga.”
“Memang sebenarnya demikianlah, Cin Liong. Ada salah pengertian besar di pihak kami yang baru kami ketahui setelah terlambat....,” kata Kim Hwee Li dengan suara berat.
“Akan tetapi, locianpwe, sebetulnya.... apakah yang telah terjadi dengan.... Hui-i (bibi Hui)? Ji-wi locianpwe mengetahui perasaan saya terhadap Hui-i, dan maafkan kalau pertanyaan saya itu terlalu mendesak, mengingat bahwa Hui-i sekarang telah menikah dengan bahagia....”
“Tidak! Dia.... dia.... ahhh....” Suma Kian Lee tidak melanjutkan kata-katanya dan menunduk dengan muka muram.
Cin Liong menatap wajah pendekar itu, lalu menoleh kepada isteri pendekar itu. Akan tetapi keduanya tidak melanjutkan keterangan mereka dan nampaknya berat sekali untuk bicara.
Akhirnya Kim Hwee Li berkata,
“Cin Liong, kami tidak dapat memberi tahu kepadamu....”
Cin Liong menunduk, merasa terpukul hatinya. Dia bagai diingatkan bahwa dia bukanlah apa.... apa, bukan keluarga dan tentu saja tidak berhak bertanya-tanpa tentang diri Suma Hui. Dia menundukkan mukanya dan berkata dengan suara berat,
“Maaf.... saya telah bersikap lancang....”
“Tidak, Cin Liong. Engkau telah kejatuhan fitnah, biar pun kini kami mengaku telah salah paham menjatuhkan fitnah keji, akan tetapi engkau berhak mengetahui apa yang telah terjadi maka sampai kami menuduhmu. Akan tetapi.... karena hal ini menyangkut pribadi Hui-ji, maka sebaiknyalah kalau engkau mendengarnya dari mulutnya sendiri, kalau ia mau menceritakan.”
“Tapi.... tapi.... Hui-i sudah....”
“Temui saja ia, Cin Liong,” kata wanita itu. “Ia sedang berlatih di telaga kecil sebelah barat di luar kota ini. Temuilah saja dan lihat saja perkembangannya nanti.”
Cin Liong sudah tahu di mana letaknya telaga kecil itu. Dia lalu memberi hormat kepada kedua orang tua itu, kemudian tanpa bicara lagi dia lalu keluar dan berlari cepat keluar dari kota Thian-cin menuju ke barat, ke arah telaga itu, tanpa mempedulikan orang-orang yang memandang heran melihat seorang pemuda berlari-lari secepat itu.
Seorang gadis dan seorang pemuda sedang berlatih silat di tepi telaga kecil itu. Latihan mereka sungguh akan mentakjubkan orang yang melihatnya. Akan tetapi tempat itu sunyi dan seandainya ada orang yang melihatnya, kiranya kedua orang muda itu tidak akan melakukan latihan di tempat itu.
Tadinya mereka berlatih silat tangan kosong, saling serang dengan hebatnya dan dari sambaran kedua tangan mereka ada hawa pukulan yang sangat kuat menyambar-nyambar, menimbulkan angin pukulan yang membuat pohon di sekitar tempat itu bergoyang-goyang seperti tertiup angin keras.
Kadang-kadang pukulan mereka itu mengeluarkan bunyi bercicitan, bahkan ada kalanya pukulan mereka mengeluarkan uap yang dingin sekali, kemudian berganti menjadi uap yang luar biasa panasnya! Keduanya sama tangkas, sama cepat dan pukulan-pukulan mereka sungguh menggiriskan hati siapa yang melihatnya.
Setelah berlatih silat tangan kosong, saling serang sampai seratus jurus lebih, mereka beristirahat sebentar, kemudian mereka berlatih di tepi telaga. Bergantian mereka mengirim pukulan-pukulan ke arah air telaga dan bukan main hebatnya pukulan itu. Pukulan yang mengandung hawa dingin aneh sekali sampai air yang terlanda pukulan mereka menjadi beku seperti salju dan es!
Kemudian, dengan pukulan yang hawanya panas mereka mencairkan kembali gumpalan-gumpalan salju itu, bahkan nona itu memasukkan lengannya ke air, menggerak-gerakkannya dengan pengerahan tenaga, mengirim getaran-getaran melalui tangannya dan air di sekeliling lengannya menjadi panas!
Mereka itu adalah Suma Hui dan Suma Ciang Bun, dua orang putera dan puteri pendekar Suma Kian Lee. Seperti telah kita ketahui, Suma Kian Lee merasa menyesal bukan main akan aib dan musibah yang menimpa diri puterinya, merasa menyesal bahwa dia telah salah pilih, telah menaruh kepercayaan yang amat besar kepada seorang pemuda seperti Louw Tek Ciang yang kemudian ternyata adalah seorang penjahat cabul murid Jai-hwa Siauw-ok! Dia bukan hanya mempercayai pemuda itu, bahkan telah mengambilnya sebagai murid, sebagai ahli waris ilmu-ilmu silat keluarga Pulau Es dan juga telah memilihnya sebagai mantu!
Setelah diketahuinya bahwa pemuda bejat akhlak itu seorang penjahat licik yang telah memperkosa Suma Hui, kemudian menggunakan nama Cin Liong untuk menjatuhkan fitnah, Suma Kian Lee baru sadar akan kebodohan dan kekeliruannya. Dia melarang kedua orang anaknya melakukan pencarian. Louw Tek Ciang sudah terlampau lihai bagi mereka, apalagi di sampingnya masih terdapat seorang datuk sesat seperti Jai-hwa Siauw-ok!
Maka, dia lalu menggembleng kedua orang anaknya itu siang malam tanpa mengenal lelah. Dua orang muda itu pun berlatih dengan amat tekunnya sehingga lewat dua tahun saja, mereka yang memang sudah mempunyai dasar ilmu-ilmu dari keluarga Pulau Es, telah menguasai kedua Ilmu Hwi-yang Sin-ciang dan Swat-im Sin-ciang yang amat hebat itu.
Sejak mengalami peristiwa yang amat mengguncangkan batinnya, yaitu pemerkosaan terhadap dirinya yang disusul dengan guncangan-guncangan lain, Suma Hui kini nampak matang dan ada garis-garis penderitaan di ujung bibir dan ujung matanya. Usianya baru dua puluh dua atau dua puluh tiga tahun, akan tetapi ia kelihatan lebih matang.
Dia telah digembleng pergalaman-pengalaman yang amat mengguncangkan batinnya. Pemerkosaan atas dirinya merupakan aib yang hebat, akan tetapi persangkaan yang sudah yakin bahwa pemerkosanya adalah Kao Cin Liong, pemuda yang dicintanya, benar-benar menghancurkan batinnya dan membuat ia hampir putus asa.
Kemudian, semua ini masih disusul lagi oleh peristiwa keributan antara keluarganya dan keluarga Kao, dan yang kemudian sekali, kenyataan bahwa pemerkosanya ternyata sama sekali bukanlah Kao Cin Liong melainkan Louw Tek Ciang, pemuda yang menjadi suheng-nya dan juga suaminya sendiri, benar-benar merupakan pukulan terakhir baginya.
Pukulan terakhir ini melandanya dengan perasaan-perasaan yang bercampur aduk. Ada rasa girang bahwa pemuda yang dicintanya, Kao Cin Liong, ternyata bukanlah seorang jahat dan sama sekali tidak melakukan perbuatan laknat itu! Rasa girang ini bercampur rasa penyesalan besar sekali karena ia telah menuduh pemuda itu, menuduhnya dan hampir membunuhnya. Bahkan menuduh Cin Liong langsung di depan orang tuanya yang mendatangkan penghinaan kepada keluarga Kao!
Di samping rasa girang dan sesal yang hampir tak tertahankan olehnya ini, ada lagi rasa marah dan dendam yang berkobar-kobar terhadap Louw Tek Ciang! Dendam inilah yang membuat Suma Hui berlatih dengan amat tekunnya, tidak ingat waktu, tidak mengenal lelah, seolah-olah tujuan hidupnya hanya tinggal belajar ilmu silat sepandai-pandainya untuk kemudian mencari dan membunuh Louw Tek Ciang si jahanam!
Suma Ciang Bun juga berlatih dengan sama giatnya. Bukan saja karena semangat belajar enci-nya itu menular kepadanya, akan tetapi juga pemuda ini mengalami ketegangan dan guncangan batin karena konflik-konflik yang terjadi di dalam dirinya sendiri. Melihat kelainan yang melanda batinnya, Ciang Bun menjadi gelisah sekali.
Enci-nya merupakan orang pertama, bahkan satu-satunya orang yang dipercayanya dan yang mengetahui keadaan dirinya. Akan tetapi enci-nya juga bingung dan tidak mampu menolongnya, bahkan tidak mampu memberi nasehat sehingga Ciang Bun lalu mencari pelarian dalam berlatih mati-matian.
Dengan melatih diri mati-matian tanpa mengenal lelah itu, sedikitnya dia dapat melupakan kegelisahannya dan karena dia tidak banyak bergaul, maka kelainan itu pun tidak terlalu mengganggunya.
Demikianlah, dengan latar belakang dorongan masing-masing, kedua orang enci dan adik ini berlatih dengan amat giatnya dan pada waktu itu, latihan-latihan mereka sudah mencapai tingkat terakhir dan hanya tinggal mematangkan saja dengan latihan selanjutnya.
Ayahnya telah menuangkan semua ilmunya kepada mereka, demikian juga ibu mereka. Saking besarnya semangat belajar mereka, Suma Hui bahkan mempelajari ilmu-ilmu aneh dari ibunya, yaitu ilmu pawang ular, ilmu untuk menaklukkan ular-ular yang dikuasai oleh ibunya, juga memperdalam ilmu pukulan Cui-beng Pat-ciang yang hanya delapan jurus akan tetapi amat hebatnya itu dari ibunya.
Bahkan, menurut petunjuk ibunya, gadis ini sudah berhasil memperoleh ular kalung emas, seekor ular yang amat berbisa, dan memeliharanya sehingga ular yang amat ganas itu jinak sekali terhadap Suma Hui, akan tetapi merupakan senjata yang amat ampuh terhadap lawan. Ayahnya kurang setuju, karena ilmu seperti itu, kalau digunakan untuk menghadapi lawan, termasuk ilmu sesat. Akan tetapi Suma Hui berjanji bahwa ia akan mempergunakan senjata ular dan ilmunya memanggil ular-ular itu hanya apabila menghadapi Tek Ciang dan kawan-kawannya, kaum sesat.
Suma Ciang Bun juga tidak mau kalah. Pemuda ini telah memilih ilmu yang diwarisi ayahnya dari mendiang neneknya, yakni nenek Lulu. Di samping ilmu-ilmu dari keluarga Pulau Es, pemuda ini juga mewarisi Ilmu Toat-beng Bian-kun dan Hong-in Bun-hoat. Kemudian, dari ibunya dia mempelajari ilmu melempar senjata rahasia berupa jarum-jarum halus yang harum baunya.
Melihat betapa puteranya amat berbakat bermain pedang, ayahnya memberi kepadanya sepasang pedang yang sangat baik buatannya, dari baja murni dan pedang itu amat indah, terukir bunga teratai dan pedang itu bernama Lian-hwa Siang-kiam (Sepasang Pedang Bunga Teratai).
Ciang Bun suka sekali dengan sepasang pedang yang tipis ini, yang dimasukkan dalam satu sarung. Gagangnya dihias emas permata dan diukir indah dengan gambar bunga-bunga teratai putih dan merah. Memang pada dasarnya Ciang Bun suka bersolek, maka sepasang pedang yang indah ini sangat disukainya. Dari ayahnya dia mempelajari ilmu pedang pasangan yang bernama Siang-mo Kiam-hoat (Ilmu Pedang Sepasang Iblis).
Demikianlah keadaan dua orang kakak beradik yang sedang berlatih silat di tepi telaga itu. Sejak tadi Cin Liong sudah tiba di situ dan hatinya diliputi rasa haru yang amat besar ketika dia melihat Suma Hui berlatih bersama Ciang Bun.
Suma Hui! Hatinya menjerit-jerit memanggil nama gadis itu dan rasa rindunya yang sudah mendalam itu membuat dia hampir tidak dapat menahannya. Ingin dia mendekati gadis itu, merangkulnya, menciumnya, dan membisikkan kata-kata cinta kepadanya. Saat itu terasa benar olehnya betapa dia sangat mencinta gadis itu! Betapa dia akan sukar untuk dapat melupakan gadis itu selama hidupnya dan betapa akan sukarnya mencari penggantinya.
“Hui-moi....!” Jeritan hati ini tanpa disadarinya lagi telah terlontar lewat mulutnya sendiri.
Suma Hui yang kini berada di tepi telaga itu bukan lagi Suma Hui kekasihnya dahulu. Dia sudah tidak bebas lagi karena telah menjadi isteri orang! Biar pun teriakannya tadi tidak begitu keras dan jaraknya masih jauh, akan tetapi agaknya suaranya terdengar oleh dua orang kakak beradik itu, atau mungkin juga mereka merasakan kehadirannya. Keduanya menoleh dan melihatnya.
Yang pertama kali berseru adalah Suma Ciang Bun. Pemuda itu sedemikian girangnya ketika melihat Cin Liong sehingga dia melompat dan menghampiri pemuda itu, lalu merangkulnya.
“Cin Liong, ke mana sajakah engkau selama ini? Ahhh, engkau kurus benar!”
Cin Liong hanya tersenyum dan memandang ke arah Suma Hui yang masih berdiri saja seperti telah berubah menjadi patung dan dia melihat betapa wajah gadis itu menjadi pucat sekali.
“Paman Ciang Bun, engkau kini sudah kelihatan dewasa. Ahh, ilmu silatmu tentu sudah tinggi sekali sekarang!” kata Cin Liong menanggapi kegembiraan yang diperlihatkan Ciang Bun.
“Cin Liong, kebetulan engkau datang. Kami memang sedang berlatih. Mari, kau beri petunjuk padaku agar aku dapat melihat di mana letak kekurangan dan kesalahanku!” berkata demikian, Ciang Bun lalu maju menyerang.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar