FB

FB


Ads

Minggu, 26 Juli 2015

Suling Emas & Naga Siluman Jilid 081

“Cici, mengapa engkau bertanya-tanya tentang usia?”

“Jawab dulu pertanyaanku, apakah engkau dan Kam Hong saling mencinta?”

“Tentu saja, kami adalah Suheng dan Sumoi, dan lebih dari itu, kami sudah banyak menghadapi banyak hal-hal yang hebat bersama, menghadapi maut dan kesengsaraan, ancaman bahaya....“

“Bukan begitu maksudku, mencinta sebagai seorang pria dan wanita.”

Ditanya demikian, sampai lama Ci Sian menundukkan mukanya. Pertanyaan seperti ini memang pernah memasuki hatinya, akan tetapi setiap kali ia segera menghindarinya, karena merasa sukar menerima pertanyaan itu. Akan tetapi, karena pertanyaan itu keluar dari mulut orang lain, maka ia memikirkannya secara mendalam dan akhirnya ia menjawab sejujurnya.

“Entahlah, EnCi Siang In. Aku sendiri tidak tahu, karena kami tidak pernah menyatakannya dengan kata-kata. Akan tetapi, Kam-suheng amat baik kepadaku dan aku.... ah, setelah berpisah darinya, aku merasa betapa aku kehilangan dia, betapa hidupku kesepian dan tiada kegembiraan”

“Hemm, itu artinya engkau cinta padanya, Ci Sian. Dan aku yakin bahwa dia pun tentu jatuh cinta kepadamu.”

“Tapi, kalau benar demikian, Cici, kenapa dia malah meninggalkan aku?”

“Yah, cinta memang kadang-kadang mendatangkan hal-hal yang aneh-aneh.” kata Siang In yang merenung dan mengenangkan pengalaman-pengalamannya sendiri ketika ia bercinta dengan Suma Kian Bu yang kini menjadi suaminya.

“Kalau dia meninggalkanmu, hanya ada dua kemungkinan, Ci Sian. Pertama, karena dia cemburu....”

“Cemburu....? Dia, Kam-suheng cemburu....?” Ci Sian berseru dengan pandang mata terbelalak keheranan.

“Mungkin sekali! Bukankah dia meninggalkanmu setelah munculnya pemuda gagah perkasa Sim Hong Bu itu? Mungkin dia melihat sesuatu antara engkau dan pemuda itu, atau barangkali menduga sesuatu....”

“Ah, jangan-jangan demikian adanya! Sim Hong Bu itu kutinggalkan karena dia.... dia menyatakan cintanya kepadaku!”

“Nah, itulah! Dia tentu melihat tanda-tanda bahwa pemuda yang lain itu jatuh cinta padamu dan merasa cemburu, mengira engkau juga tertarik kepada Sim Hong Bu itu.”

“Akan tetapi, tidak mungkin Kam-suheng sama sekali tidak memiliki watak seperti itu! Dia seorang pendekar tulen, tidak mungkin sedangkal itu jalan pikiran atau perasaan hatinya!”

”Kalau tidak demikian, maka besar kemungkinan adalah karena hal yang kedua.”

“Apakah itu, EnCi Siang In?”

“Karena dia jauh lebih tua darimu, sepatutnya menjadi pamanmu, maka mungkin saja dia sengaja mengundurkan diri setelah melihat bahwa engkau lebih pantas dengan pemuda Sim yang lebih muda dan yang sebaya denganmu itu. Mungkin dia merasa bahwa engkau lebih cocok dengan pemuda yang sebaya, dan melihat bahwa pemuda itu mencintamu, maka dia sengaja mundur. Banyak terdapat pendekar berhati mulia yang sengaja mau berkorban diri demi orang yang dicintanya.”






“Ah, Kam-suheng....!” Dan Ci Sian menangis! Hatinya terharu sekali karena ia pun kini melihat kemungkinan ini.

Kini Siang In yang merangkul dara yang menangis itu, membiarkan Ci Sian menangis dan setelah agak reda tangis dara itu, ia menghibur,

“Sudahlah, Ci Sian. Jangan berduka, dan jangan putus asa. Kalau memang dia mencintamu, tentu dia tidak akan membiarkan engkau begitu saja. Dan kalau memang engkau berjodoh padanya, tentu akan tiba saatnya engkau bertemu kembali dengannya. Agaknya memang orang yang jatuh cinta harus selalu mengalami banyak suka duka, seperti aku dahulu.”

Akhirnya, setelah Ci Sian terhibur dan menghentikan tangisnya, dua orang wanita perkasa ini lalu melanjutkan perjalanan mereka menuju ke utara untuk mendatangi rumah keluarga Bouw, yaitu tuan tanah yang memiliki daerah kekuasaan di sebelah utara dari wilayah kekuasaan Thio-thicu.

Batas tanah antara mereka itu ditandai dengan pagar kawat yang tinggi, akan tetapi tidak sukar bagi Ci Sian dan Siang In untuk melompati pagar dan memasuki wilayah kekuasaan Bouw-thicu. Mereka sebelumnya memang sudah menyelidiki tempat tinggal Bouw-thicu ini, maka kini dengan mudah mereka mengunjungi perkampungan Bouw-thicu yang cukup ramai, tidak kalah ramainya dengan perkampungan tempat tinggal Thio-thicu.

Bagaikan bayangan burung-burung raksasa saja dua orang wanita ini berkelebatan di atas genteng-genteng rumah para penghuni perkampungan itu sampai akhirnya mereka tiba di atas wuwungan yang tinggi dari rumah berloteng milik Bouw-thicu. Tiba-tiba sekali Ci Sian memegang lengan Siang In dan berbisik.

“Ssttt....!”

Siang In kagum sekali akan ketajaman pendengaran dan penglihatan dara itu, dan cepat ia menengok. Benar saja, dari arah barat nampak bayangan orang berkelebatan di atas genteng-genteng rumah orang, dan gerakannya memang cepat bukan main. Dan melihat bentuk tubuh bayangan itu, biarpun dari jauh sudah mudah diduga bahwa bayangan itu adalah seorang wanita. Mereka berdua cepat mendekam di balik wuwungan yang tinggi dan menanti.

Dan memang dugaan mereka benar karena bayangan yang bertubuh ramping itu ternyata datang ke jurusan mereka, atau lebih tepat lagi ke jurusan rumah gedung bertingkat tempat tinggal Bouw-thicu. Dan melihat cara bayangan itu melompat dari genteng tingkat pertama ke atas genteng loteng, dapatlah dimengerti oleh dua orang pendekar wanita itu bahwa bayangan itu memiliki gin-kang yang cukup tinggi, bahkan ketika kaki bayangan itu hinggap di atas genteng loteng, sama sekali tidak terdengar jejak kakinya.

“Tentu ia malingnya....“ bisik Ci Sian dan dara ini sudah hendak bergerak.

Siang In merasakan gerakan ini dan cepat ia memegang lengan Ci Sian dan menggeleng kepala,
“Jangan....”

Ci Sian sadar akan kesembronoannya. Kalau ia bergerak, berarti menggagalkan segala-galanya, padahal, menurut percakapan antara suami istri pendekar itu ia mengerti bahwa mereka berdua itu bukan semata-mata ingin merampas kembali kuda dan menundukkan orang she Bouw, melainkan juga berusaha untuk mengatasi dan mendamaikan pertentangan antara para tuan tanah di daerah Sin-kiang itu.

Maka ia mengangguk dan keduanya membiarkan bayangan itu menyelinap dan melayang turun di bagian belakang bangunan itu. Setelah memberi waktu beberapa lama dan keadaannya sunyi benar, barulah keduanya dengan hati-hati meloncat turun ke belakang bangunan, kemudian melalui taman bunga mereka berindap-indap memasuki bangunan dari tembok belakang yang mereka lompati.

Tak lama kemudian dua orang wanita sakti itu telah mengintai ke dalam sebuah ruangan belakang di gedung itu dan menemukan wanita yang tadi melayang masuk sedang bercakap-cakap dengan seorang laki-laki tinggi besar bermuka hitam. Dari percakapan itu, tahulah mereka bahwa pria tinggi besar itu bukan lain adalah Bouw-thicu, ditemani oleh empat orang pembantunya yang kesemuanya nampak garang dan bertenaga kuat, sedangkan wanita itu tentulah Lui Shi yang telah mereka dengar.

Memang seorang wanita yang cantik, usianya kurang lebih tiga puluh lima tahun akan tetapi nampak masih cantik dengan muka dirias tebal, sikapnya genit, dan pakaiannya serba ringkas namun wanita ini pesolek sekali. Dan mendengar percakapan mereka, tahulah Siang In dan Ci Sian bahwa Lui Shi ini pun baru saja pulang dari penyelidikannya ke tempat tinggal Thio-thicu!

“Bagaimana, Nona Lui, benarkah berita angin itu bahwa orang she Thio itu memperoleh seekor kuda hebat yang dapat menyaingi kuda kita?” antara lain Bouw-thicu bertanya.

Mendengar pertanyaan ini, diam-diam Siang In dan Ci Sian kagum juga akan cara kerjanya para anak buah orang ini sehingga tentang kuda Hek-liong-ma yang akan membantu Thio-thicu dalam perlombaan, sudah didengar oleh orang she Bouw ini.

“Memang benar, Bouw-loya.” jawab wanita yang masih disebut nona itu, yang menunjukkan bahwa wanita ini masih belum menikah. “Akan tetapi Lo-ya tidak usah khawatir, karena biarpun kuda hitam mereka itu pun baik sekali, akan tetapi kuda itu hanyalah seekor kuda jantan. Maka dalam perlombaan, tidak mungkin kuda jantan itu mau melampaui kuda hitamku yang betina. Dan andaikata demikian pun, saya masih mempunyai akal untuk menundukkan kuda lawan itu agar jangan melanggar atau mendahului.”

“Hemm, perlombaan kuda itu penting sekali, Nona Lui, dan bagaimanapun juga, pihak kita tidak boleh sekali-kali kalah. Kalau memang orang she Thio itu benar-benar menemukan kuda jempolan dan dalam perlombaan dapat mengalahkan kudamu, lalu bagaimana?”

“Jangan khawatir, saya mempunyai jampe untuk menahan kuda itu, dan kalau jampe itu gagal, masih ada jarum-jarum saya untuk merobohkannya kalau perlu agar kuda kita tidak terkalahkan.”

Mendengar ini, Bauw-thicu tertawa girang.
“Bagus, bagus.... akalmu sungguh bagus sekali, Nona. Kalau kuda kita benar-benar menang, jangan khawatir, hadiahnya besar sekali untukmu!”

Terdengar mereka tertawa-tawa dan Siang In lalu menarik lengan Ci Sian untuk meninggalkan tempat itu. Dengan hati-hati mereka pergi dan meloncat naik ke atas genteng, lalu mempergunakan ilmu berlari cepat untuk kembali, ke perkampungan Thio-thicu.

“Si Genit itu! Ingin kutampar mukanya yang dipulas itu!” Di tengah jalan Ci Sian mengomel. “Ia mau menjampe kuda dan menyerang dengan jarum! Si keparat!”

“Kita harus sabar dan menanti sampai perlombaan diadakan. Tentang jampe, jangan khawatir, Hek-liong-ma tentu lebih taat kepada suamiku, dan tentang serangan jarumnya....”

“Serahkan saja jarum-jarum itu kepadaku, EnCi Siang In! Kalau benar-benar ia berani menyerang dengan jarum, awas Si Genit itu!” Ci Sian mengepal tinju.

Ketika dua orang pendekar wanita ini tiba kembali di rumah Thio-thicu, ternyata Suma Kian Bu masih menanti di luar kamar dan pendekar ini dengan tersenyum mendengarkan cerita isterinya tentang hasil penyelidikannya. Malam itu mereka mengaso dan tidak terjadi hal-hal yang luar biasa.

**** 081 ****