FB

FB


Ads

Senin, 09 Februari 2015

Kisah Sepasang Rajawali Jilid 027

“Nah, besar kemungkinan di dalamnya ada gadisnya, koko,” bisik Kian Bu.

Kakaknya cemberut.
“Apakah di dalam kepalamu itu isinya hanya bayangan gadis-gadis cantik?” bentaknya.

“Alaaaaaa...., koko. Kalau kau begini terus, sampai kapan kau hendak membalas budi?”

“Wah, kau memang cerewet dan selalu ingat kalau mengutangkan sesuatu!” cela kakaknya.

“Dan kau terlalu sabar kalau disuruh membayar hutang!” Adiknya menggoda sehingga Kian Lee kewalahan.

“Kau lihat sendiri, dua buah kereta itu tertutup, mana kita bisa tahu apakah di dalamnya ada gadisnya atau tidak?”

“Ha-ha, apa sih sukarnya untuk mengetahui hal itu?”

Tangan Kian Bu bergerak dan tampak oleh Kian Lee sinar-sinar hitam kecil menyambar ke depan. Adiknya telah menggunakan tanah liat untuk menyambit ke arah kuda yang menarik kereta.

Terdengar ringkik keras dan empat ekor kuda yang terkena timpukan tanah liat tepat di bawah telinganya itu meringkik dan meronta berdiri di atas kedua kaki belakang. Tentu saja kusirnya cepat membentak dan menarik kendali. Rombongan terhenti dan semua piauwsu bertanya sehingga ributlah keadaan disitu.

Dua buah kereta itu tersingkap dari dalam. Ada kepala-kepala orang menjenguk dan bertanya apa yang terjadi dan mengapa ada ribut-ribut diluar, bahkan orang-orang yang menumpang dalam kereta yang kudanya meringkik itu menjadi agak panik karena keretanya bergoyang-goyang.

Kesempatan itu dipergunakan oleh Kian Bu untuk mengintai dan betapa girangnya ketika melihat bahwa di kereta kedua, kereta yang besar dan mewah, terdapat tiga orang penumpang yaitu seorang laki-laki tua yang pakaiannya mewah tanda hartawan, usianya kurang lebih empat puluh tahun, seorang wanita yang usianya kurang lebih empat puluh tahun dan seorang gadis cantik manis yang berusia paling banyak sembilan belas tahun! Seorang gadis cantik dan bajunya merah, manis sekali! Juga Kian Lee melihat ini dan diam-diam dia memuji kecerdikan adiknya. Bocah itu ada saja akalnya!

Akan tetapi sekali ini “tugasnya” lebih berat daripada yang dilakukan adiknya sebulan yang lalu. Jumlah pengawal ada dua losin orang, dan diantara mereka banyak yang membawa busur, juga sikap mereka lebih gagah daripada sepuluh orang dahulu itu. Akan tetapi apa boleh buat, kalau dia belum “membayar hutang”, adiknya tentu akan rewel terus. Dia akan menjaga agar adiknya jangan bertindak lebih jauh dari sekadar belajar kenal dengan gadis itu!

“Baiklah, aku akan membayar hutangku. Kau tunggu diluar hutan ini di sebelah kiri sana,” katanya tanpa banyak cakap lagi. Kian Bu memegang tangan kakaknya.

“Terima kasih, koko!”

Kian Lee merenggut tangannya.
“Pergilah!”

Kian Bu tertawa dan meloncat pergi dengan girang sekali. Mau tidak mau, melihat adiknya berloncatan seperti anak kecil berlari sambil berjingkrakan itu, Kian Lee menggeleng kepala dan menarik napas panjang. Adiknya itu benar-benar seperti anak kecil, akan tetapi begitu besar hasratnya untuk berkenalan dengan gadis-gadis cantik!

Dia cepat berlari mengejar rombongan yang sudah bergerak lagi itu. Sebentar saja dia sudah dapat menyusul. Kian Lee tidak mau menimbulkan keributan seperti yang biasa dilakukan adiknya, maka dia sengaja mendahului rombongan lalu berdiri di tengah jalan sambil mengangkat tangan.

“Harap cu-wi berhenti dulu!”

Melihat ada seorang pemuda berkelebat cepat sekali kemudian berdiri menghadang di tengah jalan, dua kereta dihentikan dan dua losin piauwsu itu cepat menjaga kereta, pemimpinnya seorang piauwsu tua berjenggot putih, bersama belasan orang pembantunya menghadapi Kian Lee.

“Kau siapakah dan mau apa menahan rombongan kami?” bentak si jenggot putih.

Akan tetapi Kian Lee tidak mau melayaninya, melainkan melangkah lebar ke arah kereta kedua. Dia segera dikurung, akan tetapi dia berjalan terus menuju ke kereta sambil berkata,

“Aku mau bicara dengan mereka! Yang berada didalam kereta!”

Melihat pemuda tampan ini berpakaian pantas dan tidak membawa senjata, sikapnya seperti seorang pemuda terpelajar, maka para piauwsu ragu-ragu untuk menurunkan tangan besi, dan kereta itu disingkap dari dalam, muncul wajah tiga orang itu. Kian Lee yang melihat jelas bahwa di dalamnya memang terdapat seorang gadis cantik berbaju merah, segera berkata,

“Aku hanya mau mengajak pergi dia itu!”

Berkata demikian tubuhnya meloncat cepat sekali ke depan, dan tahu-tahu semua orang melihat dia sudah melesat pergi dan lari memondong tubuh gadis berbaju merah yang berteriak teriak.

“Tolong.... toloooonggg....!”

Beberapa orang piauwsu memasang anak panah pada busurnya.
“Hati-hati, jangan salah sasaran. Arahkan kepada kakinya!”

Belasan batang anak panah melesat mengejar Kian Lee, akan tetapi dengan meloncat-loncat, pemuda itu dengan mudahnya menghindarkan kakinya dari sambaran anak panah dan mempercepat larinya. Biarpun para piauwsu melakukan pengejaran secepatnya, namun sebentar saja Kian Lee sudah lenyap dari depan mereka.

“Lepaskan aku....! Tolonggg....!”

“Diamlah, aku hanya menculikmu!” Kian Lee menahan kata-katanya karena hampir saja dia bilang “Sebentar lagi kau akan tertolong!”






Karena cepatnya dia berlari, tak lama kemudian dia sudah keluar dari hutan itu dan tiba-tiba Kian Bu meloncat keluar menghadang.

“Heii, perampok! Penculik! Lekas lepaskan gadis manis ini kalau kau tidak ingin kupukul mampus!”

Keduanya segera bertanding menurut rencana dan Kian Lee yang terdesak segera melepaskan gadis itu, menerima beberapa kali pukulan lalu melarikan diri dari situ dengan cepatnya. Dari jauh dia menyelinap dan mengintai kearah dua orang itu. Dia kagum melihat betapa gadis itu menjatuhkan diri berlutut di depan kaki Kian Bu sambil menangis.

“Saya menghaturkan banyak terima kasih kepada kongcu yang telah menyelamatkan nyawa saya....” katanya dengan suara merdu.

Kian Bu tersenyum.
“Ahhh, tidak mengapa, nona. Urusan kecil saja itu. Tidak perlu berterima kasih. Saya sudah merasa girang kalau nona sudi menjadi sabahat saya.”

Gadis itu bangkit berdiri karena tangannya ditarik oleh Kian Bu. Dari tempat sembunyinya jelas tampak oleh Kian Lee betapa gadis itu tersenyum manis sekali dan matanya mengerling tajam ke arah Kian Bu, sikapnya amat memikat.

“Tentu saja, kongcu. Engkau adalah penolongku, apapun yang kongcu kehendaki dariku, tentu akan kulakukan untuk membalas budi....”

Kalau saja yang menerima kata-kata ini bukan seorang pemuda tanggung yang masih hijau seperti Kian Bu, tentu dapat menangkap arti di balik kata-kata memikat ini. Akan tetapi dasar dia masih mentah, Kian Bu hanya tersenyum girang dan berkata,

“Terima kasih, aku girang sekali dapat berkenalan denganmu, apalagi menjadi sahabatmu. Nona, namaku adalah Suma Kian Bu, dan nona siapakah?”

“Namaku....?” Gadis itu kelihatan malu-malu dan mengerling tajam disertai senyum simpul. “Aku.... Cia Hong Ciauw....”

“Namamu manis sekali, seperti orangnya,” kata Kian Bu.

Ucapan yang keluar dari mulut Kian Bu ini hanyalah ucapan jujur saja dan bukan merupakan sanjungan atau bujuk rayu, melainkan diucapkan karena memang sesungguhnya dia menganggap nama itu manis dan orangnyapun manis!

Akan tetapi, wajah gadis itu menjadi merah sekali, lebih merah dari bajunya, tersenyumlah dia dengan penuh daya pikat, matanya mengerling, dan dari lehernya keluar suara seperti seekor kucing dibelai.

“Ihiiikk.... kongcu bisa saja memuji orang membikin aku malu saja....” Dan tiba-tiba gadis itu merangkul dan menyembunyikan mukanya di dada Kian Bu.

“Lhoh....! Ehhh....! Bagaimana ini....? Wah, jangan....!”

Kian Bu menjadi bingung, tubuhnya menjadi kaku dan meremang semua, seolah-olah ada ribuan ekor ulat yang merubung tubuhnya. Dan pada saat itulah muncul kakek dari dalam kereta bersama para piauwsu.

“Hong Ciauw....!” Kakek itu membentak marah.

Gadis itu lalu melepaskan rangkulannya, terkejut dan mundur, akan tetapi masih sempat melempar senyum dan kerling manis ke arah Kian Bu, lalu berkata,

“Dia ini adalah in-kong (tuan penolong) Suma Kian Bu. Kalau tidak ditolongnya, tentu aku sudah mati di tangan penculik kejam....”

Kian Bu yang melihat kakek itu melotot marah, tahu bahwa keadaannya tidak menguntungkan. Ayah itu tentu marah melihat anaknya merangkul seorang pemuda!

“Eh, maaf.... aku.... eh, aku hanya menolong puterimu tanpa pamrih sesuatu....”

“Puteri siapa? Dia adalah bini mudaku!” bentak kakek itu.

Sepasang mata Kian Bu makin lama makin lebar sampai menjadi bulat dan tidak dapat lebih lebar lagi, mulutnya juga terbuka sampai lama. Untung di tempat itu tidak banyak lalat! Akhirnya, tanpa mengeluarkan suara bah atau buh, dia membalikkan kedua kakinya dan lari lintang pukang seperti dikejar hantu!

Tentu saja para piauwsu yang melihat ini menjadi terheran-heran, apalagi mendapat cerita nyonya muda itu bahwa pemuda tadi telah menolongnya dari tangan penculik yang amat lihai tadi. Benar-benar seorang pemuda yang aneh, pikir mereka, aneh dan berilmu amat tinggi karena dengan beberapa loncatan saja, bayangan pemuda itu melesat dan lenyap.

Kian Bu berlari terus dengan cepat, merasa seolah-olah gadis manis itu mengejarnya, hendak merangkulnya, hendak menciumnya. Dia bergidik berkali-kali, menggerakkan kedua pundak dan tengkuknya terasa dingin dan ngeri, larinya makin cepat seolah-olah setan gadis itu berada dekat sekali di belakangnya.

“Ha-ha-ha-ha!”

Tiba-tiba terdengar suara tertawa dan mendengar suara ketawa ini tahulah Kian Bu bahwa memang ada orang di belakangnya, bukan setan bukan siluman, melainkan kakaknya sendiri. Maka dia berhenti dan terengah-engah memandang wajah kakaknya yang tertawa-tawa dengan gelinya. Baru sekarang dia melihat kakaknya tertawa demikian enak sampai memegang perutnya.

“Ha-ha-ha-ha....! Dia bini mudanya.... ha-ha-ha-ha, dan kau dirangkulnya, ha-ha-ha....!” Kian Lee yang tidak biasa tertawa-tawa seperti itu, kini tidak dapat menahan kegelian hatinya.

“Koko, kau.... kejam!” Kian Bu membentak dan suara tertawa terhenti.

Dengan mulut masih tersenyum lebar menahan geli hatinya, Kian Lee berkata,
“Nah, kau rasakan sekarang, Bu-te. Tidak benarkah kata-kataku bahwa cara yang tidak baik hanya akan menghasilkan ketidak baikan pula? Karena pertolonganmu tadi hanya sandiwara dan pura-pura saja, hanya palsu, maka hasilnya hanya menimbulkan cemburu seorang suami yang melihat bini mudanya bermain gila dengan orang lain.”

“Huh! Sialan perempuan itu....!” Kian Bu membanting kaki dengan gemas. “Aku tidak akan melakukan hal itu lagi! Tidak lagi!”

“Sudahlah, Bu-te, sekali waktu ada gunanya juga pelajaran pahit seperti ini bagi kita. Nah, marilah sekarang kita cepat mengejar mereka dan membayangi dari jauh.”

“Hehh....?” Kian Bu memandang kakaknya dengan mata lebar. “Perlu apa membayangi? Aku tidak butuh berkenalan dengan perempuan itu!”

“Sekarang bukan urusan berkenalan dengan wanita, Bu-te. Ketahuilah, ketika tadi aku melarikan diri dan mengintai, aku melihat berkelebatnya tiga orang tosu dan aku segera membayangi mereka. Aku sempat menangkap percakapan mereka yang menyatakan bahwa mereka akan turun tangan terhadap rombongan itu malam ini di kuil tua.”

“Eh, siapa mereka itu?”

“Aku tidak tahu, akan tetapi melihat gerakan-gerakan mereka, kalau benar mereka turun tangan mengganggu, para piauwsu itu bukanlah tandingan mereka. Maka kita harus membayangi dan kalau perlu menolong mereka, Bu-te. Sekali ini bukan menolong pura-pura, bukan main sandiwara, melainkan main betul-betulan karena ada pihak yang terancam bahaya.”

“Baik, koko. Akan tetapi kuharap ada penculik sungguhan yang melarikan perempuan itu dan jangan harap aku akan menolong dia. Agaknya orang seperti dia itu memang selalu mengharapkan dibawa pergi penculik!” Kian Bu mengomel.

“Hushh, jangan sentimen, Bu-te! Dia patut dimaafkan karena memang sukarlah mencari seorang penolong pemuda istimewa seperti engkau.”

“Wah, kau tiada habisnya mengejek, koko!” Suma Kian Bu mengomel dengan suara merengek. “Awas, kalau lain kali engkau yang kecelik, aku akan mentertawakanmu juga!”

Dua orang kakak beradik itu menggunakan ilmu berlari cepat, akan tetapi karena rombongan itu dibalapkan semenjak mengalami gangguan kakak beradik itu, maka setelah hampir malam baru mereka dapat menyusul rombongan itu yang telah berhenti di dalam sebuah kuil tua diluar hutan.

Kuil ini adalah kuil Budha yang sudah amat tua, sebagian besar bangunan itu sudah runtuh dan agaknya dibuat sebagai tempat perhentian oleh para pendeta Budha di jaman dahulu ketika mereka mulai dengan penyebaran Agama Budha sampai ke pelosok-pelosok dunia. Kini kuil kuno dan rusak itu tentu saja tidak dipergunakan lagi oleh para pendeta dan hanya dipergunakan oleh orang-orang yang melakukan perjalanan dan lewat di tempat itu untuk sekedar beristirahat atau kadang-kadang juga bermalam.

Agaknya rombongan yang dilindungi oleh dua losin piauwsu itu memang sudah merencanakan untuk bermalam di tempat itu dan merasa aman karena ada dua losin piauwsu yang mengawal. Akan tetapi, peristiwa penculikan nyonya muda di siang hari tadi, dilakukan oleh seorang pemuda dan entah bagaimana nasib nyonya muda itu kalau tidak ditolong oleh seorang pemuda lain, membuat para piauwsu bersikap waspada, hati-hati dan juga agak cemas. Baru ada seorang perampok saja yang turun tangan, penjahat itu sudah berhasil menculik wanita di hadapan hidung mereka tanpa mereka dapat menangkapnya!

Setelah hartawan itu dan dua orang isterinya turun dari kereta menempati ruangan kuil yang sudah dibersihkan dan dihangatkan dengan api unggun, duduk di dekat api di atas tikar, para piauwsu yang berjaga-jaga tentu saja membicarakan peristiwa siang tadi. Juga diantara hartawan dan kedua orang isterinya terjadi percakapan mengenai peristiwa itu. Terutama si hartawan yang mengomel tak kunjung henti.

“Baru sejenak saja dari sampingku, engkau sudah main gila dengan laki-laki lain,” kata si hartawan kepada bini mudanya.

“Sudah berapa puluh kali kau mengatakan hal itu!” jawab si bini muda dengan berani. “Sampai bosan aku mendengarnya! Engkau tidak terancam bahaya maut, maka bicara sih mudah! Aku yang terancam bahaya maut oleh penculik yang ganas dan kejam sekali itu, setelah ditolong orang, tentu saja aku amat senang dan berterima kasih. Dia masih amat muda, sepatutnya menjadi adikku, kalau aku menyatakan terima kasihku dengan merangkulnya, apakah itu merupakan kejahatan besar?”

“Kalau aku tidak keburu muncul, entah macam apalagi terima kasihmu itu, kau perempuan rendah....!”

“Sudahlah, sudahlah....!” Isteri pertama mencela. “Di tengah perjalanan, di tempat berbahaya dan dimana bahaya sewaktu-waktu masih selalu mengancam kita, mengapa ribut-ribut mengenai urusan yang telah lewat? Terdengar para piauwsupun hanya akan menimbulkan rasa malu.”

Setelah tiga orang itu dengan bersungut-sungut tidur di dekat api dan tidak lagi ribut mulut, para piauwsu yang berjaga-jaga membicarakan peristiwa siang tadi sambil berbisik-bisik. Diantara mereka, Can Si Hok si kepala piauwsu sendiri, juga ikut bercakap-cakap.

“Nasib kita masih baik sehingga ada saja muncul seorang penolong sehingga penculikan itu dapat digagalkan,” kata seorang diantara mereka.

“Penculik itu mempunyai kepandaian yang hebat sekali. Keroyokan anak panah itu dapat dielakkannya semua tanpa menoleh, padahal dia sedang memondong orang dan sedang berlari. Sayang. dia keburu lari sehingga kita tidak sempat mencoba sampai dimana kepandaian ilmu silatnya. Kelihatannya masih muda sekali.”

“Akan tetapi, jelas bahwa kepandaian penolong itupun lebih hebat,” bantah yang lain. “Buktinya dapat menolong dan mengusir si penculik. Penolong itupun masih amat muda. Dari cara dia melarikan diri, jelas bahwa gin-kangnya amat luar biasa, seperti terbang saja.”

Can Si Hok, si kepala pengawal yang berjenggot putih, menarik napas panjang dan berkata,
“Kawan-kawan, malam ini harap kalian waspada dan lebih baik kalau tidak seorangpun diantara kita tertidur. Penjagaan di luar kuil harus dilakukan dengan ketat, perondaan di sekitar kuil dilakukan dengan bergiliran. Aku khawatir akan terjadi lagi hal yang tidak kita inginkan. Munculnya dua orang tadi, baik si penculik maupun si penolong, merupakan hal yang amat luar biasa. Selama ini belum pernah pula mendengar di dunia kango-uw muncul dua jago muda yang sedemikian lihainya. Baiknya, kalau yang seorang jahat, yang seorang baik dan suka menolong. Mudah-mudahan tugas kita sekali ini tidak akan gagal.”

Penjagaan diperketat dan Can Si Hok sendiri melakukan perondaan. Kelihatannya aman dan tidak terjadi sesuatu di tempat yang amat sunyi itu. Benarkah demikian? Sesungguhnya tidaklah demikian karena tidak jauh dari kuil itu terjadi hal-hal yang tentu akan menggegerkan para piauwsu kalau saja mereka mengetahuinya.

Tiga sosok bayangan yang gerakannya gesit bukan main, bagaikan setan-setan saja layaknya, bergerak diantara pohon-pohon mendekati kuil. Setelah dekat dengan kuil mereka mengintai dari balik pohon besar kearah empat orang penjaga yang menjaga di pojok kuil.

“Kita bunuh saja mereka berempat itu, lalu menyerbu ke dalam,” berbisik seorang diantara mereka.

“Biarlah pinto yang menyelinap ke dalam mencari benda itu, kalian berdua bikin ribut diluar, memancing perhatian semua piauwsu. Yang agak lumayan kepandaiannya hanyalah Can-piauwsu itu saja, yang lain-lainnya tidak perlu dikhawatirkan.”

“Baik, akan tetapi bagaimana dengan hartawan itu?” tanya tosu yang ada tahi lalat besar di dagu kanannya, “Dan kedua orang wanita itu?”

“Bereskan saja mereka, hartawan itu adalah seorang yang pelit!” kata tosu kedua.

“Ah, wanita muda itu sayang kalau dibunuh. Dia manis,” kata si tahi lalat.

“Hushhhh.... jangan ribut-ribut, kita bergerak sekarang dan.... heiii.... hujankah....?”

Memang ada air menyiram mereka dari atas pohon besar itu. Tadinya mereka mengira bahwa hujan turun tak tersangka-sangka, akan tetapi hidung ketiga orang tosu itu kembang kempis. Mereka meraba-raba air hujan yang menimpa kepala dan mendekatkan jari ke depan hidung.

“Mengapa baunya begini?”

“Seperti air kencing!”

Dan “hujan” pun berhenti yang berarti memang tidak hujan sama sekali, melainkan ada orang mengencingi mereka dari atas pohon itu.

“Keparat!”

Mereka memaki dan secepat kilat tubuh mereka sudah mencelat ke atas, kedalam pohon. Mereka berlompatan dan mencari-cari, akan tetapi tidak ada seorangpun di pohon itu! Terpaksa mereka turun lagi dan berbisik-bisik penuh ketegangan.

“Apa yang terjadi?”

“Tentu hanya seekor monyet, siapa lagi?”

“Akan tetapi, biarpun monyet, bagaimana bisa bergerak secepat itu seperti pandai menghilang saja?”

“Kita harus bekerja cepat,” kata tosu bertahi lalat. “Sudah dikabarkan orang bahwa kelenteng kuno ini menjadi tempat keramat. Yang dapat menggoda kita seperti tadi tentu hanya setan saja!”

Ketiganya menjadi tegang. Mereka percaya bahwa setanlah yang menggoda mereka, karena kalau manusia atau binatang, tak mungkin dapat lari dari mereka sedemikian cepatnya. Mereka adalah orang-orang yang berkepandaian tinggi, tak mungkin dapat dipermainkan dan kalau yang berada diatas pohon tadi manusia atau binatang sudah pasti mereka akan dapat menangkapnya.

“Mari kita bergerak,” kata tosu pertama. “Ji-sute (adik seperguruan kedua), kau menyelinap dari kanan, dan kau sam-sute, kau dari kiri. Setelah kalian menyergap keempat orang itu, pinto akan masuk melalui pintu samping yang kelihatan dari sini itu dan selanjutnya kalian harus memancing mereka semua keluar agar leluasa pinto bergerak kedalam.”

“Baik, suheng,” kata kedua orang tosu itu yang segera berpencar ke kiri dan ke kanan.

“Heiii.... aduhhh!”

Tak lama kemudian terdengar tosu yang berlari ke kiri terjungkal dan menahan teriakan makiannya.

Mereka berkumpul, kini di tempat tosu itu jatuh.
“Mengapa kau, sam-sute?”

“Tersandung batu! Sialan!”

“Engkau? Dapat tersandung batu? Sungguh aneh.”

“Entahlah, batu itu seperti ada tangannya memegang dan menjegal kakiku. Eh, mana batu jahanam itu?” Dia meraba-raba dan tidak menemukan batu itu. “Aneh sekali, batu itu besar sekali ketika aku menyandungnya, mengapa sekarang menghilang?”

“Ah, sungguh heran sekali mengapa mendadak engkau menjadi penakut dan gugup sehingga jatuh sendiri, sam-sute. Apakah cerita tentang setan membuat kau penakut?” cela tosu tertua.

“Biarlah empat orang itu kubereskan sendiri, nanti sam-sute menyusul kalau aku sudah memancing mereka keluar,” kata orang kedua yang segera meloncat ke depan dengan sigap.

Dua orang temannya melihat dia meloncat keatas, akan tetapi betapa kaget rasa hati mereka karena tidak melihat temannya itu turun lagi, seolah-olah menghilang begitu saja! Tosu tertua dan sam-sutenya yang tadi tersandung batu ajaib itu terbelalak memandang.

“Eh, kemana dia?” tanya sutenya. “Mana ji-suheng?”

Tosu tertua juga bingung karena sutenya itu benar-benar lenyap tak menimbulkan bekas.
“Ji-sute....!” bisiknya memanggil.

Tiba-tiba terdengar jawaban agak jauh di belakang mereka, akan tetapi bukan jawaban panggilan itu melainkan suara “ceekkk.... ceekkk....” seperti orang yang lehernya dicekik! Cepat mereka berdua melompat dan lari ke arah suara itu dan dapat dibayangkan betapa kaget hati mereka ketika melihat saudara yang dicari-cari itu sedang “menggantung” diri di sebuah dahan, tubuhnya berkelojotan, lehernya mengeluarkan suara tercekik dan dia digantung dengan sabuknya sendiri sehingga celananya merosot turun terkumpul di kaki dan karena tosu bertahi lalat itu sudah “biasa” tidak memakai pakaian dalam, tentu saja dia menjadi telanjang bulat di tubuh bagian bawahnya, menimbulkan penglihatan yang lucu sekali!

Kedua orang tosu itu cepat meloncat dan melepaskan sabuk itu dari dahan pohon dan membawa turun saudara mereka yang sudah melotot matanya, terjulur lidahnya dan kebiruan mukanya itu! Mereka sibuk, yang seorang menggosok-gosok leher bekas terjirat itu, yang kedua membenarkan celana dan mengikatkan lagi sabuknya pada pinggang.

Setelah siuman, tosu ketiga bertanya,
“Ji-suheng, mengapa kau begitu pendek pikiranmu? Mengapa kau hendak membunuh diri dan mengapa pula membunuh diri saja menanti saat seperti ini? Aihh, ji-suheng, kalau kau mati dengan membunuh diri, nyawamu akan melayang ke neraka siksaan!”

“Bunuh diri hidungmu itu!” Si tahi lalat memaki dan bangkit duduk, menggosok-gosok lehernya dan menggoyang-goyangkan kepalanya. “Iblis yang melakukan ini!”

“Ji-sute, coba ceritakan, apakah yang terjadi?”

Tanya tosu tertua setelah dia tadi meloncat keatas pohon menyelidiki akan tetapi juga tidak menemukan orang disitu.

Tosu bertahi lalat menghela napas lalu bergidik.
“Kalian melihat sendiri aku meloncat. Tahu-tahu rambutku ditangkap orang dari atas dan sebelum aku sempat berteriak, jalan darah di leher ditotok membuat aku tak dapat bersuara, dan aku lalu.... digantung di dahan itu.”

“Tidak mungkin!” Tosu pertama membantah.

“Mungkin saja!” Tosu ketiga mencela.

“Buktinya dia sudah tergantung disana, kecuali kalau dia menggantung diri sendiri. Ji-suheng, berterus teranglah, apa kau benar-benar tidak mencoba membunuh diri? Jangan putus asa, biarlah wanita di kuil itu untukmu, aku tanggung ini!”

“Sam-sute, sekali lagi kau bicara tentang bunuh diri, lehermu yang akan kucekik!” Si tahi lalat berkata marah dan mendongkol.

“Ji-sute, pinto sukar untuk percaya. Biarpun andaikata benar ada orang menangkap rambutmu dari atas dan menotok jalan darahmu di leher sehingga kau tidak dapat berteriak, akan tetapi kedua tangan masih bebas. Dengan itu kau dapat....”

“Kalau diceritakan memang aneh, suheng, maka tadi kukatakan bahwa setan sajalah yang dapat melakukan itu. Aku sudah melawan tentu saja, dan tangan kiriku ini sudah menampar lambungnya, bahkan aku yakin benar tangan kananku sudah menotok jalan darahnya di pinggang. Akan tetapi aku seolah-olah menampar dan menotok tubuh.... mayat saja. Begitu dingin dan sama sekali tidak ada hasilnya, hihhh....!” Dia bergidik dan kedua orang saudaranya ikut merasa ngeri.

“Aihh.... benar-benarkah ada setan disini....?”

Tosu pertama berkata sambil menoleh kekanan kiri sedangkan tosu ketiga menggosok-gosok tengkuknya yang terasa tebal.

Tiba-tiba si tahi lalat berkata,
“Bukan, suheng. Teringat aku sekarang! Bukan setan karena aku mendengar dia tertawa, disusul suara yang terdengar jelas akan tetapi agak jauh.”

“Suara bagaimana?”

“Suara seorang laki-laki berkata: Koko, dia telanjang, ha-ha, begitulah, sekarang aku teringat benar tentu ada dua orang di pohon itu yang mempermainkan aku.”





Tidak ada komentar:

Posting Komentar