FB

FB


Ads

Rabu, 08 Juli 2015

Suling Emas & Naga Siluman Jilid 058

Ketika perahu yang merupakan iring-iringan besar tiba dan semua orang melihat munculnya Sang Pangeran, tercenganglah mereka. Akan tetapi Syanti Dewi menyambut dengan girang dan lega bukan main, dan sebagai tamu kehormatan, tentu saja Sang Pangeran diberi tempat menginap di dalam gedung induk, di mana tinggal Ouw Yan Hui dan Syanti Dewi. Dan yang menyambut kedatangan pangeran itu adalah dua orang wanita cantik ini.

Munculnya Sang Pangeran ini mendatangkan berbagai perasaan di hati para tamu yang sudah mulai berkumpul. Ada yang merasa lega dan girang karena betapapun juga, pangeran mahkota itu mempunyai nama baik di kalangan rakyat sebagai seorang pangeran yang bijaksana, pandai dan menjunjung tinggi kegagahan.

Akan tetapi di samping perasaan ini, juga timbul rasa khawatir karena menurut mereka, hadirnya Sang Pangeran ini tentu saja banyak mengurangi kemungkinan mereka akan terpilih sebagai jodoh Sang Dewi, sebagaimana didesas-desuskan orang. Kalau Sang Dewi berkenan memilih jodoh pada kesempatan itu, siapa orangnya mampu bersaing dalam segala hal dengan pangeran mahkota? Suatu persaingan yang tidak adil!

Bu-eng-kwi Ouw Yan Hui sendiri merasa girang bukan main. Dia memang mengharapkan agar Syanti Dewi berjodoh dengan pangeran mahkota, kalau mungkin menjadi isteri pertama, kalau tidak mungkin menjadi selir terkasih sehingga kelak dapat menjadi selir pertama, kedua atau sukur-sukur kalau dapat menjadi permaisuri, apabila Sang Pangeran sudah naik tahta menjadi kaisar! Dan dia sendiri, sebagai guru dan juga seperti kakak sendiri dari Syanti Dewi, tentu akan terangkat pula derajatnya. Maka, tidak mengherankan apabila nyonya rumah ini menyambut Sang Pangeran dengan segala kehormatan dan kemuliaan, amat meriah.

Ouw Yan Hui sudah mengambil keputusan untuk mencarikan calon jodoh bagi Syanti Dewi. Oleh karena itu, sejak para tamu belum berlayar menyeberang ke pulau, dia sudah menyebar banyak sekali mata-mata untuk menyelidiki keadaan mereka semua, memilih-milih orang-orang yang kiranya patut menjadi calon jodoh murid atau sahabatnya yang baginya seperti anaknya sendiri itu. Dia memerintahkan kepada para mata-matanya itu untuk menyelidiki para tamu tentang kekayaan mereka, kedudukan dalam hal ilmu silat atau sastra dan segala macam segi kebaikan yang menonjol lagi.

Semua tamu yang dipersilakan menempati pondok-pondok yang dibangun khusus itu diberitahu bahwa perayaan yang diadakan besok pagi akan diramaikan dengan pesta, tari-tarian, ilmu silat, dan sebagainya. Sementara itu, setiap tamu menyerahkan sumbangan yang diterima oleh serombongan panitia khusus yang mencatat semua sumbangan itu dan menyusun sumbangan di atas meja besar, bertumpuk-tumpuk, dan berada di ruangan pesta yang baru akan diadakan pada keesokan harinya.

Malam itu, Ouw Yan Hui dan Syanti Dewi menjamu Pangeran Kian Liong di dalam pondok kecil mungil yang terdapat di tengah-tengah taman yang luas dan indah di sebelah kiri gedung. Pondok mungil ini telah dihias dengan meriah, digantungi lampu-lampu dengan warna bermacam-macam, dan di tengah-tengah pondok terdapat meja bundar di mana tiga orang itu duduk menikmati hidangan, minuman sambil bercakap-cakap.

Sayup-sayup terdengar suara alunan musik yang kim dan suling yang dimainkan oleh beberapa orang wanita muda di sudut ruangan. Memang mereka ini diperintahkan untuk memainkan alat-alat musik itu dengan perlahan-lahan, agar tidak mengganggu percakapan mereka bertiga, namun cukup mendatangkan suasana yang indah.

Setelah beberapa kali menuangkan arak dalam cawan Sang Pangeran, Ouw Yan Hui lalu berkata dengan penuh hormat,

“Pangeran, mungkin Paduka telah mendengar bahwa untuk merayakan ulang tahun ke tiga puluh dari Syanti Dewi, kami telah bersepakat untuk mengadakan pemilihan jodoh untuk Adik Syanti....”

“Ah, itu bukan persepakatan kami, Pangeran, melainkan kehendak Enci Hui saja....” Syanti Dewi memotong sambil tersenyum.

Pangeran Kian Liong tertawa dan minum araknya.
“Kehendak siapapun juga, kurasa hal itu sudah sepantasnya, bukan? Seorang wanita secantik engkau, Enci Syanti Dewi, sudah sepatutnya kalau mempunyai seorang pemuja, yaitu seorang suami.”

Syanti Dewi menundukkan mukanya yang berobah merah.

“Nah, tepat sekali apa yang dikatakan oleh Pangeran Yang Mulia! Engkau dengar sendiri, Adikku.” Kemudian Ouw Yan Hui memandang lagi kepada Sang Pangeran dan mengerutkan alisnya yang kecil panjang dan melengkung hitam itu. “Akan tetapi hamba merasa sangsi dan bingung, Pangeran. Biarpun besok akan berkumpul banyak pria sebagai tamu, siapakah gerangan diantara mereka itu yang cukup pantas untuk menjadi jodoh seorang wanita seperti Puteri Syanti Dewi ini?” Jelaslah bahwa ucapan Ouw Yan Hui ini “memancing” pendapat Pangeran tentang hal itu.

Pangeran itu menarik napas panjang dan menggelengkan kepala.
“Memang sukar.... memang sukar mencari jodoh yang tepat untuk seorang wanita seperti Enci Syanti Dewi ini....”

Kesempatan ini dipergunakan oleh Ouw Yan Hui untuk cepat berkata,
“Tidak ada yang tepat memang, kecuali Paduka sendiri, Pangeran! Kalau saja Paduka sudi melimpahkan kehormatan itu....”

“Enci Hui....!” Syanti Dewi berseru dengan suara mengandung teguran.

Pangeran Kian Liong tertawa dan mengangkat kedua tangan, menggoyang-goyangkan kedua tangannya itu.

“Aihh, ouw-toanio, mana mungkin itu? Enci Syanti Dewi bagiku seperti kakakku sendiri, setidaknya seperti seorang sahabat yang amat baik. Selain itu, aku sendiri pun sama sekali belum pernah memikirkan tentang jodoh.... usulmu itu sungguh tidak mungkin, Toanio.”

Syanti Dewi bertemu pandang dengan pangeran itu dan wanita ini tersenyum. Akan tetapi sebaliknya, Ouw Yan Hui mengerutkan alisnya dan dia merasa kecewa bukan main. Perjamuan dilanjutkan dengan sunyi sampai selesai. Setelah semua mangkok piring dibersihkan dari meja dan diganti dengan makanan kering dan minuman, Ouw Yan Hui lalu berkata kepada pangeran itu, suaranya penuh permohonan.

“Betapapun kecewa rasanya hati hamba, namun hamba dapat mengerti alasan yang Paduka kemukakan tadi, Pangeran. Akan tetapi hamba mohon, sudilah kiranya Paduka menjadi pelindung dan penasihat dari adik hamba ini dalam menentukan pemilihan jodoh agar jangan sampai salah pilih.”

Pangeran itu tersenyum lebar.
“Ah, tentu saja, Toanio. Tanpa diminta pun aku selalu akan melindungi Enci Syanti, sungguhpun dalam hal perjodohan ini, orang semuda aku yang tidak ada pengalaman ini mana mampu memberi nasihat? Aku yakin bahwa seorang bijaksana seperti Enci Syanti Dewi tidak akan dapat salah pilih.”






Sedikit terhibur juga hati Ouw Yan Hui mendengar jawaban ini. Akan tetapi percakapan selanjutnya tidak lagi menarik hatinya. Apalagi antara adiknya itu dan Sang Pangeran memang nampak terdapat keakraban dan mereka itu bicara seperti dua orang sahabat atau saudara. Maka dia pun merasa sebagai pengganggu atau merasa menjadi orang luar, maka dengan hormat dan alasan pening kepala dia pun mengundurkan diri meningggalkan dua orang itu melanjutkan percakapan di dalam pondok mungil itu, sedangkan para penabuh musik masih terus memainkan musik dengan lirih sebagai latar belakang percakapan, tanpa mereka itu mampu menangkap apa yang dibicarakan oleh pangeran dan puteri itu.

Malam itu indah sekali. Dari tempat mereka duduk, mereka dapat memandang keluar jendela, ke atas langit yang bersih seperti beludru hitam baru saja disikat, tanpa ada debu atau awan sedikit pun yang menutupi bintang-bintang yang berkilauan gembira. Angin malam bersilir lembut, membawa keharuman bunga dan daun yang tumbuh di luar pondok.

Dari sudut kiri nampak dari situ sebatang pohon besar yang berdiri seperti menyendiri dan silir angin lembut tidak mengganggu pohon itu dari tidurnya. Namun di antara celah-celah cabang dan daun, dapat nampak bintang-bintang di langit belakangnya, sehingga dipandang sepintas lalu seolah-olah pohon itu berubah benda-benda berkilauan.

Agaknya kedua orang bangsawan yang duduk di dalam pondok dan kebetulan keduanya memandang keluar jendela itu, terpesona oleh keindahan malam gelap tertabur bintang itu, tenggelam ke dalam lamunan masing-masing.

Akan tetapi keheningan yang meliputi seluruh tempat itu seolah-olah membuat mereka segan untuk mengganggu dengan kata-kata. Suara yang kim dan suling yang lirih itu pun termasuk ke dalam keheningan maha luas itu, seperti juga suara jengkerik dan belalang yang mulai berdendang dengan suara berirama.

Seekor nyamuk yang menggigit punggung tangan Pangeran Kian Liong seolah-olah menarik kembali kesadaran pangeran itu ke dalam dunia lama. Dia menepuk punggung tangan kiri dan menggaruknya, kemudian terdengar dia menarik napas. Gerakan dan suaranya ini membuat Syanti Dewi sadar pula, seolah-olah baru dia ingat bahwa dia duduk di situ menemani Sang Pangeran. Dan keheningan itu pun lenyap, tidak terasa lagi.

“Ouw-toanio agaknya mengharapkan sekali agar kita dapat saling berjodoh, Enci Syanti. Betapa lucunya.”

“Ah, maafkanlah dia, Pangeran. Mana dia tahu akan perasaan kita berdua yang seperti dua orang kakak dan adik. Memang begitulah dia, mungkin karena kepatahan hatinya, dia selalu menilai hubungan antara pria dan wanita selalu hanya merupakan hubungan yang mengandung kasih asmara. Rupa-rupanya sukar baginya untuk membayangkan hubungan antara pria dan wanita yang bukan keluarga sebagai dua orang sahabat atau saudara dalam batin. Maafkan dia.”

“Ah, tidak apa, Enci. Akan tetapi kalau engkau memang tidak setuju dengan diadakannya pemilihan calon jodoh, mengapa engkau tidak menolak saja?”

“Pangeran.... Paduka tidak tahu...., saya telah berhutang banyak budi kepada Enci Yan Hui.... kalau tidak ada dia, entah saya sekarang telah menjadi apa, bahkan apakah saya masih hidup. Ah saya hanya menurut saja, untuk sekedar membalas budinya, bahkan ulang tahun ini sebenarnya saya tidak setuju. Coba saja Paduka bayangkan, usia saya tahun ini sudah tiga puluh enam tahun! Dan dia mengatakannya sebagai ulang tahun ke tiga puluh!”

“Ah, aku tidak percaya!” pangeran itu berseru heran.

“Tidak percaya yang mana, Pangeran?”

“Bahwa usiamu sudah tiga puluh enam tahun! Bahkan kalau engkau mengatakan bahwa usiamu baru paling banyak dua puluh tahun, aku percaya itu!”

Syanti Dewi tersenyum dan menggelengkan kepalanya dengan muram.
“Kecantikan dan awet muda ini bahkan makin lama menjadi semacam kutukan bagi saya, Pangeran. Coba saya tidak mempelajari ilmu itu, tentu saya sudah nampak tua dan tidak banyak orang datang mengganggu saya....”

“Wah, jangan masukkan aku sebagai seorang di antara mereka, Enci!”

Syanti Dewi lalu menjura dan berkata,
“Jangan khawatir Pangeran, Paduka merupakan seorang istimewa, seorang yang bukan datang karena kecantikan saya, melainkan datang dengan hati bersih dan bijaksana, karena itulah saya amat tunduk kepada Paduka.”

“Sudahlah, jangan sebut-sebut hal itu. Tapi, mana mungkin aku dapat percaya kalau engkau sudah berusia tiga puluh enam tahun?”

“Dan Enci Hui sudah berusia hampir lima puluh tahun!”

“Ah, masa....? Dia nampaknya tidak lebih dari tiga puluh tahun!”

“Itulah, Pangeran. Kami berdua telah menerima ilmu membuat diri kami awet muda, ilmu yang kami pelajari dari Bibi Maya Dewi dari India.”

Pangeran itu mengangguk-angguk dan diam-diam dia merasa kagum bukan main. Dia sendiri belum mempunyai niat untuk mencari jodoh, akan tetapi andaikata pada suatu waktu dia ingin mempunyai seorang kekasih, tentu dia akan membayangkan Syanti Dewi ini sebagai perbandingan.

“Enci, kalau benar usiamu sudah tiga puluh enam tahun, mengapa engkau masih juga enggan untuk memilih jodoh? Bukankah sudah cukup waktunya bagi seorang wanita seusiamu itu untuk mempunyai seorang suami?”

Syanti Dewi memandang wajah pangeran itu, kemudian tiba-tiba dia menutupi mukanya dengan kedua tangannya dan menangis terisak-isak! Pangeran Kian Liong terkejut dan terheran, akan tetapi dia diam saja, membiarkan puteri itu menangis untuk menguras tekanan batin yang dideritanya pada saat itu.

Akhirnya, setelah banyak air mata terkuras, dan mengalir keluar melalui celah-celah jari tangannya, Syanti Dewi menurunkan kedua tangannya dan menggunakan saputangan untuk menyusuti air matanya dari pipi.

“Ampunkan saya, Pangeran.... saya.... telah lupa diri membiarkan kedukaan menyeret hati....”

Kemudian Syanti Dewi memberi isarat dengan tangan untuk menyuruh para pelayan yang berada di situ, juga yang mainkan alat musik, untuk keluar meninggalkan ruangan itu dan menanti di luar. Setelah mereka semua pergi, puteri itu lalu berkata dengan suara halus.

“Sebaiknya saya ceritakan semua rahasia hati saya kepada Paduka, karena hanya Paduka seoranglah yang saya percaya dan yang juga memaklumi keadaan hati saya”.

Dengan perlahan dan hati-hati Syanti Dewi mulai menceritakan semua pengalamannya secara singkat dengan Wan Tek Hoat, betapa sampai dia meninggalkan kota raja Bhutan, lari dari istananya karena hendak mencari Tek Hoat dan akhirnya bertemu dan ditolong oleh Ouw Yan Hui.

Pangeran Kian Liong yang masih muda itu mendengarkan dengan penuh perhatian dan dia merasa terharu sekali mendengar kisah seorang puteri raja yang karena kasih asmara sampai meninggalkan istana ayahnya, hidup terlunta-lunta dan sampai sekarang tetap tidak mau menikah.

“Tapi.... agaknya pria yang kau cinta itu bukan seorang laki-laki yang baik, Enci! Kalau benar dia seorang pria yang baik dan mencintamu, mengapa sampai sekarang dia belum juga datang mencarimu?”

Syanti Dewi menggeleng kepalanya,
“Saya tidak tahu, Pangeran. Akan tetapi dia.... dia dahulu adalah seorang pendekar yang mulia.... setidaknya, bagiku....”

“Dan apakah sampai saat ini engkau masih juga mencintanya, Enci?”

Sampai lama Syanti Dewi tidak mampu menjawab, kemudian dia menarik napas panjang dan lebih mendekati keluhan daripada jawaban,

“Entahlah.... bagaimana, ya? Kalau ingat betapa sampai kini dia tidak muncul, rasa-rasanya sudah kubikin putus pertalian batin itu.... akan tetapi, betapapun juga, rasanya tidak mungkin dapat menjadi isteri orang lain, atau lebih tepat lagi, rasanya hati saya tidak mungkin dapat jatuh cinta kepada lain pria, Pangeran. Akan tetapi.... ah, saya tidak tega untuk menolak permintaan Enci Hui, tidak tega untuk membuatnya berduka, maka saya terima saja permintaannya ini. Hanya saya ragu-ragu.... apakah penyerahan saya ini bukan merupakan jembatan menuju kepada kesengsaraan batin yang lebih besar lagi....”

Sang Pangeran menggeleng-geleng kepala. Sudah banyak dia mendengar tentang cinta antara pria dan wanita yang berakibat pahit sekali. Kini, wanita yang amat disayangnya seperti sahabat baik atau seperti kakak sendiri ini malah menjadi korban cinta pula!

“Kalau memang engkau sudah mengambil keputusan, nah, besok kau lakukanlah pemilihanmu itu, Enci Syanti. Kemudian, bersama pilihanmu itu engkau dapat pulang ke Bhutan. Aku akan memberimu surat pengantar kepada Ayahmu dan sepasukan pengawal kalau perlu.... engkau tidak boleh menyiksa diri seperti ini. Lupakan saja masa lalu dan anggap saja bahwa engkau tidak berjodoh dengan pria itu, dan jodohmu adalah hasil pilihanmu besok itu. Atau kalau engkau lebih menghendaki tinggal di kota raja, biarlah aku akan membantumu, dan suamimu dapat pula bekerja di kota raja, sesuai dengan kepandaian dan kemampuannya. Aku akan membantumu sedapatku, Enci.”

Mendengar ini, Syanti Dewi kembali menangis dan dia segera menjatuhkan diri berlutut di depan kaki pangeran itu.

“Ah, Paduka adalah satu-satunya orang yang kujunjung tinggi karena kemuliaan hati Paduka. Biarpun Paduka masih muda, namun Paduka penuh dengan prikemanusiaan dan kebijaksanaan. Pangeran, berilah jalan kepada hamba, bagaimana hamba harus berbuat? Rasanya.... tidak mungkinlah hamba dapat menyerahkan diri kepada pria lain....”

Pangeran Kian Liong memegang kedua pundak Syanti Dewi dan mengangkatnya bangun, lalu menyuruhnya duduk kembali di atas kursi, berhadapan dengan dia. Kemudian dia mengepal tangan kanannya.

“Hemm, begini hebat cintamu terhadap pria itu. Dan dia.... dia membiarkanmu menderita. Mau rasanya aku memukul muka pria itu kalau aku berhadapan dengan dia! Engkau wanita yang memiliki cinta kasih yang begini murni, dan dia membiarkanmu menderita. Keparat!”

“Pangeran, harap ampunkan dia....”

“Sudahlah, hati wanita memang sukar dimengerti. Sekarang begini saja, Enci Syanti Dewi. Biarkan aku muncul pula sebagai calon! Jangan kaget, maksudku aku muncul sebagai calon hanya untuk membuat semua calon mundur, dan juga untuk menyenangkan hati Ouw-toanio sehingga engkau tidak akan merasa tidak enak hati terhadapnya. Akan tetapi, bukan maksudku untuk memaksamu menjadi isteri atau selirku, sama sekali tidak! Engkau hanya akan kubebaskan dari sini tanpa merasa mengecewakan hati Ouw-toanio, dan setelah engkau ikut bersamaku ke kota raja, engkau boleh pilih, mau pulang ke Bhutan atau mau tetap tinggal di kota raja, terserah. Bagaimana pendapatmu?”

Syanti Dewi terkejut dan juga merasa terharu sekali. Pangeran itu adalah seorang sahabat yang amat baik, yang bersikap manis kepadanya bukan karena tertarik akan kecantikannya belaka, melainkan karena terdapat kecocokan di antara mereka.

Akan tetapi tidak disangkanya bahwa pangeran ini mau berbuat seperti itu, pura-pura menjadi calon jodohnya, bukan karena ingin memperisteri dia seperti yang dicita-citakan oleh Ouw Yan Hui, melainkan semata-mata untuk mencegah agar dia tidak usah terpaksa memilih seorang pria yang tidak dicintanya untuk menjadi jodohnya, karena sungkan menolak kehendak Ouw Yan Hui!

“Tapi.... tapi, Pangeran.... dengan demikian.... umum sudah mengetahui bahwa Paduka memilih saya dan....”

“Ah, apa sih anehnya bagi seorang pangeran untuk mengambil seorang wanita seperti selir atau isterinya? Tidak akan ada yang memperhatikan atau mempedulikan, biar andaikata aku mengambil sepuluh orang wanita sekalipun.”

“Ah, kalau begitu saya hanya dapat menghaturkan banyak terima kasih atas budi pertolongan Paduka, Pangeran.”

“Sudahlah, di antara kita yang sudah menjadi sahabat baik, perlukah bicara tentang budi lagi?”

Pada saat itu nampak dua orang pelayan berjalan masuk perlahan-lahan sambil membawa buah-buahan segar dan guci minuman anggur. Melihat ini, Syanti Dewi cepat menyuruh mereka mendekat karena dia ingin melayani Pangeran dengan buah-buahan dan anggur yang merupakan minuman halus itu. Dengan sikap manis Syanti Dewi menuangkan anggur merah ke dalam cawan emas, lalu menghaturkan minuman itu kepada Sang Pangeran.

“Untuk tanda terima kasih saya, Pangeran.” kata Syanti Dewi sambil menyerahkan cawan terisi anggur merah itu.

Pangeran Kian Liong tersenyum dan menerima cawan itu. Akan tetapi baru saja dia menempelkan bibir cawan ke mulutnya, tiba-tiba ada sinar hitam kecil menyambar. Syanti Dewi melihat ini, akan tetapi dia tidak keburu menangkis.

“Tringgg....!”

Cawan itu terpukul runtuh dan terlepas dari tangan Sang Pangeran, anggurnya tumpah dan membasahi sedikit celana pangeran itu, cawannya terjatuh ke atas lantai mengeluarkan bunyi nyaring.

“Ihh! Siapa berani melakukan perbuatan ini?”

Syanti Dewi sudah meloncat ke depan Pangeran dan bersikap melindungi, matanya memandang ke arah melayangnya sinar hitam kecil yang ternyata adalah sebutir batu itu, yaitu ke arah jendela. Dan pada saat itu terdengarlah suara hiruk-pikuk di luar pondok, suara gedebak-gedebuk orang-orang berkelahi di dalam taman.

“Pasti telah terjadi sesuatu yang gawat! Mari kita tinggalkan tempat ini, kembali ke dalam gedung, Pangeran. Biarlah saya melindungi Paduka.”

Syanti Dewi lalu mengambil sebatang pedang yang berada dalam pondok itu, kemudian dengan pedang terhunus dia menggandeng tangan Sang Pangeran, diajaknya keluar dari pondok melalui pintu belakang. Sedangkan dua orang pelayan wanita tadi sudah saling rangkul dengan tubuh gemetar, berlutut di sudut ruangan itu.

Biarpun Sang Pangeran yang tabah itu sama sekali tidak merasa takut dan sikapnya tenang saja, namun dia tidak menolak ketika digandeng oleh Syanti Dewi dan diajak keluar dari pondok. Ketika pintu belakang dibuka, ternyata sunyi saja, tidak nampak pengawal di situ.

Syanti Dewi menengok dan melihat di dalam penerangan bintang-bintang yang suram-muram, ada sedikitnya enam orang sedang mengeroyok pria yang bertangan kosong, akan tetapi pria itu lihai sekali sehingga para pengeroyoknya mengepungnya dengan ketat. Dia tidak dapat melihat jelas siapakah yang dikeroyok dan siapa pula yang mengeroyok. Paling perlu adalah lebih dulu menyelamatkan Sang Pangeran dan membawanya pergi dari tempat berbahaya itu.

“Mari, Pangeran!”

Dia berbisik dan menarik tangan pangeran itu, mengajaknya pergi sambil melindunginya. Pangeran Kian Liong melihat betapa wanita cantik itu sengaja menempatkan diri di antara dia dan tempat berkelahi itu dan diam-diam Pangeran ini merasa kagum dan berterima kasih sekali. Seorang wanita yang cantik sekali dan juga gagah perkasa, mempunyai kesetiaan yang mengagumkan, baik sebagai kekasih maupun sebagai seorang sahabat!

Dia memandang ke arah orang-orang bertempur itu dan melihat orang yang dikeroyok itu, walaupun yang nampak hanya bayang-bayangan berkelebat, namun dia dapat menduga bahwa bayangan itu seperti pengemis gagah yang pernah menyelamatkannya ketika dia diserbu perampok di dalam hutan. Akan tetapi dia tidak dapat melihat jelas, apalagi Syanti Dewi mengajaknya bercepat-cepat meninggalkan taman.

“Ahhh....!”

Syanti Dewi menahan seruannya ketika dia tiba di tempat di mana tadinya para pengawal menjaga. Kiranya para pengawal telah roboh malang-melintang, entah pingsan entah tewas! Pantas saja taman itu tidak nampak ada pengawalnya. Syanti Dewi tidak mau menyelidiki karena dia harus cepat-cepat menyelamatkan Sang Pangeran. Dia kini menarik tangan Sang Pangeran dan mengajaknya berlari menuju ke gedung.

Baru lega hatinya ketika dia telah berada di dalam gedung dan setelah mengantar Pangeran ke dalam kamar yang sudah dipersiapkan untuk tamu agung itu, dan memesan kepada para penjaga yang berada di situ untuk menjaga keselamatan Pangeran dengan baik, dia lalu menemui Ouw Yan Hui.

Ternyata peristiwa yang terjadi di taman itu tidak diketahui oleh seorang pun di dalam gedung. Hal ini membuktikan betapa lihainya para penyerbu itu, yang telah melumpuhkan semua penjaga yang berada di taman tanpa menimbulkan suara sedikit pun. Setelah mendengar penuturan Syanti Dewi, Ouw Yan Hui lalu memanggil penjaga, dan bersama Syanti Dewi dia lari ke taman, membawa sebatang pedang.

Akan tetapi, ketika dua orang wanita ini bersama sekelompok penjaga tiba di taman, di situ sunyi saja, tidak ada lagi orang yang bertempur. Baik yang dikeroyok maupun para pengeroyok tadi sudah tidak nampak lagi, dan ketika diperiksa, semua pengawal ternyata tidak tewas, hanya roboh tertotok dalam keadaan lumpuh atau pingsan!

Dan dua orang pelayan yang membawa minuman dan buah-buahan tadi pun masih berlutut dan menggigil ketakutan di sudut pondok. Sedangkan para pelayan lain juga seperti para pengawal keadaannya, yaitu pingsan tertotok! Ada pula yang pingsan atau pulas, menjadi korban obat bius.

Sibuklah Ouw Yan Hui, Syanti Dewi dan para penjaga untuk menyadarkan semua orang itu. Souw Kee An yang juga telah roboh tertotok segera bercerita di depan dua orang wanita itu dan juga kepada Sang Pangeran, dengan muka pucat dan khawatir sekali.

“Penyerbu-penyerbu itu memiliki ilmu kepandaian yang sangat tinggi.” komandan ini bercerita dengan suara mengandung kekhawatiran besar. “Hamba sedang melakukan pemeriksaan di sekeliling taman untuk menjaga keselamatan Paduka Pangeran, dan tiba-tiba saja hamba diserang oleh seorang pria berkedok yang melompat keluar dari balik semak-semak. Hamba melawan dan sungguh luar biasa sekali orang itu. Dengan beberapa kali gerakan saja hamba telah roboh tanpa dapat mengeluarkan seruan. untuk memperingatkan teman-teman, dan harus hamba akui bahwa selamanya hamba belum pernah bertemu dengan lawan selihai itu....” Komandan itu menggeleng kepalanya.

“Sungguh berbahaya sekali, yang kita hadapi adalah ahli-ahli silat tinggi. Hamba mengaku salah dan lemah, hanya mohon pengampunan dari Paduka Pangeran.”

Pangeran Kian Liong menggerakkan tangannya.
“Ah, tak perlu merendahkan diri seperti itu, Souw-ciangkun. Kami tahu bahwa engkau adalah seorang komandan pengawal yang baik, setia dan juga berkepandaian tinggi. Akan tetapi, menghadapi tokoh-tokoh dan datuk-datuk kang-ouw yang memiliki kesaktian luar biasa itu, tentu saja engkau tidak berdaya. Sudahlah, mulai sekarang engkau harus mengerahkan pasukanmu dengan lebih hati-hati lagi.”

Para pengawal dan pelayan bermacam-macam ceritanya, ada yang selagi berjaga diserang dan sedikit pun mereka tidak sempat berteriak dan tahu-tahu telah roboh tak mampu bergerak dan ada yang mencium asap harum lalu tak ingat apa-apa lagi.

Dua orang yang membawa buah-buahan dan minuman mengatakan bahwa mereka membawa minuman dan buah-buahan dari dapur dan tidak ada sesuatu yang mencurigakan. Akan tetapi ketika diperiksa, ternyata minuman anggur itu mengandung obat perangsang dan obat yang memabokkan! Jelaslah bahwa diam-diam ada yang memasukkan obat itu ke dalam guci minuman tanpa diketahui oleh para pelayan.

Melihat kenyataan bahwa di dalam pulau itu, tentu di antara para tamu, terdapat orang-orang jahat dan pandai yang hendak mencelakakan Pangeran, entah dengan tujuan apa, Ouw Yan Hui menjadi gelisah sekali dan dia mengerahkan semua pembantunya untuk berjaga-jaga. Bahkan Souw Kee An sendiri dengan berkeras menjaga sendiri di depan pintu kamar Sang Pangeran!

Akan tetapi Pangeran itu sendiri hanya tenang-tenang saja.
“Aku tidak khawatir.” katanya kepada Ouw Yan Hui dan Syanti Dewi. “Biarpun ada yang mengancam, ada yang berniat buruk kepadaku, akan tetapi ada pula yang berniat baik dan selalu melindungi. Buktinya, usaha mereka malam ini pun gagal, bukan?”

Dan sambil tersenyum tenang dia memasuki kamarnya untuk beristirahat. Diam-diam Syanti Dewi semakin kagum kepada pangeran itu. Sudah jelas ada orang yang jahat hendak mencelakainya dan pangeran itu sendiri hanyalah seorang ahli sastra yang lemah, namun ternyata memiliki nyali yang demikian besarnya!

Malam itu keadaan menjadi tegang bagi para penghuni Pulau Kim-coa-to. Akan tetapi para tamu nampak tenang saja dan sampai jauh malam masih terdengar mereka bersendau-gurau di pondok-pondok penginapan mereka. Memang tidak ada di antara mereka yang tahu akan apa yang terjadi di taman tadi, karena Ouw Yan Hui memberi peringatan keras kepada semua penjaga agar tidak mengabarkan hal itu keluar sehingga tidak akan menimbulkan panik di antara para tamu yang banyak itu.

Ketegangan itu terasa oleh Ouw Yan Hui, Syanti Dewi, Souw Kee An dan para penjaga dan pengawal, dan mereka melakukan penjagaan yang ketat malam itu. Bahkan Syanti Dewi sendiri yang mengkhawatirkan keselamatan Pangeran, apalagi setelah dia mendengar bahwa selama dalam perjalanannya ke pulau itu Sang Pangeran telah mengalami beberapa kali serangan, bahkan telah pernah diculik, dia pun menjadi tegang dan dia sendiri ikut melakukan perondaan!