FB

FB


Ads

Minggu, 26 Juli 2015

Suling Emas & Naga Siluman Jilid 082

Lapangan rumput itu amat luas dan sepotong tanah ini merupakan daerah milik pemerintah, jadi merupakan daerah netral bagi para tuan tanah yang pada pagi hari itu berkumpul di situ.

Suasana amat meriah, seperti dalam pesta. Dan memang pesta itu diadakan tiap tahun dan diprakarsai oleh pejabat pemerintah di Sin-kiang, dalam usahanya untuk mengalihkan permusuhan antara para tuan tanah itu menjadi semacam perlombaan yang sehat. Dan yang populer adalah lumba kuda itulah.

Pembesar yang paling tinggi, yaitu semacam gubernur atau kepala Propinsi Sin-kiang, sudah hadir bersama para pembesar bawahannya yang lain, dan sepasukan tentara pengawal berbaris rapi di seputar panggung kehormatan yang dibangun untuk para pembesar ini, di luar arena perlombaan kuda.

Dari tempat yang tinggi di panggung ini, para pembesar dapat melihat pemandangan yang indah dan aneh, yaitu kelompok-kelompok orang yang mudah dibedakan dari atas dengan melihat warna tenda, pakaian pasukan pengawal, dan bendera mereka. Setiap orang tuan tanah datang bukan hanya membawa kuda jagoan mereka, akan tetapi juga para pembantunya dan sepasukan pengawal masing-masing yang berpakaian seragam. Bermacam-macam warna pakaian pasukan pengawal ini, akan tetapi semuanya berbeda!

Dan lucunya, tenda yang mereka dirikan, untuk Sang Tuan Tanah dan keluarganya tentu saja, agar terlindung dari panas dan dapat menyaksikan balapan itu dengan santai, tenda-tenda itu pun tidak ada yang sama warnanya! Karena perbedaan warna inilah maka pemandangan dari atas panggung para pembesar itu nampak indah dan aneh. Tenda-tenda para tuan tanah itu didirikan di sekitar luar arena perlombaan yang amat luas itu, masing-masing memilih tempat yang agak tinggi agar mudah mengikuti perlumbaan kuda.

Rombongan Thio-thicu berada di tempat yang tidak jauh dari panggung, tempat para pembesar duduk. Seperti para tuan tanah yang lain, juga di tempat ini didirikan sebuah tenda besar tempat Thio-thicu berlindung dari sengatan matahari siang nanti.

Akan tetapi tidak seperti yang lain, Thio-thicu tidak membawa pasukan pengawal, melainkan hanya beberapa orang pengawal yang juga bertindak sebagai pelayan. Bahkan Thio-thicu tidak membawa keluarganya. Pihak tuan tanah Thio ini hanya membawa seekor kuda saja, yang ditutupi selimut kuda sehingga tidak nampak jelas dari luar apa warna kuda itu dan bagaimana macamnya karena muka kuda itu pun tertutup selimut.

Suma Kian Bu dan dua orang pendekar wanita itu datang bersama Thio-thicu. Karena ia akan menunggang Hek-liong-ma ikut berlomba, Ci Sian mengenakan pakaian ringkas warna kuning, rambutnya diikat dengan kain sutera merah. Akan tetapi ia sudah memberitahu kepada Thio-thicu bahwa ia hanya akan keluar bersama kudanya kalau semua peserta sudah berkumpul.

Sejak tadi, banyak sudah peserta yang memasuki gelanggang, menunggangi kuda masing-masing dan menjalankan kuda mereka berkeliling sebagai pemanasan dan juga untuk berlagak. Setiap kuda dengan penunggangnya mempunyai pendukung sendiri-sendiri, tentu saja kawan-kawannya para pembantu majikan masing-masing.

Kali ini, yang mengikuti perlombaan hanya ada sembilan orang thicu, sungguhpun hampir semua thicu yang jumlahnya dua puluh orang lebih itu datang untuk menyaksikan perlombaan itu, juga untuk bertaruh dengan taruhan-taruhan yang besar sekali. Hal ini adalah karena para thicu yang tanggung-tanggung saja sudah mengundurkan diri, tidak berani mengikuti perlombaan, apalagi setelah mendengar akan adanya kuda hitam milik Bouw-thicu yang dapat lari seperti terbang itu.

Yang mengikuti perlumbaan hanyalah para thicu yang tergolong besar, dalam arti luas daerahnya dan kekayaannya. Akan tetapi, semua orang sudah mendengar bahwa yang agaknya akan mampu menandingi kuda hitam milik Bouw-thicu hanyalah Thio-thicu. Menurut kabar angin, Thio-thicu memiliki kuda “simpanan” yang belum pernah dilihat orang, akan tetapi yang kabarnya akan mampu menandingi kuda hitam milik Bouw-thicu itu.

Maka, tujuan orang-orang di situ, termasuk para pembesar, hanyalah kepada dua orang tuan tanah ini. Dan terjadilah taruhan-taruhan besar di antara para thicu yang tidak ikut berlumba, bahkan yang ikut berlumba dengan menurunkan seekor kuda pun ikut berlumba bahkan yang ikut berlumba dengan menurunkan seekor kuda pun ikut berlumba antara dua thicu terkemuka ini.

Sudah ada tujuh ekor kuda yang memasuki arena. Tujuh ekor kuda pilihan yang besar dan kuat, dengan penunggangnya yang semuanya adalah pria-pria muda yang tubuhnya kerempeng. Memang sebaiknya kalau penunggang kuda balap dipilih orang bertubuh kecil dan ringan, demikian pendapat para pemilik kuda balap.

Tujuh ekor kuda itu dengan para penunggangnya, berjalan dengan gagah berputaran di sekitar tempat permulaan, atau garis start di mana telah berkumpul pula para petugas yang mengatur perlumbaan. Di tempat pemberangkatan itu telah dipasang sembilan tempat kuda, agar para kuda itu dapat bersiap dengan tenang dan baru bergerak kalau aba-aba dan pintu tempat itu sudah diberikan dan dibuka.

Akan tetapi karena para pengikut belum lengkap, maka para penunggang kuda belum memasuki tempat masing-masing, masih memperagakan kebolehan mereka menunggang kuda dan keindahan kuda tunggangan mereka.

Agaknya Lui Shi, wanita pembantu Bouw-thicu itu memang sengaja menanti dan hendak melihat seperti apa macamnya kuda yang akan diajukan oleh Thio-thicu, oleh karena itu, ia pun menanti dan belum juga keluar bersama kudanya. Akhirnya setelah menanti dan belum juga kuda jagoan Thio-thicu muncul, dan para penonton yang sudah tidak sabar lagi berteriak-teriak menuntut agar Bouw-thicu yang sudah dinanti-nanti orang itu suka mengeluarkan kudanya, Bouw-thicu menyuruh Lui Shi untuk memasuki arena.

Maka muncullah wanita cantik ini di atas kudanya yang hitam, dengan amat gagahnya memasuki arena itu. Kuda hitamnya memang amat indah. Besar dan bertubuh kuat sekali, bulunya hitam mengkilap seperti dicat, bulu surinya riap-riapan amat rapinya dan bulu ekornya juga subur dan indah.

Wanita itu sendiri nampak cantik dan gagah perkasa, apalagi karena wajahnya yang dirias tebal, dari jauh nampak amat cantik jelita. Pakaiannya dari sutera putih dan merah muda itu serasi benar dengan bulu kuda yang hitam kelam, maka ketika kudanya memasuki arena, dan angin membuat bulu suri dan ekor kuda juga baju sutera putih dan merah muda itu berkibar-kibar, para penonton menyambutnya dengan sorak-sorai dan tepuk tangan. Pada pagi hari itu, boleh dibilang seluruh penduduk di sekitar daerah itu berkumpul di tempat itu, terutama kaum prianya.

Sorak sorai yang menggegap-gempita menyambut munculnya Lui Shi ini membuat kuda hitam yang ditungganginya terkejut dan berdiri di atas dua kaki belakang. Semua orang terkejut dan khawatir, akan tetapi Lui Shi dapat duduk di atas panggung kuda yang berdiri itu dengan enaknya, bahkan mengangkat tangan kiri melambai-lambai ke segala jurusan dengan gaya memikat.

Ketika kuda hitam itu sudah menurunkan kembali kedua kaki depannya, tiba-tiba wanita itu sendiri meloncat dan tubuhnya yang tadinya duduk itu kini berdiri di atas punggung kuda, dan ia melarikan kudanya berputar-putar di situ seperti seorang akrobat pemain sirkus kuda yang mahir.






Kembali para penonton menyambutnya dengan tepuk sorak gembira. Lui Shi sengaja lewat di depan panggung, memberi hormat kepada para pembesar lalu lewat pula di depan rombongan Thio-thicu dengan lagak mengejek. Ketika Lui Shi lewat di situ, Suma Kian Bu dan Siang ln sengaja tidak memperlihatkan diri.

Ci Sian melihat bahwa calon lawannya sudah muncul, lalu membuka penutup dan pelindung tubuh kudanya, meloncat ke atas pungung kuda itu dan setelah mengangguk kepada Siang In dan Kian Bu, ia pun lalu menggerakkan kudanya memasuki arena perlumbaan.

Semua penonton memang sudah sejak tadi menanti munculnya kuda dari Thio-thicu, terutama mereka yang berpihak kepada tuan tanah ini dan telah mempertaruhkan banyak uang untuk kuda Thio-thicu.

Kini, melihat munculnya seekor kuda hitam yang serupa benar dengan kuda hitam milik Bouw-thicu, hanya bedanya kuda hitam ini jantan sedangkan kuda hitam milih Bouw-thicu betina, semua orang terheran-heran. Apalagi ketika melihat bahwa yang menunggang kuda hitam itu adalah seorang dara remaja yang berpakaian serba kuning, seorang dara yang biarpun tidak memakai riasan muka seperti Lui Shi akan tetapi yang memiliki kecantikan seperti bidadari dan sikapnya amat gagah, pecahlah ledakan sorak-sorai dan tepuk tangan.

Semua orang memang sudah mendengar berita angin bahwa Thio-thicu juga telah mendapatkan seekor kuda pilihan yang kabarnya akan mampu menandingi kuda hitam milik Bouw-thicu. Akan tetapi tidak ada yang mengira bahwa kuda itu pun adalah seekor kuda hitam yang sama benar, bahkan agak lebih tinggi dibandingkan dengan kuda milik Bouw-thicu. Dan yang membuat mereka gembira dan terheran-heran karena sama sekali lebih tidak mereka sangka lagi adalah bahwa penunggangnya juga seorang wanita, bahkan seorang dara remaja yang demikian cantik dan gagahnya!

Biarpun dari jauh Lui Shi nampak cantik sekali, akan tetapi semua orang tahu bahwa kecantikan wanita yang lebih tua itu banyak dibantu oleh bedak dan gincu, sedangkan kecantikan dara remaja itu adalah kecantikan asli. Maka, kenyataan bahwa kuda kedua orang tuan yang saling bersaing itu serupa, dan juga penunggangnya sama wanita cantik, tentu saja para penonton menjadi gembira sekali dan suasana menjadi tegang, apalagi mereka yang bertaruh. Sibuklah mereka ini untuk menambah atau merobah taruhan mereka setelah kedua “jago” itu keluar.

Sementara itu, melalui wakil masing-masing, terjadi pertaruhan yang luar biasa antara Bouw-thicu dan Thio-thicu. Mereka itu saling mempertaruhkan tanah di perbatasan antara wilayah mereka, tanah yang luas lebih dari separoh milik mereka, masih ditambah lagi dengan jumlah perak dan emas yang membuat salah satu di antara mereka rudin kalau kalah! Dan pertaruhan besar ini disyahkan dan disaksikan oleh kepala daerah sendiri!

Ci Sian tidak berlagak seperti yang diperlihatkan Lui Shi tadi. Akan tetapi tanpa berlagak sekalipun dara ini sudah nampak gagah sekali. Hek-liong-ma berlari congklang dan Ci Sian langsung melarikan kudanya ke dalam tempat berkotak yang diperuntukkan para pembalap itu. Ia membawa kudanya memasuki tempat yang bertuliskan huruf Thio.

Sementara itu, semua kuda yang sudah memasuki kotak masing-masing. Karena para petugas perlumbaan sudah mengibarkan bendera, pertanda bahwa perlumbaan akan dimulai dan semua kuda harus bersiap-siap di dalam kotak masing-masing.

Semua pembalap memandang ke arah petugas yang memegang sebuah bendera merah dan yang berdiri di tempat yang agak tinggi. Petugas inilah yang akan memberi tanda dimulainya balap kuda itu. Kalau bendera yang diangkatnya tinggi itu sudah dikelebatkan turun, itulah tandanya. Dan Si Petugas itu pun masih memegang tangkai bendera dengan kedua tangannya dan dia sejak tadi memandang ke atas panggung, ke arah kepala daerah.

Karena kalau para pembalap itu menanti tanda dari dia, maka diapun menanti tanda dari pembesar itu. Hanya kepala daerah saja yang berhak memberi tanda bahwa perlumbaan boleh dimulai.

Agaknya kepala daerah itu sedang menerima laporan-laporan dari para petugas dan penyelidikannya bahwa segala sesuatunya berjalan beres, tidak ada apa apa yang mencurigakan dan tidak ada permainan curang dilakukan orang dalam perlumbaan itu.

Maka, setelah merasa yakin bahwa tidak ada hal yang patut dicurigai, kepala daerah itu lalu bangkit dari tempat duduknya, lalu mengangkat tangan ke kanan ke atas dan menggerakkan tangan itu tiba-tiba ke bawah. inilah tanda bahwa perlumbaan boleh dimulai, yang merupakan isyarat bagi Si Petugas pemegang bendera merah.

Dan semua mata penonton hampir tak pernah berkedip memandang ke arah kotak-kotak itu, menanti dengan hati berdebar saat dimulainya perlumbaan yang menegangkan hati itu, terutama yang akan terjadi di antara dua penunggang kuda wanita itu.

Akan tetapi, di dalam ketegangan ini ada saja penonton yang berkelakar mengatakan bahwa jangan-jangan yang dinanti-nanti dengan tegang, yaitu dua orang pembalap wanita itu, ternyata akan menjadi pemenang dari belakang!

“Bagaimanapun juga, mereka hanyalah wanita-wanita!” tambahnya.

Kelakar ini mengurangi ketegangan dan terdengar suara ketawa. Bagaimanapun juga, kelakar itu masuk di akal dan bukan hal yang tidak mungkin akan terjadi seperti yang diramalkan oleh orang itu. Dan betapa akan lucunya kalau kedua penunggang kuda wanita itu, yang kini dikagumi dan dijadikan pusat pertaruhan yang amat ramai, di akhir perlumbaan itu akan menjadi juara dari belakang, yaitu nomor satu dan nomor dua paling akhir!

Begitu kepala daerah itu menggerakkan tangannya, petugas yang memegang bendera merah pun berseru dengan suara nyaring, suara yang sudah dinanti-nanti oleh para peserta perlumbaan.

“Perlumbaan dimulaiiiii!” Dan bendera merah itu pun berkelebat turun dari atas.

Para pembalap itu menggebrak kuda masing-masing, pada saat para petugas menarik palang yang menutup kotak-kotak itu dan mulailah terdengar derap kaki kuda yang diiringi tepuk tangan dan sorak-sorai para penonton. Binatang-binatang itu seperti mendapatkan semangat tambahan, atau memang ketakutan mendengar sorak-sorai itu dan mereka pun lari semakin kencang.

Menurut peraturan perlumbaan, para pembalap harus mengelilingi arena balap itu sebanyak tiga kali putaran, dan setelah memutar lapangan itu tiga kali, lalu membelok ke depan panggung para pembesar di mana telah disediakan seikat bunga dengan pita merah yang digantungkan.

Peserta yang paling dulu meraih dan mengambil seikat bunga indah yang dinyatakan sebagai pemenang pertama. Ada pula di situ digantungkan ikatan bunga untuk diambil oleh pemenang ke dua dan ke tiga. Dan di sepanjang arena perlumbaan itu, di tengah jalan diadakan rintangan-rintangan seperti pagar dan parit yang harus dilompati oleh kuda peserta. Jadi, yang diperlumbakan bukan hanya kecepatan, melainkan juga ketangkasan dan kemahiran si penunggang kuda.

Pada tengah putaran pertama, sembilan ekor kuda itu masih kelihatan sama cepatnya, mereka lari kencang berdampingan seolah-olah mereka itu bersepakat untuk lari bersama, tidak saling mendahului. Akan tetapi begitu mereka tiba di rintangan-rintangan di mana mereka harus mengerahkan kekuatan kaki dan kemahiran penunggang kuda masing-masing untuk melompat agar tidak sampai tersandung pagar atau jatuh ke dalam parit lumpur, mulailah nampak keunggulan Lui Shi Wanita ini mengeluarkan teriakan melengking dan agaknya ini merupakan tanda bagi kuda hitamnya untuk meloncati parit dengan loncatan yang amat indah dan tinggi, jauh melampaui para saingannya dan ketika tiba di seberang parit, kuda itu lalu lari membalap dengan cepat sekali seolah-olah keempat kakinya tidak lagi menyentuh bumi!

Sorak-sorai meledak dari para penonton di luar arena balap itu, terutama sekali dari anak buah Bouw-thicu dan dari mereka yang berpihak dan bertaruh atas kuda hitam milik Bouw-thicu. Dan seolah-olah didorong oleh suara sorak-sorai ini, kuda hitam yang ditunggangi Lui Shi makin membalap sehingga jauh meninggalkan para saingannya.

Sedangkan Hek-liong-ma yang ditunggangi Ci Sian masih bersama dengan para pembalap lain, hanya berada paling depan saja. Makin cepat juga kuda hitam Lui Shi meluncur sehingga ketika putaran pertama habis, ia telah meninggalkan para lawan sejauh hampir seperempat putaran! Tentu saja para penonton menjadi gegap-gempita, bersorak-sorak dan mencemooh kuda lain, terutama Ci Sian yang tadinya diharapkan akan dapat mengimbangi kecepatan kuda milik Bouw-thicu itu.

Hal ini membuat Lui Shi timbul kesombongannya dan mulailah ia berlagak. Ia berloncatan di atas punggung kudanya, berjungkir-balik, berjongkok dan menari-nari di atas punggung kudanya yang berlari kencang itu. Memang harus diakui bahwa wanita ini pandai sekali menunggang kuda. Berdiri di atas punggung kudanya yang berlari kencang itu agaknya bagi wanita itu tiada bedanya dengan berdiri di atas tanah saja!

Para penonton tentu saja menjadi semakin gembira, ada yang tertawa dan bertepuk tangan riuh, bahkan mereka yang berpihak kepada kuda lain pun mau tidak mau harus mengagumi kepandaian wanita itu dan kecepatan lari kuda hitam yang ditungganginya.

Mereka semua tahu bahwa apa yang dipertontonkan wanita itu bukanlah main-main, berbeda dengan pertunjukan komedi kuda di mana kudanya tidak berlari sekencang itu dan bukan sedang dalam suatu perlumbaan besar. Sekali saja salah perhitungan dan wanita itu terjatuh dari punggung kuda, akibatnya maut!

Thio-thicu memandang semua itu dan wajahnya berobah agak lesu. Dia adalah seorang yang sudah sering mengadakan perlombaan kuda dan setelah melihat betapa dalam putaran pertama, jadi sepertiga jarak perlumbaan, pihak musuh sudah mendahului dengan seperempat putaran, harapannya sudah menipis. Tak mungkin ada kuda yang akan dapat menyusul ketinggalan sejauh itu. Dan diam-diam dia pun harus mengakui bahwa kuda hitam milik orang she Bouw itu memang luar biasa sekali.

Belum pernah dia melihat ada kuda dapat berlari secepat itu, juga belum pernah dia melihat penunggang kuda sepandai wanita yang bekerja untuk lawan itu. Maka dia pun menoleh ke arah Suma Kian Bu dan Teng Siang In yang duduk di sebelah kirinya dan dia terheran-heran. Suami isteri pendekar ini nampak tenang-tenang saja! Hal ini membuat dia penasaran, maka dia pun tak dapat menahan hatinya bertanya kepada Siang In yang duduknya paling dekat dengannya,

“Bagaimana pendapat Toanio? Kuda kita agaknya akan kalah....”

Betapa herannya hati tuan tanah itu ketika mendengar jawaban pendekar wanita itu dengan suara tenang,

“Ia tidak akan kalah, Adik Ci Sian adalah seorang penunggang kuda yang baik dan mencinta kudanya. Ia tidak mau menguras tenaga kudanya, melainkan menanti saat baik. Lihatlah....!”

Tuan tanah itu menengok, apalagi karena tepat pada saat itu terdengar sorak-sorai riuh-rendah, dan tepuk tangan gegap-gempita. Ketika dia menoleh ke arah perlombaan, wajahnya segera berobah, kalau tadinya lesu kini menjadi berseri-seri dan saking lupa diri dia sampai bangkit berdiri dari tempat duduknya.

Dia melihat kuda hitam yang ditunggangi Ci Sian mulai “terbang”! ya, memang lebih pantas disebut terbang karena kuda hitam itu berlompatan atau berlari seperti terbang saja, meninggalkan kelompok teman-temannya yang tadinya tertinggal jauh oleh kuda hitam yang ditunggangi Lui Shi!

Lui Shi tadinya masih enak-enakan, masih mengira bahwa semua tepuk sorak itu adalah untuknya. Memang ia sudah yakin akan kemenangannya dan memandang rendah kepada semua lawannya. Bukankah ia sudah menang seperempat putaran dan dua putaran lagi ia akan meninggalkan mereka lebih jauh lagi!

Akan tetapi ketika ia iseng-iseng menoleh ke arah panggung dan melihat betapa rombongan Thio-thicu juga bersorak-sorak, bahkan Thio-thicu sendiri yang gendut itu bangkit berdiri dan berjingkrak-jingkrak, ia terkejut dan heran sekali. Cepat Lui Shi menoleh dan ketika ia melihat seekor kuda hitam meluncur cepat sekali dari belakang, tahulah ia bahwa kuda hitam yang ditunggangi dara remaja itu, milik Thio-thicu, telah mulai berusaha untuk mengejar dan menyusulnya!

“Setan!”

Ia memaki dan kalau tadinya ia enak-enakan jongkok di atas punggung kudanya, kini ia turun lagi dan duduk di atas punggung, lalu membedal kudanya agar berlari lebih cepat lagi. Kuda hitam tunggangannya itu bukan lain adalah kuda hitam milik suami isteri dari Pulau Es itu, dan memiliki ketangkasan yang seimbang dengan Hek-liong-ma. Maka begitu dibedal, kuda ini meringkik dan meluncur ke depan lebih cepat lagi.

Terjadilah kejar-mengejar antara dua ekor kuda hitam ini. Kejar-mengejar dalam putaran yang kedua dan ketika menghadapi rintangan, mereka berlompatan dengan amat cekatan.

Karena kuda hitam Lui Shi dibedal sekuatnya, maka kembali Hek-liong-ma tidak dapat menyusulnya dan jarak di antara mereka masih cukup jauh, sungguhpun Hek-liong-ma juga sudah jauh sekali meninggalkan para lawan yang lain! Dan ketika putaran kedua habis, jarak antara mereka masih ada sedikitnya lima puluh meter!

Tentu saja kejar-kejaran ini membuat para penonton panas dingin rasanya, apalagi di pihak Bouw-thicu dan Thio-thicu. Mereka semua dari kedua rombongan ini, sudah bangkit berdiri dan tidak ada yang tidak menggerakkan kaki tangan dan mulut mereka untuk memberi dorongan semangat. Seolah-olah nampak semangat mereka beterbangan ke arah dua kuda jagoan masing-masing dan semangat itu ikut mendorong pantat kuda agar lebih cepat lagi!

Tinggal satu putaran lagi dan di sinilah letak keuntungan Ci Sian. Kuda hitam yang ditunggangi Lui Shi telah lebih dulu diperas tenaganya, dipaksa berlari sekencangnya dan pada putaran terakhir ini, nampak betapa kuda itu menjadi lemah. Mulutnya mulai berbuih dan hidungnya mendengus-dengus, tanda bahwa kuda itu mulai kelelahan. Tidak demikian dengan Hek-liong-ma yang kelihatan semakin gembira untuk mengejar kuda di depan itu.

Lomba itu kini seolah-olah hanya dilakukan oleh dua ekor kuda hitam itu. Yang lain-lain sudah tidak masuk hitungan lagi. Bahkan para thicu yang memiliki kuda lain itu sama sekali tidak lagi memperhatikan kuda mereka sendiri yang jauh tertinggal di belakang, melainkan menujukan perhatian mereka kepada dua ekor kuda yang berlari secepat terbang itu. Dan para petaruh mulai berteriak-teriak untuk menambah taruhan mereka.

Kini, lambat namun jelas sekali, Hek-liong-ma mulai dapat mengurangi jaraknya dari kuda hitam di depan. Dan Lui Shi yang sejak tadi sering menoleh ke belakang, melihat pula akan hal ini. Telinganya dapat menangkap derap kaki kuda di belakangnya itu, yang merupakan suara seperti ancaman setan, makin lama semakin jelas.

Mereka berdua tiba di tempat di mana ada rintangan-rintangan pagar dan parit dan mulailah Hek-liong-ma memperlihatkan ketangkasannya. Lompatan demi lompatan dilakukannya dan perlahan-lahan kuda ini mulai dapat menyusul kuda hitam yang ditunggangi Lui Shi! Ketika semua rintangan dapat dilompati oleh dua ekor kuda itu, kini dua ekor kuda itu sudah hampir sejajar, dan Hek-liong-ma hanya kalah setengah badan saja!

Kini Lui Shi dapat melihat wajah Ci Sian yang tersenyum tenang, wajah yang menimbulkan benci dan iri dalam hati Lui Shi. Tiba-tiba Lui Shi mengeluarkan suara nyaring yang bunyinya seperti ringkikan kuda,

“Hiiii-yehh.... hiii-yehhh....!”

Dan akibatnya memang hebat. Hek-liong-ma mengurangi kecepatan gerakan kakinya dan tiba di belakang kuda hitam betina itu! Mereka kini sudah melalui separuh dari putaran terakhir!

Ci Sian terkejut sekali dan ia teringat bahwa wanita ini adalah seorang penjinak kuda. Tentu teriakannya tadi merupakan teriakan yang khas, yang merupakan bahasa kuda yang agaknya menahan Hek-liong-ma! Akan tetapi pada saat itu, terdengar suara lain di dekat mereka. Suara ini seolah-olah berada dekat sekali dengan dua orang wanita itu, dan seperti suara setan yang tidak nampak.

“Hek-liong-ma.... ckk, ckk.... hyaaakkk....!”

Mendengar suara ini, Hek-liong-ma tiba-tiba meloncat ke depan dan dengan beberapa kali loncatan saja kuda ini sudah dapat menyamai lagi sehingga lari berendeng dengan kuda hitam! Penonton seperti gila, berteriak-teriak seperti orang kemasukan setan menyaksikan peristiwa ini, kejar-mengejar yang mendebarkan dan menegangkan hati ini. Ada beberapa orang petaruh yang jantungnya lemah sudah jatuh pingsan di tempat dia berdiri!

Melihat ini, Lui Shi terkejut bukan main dan beberapa kali ia berusaha untuk menguasai Hek-liong-ma dengan teriakan-teriakan aneh. Akan tetapi selalu ada suara lain yang menentangnya dan agaknya Hek-liong-ma lebih taat kepada suara tanpa rupa ini.

Diam-diam Ci Sian kagum bukan main dan tahulah ia bahwa suara itu tentulah suara Pendekar Siluman Kecil yang mempergunakan khi-kang yang amat kuat, mengirim suara dari jauh untuk menguasai Hek-liong-ma.

Melihat betapa Hek-liong-ma kini malah telah menang setengah badan dibandingkan dengan kudanya, Lui Shi marah bukan main tangan kirinya mengambil sesuatu dari balik bajunya dan tangan itu bergerak. Sinar lembut menyambar ke arah belakang kuda Hek-liong-ma. Akan tetapi, sejak tadi Ci Sian tidak pernah lengah. Ia tahu akan kecurangan lawan, maka sejak tadi pun ia sudah bersiap.

Melihat tangan kiri lawan merogoh saku saja ia sudah curiga, maka begitu tangan kiri itu bergerak dan jarum-jarum meluncur ke arah belakang tubuh Hek-liong-ma, cepat dara ini mencondongkan tubuhnya ke belakang, dengan tangan kiri ia mengebut dan mengerahkan tenaga khi-kang sehingga jarum-jarum itu runtuh, akan tetapi masih sempat menyambar dan menangkap beberapa batang jarum dengan tangan kirinya, lalu langsung menyambitkan dan jarum-jarum itu kembali kepada pemiliknya. Akan tetapi berbeda dengan Lui Shi, Ci Sian tidak menyerang kuda, melainkan langsung menyambitkan jarum-jarum itu ke arah tubuh Lui Shi!

Lui Shi kaget bukan main. Tak disangka bahwa dara remaja yang menjadi penunggang kuda hitam itu ternyata adalah seorang yang memiliki ilmu kepandaian tinggi sekali! Disangkanya hanya seorang penunggang kuda yang mahir ilmu menunggang kuda saja. Siapa tahu, dengan kebasan tangannya, bukan saja dara itu mampu meruntuhkan jarum-jarumnya, bahkan dapat menangkap jarum-jarumnya dan kini sambitan cepat seperti kilat menyambar! Wanita ini mengeluarkan seruan kaget dan tiba-tiba saja tubuhnya lenyap dari atas kuda.
“Ehhh....?”

Ci Sian terkejut, akan tetapi ia menjadi kagum ketika wanita itu muncul kembali dan ternyata tadi ketika mengelak dari serangan jarumnya, wanita itu telah menjatuhkan dirinya ke bawah perut kuda dengan kedua kaki tetap mengait tubuh kuda itu. Sungguh merupakan ilmu menunggang kuda yang hebat, yang hanya dimiliki oleh ahli-ahli pemain sirkus yang amat mahir.

Kini mereka terus membalapkan kuda mereka dan dua ekor kuda itu, masih terus lari berendeng, sungguhpun Hek-liong-ma menang setengah badan. Sorak-sorai masih menggegap-gempita di kalangan penonton, bahkan para pembesar yang juga ikut-ikutan merasa tegang, sudah berdiri semua di atas panggung dan ikut bertepuk-tangan.

Kini putaran terakhir hampir habis! Melihat kudanya akan kalah begini terus, tiba-tiba Lui Shi mengeluarkan sesuatu dari sakunya dan menaburkan benda putih di atas pinggul dan ekor kudanya. Dan tiba-tiba Hek-liong-ma mengeluarkan suara meringkik aneh dan.... kuda ini menahan larinya, kemudian berlari di belakang kuda hitam itu sambil mendengus-dengus!

Ci Sian menjadi terkejut dan juga bingung. Ia tidak tahu apa yang telah terjadi. Ia tidak tahu bahwa Lui Shi yang ahli itu telah menaburkan obat yang membuat kuda-kuda jantan seolah-olah menganggap kuda betina itu sedang dalam waktu birahi! Dan hal ini merangsang kuda Hek-liong-ma yang sudah mengenal kuda hitam itu sebagai kawan lamanya, lalu lari di belakangnya, tidak mau mendahului tentu saja para penonton bersorak-sorak lagi melihat ramainya perlumbaan itu, melihat betapa kini kembali kuda tuan tanah Thio tertinggal di belakang, kalah satu badan!

Bahkan Suma Kian Bu dan isterinya juga berdiri saling pandang dengan bingung, tidak tahu apa yang telah terjadi dan tidak tahu pula harus berbuat apa. Pendekar Siluman Kecil telah mengirim aba-aba kepada Hek-liong-ma, akan tetapi tetap saja kuda ini tidak mau mendahului kuda betina.

Putaran terakhir sudah habis dan kini tinggal membelok untuk merebutkan ikatan bunga dengan pita merah sebagai tanda pemenang atau juara pertama! Dan Hek-liong-ma masih ketinggalan satu badan! Pada saat terakhir itu, saking penasarannya, tiba-tiba Ci Sian mengeluarkan suling emasnya, meniup suling itu dengan nada yang begitu tingginya sehingga tidak terdengar oleh telinga manusia, akan tetapi karena ia mengerahkan khi-kang dan menujukan suara suling dengan ilmu yang dipelajarinya bersama Kam Hong, menujukan suara itu menyerang kuda hitam yang ditunggangi Lui Shi, tiba-tiba saja kuda hitam yang ditunggangi Lui Shi itu meringkik keras dan mengangkat kedua kaki depannya ke atas dan tentu saja otomatis larinya terhenti! Kuda itu telah terserang pendengarannya oleh suara lengkingan tinggi yang menggetar dan seolah-olah menusuk kedua telinganya, membuat binatang itu meringkik kesakitan dan juga amat terkejut.

Tentu saja kesempatan baik ini tidak disia-siakan oleh Ci Sian. Ia membedal kudanya, Hek-liong-ma meloncat ke depan dan sebelum Lui Shi dapat menguasai kembali kuda hitamnya yang ketakutan, dengan mudahnya Ci Sian sudah meraih dan menyambar ikatan bunga dengan pita merah sebagai tanda bahwa ia keluar sebagai juara.

Sorak-sorai dan tepuk tangan riuh memenuhi lapangan itu dan Lui Shi yang akhirnya dapat menguasai kembali kudanya karena kini tidak ada lagi suara suling yang membikin takut kuda itu, baru dapat melihat ketika mendengar sorak-sorai itu bahwa kejuaraan telah direbut oleh Ci Sian dan kuda hitamnya.

“Keparat....!”