FB

FB


Ads

Rabu, 01 Juli 2015

Suling Emas & Naga Siluman Jilid 022

“Wah-wah.... ini tugas yang paling berat yang pernah kuhadapi....”

Kakek itu mengomel, akan tetapi dia pun segera mengerutkan alis dan memejamkan mata, seperti yang dilakukan oleh Ci Sian tadi untuk membayangkan tentang bagaimana seandainya dia jatuh cinta! Juga Ci Sian sudah memejamkan mata membayangkan keadaannya sendiri.

Demikianlah, dua orang ini, seorang kakek tua renta dan seorang dara menjelang dewasa, duduk bersila dan memejamkan mata, mengerutkan alis, membayangkan tentang mereka jatuh cinta!

Cinta adalah suatu hal yang amat lembut, amat halus, amat rumit, dan amat banyak lika-likunya sehingga menjadi bahan percakapan, bahan tulisan dari bahan perdebatan para sastrawan, para cerdik pandai, dari jaman dahulu sampai sekarang, tanpa ada yang mampu melukiskannya atau memperincinya dengan tepat!

Apalagi bagi dua orang ini, yang selama hidupnya belum pernah jatuh cinta, kini keduanya membayangkan bagaimana seandainya mereka itu jatuh cinta! Padahal cinta antara pria dan wanita adalah sedemikian ruwetnya dan banyak sekali kaitan-kaitan dan lika-likunya! Betapapun juga, Ci Sian yang cerdik itu dengan naluri kewanitaannya seperti dapat meraba apa yang dimaksudkan dengan teka-teki yang diajukan oleh seorang wanita pula itu! Maka dia langsung menuju kepada sasaran pokok, yaitu tentang perasaan seorang pria dan seorang wanita yang jatuh cinta, apa yang paling dikehendakinya dari orang yang dicinta.

Ada satu jam lamanya kakek itu duduk diam seperti itu! Dan biarpun hawa udara amat dinginnya, namun kakek yang tubuhnya tidak terlindung pakaian ini mulai berkeringat! Keringatnya besar-besar menempel di seluruh tubuhnya, dan uap yang mengepul di atas kepalanya semakin tebal.

Tiba-tiba dia menarik napas panjang, membuka matanya dan mata itu berseri-seri memandang kepada Ci Sian yang sudah sejak tadi membuka matanya. Kakek itu mengguncang tubuhnya seperti seekor anjing kalau mengusir air yang membasahi tubuhnya. Terdengar suara berketrikan ketika keringat yang telah membeku itu berjatuhan rontok dari tubuhnya, merupakan butiran-butiran es kecil!

“Wah, memenuhi permintaanmu membayangkan tentang cinta itu mendatangkan bayangan yang amat mengerikan dan menakutkan!” katanya.

Diam-diam Ci Sian merasa geli juga. Bagaimana mungkin bayangan mencinta orang bisa begitu mengerikan dan menakutkan?

“Yang penting, apakah engkau kini sudah mampu menceritakan atau menggambarkan bagaimana perasaan seorang pria yang jatuh cinta kepada seorang wanita?”

“Aku sudah membayangkan.... aku sudah membayangkan dan.... hiihhh....“ Kakek itu menggigil, bukan karena kedinginan, melainkan karena geli dan takut! “Yang terbayang adalah cerewetnya, manjanya, dan betapa dia merongrong hidupku sehingga hidupku tidak lagi mengenal ketenteraman dan ketenangan, betapa dia ingin menguasai seluruh diriku dan hidupku. Ihhhh....!”

Kembali Ci Sian tertawa dalam hatinya, akan tetapi mulutnya hanya tersenyum saja. Betapa anehnya kakek ini!

“Bukan itu maksudku, Kek. Akan tetapi bagaimana perasaanmu dan apa yang paling kau inginkan andaikata engkau jatuh cinta kepada seorang wanita?”

Kakek itu mengingat-ingat.
“Keinginanku hanya ingin menyenangkan dia, membahagiakan dia, memanjakan dia.”

Akhirnya dia berkata, dengan alis berkerut, seolah-olah dia harus menjawab sesuatu persoalan yang amat rumit!

“Nah, itulah!” Ci Sian bersorak dan wajahnya berseri-seri. “Ketemu sekarang! Biarpun hanya hasil bayangan kita berdua, akan tetapi agaknya tidak salah lagi, Coa-ong!”

“Sudah kau temui jawaban teka-teki itu.”

Ci Sian mengangguk.
“Agaknya tidak akan keliru lagi.”

“Bagaimana itu?” Wajah hitam itu pun berseri, penuh harap. “Coba jawab, apakah perbedaan antara cinta seorang pria dan cinta seorang wanita?”

“Seperti keteranganmu tadi, Coa-ong. Cinta seorang pria adalah ingin selalu menyenangkan dan memanjakan, sedangkan cinta seorang wanita adalah sebaliknya, yaitu menurut hasil khayalan dan bayanganku tadi, cinta seorang wanita justeru menjadi kebalikannya. Dalam cintanya, wanita ingin selalu disenangkan, dimanjakan oleh pria yang dicintanya.”

Kakek itu melompat bangun dan baru nampak oleh Ci Sian betapa jangkungnya kakek itu. Jangkung kurus sehingga potongan tubuhnya tidak menarik sama sekali! See-thian Coa-ong Nilagangga kini bertepuk tangan dan mengeluarkan suara melengking seperti suara suling. Dan tiba-tiba Ci Sian terbelalak dan merasa jijik dan ketakutan ketika mendengar suara mendesis dan berdatanganlah ular-ular dari empat penjuru mengurung tempat itu! Heran dia bagaimana di tempat bersalju bisa terdapat begitu banyak ular!

“Coa-ong, aku takut....!” katanya dan dia bersembunyi di belakang tubuh kakek itu. Dia bukan takut, melainkan jijik.

“Kenapa takut? Engkau akan kujadikan puteri ular, mengapa takut?”

“Jadi puteri ular? Aku.... aku tidak mau!”

“Eh, bocah bodoh. Kalau engkau menjadi puteri ular, siapa lagi berani mengganggumu? Sahabatmu ular-ular itu berada di mana-mana dan jika engkau terancam bahaya, engkau dapat sewaktu-waktu memanggil mereka! Engkau telah berjasa kepadaku, maka aku ingin menurunkan ilmuku kepadamu. Apakah kau tidak mau?”






Ci Sian menelan ludah! hatinya tertarik juga.
“Kalau... kalau begitu, aku mau, kukira tadi.... aku hendak kau jadikan ular....”

“Ha-ha-ha, bagus! Nah, coba kau dekati mereka dan kau pegang-pegang mereka. Kesinikan dulu kedua telapak tanganmu!”

Ci Sian menghampiri ke depan kakek itu dan mengulurkan kedua tangannya, ditelentangkan. Tiba-tiba tangan kanan kakek itu bergerak cepat ke depan.

“Plak! Plak!”

“Aduhhh....!”

Ci Sian berteriak ketika kedua telapak tangannya terasa panas sekali ditampar oleh tangan kakek itu dan dia memandang terbelalak marah.

“Ha-ha-ha, sekarang semua ular akan tunduk kalau tersentuh tanganmu, Ci Sian.” kata kakek itu, Ci Sian menelan kembali kemarahannya begitu tahu bahwa tamparan itu merupakan semacam pemindahan ilmu untuk menaklukkan ular!

Dia lalu menghampiri ular-ular itu yang nampak diam tak bergerak di atas tanah, hanya lidah mereka yang bergerak keluar masuk di mulut masing-masing. Biarpun hatinya merasa jijik dan takut-takut, akan tetapi Ci Sian segera meraba kepala ular-ular itu dan sungguh aneh, ular-ular itu nampak takut dan jinak sekali! Giranglah dia dan di lain saat dia sudah mengangkat seekor ular kemerahan yang sebesar jari kakinya, membelainya dan mempermainkannya. Ular itu sama sekali tidak berani berkutik!

“Ha-ha-ha, tahukah engkau betapa satu gigitan ular itu akan dapat membunuh seorang manusia seketika juga?”

“Ihhh!” Mendengar ini, Ci Sian melemparkan ular merah itu.

“Anak bodoh, kepadamu dia tidak akan berani berbuat apa-apa!”

See-thian Coa-ong lalu mengeluarkan suara melengking tiga kali dan.... ular-ular itu lalu membalikkan tubuh dan merayap pergi dengan cepat dari tempat itu, seperti sekumpulan anjing yang ketakutan diusir pergi oleh majikan mereka.

“Ha-ha, ternyata aku yang bodoh sekali, Ci Sian. Tentu saja jawabanmu tadi tepat, ha-ha, begitu mudahnya! Mengapa aku tidak ingat akan hukum alam? Wanita adalah Im dan pria adalah Yang. Wanita adalah Bumi dan pria adalah Matahari! Sinar matahari menembus apa pun juga untuk mencari bumi, untuk menyinari bumi, untuk membuat bumi hidup dan subur, untuk memberikan semangat dan kekuatan kepada bumi. Sebaliknya, bumi menanti-nanti untuk disinari, untuk dibelai, untuk disuburkan, untuk menerima. Ha-ha-ha, benar sekali. Pria ingin mencinta, ingin menyenangkan, ingin memiliki. Sedangkan wanita ingin dicinta, ingin dimanjakan, ingin dimiliki dan untuk itu dia menyerahkan jiwa raganya kepada pria untuk dimiliki dan dicinta dan dipuja! Ha-ha-ha, betapa bodohnya tidak mampu menjawab teka-teki yang amat sederhana itu!”

Melihat sikap kakek itu yang kegirangan, Ci Sian memperingatkan.
“Jangan anggap sederhana dan mudah, Coa-ong. Tanpa bantuan seorang wanita, tak mungkin engkau dapat menjawab teka-teki itu.”

“Ha-ha, benar sekali. Karena itulah maka aku akan menurunkan ilmu-ilmuku kepadamu.”

“Aku ingin kembali kepada Paman Kam Hong.”

“Ah, tidak mungkin, Ci Sian. Tidak mungkin bagimu untuk naik ke bukit itu dan tidak mungkin pula bagi Pamanmu untuk turun dari sana. Longsoran bukit itu telah merobah keadaan dan kita hanya bisa mengharapkan terjadi longsoran lain sehingga tempat di mana Pamanmu terkurung itu akan dapat dihubungkan dengan tempat lain. Sementara ini, marilah kau ikut denganku untuk menjumpai musuhku itu.”

Hati Ci Sian menjadi tertarik.
“Wanita yang memberimu teka-teki itu?”

“Ya, dan kuharap engkau suka membantuku, Ci Sian. Dia pandai bicara dan pandai berdebat, dan engkau pun agaknya tidak kalah pandai. Maka bantuanmu kuharapkan. Mari kau temani aku menghadapinya, dan kelak aku akan membantumu mencari Pamanmu itu.”

Ci Sian berpikir sejenak. Omongan kakek ini tidak bohong. Memang dia tahu bahwa tidak terdapat jalan yang boleh membawanya kembali kepada Kam Hong. Dia memerlukan bantuan Kam Hong untuk mencari orang tuanya, setelah kini dia terpisah dari Kam Hong dan agaknya tidak mungkin dapat berkumpul kembali, apa salahnya kalau kini Coa-ong ini yang membantunya mencari orang tuanya?

Akan tetapi, dia belum mengenal betul kakek asing ini, oleh karena itu dia pun tidak perlu menceritakan tentang orang tuanya dan mendiang kakeknya. Sementara ini, daripada sendirian saja di daerah liar dan berbahaya dari Pegunungan Himalaya ini, lebih baik dia berteman dengan seorang pandai seperti See-thian Coa-ong. Apalagi akan diajari ilmu-ilmu yang tinggi, tentu saja dia merasa girang.

“Baiklah, Coa-ong. Aku akan membantumu.”

Kakek itu menjadi girang sekali, wajahnya yang berkulit hitam itu berseri dan dia lalu menggandeng tangan Ci Sian sambil berkata,

“Kalau begitu, hayo kita berangkat sekarang. Ingin sekali aku melihat wajah Cui-beng Sian-li kalau mendengar aku menebak teka-tekinya!”

“Cui-beng Sian-li? Itukah julukan lawanmu?” tanya Ci Sian, diam-diam dia bergidik ngeri karena julukan itu sungguh menyeramkan. Dewi Pengejar Arwah! Tentu saja orangnya mengerikan juga!

“Ya, dan dia lihai sekali. Sebetulnya dia adalah warga dari penghuni Lembah Gunung Suling Emas, akan tetapi semenjak suaminya meninggal, dia kini tinggal di Lereng Batu Merah tak jauh dari lembah itu hanya di sebelah bawahnya. Seperti juga Lembah Gunung Suling Emas, Lereng Batu Merah itu pun sukar didatangi manusia dari luar kecuali mereka yang sudah tahu jalannya.”

“Dan engkau tahu jalannya, Coa-ong?”

“Tentu saja!”

Maka berangkatlah mereka meninggalkan tempat itu. Menurut keterangan See-thian Coa-ong, tempat tinggal lawannya itu, yaitu Lereng Batu Merah, sebetulnya tidak jauh dari situ, masih merupakan satu daerah gunung, akan tetapi karena terjadi longsor, terpaksa mereka harus mengambil jalan memutar yang amat jauh!

Kini See-thian Coa-ong tidak bertelanjang lagi. Kalau tadinya dia hanya bercawat ketika untuk pertama kali Ci Sian melihatnya, kini kakek itu telah mengambil pakaiannya yang disimpan di dalam guha. Sesungguhnya bukan pakaian, hanya kain kuning panjang yang dilibat-libatkannya di tubuhnya, sebelah pundaknya dan dari pinggang ke bawah sampai ke lutut, seperti pakaian para pendeta pada umumnya. Ular panjang besar yang telah menolong Ci Sian itu ditinggalkan.

“Tanggalkan saja jubahmu itu. Aku akan mengajarkan ilmu untuk membuat tubuhmu hangat dan tahan menghadapi hawa yang bagaimana dingin pun.” kata See-thian Coa-ong kepada Ci Sian.

Mantel bulu itu memang sudah kotor, maka mendengar bahwa dia akan diajari ilmu yang aneh itu, Ci Sian merasa girang. Dia percaya penuh karena dia sudah melihat sendiri betapa kakek itu hampir telanjang di dalam hawa udara yang sedemikian dinginnya.

Demikianlah, mereka melakukan perjalanan dan di waktu mereka beristirahat, See-thian Coa-ong memberi petunjuk kepada Ci Sian untuk mengerahkan hawa murni dan membuat tubuhnya terasa hangat biarpun berada dalam hawa udara yang amat dingin.

Tentu saja ilmu ini tidak mudah karena sesungguhnya membutuhkan tenaga sin-kang yang amat kuat, akan tetapi kakek itu membantu Ci Sian dan menempelkan telapak tangannya yang panjang dan lebar ini ke punggung Ci Sian, maka dara remaja ini pun dapat dengan cepat menguasai hawa murni yang mengalir di tubuhnya.

Pada suatu pagi, ketika mereka sedang mendaki lereng, tiba-tiba mereka melihat serombongan orang turun dari puncak. See-thian Coa-ong cepat menarik tangan Ci Sian dan diajaknya dara itu bersembunyi di balik batu besar.

Akan tetapi Ci Sian dapat mengenal wanita yang berjalan di depan bersama dua orang anak laki-laki itu. Wanita itu bukan lain adalah A-ciu, wanita baju hijau dari rombongan empat wanita bertandu yang pernah dia pukuli dengan bantuan Kam Hong! Dia tidak mungkin salah mengenalnya biarpun dari jauh, karena di belakang wanita itu terdapat orang-orang yang memikul tiga buah tandu. Tentu tiga buah tandu itu berisi tiga orang wanita lainnya, pikir Ci Sian.

Akan tetapi yang amat menarik perhatiannya adalah keadaan dua orang anak laki-laki itu. Mereka itu sebaya dengan dia, dan lucunya, dua orang anak laki-laki itu serupa benar, baik pakaiannya, wajahnya maupun gerak-geriknya. Mudah saja diduga bahwa mereka tentulah dua orang anak kembar. Akan tetapi, Ci Sian tidak merasa lucu karena dia melihat betapa dua orang anak laki-laki itu berjalan dengan kedua lengan di belakang tubuh, tanda bahwa mereka itu tidak bebas, terbelenggu kedua lengan mereka! Mereka itu tentu ditawan oleh wanita-wanita jahat itu.

Teringatlah Ci Sian akan pertanyaan wanita-wanita itu di depan warung dahulu. Mereka bertanya-tanya tentang dua orang pemuda remaja kembar! Tentu itulah mereka yang ditanyakan dan kini agaknya mereka telah tertangkap dan menjadi tawanan. Karena hatinya merasa amat tidak suka kepada empat orang wanita itu yang dianggapnya jahat, maka biarpun dia tidak mengenal dua orang pemuda tanggung itu, hati Ci Sian condong berpihak kepada dua orang pemuda yang menjadi tawanan itu dan dia mengambil keputusan untuk menolong mereka dari tangan wanita-wanita itu.

Akan tetapi dia pun maklum bahwa empat orang wanita itu lihai bukan main. Dia pernah dapat mempermainkan mereka hanya karena pertolongan Kam Hong dan kini pendekar sakti itu tidak berada di situ. Yang ada hanya See-thian Coa-ong. Maka dia lalu menyentuh lengan kakek itu dan berkata dengan suara berbisik.

“Coa-ong, sekarang engkau harus membantuku, baru aku nanti membantu menghadapi lawanmu.”

“Membantu apa, Ci Sian? Tanpa kau minta sekalipun tentu perlu aku membantumu. Bukankah kita sudah menjadi sahabat-sahabat baik yang saling membantu?”

Girang hati Ci Sian mendengar ini.
“Coa-ong, wanita itu dan tiga orang temannya yang berada di dalam tandu adalah wanita-wanita jahat sekali, akan tetapi mereka juga lihai. Dan aku pernah bentrok dengan mereka, maka sekarang aku hendak membebaskan dua orang pemuda yang mereka tawan itu. Engkau mau membantuku, bukan?”

“Siapakah dua orang pemuda kembar itu? Apa kau mengenal mereka?”

“Tidak, melihat pun baru sekarang.”

See-thian Coa-ong menghela napas.
“Ah, Ci Sian, mengapa engkau mencari penyakit? Bukankah engkau merupakan seorang anak yang sudah lama berkecimpung di dunia kang-ouw? Mengapa harus mencampuri urusan orang lain?”

“Coa-ong, mana kita dapat terlepas dari urusan orang lain? Engkau menyelamatkan aku, dan kini aku ikut denganmu untuk menghadapi lawanmu. Bukankah itu berarti bahwa engkau dan aku telah mencampuri urusan orang lain? Hayo, engkau mau membantuku atau kau ingin melihat aku mati di tangan mereka?”

“Baiklah.... baiklah.... akan tetapi aku tidak mau kalau engkau menyuruhku membunuh orang.”

“Siapa mau bunuh siapa? Aku hanya ingin menolong dua orang pemuda yang tertawan itu”, kata Ci Sian.

Sementara itu, rombongan yang menuruni puncak telah tiba dekat dengan mereka. Memang benar dugaan Ci Sian. Wanita yang berjalan di depan itu adalah A-ciu, wanita baju hijau yang cantik dan berwajah bengis. Wanita itu membawa sebatang pedang yang tergantung di belakang pundaknya, berjalan dengan langkah gagah mendahului di depan dua orang pemuda remaja yang berwajah tampan dan yang melangkah tenang berdampingan dengan kedua lengan terbelenggu di belakang tubuh, lalu diikuti oleh tiga buah tandu yang masing-masing dipakai oleh empat orang.

Siapakah adanya dua orang anak laki-laki kembar itu? Usia mereka kurang lebih dua belas tahun, pakaian mereka sederhana dan wajah mereka tampan, sikap mereka tenang sekali. Wajah dua orang ini serupa benar, sukar membedakan satu dari yang lain, wajah yang membayangkan kegagahan dan rambut kepala mereka yang hitam gemuk itu dikuncir ke belakang punggung.

Melihat sikap mereka, biarpun mereka itu masih remaja dan mereka menjadi tawanan, dibelenggu kedua tangan mereka, namun mereka nampak begitu tenang. Hal ini saja sudah jelas menunjukkan adanya kegagahan dalam diri mereka.

Dan memang demikianlah. Dua orang anak laki-laki kembar ini memang bukan sembarang anak. Mereka adalah putera-putera dari pendekar sakti Gak Bun Beng dan pendekar wanita yang pernah menggemparkan dunia kang-ouw dan terkenal sebagai puteri istana, juga seorang panglima wanita yang disamakan dengan nama Hwan Lee Hwa di jaman cerita Sie Jin Kwie Ceng Tang.

Wanita yang menjadi ibu mereka ini bukan lain adalah Puteri Milana, keponakan dari kaisar! Gak Bun Beng dan Puteri Milana, suami isteri yang keduanya memiliki nama besar di dunia kang-ouw itu, telah lama mengundurkan diri dan hidup aman tenteram di puncak Telaga Warna, di Pegunungan Beng-san, di mana mereka hidup saling mencinta dan rukun bersama dua orang putera kembar mereka yang bernama Gak Jit Kong dan Gak Goat Kong. Di dalam bagian-bagian terdahulu dari rangkaian cerita ini, yaitu dalam kisah-kisah SEPASANG PEDANG IBLIS, SEPASANG RAJAWALI, dan JODOH SEPASANG RAJAWALI, pasangan pendekar sakti ini muncul dengan ilmu-ilmu mereka yang menggemparkan.

Bagaimanakah tahu-tahu dua orang saudara kembar itu, Gak Jit Kong dan Gak Goat Kong, yang tinggal di puncak Pegunungan Beng-san dapat berada di Pegunungan Himalaya dan menjadi tawanan Su-bi Mo-li?

Su-bi Mo-li adalah empat orang wanita cantik yang lihai sekali karena mereka itu adalah murid-murid gemblengan dari Im-kan Ngo-ok! Mereka berempat oleh guru-guru mereka sengaja diperbantukan kepada Sam-thaihouw yang diam-diam mengadakan hubungan dengan kelima Ngo-ok.

Ketika mendengar dari para mata-mata yang disebarnya bahwa dua orang putera dari Puteri Milana itu meninggalkan rumah orang tua mereka untuk ikut beramai-ramai berkunjung ke Himalaya, Sam-thaihouw cepat memerintahkan Su-bi Mo-li untuk melakukan pengejaran dan berusaha menawan dua orang kakak beradik kembar itu, untuk melampiaskan kebenciannya terhadap Puteri Milana! Mengapa Ibu Suri ke Tiga ini membenci Puteri Milana dan karena tidak berdaya terhadap puteri itu kini hendak melampiaskan dendamnya kepada kedua orang putera dari Puteri Milana?

Sam-thaihouw adalah satu-satunya selir yang masih hidup dari mendiang Kaisar Kiang Hsi. Sebagai selir mendiang ayahnya, maka tentu saja kaisar yang sekarang, yaitu Kaisar Yung Ceng, tetap menghormati ibu tiri itu, satu-satunya di antara para selir ayahnya yang masih hidup, dan memberinya kedudukan sebagai Sam-thaihouw atau Ibu Suri ke Tiga dan menempati sebuah istana yang cukup mewah.

Ketika Sam-thaihouw ini masih muda, pernah terjalin cinta asmara antara selir ini dengan mendiang Pangeran Liong Khi Ong, yaitu pangeran yang memberontak itu (baca KISAH SEPASANG RAJAWALI). Mereka mengadakan perjinaan di luar tahunya mendiang Kaisar Kiang Hsi. Maka ketika pemberontakan dari kekasihnya itu gagal dan Pangeran Liong Khi Ong bersama saudaranya, Pangeran Liong Bin Ong, tewas, diam-diam Sam thaihouw merasa berduka sekali. Maka, ditimpakanlah semua rasa benci dan sakit hatinya kepada keturunan Puteri Nirahai atau keturunan dari Pendekar Super Sakti. Terutama sekali kepada Puteri Milana yang berjasa pula memberantas pemberontakan kekasihnya itu.

Kini, setelah selir kaisar ini menjadi tua, satu-satunya nafsu yang berkobar di dalam dadanya hanyalah membalas dendam dan membasmi keturunan Pendekar Super Sakti atau keturunan Milana, kalau tidak mungkin menghancurkan kehidupan puteri itu sendiri. Inilah sebabnya mengapa Sam thaihouw mengadakan kontak dengan Im-kanNgo-ok melalui orang-orang kepercayaannya, dan ini pulalah yang menjadi sebab mengapa Su-biMo-li menjadi pembantu-pembantunya dan kini empat orang wanita cantik yang lihai itu bersusah payah pergi ke Himalaya untuk mengejar dua orang putera kembar dari Puteri Milana ketika mereka mendengar bahwa dua orang anak kembar itu ikut beramai-ramai ke Himalaya mencari pedang pusaka yang hilang dari istana.

Sungguh tak terduga oleh Su-bi Mo-li betapa di daerah Himalaya itu mereka berempat harus kehilangan muka ketika mereka bentrok dengan Kam Hong yang ternyata adalah keturunan Pendekar Suling Emas yang amat lihai! Akan tetapi, rasa penasaran dan kecewa ini terobat lah ketika mereka akhirnya dapat menemukan di mana adanya dua orang pemuda tanggung yang kembar itu! Mereka menemukan Gak Jit Kong dan Gak Goat Kong yang sedang berkeliaran di dalam sebuah hutan dalam keadaan bingung dan sesat jalan! Memang dua orang anak ini dengan keberanian luar biasa telah meninggalkan rumah orang tua mereka tanpa pamit untuk “mencari pengalaman” di daerah Himalaya yang luas itu.

Su-bi Mo-li tidak perlu mempergunakan kekerasan. Ketika melihat mereka dikurung oleh empat orang wanita lihai yang mengaku utusan Sam-thaihouw yang minta kepada mereka berdua agar ikut untuk menghadap ke kota raja, dua orang anak muda itu menyerah tanpa perlawanan. Mereka berdua bukan merasa takut. Sama sekali tidak. Sejak kecil mereka telah digembleng oleh ayah bunda mereka sehingga mereka tidak pernah mengenal takut, dan biarpun keduanya baru berusia sekitar tiga belas tahun, namun mereka telah memiliki dasar-dasar ilmu silat tinggi yang hebat.

Akan tetapi, mereka takut kepada ayah bunda mereka yang selalu menekankan agar mereka berdua tidak mencari permusuhan di dunia kang-ouw dan agar tidak menimbulkan keributan. Kini, mendengar bahwa Su-biMo-li adalah utusan Sam thaihouw yang “memanggil” mereka, maka kedua orang anak kembar ini menyerah dan bahkan tidak membantah ketika A-ciu membelenggu kedua tangan mereka kebelakang dengan alasan agar “jangan lari”.

Gak Jit Kong dan Gak Goat Kong bukanlah anak-anak yang bodoh, mereka menyerah bukan hanya untuk menghindarkan bentrokan dan keributan, akan tetapi juga mereka percaya penuh bahwa kalau mereka dibawa kekota raja, apalagi keistana, mereka akan selamat dan tidak akan ada yang berani mengganggunya! Bukankah Kaisar masih terhitung paman mereka sendiri, masih keluarga dengan ibu mereka? Dan siapakah yang tidak mengenal Puteri Milana, ibu mereka? Siapa yang akan berani mengganggu mereka, putera dari Puteri Milana yang terkenal? Mereka tidak tahu tentang Sam-thaihouw! Ketika rombongan ini tiba ditempat Ci-Sian dan See-thian Coa-ong bersembunyi, tiba-tiba Ci-Sian meloncat keluar dari balik batu besar, mengembangkan kedua lengannya dan dengan suara yang lantang dia membentak.

“Su-biMo-li! Kalian masih berani melakukan kejahatan dan menawan dua orang bocah itu? Hayo kalian bebaskan mereka!”

A-ciu tentu saja segera mengenal dara remaja itu dan wajahnya tiba-tiba berobah pucat. Cepat dia menoleh kearah dua orang pemuda tanggung itu. Akan tetapi dua orang pemuda kembar itu hanya saling lirik dan bersikap biasa saja, sikap yang menunjukkan bahwa mereka tidak mengenal dara cilik yang menghadang itu. A-ciu juga menoleh kekanan kiri, merasa ngeri karena mengira bahwa tentu dara itu muncul bersama dengan Suling Emas, sastrawan muda yang membuat dia dan tiga orang sucinya tak berdaya.

Melihat A-ciu hanya bengong dan memandang kekanan kiri, Ci-Sian membentak lagi dengan marah.

“Heii, apakah engkau sudah menjadi tuli? Hayo kau bebaskan dua orang bocah itu! Apa engkau ingin kugampar lagi mukamu sampai bengkak-bengkak?”

Ucapan itu mengingatkan kepada A-ciu akan penghinaan yang diterimanya dari dara remaja ini. Sepasang mata wanita cantik itu berkilat seperti mengeluarkan api dan dengan menahan rasa marah karena dia masih takut pada Kam Hong, dia berkata, suaranya nyaring,

“Bocah setan! Hayo suruh Pendekar Suling Emas keluar bicara dengan kami, jangan engkau mengacau di sini! Aku percaya bahwa Pendekar Suling Emas tidak akan selancangmu mencampuri urusan kami yang tiada sangkut-pautnya dengan dia!”

Ci Sian juga seorang yang amat cerdik. Melihat sikap A-ciu itu, diapun tahu bahwa wanita itu masih merasa gentar kepada Kam Hong, maka dia tersenyum. Biarpun Kam Hong tidak bersamanya, namun dia tidak merasa takut kepada wanita itu, mengingat bahwa See-thian-Coa-ong berada dibelakang batu besar, siap untuk melindunginya.

“Hemm, Paman Kam tidak datang bersamaku, akan tetapi hal itu bukan berarti bahwa engkau boleh membangkang terhadap perintahku. Hayo kau bebaskan dua orang bocah itu.”

Mendengar ucapan ini, tentu saja A-ciu menjadi girang bukan main,
“Bagus! Sekarang bersiaplah engkau untuk mampus, bocah setan!” teriaknya dan dia sudah mencabut pedangnya.