FB

FB


Ads

Rabu, 01 Juli 2015

Suling Emas & Naga Siluman Jilid 027

Seperti telah tercatat dalam sejarah, Kaisar Kang Hsi (1663-1722) sebagai kaisar dari Dinasti Ceng atau bangsa Mancu yang besar telah berhasil mengembangkan kekuasaan kerajaan itu sehingga terkenal sampai di luar negeri.

Akan tetapi semenjak Kaisar Kang Hsi meninggal dan pemerintahan dipegang oleh Kaisar Yung Ceng, kekuasaan atau pengaruh itu mulai menyuram. Kaisar Yung Ceng telah berusaha sekuat tenaga untuk mempertahankan kekuasaan Dinasti Ceng, namun dia tidak dapat mencapai keadaan seperti ketika kekuasaan berada di tangan Kaisar Kang Hsi.

Hal ini adalah karena banyaknya terjadi pertentangan di dalam keluarga kaisar sendiri semenjak Kaisar Kang Hsi meninggal dunia, ditambah lagi dengan adanya pemberontakan di tempat-tempat yang jauh dari kota raja sehingga tentu saja peristiwa-peristiwa ini melemahkan keadaan Kerajaan Ceng diwaktu itu.

Pemberontakan terjadi di mana-mana, pemberontakan kecil-kecilan yang cukup merongrong kewibawaan pemerintah. Terutama sekali karena di sebelah dalam istana sendiri terdapat pertentangan yang digolakkan oleh seorang selir dari Kang Shi yang disebut Sam-thai-houw, yaitu Ibu Suri ke Tiga.

Sam-thaihouw ini tentu saja masih mempunyai pengaruh yang besar, dan terutama sekali karena di antara pembesar militer banyak yang membantu atau mendukungnya.Tentu saja pembesar-pembesar itu adalah mereka yang selain masih terhitung keluarga dengan Ibu Suri ke Tiga ini, juga yang pernah banyak menerima budi dari ibu suri ini, bahkan yang memperoleh kedudukan tinggi karena jasa ibu suri.

Kaisar sendiri tahu akan sepak terjang Ibu suri yang kadang-kadang bertindak sewenang-wenang terhadap para pembesar yang menentangnya dan dianggap musuhnya. Akan tetapi Kaisar Yung Ceng memiliki kelemahan, yaitu tidak berani banyak bertindak terhadap keluarga angkatan tua. Dia terlalu “berbakti” terhadap angkatan tua, hal yang sesungguhnya hanya menunjukkan kelemahannya.

Bahkan pada akhir-akhir ini, secara terang-terangan Sam-thaihouw yang merasa sakit hati dan menaruh dendam kepada keluarga puteri Nirahai yang kini menjadi isteri dari Pendekar Super Sakti di Istana Pulau Es, memusuhi keluarga itu dan mengumpulkan orang-orang kang-ouw yang pandai dan sakti dalam usahanya untuk membalas dendam kepada keluarga itu dan juga kepada para pembesar dan tokoh-tokoh kang-ouw yang dianggap memusuhinya.

Maka sering kali terjadi pembunuhan yang aneh dan keji di malam hari terhadap “musuh” Sam-thaihouw, pembunuhan yang hanya dapat dilakukan oleh orang-orang yang berilmu tinggi. Hal ini selain menggegerkan kota raja, juga menggegerkan dunia kang-ouw dan nama Sam-thaihouw sebentar saja disebut-sebut dan terkenal di antara orang-orang kang-ouw sebagai seorang yang amat berbahaya dan ditakuti.

Kegawatan memuncak dan kemerosotan pengaruh Kerajaan Ceng terasa paling rendah ketika terjadi pencurian pedang pusaka keramat dari gudang pusaka keraton! Sungguh hal ini merupakan tamparan bagi istana. Gudang pusaka merupakan tempat yang terjaga dengan amat ketat, namun ada sebatang pedang pusaka yang berada di dalamnya dicuri orang tanpa ada yang mengetahuinyal Peristiwa ini disimpulkan oleh para golongan yang menentang pemerintah sebagai bukti-bukti kelemahan, maka semakin beranilah mereka memperlihatkan sikap menentang!

Para pembesar mulai gelisah melihat kelemahan pemerintah. Banyak pembesar setia yang menasihati kaisar untuk mengambil tindakan dan bertangan besi, bukan hanya terhadap pemberontak, akan tetapi juga terhadap keluarga istana sendiri. Namun, Kaisar tetap tidak berani sembarangan bertindak terhadap Samthaihouw, maka hal ini menimbulkan kekecewaan di kalangan pembesar. Mereka mulai memasang mata mencari-cari orang yang kiranya dapat mereka harapkan untuk dapat menolong kerajaan.

Dan orang itu bukan lain hanyalah Pangeran Kian Liong! Pangeran ini terkenal sebagai seorang pemuda yang amat bijaksana, pandai dalam ilmu sastra dan sering kali pangeran ini menyamar sebagai rakyat biasa untuk menyelidiki kehidupan rakyat, mendengarkan keluh-kesah mereka, kritik-kritik dan usul-usul mereka untuk kemudian dia lanjutkan dengan tindakan-tindakan yang tepat untuk merubah keadaan yang memberatkan rakyat jelata.

Karena ini, nama Pangeran Kian Liong segera terkenal sebagai seorang pangeran muda yang budiman dan juga kalau perlu dapat bertangan besi terhadap pembesar-pembesar yang korup dan menindas rakyat.

Sam-thaihouw tidak suka kepada pangeran ini, akan tetapi dia dan kaki tangannya tidak berani sembarangan bertindak terhadapnya, karena selain pangeran ini merupakan pangeran yang mempunyai harapan menggantikan kaisar, juga diam-diam pangeran ini selalu dilindungi oleh tokoh-tokoh kang-ouw yang berilmu tinggi! Memang luar biasa sekali!

Banyak tokoh-tokoh besar dan partai-partai persilatan, tokoh-tokoh kang-ouw yang aneh dan berilmu, bekerja sama melakukan penjagaan dan pengamatan siang malam atas diri pangeran ini sehingga ke mana pun pangeran ini pergi, selalu pasti ada tokoh- tokoh sakti yang mengawasi dan menjaganya, melindunginya tanpa diketahui oleh Si Pangeran itu sendiri!

Oleh karena itu, tidaklah mengherankan kalau para pembesar yang setia kini menujukan pandang mata mereka kepada Pangeran Kian Liong dengan penuh harapan, sungguhpun pangeran itu sendiri tidak memperlihatkan ambisi apa-apa kecuali sebagai seorang pangeran yang selalu bersikap melindungi rakyat yang tertindas.

Empat lima tahun telah lewat semenjak terjadi keributan di Pegunungan Himalaya karena orang-orang kang-ouw memperebutkan Pedang Pusaka Naga Siluman. Dan pada waktu itu, berhubung dengan kelemahan kaisar di kota raja, di bagian barat mulai lagi timbul keributan keributan, yaitu di negara bagian Tibet yang pernah ditundukkan dan dikuasai oleh pasukan pemerintah Ceng ketika masih berada di bawah pimpinan mendiang Kaisar Kang Hsi.

Ada kabar bahwa mulai berdatangan mata-mata dan berkelompok-kelompok pasukan kecil dari luar Tibet yang memasuki daerah itu, dan kabarnya pasukan-pasukan Tibet kewalahan menghadapi gangguan-gangguan kecil ini. Pasukan-pasukan itu datang dari arah barat dan selatan, dari arah Negara Nepal dan mungkin juga dari India.

Pada suatu pagi yang cerah, dengan sinar matahari mulai nampak di bagian yang dingin dari dunia itu, yaitu di kaki Pegunungan Himalaya yang berada di bagian paling timur dan utara, nampak seorang dara remaja menuruni lereng dengan sikap yang gembira dan lenggang seenaknya. Dara ini bertubuh ramping padat, caranya melangkahkan kaki seperti seekor rusa, demikian ringannya namun di balik pakaiannya yang sederhana itu nampak tubuh yang padat berisi dan mengandung tenaga yang kuat. Wajahnya manis sekali, wajah yang amat cerah, secerah matahari pagi. Sepasang mata dan mulutnya membayangkan kesegaran, sesegar embun yang bergantung pada pucuk-pucuk daun, dan kulitnya yang nampak pada muka, leher dan tangannya mulus halus putih, seputih salju yang masih tersisa di puncak gunung yang nampak dari kejauhan.

Dara cantik manis ini baru berusia kurang lebih enam belas tahun, seorang dara remaja yang baru menanjak dewasa, bagaikan setangkai bunga sedang mulai mekar. Kedua pipinya yang halus itu kemerahan seperti buah tomat mulai masak, dan bibirnya yang menyungging senyum dikulum itu nampak merah delima dan membayangkan kesegaran tubuh yang sehat. Biarpun pakaiannya terbuat daripada kain kasar saja dan potongannya pun sederhana dan kasar, namun tidak mengurangi kecantikan dara itu, bahkan kesederhanaan pakaian itu lebih menonjolkan kejelitaannya yang wajar dan asli.






Dara itu sama sekali tidak memakai perhiasan, akan tetapi dari jauh dia nampak seperti memakai sebuah gelang emas yang cukup besar, sebesar jari tangannya, gelang emas berbentuk seekor ular yang melingkar di pergelangan tangan kirinya. Akan tetapi, kalau didekati, orang akan melihat bahwa “gelang emas” itu bergerak-gerak, dari mulut ular itu keluar lidah hitam menjilat-jilat keluar masuk dan baru orang akan tahu bahwa gelang itu adalah seekor ular asli, seekor ular hidup! Dan memang sesungguhnyalah. Ular itu seekor ular hidup yang memiliki sisik indah sekali, kuning keemasan, dengan mata kecil merah dan lidah yang hitam!

Melihat seorang dara remaja dengan pakaian biasa yang tipis, bukan pakaian bulu yang melindungi tubuh dari dingin, melakukan perjalanan seorang diri seenaknya saja menuruni lereng Pegunungan Himalaya yang terkenal dingin sekali itu, sungguh sudah merupakan hal yang aneh. Apalagi melihat gelang ular emas hidup itu! Melihat dua hal ini saja, mudah diduga bahwa di balik kelembutan seorang dara remaja yang cantik manis ini tentu terdapat kekuatan yang hebat, membayangkan seorang dara perkasa yang tidak jarang muncul di dunia kang-ouw pada waktu itu. Dugaan ini memang tidak keliru karena dara ini bukan lain adalah Bu Ci Sian!

Seperti kita ketahui, Bu Ci Sian adalah seorang dara yang sejak muda sekali telah mengalami hal-hal yang amat hebat, yaitu ketika kita mula-mula melihat dia bersama mendiang kakeknya, yang sebetulnya adalah seorang tokoh besar selatan bernama Kiu-bwe Sin-eng Bu Thai Kun, melakukan perjalanan di Pegunungan Himalaya dan mengalami banyak hal-hal yang hebat.

Akan tetapi, Bu Ci Sian yang pada pagi hari yang cerah itu menuruni lereng bukit sama sekali tidak dapat disamakan dengan dara cilik yang kita kenal empat tahun lalu itu. Biarpun pada waktu itu Ci Sian telah merupakan seorang gadis cilik yang penuh keberanian dan memiliki dasar-dasar Ilmu silat, akan tetapi dibandingkan dengan sekarang, keadaannya sudah jauh lebih hebat. Sekarang dia merupakan seorang dara remaja yang berilmu tinggi setelah digembleng secara hebat dan tekun sekali oleh gurunya, yaitu See-thian Coa-ong Nilagangga!

Seperti kita ketahui, dara ini terpisah dari pendekar Suling Emas Kam Hong dan setelah ditolong oleh See-thian Coa-ong, akhirnya dia menjadi murid kakek sakti perantau dari Nepal ini dan dibawa ke sebuah puncak bukit yang sunyi di mana dia menggembleng muridnya dengan berbagai ilmu silat yang aneh-aneh, di antaranya juga mengajarkan ilmu menaklukkan ular-ular kepada muridnya itu.

Ci Sian yang memang suka sekali akan ilmu silat, belajar dengan tekun sekali setiap hari, sungguhpun dia merasa amat kesepian di tempat sunyi itu dan hatinya selalu terkenang kepada Kam Hong dan kepada ayah bundanya yang sedang dicarinya.

Setelah belajar siang malam selama empat tahun dan merasa bahwa dia telah memiliki ilmu yang cukup untuk dapat diandalkan dalam mencari Kam Hong atau ayah bundanya sendirian saja, Ci Sian lalu menyatakan kepada gurunya bahwa dia ingin pergi turun gunung untuk mencari Kam Hong dan mencari ayah bundanya.

“Ci Sian, engkau baru saja belajar empat tahun, dan sungguhpun hampir semua ilmuku telah kuajarkan kepadamu, akan tetapi engkau harus melatih dan mematangkan lagi selama setahun. Aku telah berjanji kepada Cui-beng Sian-li untuk mempertandingkan murid kami, yaitu engkau melawan muridnya. Maka engkau harus menanti setahun lagi.”

“Suhu, yang berjanji adalah Suhu, dan aku bukanlah seekor ayam aduan. Mengapa selalu Suhu membuat janji-janji aneh seperti anak-anak itu? Jangan layani dia. Aku harus turun gunung untuk mencari Paman Kam Hong atau ayah bundaku, dan kurasa dengan kepandaian yang kupelajari dari Suhu ini sudah cukup untuk bekal perjalananku mencari mereka.”

“Muridku, di dunia ini aku hanya mempunyai engkau seorang. Kalau bukan engkau yang menjaga namaku, habis siapa lagi? Kalau setahun kemudian engkau tidak mau menandingi murid Cui-beng Sian-li, bukankah nama See-thian Coa-ong akan menjadi bahan ejekan para penghuni Lembah Suling Emas dan kemudian menjadi bahan tertawaan seluruh dunia kang-ouw?”

Ci Sian menarik napas panjang.
“Kukira Suhu sudah tidak butuh apa-apa, ternyata masih membutuhkan nama besar! Begini saja, Suhu. Waktu berlatih yang setahun ini akan dapat kulakukan dalam perjalanan mencari orang tuaku. Dan perjanjian antara Suhu dan Cui-beng Sian-li itu hanya perjanjian untuk mempertandingkan murid Suhu dan muridnya, akan tetapi bukan janji bahwa aku akan datang mencari muridnya! Jadi, perjanjian itu berlaku juga untuk dia, dan muridnyalah yang harus pergi mencari aku! Nah, kalau sewaktu-waktu dia datang, Suhu katakan saja bahwa aku menanti-nantinya dan dia boleh mencariku sampai dapat!”

Menghadapi kebandelan Ci Sian, See-thian Coa-ong tak berdaya, apalagi memang dia amat sayang kepada muridnya itu dan maklum betapa tersiksanya dara remaja seperti Ci Sian untuk hidup terasing di tempat seperti itu bersama dia. Anak itu dapat bertahan hidup seperti pertapa kesepian di tempat itu selama empat tahun sudah merupakan hal yang amat mengagumkan, dan dia pun tahu bahwa dasar ilmu kepandaian Ci Sian sudah lebih dari cukup untuk dipakai menjaga diri, maka akhirnya dia pun tidak menahan lebih lanjut dan memperbolehkan dara itu turun gunung!

Demikianlah, pada pagi hari itu, dengan wajah yang cerah dan semangat yang bernyala-nyala, Ci Sian menuruni bukit dan tentu saja dia merasa seolah-olah seperti seekor burung yang baru saja terlepas dari sangkar di mana dia tekun mempelajari ilmu selama empat tahun dan di mana dia sering kali menahan-nahan rasa rindunya akan dunia luar! Kini dia merasa bebas! Dan kegembiraan mendebarkan jantungnya kalau dia teringat akan kemungkinan bertemu dengan Kam Hong!

Baru sekarang dia merasa betapa rindunya dia kepada pendekar itu! Dan dia pun harus mencari Toat-beng Hui-to Lauw Sek, yaitu Lauw-piauwsu untuk menanyakan di mana dia akan dapat mencari ayah bundanya, karena dia tahu bahwa piauwsu itulah yang telah menerima pesan terakhir dari mendiang kong-kongnya tentang tempat ayah bundanya.

Dan kalau dia sudah tahu tempat itu, dia akan mencari ayah bundanya sampai dapat. Apalagi kalau dia dapat bertemu dengan Kam Hong dan minta bantuan pendekar itu, dia yakin pasti akan berhasil menemukan ayah bundanya. Dengan bayangan-bayangan ini dalam benaknya, Ci Sian menuruni bukit dengan hati riang dan penuh harapan.

Akan tetapi, setelah belasan hari dia mencari-cari di sekitar tempat di mana dia terpisah dari Kam Hong, dia tidak dapat menemukan pendekar itu. Bahkan tempat di mana dia dan Kam Hong terasing ketika terjadi longsor itu, kini telah berubah pula dan tiada jejak Kam Hong di situ. Dia mulai menyusuri jalan di mana dia dan Kam Hong melalui ketika mereka berdua meninggalkan Lhagat. Akhirnya dia mengambil keputusan untuk mencari Lauw-piauwsu ke kota Lhagat.

Betapa kagetnya ketika dia tiba di daerah Lhagat, dia melihat banyak orang berbondong-bondong mengungsi dan meninggalkan daerah itu. Dari para pengungsi ini tahulah Ci Sian bahwa Lhagat, kota yang berada di perbatasan antara Tibet, Nepal dan India itu, yang menjadi tempat pemberhentian para pedagang dan orang-orang yang melakukan perjalanan dari atau ke tempat-tempat tersebut, kini telah diduduki oleh pasukan-pasukan asing yang menyerbu dari selatan!

Itu adalah pasukan-pasukan yang amat kuat dari Nepal! Pasukan itu bentrok dan bertempur dengan pasukan Tibet, memperebutkan daerah Lhagat dan akhirnya pasukan Tibet dipukul mundur dan Lhagat pun diduduki oleh pasukan Nepal yang memang bermaksud untuk terus menyerbu ke utara dan timur, tentu saja hendak menundukkan Tibet untuk terus menggempur Tiongkok. Menurut cerita para pengungsi, berkali-kali pihak tentara Tibet kena digempur dan menderita kekalahan, mundur dan dikejar musuh memasuki daerah Tibet.

Ketika Ci Sian mendengar betapa banyak orang-orang Tibet dan orang dari pedalaman telah ditawan oleh pasukan Nepal, apalagi mendengar keterangan bahwa Lauw-piauwsu yang dicari-carinya itu mungkin saja ikut tertawan, dia lalu melanjutkan perjalanan menuju ke Lhagat! Semua pengungsi memberi nasihat agar dia jangan mendekati Lhagat, apalagi seorang wanita muda cantik seperti dia. Namun, tentu saja Ci Sian tidak mempedulikan semua peringatan ini dan dengan cepat dia melakukan perjalanan menuju ke kota yang sudah diduduki musuh itu.

Setelah tiba dekat Lhagat, dia bertemu dengan serombongan pengungsi lagi yang membawa berita terakhir dari kota Lhagat. Dari mereka ini, dia mendengar berita yang lebih hangat, berita terakhir tentang apa yang terjadi di daerah itu. Kiranya, menurut penuturan para pengungsi ini yang terdiri dari orang-orang lelaki yang nampaknya kuat karena mereka adalah para pemuda Lhagat yang tadinya ikut pula mempertahankan kampung halaman mereka dari penyerbu asing, pada waktu itu kedudukan pasukan Nepal semakin kuat dengan datangnya bala bantuan lagi dari Nepal.

Pasukan itu bahkan telah berhasil menggagalkan bantuan pasukan Kerajaan Ceng yang kini telah terperangkap, terkepung di lembah sebelah timur Lhagat! Ketika mendengar akan penyerbuan pasukan Nepal ke daerah Tibet, Kaisar Kerajaan Ceng cepat mengirim pasukan yang terdiri dari lima ribu orang, untuk membantu pasukan Tibet yang menjadi negara taklukan Kerajaan Ceng, dan untuk mengusir pasukan Nepal itu.

Akan tetapi, sungguh di luar perhitungan Pemerintah Ceng bahwa sekali ini Nepal bersungguh-sungguh dalam serbuan mereka itu sehingga belum juga pasukan itu berhasil menyerbu untuk merampas kembali Lhagat, mereka telah terkepung ketika mereka sedang beristirahat di lembah gunung. Pihak musuh yang mengepung berjumlah tiga empat kali lebih banyak, maka pasukan Ceng itu tidak berhasil membobolkan kepungan dan hanya mampu bertahan saja.

Berkali-kali pasukan Nepal yang mengurung itu menyerbu ke atas hendak menghancurkan musuh, akan tetapi ternyata dalam waktu singkat, komandan pasukan yang pandai dari barisan Ceng telah dapat menyusun benteng pertahanan yang kokoh kuat. Oleh karena itu, kini pasukan Nepal hanya mengurung ketat, hendak membiarkan pihak musuh mati kelaparan!

Sudah setengah bulan pasukan yang terjebak itu dikepung, dan karena pihak Nepal maklum bahwa sewaktu-waktu dapat datang bala bantuan dari Kerajaan Ceng, maka penjagaan di sekitar daerah itu dilakukan dengan amat ketat.

Setiap orang yang lewat di daerah itu tentu digeledah dan diperiksa, kalau-kalau ada terselip mata-mata dari pihak musuh. Di mana-mana terdapat tentara Nepal dan seperti biasa yang terjadi dalam setiap huru-hara, dalam setiap peperangan, maka di daerah pegunungan itu pun terjadi pula hal-hal yang mengerikan setiap hari. Perampokan, perkosaan, pembunuhan, terjadi setiap saat. Manusia kehilangan prikemanusiaannya. Yang nampak hanyalah angkara murka dan di mana-mana manusia dicekam rasa takut yang hebat.

Biarpun dia masih belum dewasa benar, baru berusia hampir tujuh belas tahun, namun Ci Sian adalah seorang anak yang tergembleng oleh keadaan dan memang pada dasarnya dia cerdik. Dia mengenal bahaya, maka dia pun mengambil jalan-jalan melalui hutan-hutan.

Dia sudah mengenal daerah ini karena ketika dia berada di Lhagat beberapa tahun yang lalu, dia sering pergi berburu ke hutan-hutan. Oleh karena itu, dalam penyelidikannya untuk memasuki Lhagat dan mencari Lauw-piauwsu, dia pun menyelinap-nyelinap diantara pohon-pohon di hutan dan tidak berani sembarangan memperlihatkan dirinya kepada pasukan Nepal yang berjaga di mana-mana.

Ketika dia mencoba menyelidiki keadaan pasukan pemerintah Ceng yang terkurung di lembah gunung kecil itu, dia terkejut bukan main. Gunung kecil atau bukit di mana pasukan itu terkurung telah dikelilingi pasukan Nepal yang bersembunyi dan yang telah mempersiapkan segala macam jebakan dan barisan pendam dengan anak panah selalu siap di tangan. Pendeknya, kalau pasukan di lembah itu berani mencoba untuk membobolkan kurungan itu, mereka pasti akan dihancurkan!

Diam-diam Ci Sian mencari akal bagaimana kiranya pasukan itu akan dapat diselamatkan. Dia teringat akan cerita kakeknya tentang kepahlawanan, tentang kegagahan para pendekar jaman dahulu, tentang perbuatan-perbuatan yang menggemparkan karena gagah perkasanya. Ingatan-ingatan itu mendorongnya untuk melakukan sesuatu guna menolong pasukan yang terkurung, disamping dorongan rasa bahwa sudah menjadi tugasnya untuk menolong pasukan bangsanya yang terkurung tak berdaya itu.

Akan tetapi, bagaimana mungkin seorang dara remaja seperti dia, seorang diri saja, akan mampu menyelamatkan lima ribu orang tentara yang sudah terkurung tak berdaya itu? Apa dayanya menghadapi puluhan ribu pasukan Nepal?

Pagi itu, Ci Sian berjalan di dalam hutan sambil termenung. Sudah beberapa hari lamanya dia mencari-cari akal, namun dia tetap tidak dapat menemukan siasat yang baik bagaimana dia akan dapat menolong pasukan pemerintah yang terkurung musuh itu. Hatinya menjadi kesal dan dia yang makin merindukan Kam Hong karena dia percaya bahwa kalau Kam Hong berada di sampingnya, tentu pendekar itu akan dapat mencari siasat untuk menolong pasukan yang terkepung rapat itu.

Tiba-tiba dara itu berkelebat lenyap dan dia sudah menyelinap ke belakang sebatang pohon besar. Gerakannya memang cepat bukan main seolah-olah dia pandai menghilang saja. Dia mendengar suara ringkik kuda disusul suara kaki kuda dan suara manusia mendatangi dari depan!

Tak lama kemudian nampaklah rombongan orang berkuda itu. Yang paling depan adalah seorang gadis yang cantik, usianya tentu hanya lebih satu dua tahun dibandingkan dengan dia. Seorang gadis yang berbentuk tubuh ramping agak kecil, wajahnya bulat telur dan cantik manis, terutama dagunya yang runcing. Melihat pakaiannya, gadis ini adalah seorang Han, akan tetapi dua losin tentara yang mengawalnya itu jelas bukanlah tentara kerajaan, melainkan tentara Nepal!

Ci Sian bersembunyi dan tidak berani menampakkan diri, akan tetapi diam-diam dia merasa heran sekali mengapa ada seorang gadis bangsanya yang kini dikawal oleh pasukan Nepal! Kini kuda yang ditungganggi gadis cantik itu, yang berbulu hitam dan bertubuh tinggi besar, seekor kuda yang amat baik, telah tiba di dekat pohon di belakang mana Ci Sian bersembunyi.

Kuda hitam itu tiba-tiba meringkik mengangkat kedua kaki depannya tinggi-tinggi, mendengus-dengus ke arah pohon besar itu! Jelas bahwa kuda itu bukan kuda sembarangan, dan agaknya seekor kuda yang amat terlatih, seperti seekor anjing yang cerdik, begitu mencium bau seorang asing lalu memperingatkan majikannya!

Dan gadis cantik itu agaknya pun tahu akan ulah kudanya itu, dapat menduga bahwa di belakang pohon tentu ada seorang asing atau ada seekor binatang berbahaya.

“Keluarlah!” bentaknya dan begitu tangan kirinya bergerak, sebatang piauw kecil yang memakai ronce merah di gagangnya melucur ke arah belakang batang pohon itu!

Ci Sian terkejut bukan main. Kehadirannya telah dilihat orang, maka dia pun cepat mengelak dari ancaman pisau dan dengan tenang dia lalu keluar dari balik pohon itu sambil memandang dengan sinar mata marah namun penuh ketabahan.

“Orang kejam!” dia membentak sambil menatap wajah gadis cantik itu. “Apa salahku maka kau datang-datang menyerangku dengan senjata rahasiamu?”

Gadis cantik itu tercengang keheranan. Sama sekali tak pernah disangkanya bahwa yang mengejutkan kudanya adalah seorang dara remaja yang cantik jelita! Juga dua losin pengawalnya semua mengeluarkan seruan kaget dan heran. Mana mungkin ada seorang dara seperti itu berkeliaran di daerah ini tanpa pernah dapat nampak oleh penjaga?

Kini semua mata memandang Ci Sian dengan penuh kecurigaan. Sudah tersiar berita di kalangan para tentara Nepal bahwa Kerajaan Ceng mengirim seorang penyelidik yang sakti dari kota raja menuju ke tempat itu, tentu saja dalam usaha untuk menolong pasukan kerajaan yang terkepung itu. Maka, setiap orang asing dicurigai, apalagi orang-orang Han. Biarpun Ci Sian hanya merupakan seorang dara remaja, namun mereka semua tahu bahwa wanita-wanita Han, biarpun masih muda, tak boleh dipandang ringan karena diantara mereka banyak yang merupakan seorang ahli silat yang amat lihai.

Gadis cantik itu sendiri adalah seorang wanita yang agaknya berkepandaian tinggi, hal ini terbukti dari sambitannya dengan pisau kecil tadi. Kini gadis itu pun memandang dengan penuh curiga kepada Ci Sian, walaupun mulutnya sekarang tersenyum dan dia menjawab,

“Salahmu sendiri! Orang baik-baik tidak bersembunyi-sembunyi seperti seorang pencuri, dan kudaku ini selalu marah kalau melihat orang yang memiliki niat buruk di dalam hatinya”. Kemudian dia menggerakkan cambuk kudanya ke atas sehingga terdengar suara ledakan nyaring, lalu melanjutkan. “Engkau tentu seorang mata-mata, karena engkau berniat buruk maka engkau merasa takut dan bersembunyi!”

“Siapa takut? Apa yang perlu ditakuti?” Ci Sian mengejek. “Aku tidak takut, dan aku bersembunyi hanya karena enggan bertemu dengan pasukan yang kabarnya merupakan orang-orang jahat yang suka merampok, memperkosa, dan membunuh.”

Gadis cantik itu mengerutkan alisnya dan memandang marah.
“Siapa bilang pasukan kami begitu jahat?”

Ci Sian tersenyum pahit.
“Uhh, masih pura-pura bertanya lagi? Apakah matamu buta, apakah telingamu tuli sehingga engkau tidak melihat atau mendengar ratap tangis rakyat di sini? Jangan pura-pura bodoh!”

Wajah yang cantik itu berobah marah.
“Bocah bermulut lancang! Dalam setiap peperangan tentu saja jatuh korban, itu sudah jamak! Akan tetapi jangan mengira bahwa kami membiarkan pasukan melakukan kejahatan, apalagi perkosaan! Soal menyita barang musuh, atau membunuh musuh, sudah wajar.”

“Wajar kalau yang disita itu barang musuh dan kalau yang dibunuh nyawa musuh, sesama tentara. Akan tetapi kalau rakyat yang tidak tahu apa-apa yang diganggu, dirampok, dibunuh, wanita-wanita diperkosa, lalu apa bedanya tentaramu dengan orang-orang biadab?”

“Bocah sombong bermulut besar!” Gadis itu memaki dengan marah sekali. “Kau berani mengeluarkan kata-kata seperti itu di sini?”

“Mengapa tidak? Apa kau kira aku takut menghadapi beberapa gelintir anjing-anjing pengawalmu ini?”

Para pengawal sudah marah sekali mendengar ini dan mereka sudah gatal-gatal tangan akan tetapi mereka tidak berani bergerak sebelum menerima perintah dan agaknya mereka itu tidak berani mendahului gadis cantik yang mereka kawal itu.

“Hemm, agaknya engkau memiliki sedikit kepandaian juga maka berani bersikap lancang. Beranikah engkau melawanku?”

“Kau?” Ci Sian sengaja mengejek dan memandang rendah. “Biar ada sepuluh orang seperti engkau aku tidak akan mundur selangkah pun!”

Diam-diam gadis itu di samping kemarahannya, juga kagum menyaksikan sikap Ci Sian yang sedemikian tabahnya. Dia meloncat turun dari atas kudanya, diturut oleh semua pengawalnya yang menambatkan kuda-kuda itu pada batang pohon lalu mereka membentuk sebuah lingkaran panjang, mengelilinginya dan agaknya para pasukan itu gembira dapat menyaksikan dua orang gadis cantik yang hendak mengadu ilmu itu. Ci Sian mengikuti gerak-gerik mereka itu dengan sikap gagah dan tenang. Kemudian, gadis cantik itu menghampirinya di tengah-tengah lingkaran.

“Singgg!” Gadis cantik Itu sudah mencabut sebatang pedang dari pinggangnya dan sambil melintangkan pedang di dada, dia berkata, “Nah, kau keluarkanlah senjatamu!”

Akan tetapi Ci Sian memang tak pernah memegang senjata, bahkan “gelang” ular hidup tadi pun telah dilepaskannya dan dibiarkannya merayap pergi ketika dia keluar dari tempat sembunyinya. Dia tersenyum dan memandang calon lawan itu.

“Aku tidak pernah membawa senjata. Akan tetapi jangan dikira aku takut kalau engkau membawa pisau dapur itu!”

Mendengar ejekan ini, tentu saja gadis itu menjadi marah. Dan menyarungkan kembali pedangnya, melepaskan tali ikatan sarung pedang dan melemparkan pedang dengan sarungnya kepada seorang pengawal.

“Lihat, aku telah melepaskan pedangku, kita sama-sama tidak bersenjata. Nah, kau sambutlah seranganku ini”

Tiba-tiba gadis cantik itu menyerang dengan pukulan yang amat cepat. Diam-diam Ci Sian terkejut melihat betapa cepatnya gadis ini bergerak dan tahulah dia bahwa dia berhadapan dengan seorang ahli gin-kang yang berkepandaian cukup tinggi. Di samping itu, juga sikap gadis itu yang menyingkirkan pedangnya membuat dia senang dan berkuranglah kebenciannya. Gadis ini betapapun juga telah membuktikan kegagahannya dan tidak mau menghadapi lawan bertangan kosong dengan pedang di tangan! Maka dia pun cepat mengelak dan membalas.

Terjadilah perkelahian yang seru antara dua orang dara yang sama cantiknya ini, ditonton oleh para pengawal yang merasa yakin bahwa nona mereka akan menang karena mereka tahu bahwa nona mereka itu memiliki kepandaian yang tinggi, jauh lebih tinggi dibandingkan dengan mereka sendiri!

Akan tetapi, apa yang terjadi sekarang membuat semua pengawal menjadi bengong. Dara remaja itu ternyata bukan hanya dapat mengimbangi nona mereka, bahkan perkelahian itu terjadi amat seru dan cepat, membuat mata mereka berkunang dan sukar bagi mereka untuk mengikuti gerakan dua orang dara itu yang seolah-olah menjadi dua bayangan yang menjadi satu! Dan lebih hebat lagi, kini nona mereka mulai terdesak dan mundur terus sambil mengelak atau menangkis serangan lawan yang bertubi-tubi datangnya itu!

“Serbuuuu....!”

Melihat nona mereka terdesak, kepala pasukan segera memberi aba-aba dan dua puluh empat orang pengawal itu sudah bergerak memperketat kepungan dan hendak mengeroyok Ci Sian. Tangan mereka sudah meraba gagang senjata karena mereka itu merasa ragu sendiri apakah mereka harus mengeluarkan senjata kalau hanya mengeroyok seorang dara remaja saja!

Di lain pihak, ketika melihat betapa para pengawal itu bergerak maju, Ci Sian lalu mempercepat gerakannya, tubuhnya mencelat ke samping dan dari samping tangannya menampar ke arah pundak lawannya. Gerakannya itu demikian aneh dan cepatnya sehingga biarpun lawannya dengan cepat pula mengelak, tetap saja pundaknya kena diserempet oleh telapak tangan Ci Sian.

“Plakk!”

Tubuh wanita cantik itu terpelanting dan dia tentu terbanting roboh kalau saja dia tidak cepat menggulingkan tubuhnya ke atas tanah.

Ci Sian mesnnggosok-gosok kedua telapak tangannya, lalu dari tenggorokannya keluar suara melengking tinggi yang membuat para pengawal itu tersentak kaget dan tidak ada yang bergerak saking heran dan kagetnya karena tiba-tiba saja ada getaran aneh pada telinga mereka, getaran yang seperti menembus jantung!