Tosu pertama mengelus jenggotnya.
“Hemmm.... setan atau manusia, jelas bahwa mereka itu lihai sekali dan agaknya hendak merintangi tindakan kita. Bodoh sekali kalau kita berlaku nekat. Biarlah kita anggap saja kita gagal malam ini, dan kita tangguhkan sampai besok. Kita harus membawa bantuan kalau begini, siapa tahu diam-diam ada orang pandai yang melindungi rombongan itu.”
Dua orang adiknya mengangguk dan cepat-cepat meninggalkan tempat itu dan beberapa kali si tahi lalat menoleh ke belakang karena dia masih merasa ngeri kalau mengenangkan peristiwa tadi.
Tentu saja mudah diduga bahwa yang melakukan gangguan itu adalah Kian Lee dan Kian Bu. Dan mudah pula diduga bahwa yang mengencingi kepala tiga orang tosu itu dan menyamar sebagai batu lalu menjegal kaki, adalah Kian Bu. Sedangkan yang menggantung si tahi lalat adalah Kian Lee, dibantu oleh adiknya yang melepaskan sabuk dan membuat tali gantungan di dahan.
Setelah tiga orang tosu itu pergi, Kian Lee yang sudah turun ke bawah bersama adiknya, berkata,
“Ingat, Bu-te. Ayah sudah berpesan agar kita tidak menanam permusuhan dengan siapapun. Urusan antara tosu-tosu itu dengan rombongan hartawan adalah urusan mereka yang sama sekali kita tidak ketahui sebab-sebabnya. Kita tidak boleh membantu satu pihak, hanya kita harus turun tangan kalau ada pihak yang akan melakukan kejahatan.”
Kian Bu menggangguk.
“Si tahi lalat suka kepada perempuan itu. Kalau dia menculik si perempuan itu, aku tidak akan mencegahnya.”
“Hushh! Menculik sungguh-sungguh merupakan kejahatan yang harus kita cegah. Kita lihat saja besok, agaknya mereka hendak merampas sesuatu dari rombongan itu.”
“Bagaimana kalau besok terjadi pertempuran, koko?”
“Kita lihat saja dari jauh. Pertempuran diantara mereka tidak ada sangkut pautnya dengan kita. Tentu saja kita tidak dapat membantu siapapun, dan kita tidak dapat mencegah pertempuran yang adil. Hanya kalau melihat ketidak adilan, baru kita harus turun tangan seperti yang dipesankan ayah.”
“Wah, sukar, Lee-ko!”
“Apanya yang sukar?”
“Tentang keadilan itu, atau lebih tepat ketidak adilan itu. Bagaimana menentukannya mana yang adil dan mana yang tidak? Yang tidak adil bagimu belum tentu tidak adil bagiku dan sebaliknya, demikian pula dengan orang lain!”
“Hemm, Bu-te, seorang yang menjunjung tinggi kegagahan, yang mengabdi untuk kebenaran dan keadilan harus waspada akan kebenaran dan keadilan itu. Kebenaran dan keadilan yang didasari kepentingan diri pribadi tentu saja palsu! Akan tetapi, mudah saja melihat kenyataan akan penindasan dan kejahatan yang dilakukan orang, dan itulah ketidak adilan. Kalau kau belum mengerti benar, maka harus belajar, adikku. yang terpenting, seperti pesan ayah, harus diingat dan diketahui bahwa segala sesuatu untuk perbuatan yang dilakukan demi kepentingan diri pribadi, demi keuntungan lahir batin diri pribadi, tidak benar kalau dipertahankan sebagai kebenaran atau keadilan.“
“Wah-wah, kuliahmu membikin aku pusing, koko. Kita sama lihat sajalah besok kalau benar-benar terjadi. Tentu ramai!”
Dua orang kakak beradik itu lalu memilih sebatang pohon besar yang enak dipakai tidur, yang tidak ada semut-semutnya tentu saja dan mereka tidur di dalam selimut daun-daun pohon itu sampai pagi.
Kalau rombongan piauwsu itu sama sekali tak ada yang tidur semenitpun, kedua orang kakak beradik itu tidur dengan nyenyaknya. Mereka tidak khawatir jatuh karena tubuh dan syaraf mereka yang sudah terlatih sejak kecil itu akan selalu siap menjaga segala macam bahaya yang mengancam tubuh mereka.
Siapakah adanya tiga orang tosu yang gerak-geriknya penuh rahasia itu? Dan siapa pula rombongan hartawan yang hendak diganggunya? Untuk mengetahui ini, kita harus mengenal dulu keadaan pemerintahan pada saat itu.
Ternyata bahwa seperti juga di setiap pemerintahan, pada waktu itu banyak terdapat orang-orang yang membenci Pemerintah Mancu yang mulai memperbaiki keadaan pemerintahannya, bahkan berusaha sedapatnya untuk menarik simpati hati rakyat dengan usaha memperbaiki nasib rakyat kecil.
Betapapun juga, tetap saja ada diantara mereka yang penasaran dan menghendaki agar pemerintah penjajah itu lenyap dari tanah air mereka. Golongan ini yang tidak berani berterang melakukan penentangan terhadap pemerintah yang kuat lalu menyusup kemana-mana dan di antaranya ada yang menyusup ke dalam tubuh alat negara yang berupa pasukan pemerintah!
Apalagi pada waktu itu, kesempatan baik tiba bagi mereka yang diam-diam membenci Pemerintah Mancu. Kaisar Kang Hsi sudah tua dan seperti biasanya yang terjadi dalam sejarah kerajaan setiap kali sang raja sudah tua maka timbullah perang dingin diantara para pangeran yang bercita-cita mewarisi kedudukan kaisar yang amat diinginkan itu.
Biarpun putera mahkota yang ditunjuk untuk kelak menggantikan kaisar sudah ada, yaitu Pangeran Yung Ceng, namun banyaklah pangeran-pangeran yang lebih tua usianya, putera-putera selir, merasa iri hati dan selain ada yang menginginkan kedudukan kaisar juga banyak yang memperebutkan pangkat-pangkat tinggi sebagai pembantu kaisar kelak.
Diantara mereka yang berambisi merampas kedudukan terdapat seorang pangeran tua, pangeran yang paling tua diantara para pangeran. Pangeran tua ini bernama Pangeran Liong Bin Ong, usianya sudah lima puluh tahun lebih karena dia dilahirkan dari seorang selir ayah Kaisar Kang Hsi. Jadi dia adalah adik tiri Kaisar Kang Hsi.
Diam-diam Liong Bin Ong mengadakan hubungan dengan orang-orang kang-ouw yang membenci pemerintah, bahkan mengadakan kontak dengan suku bangsa liar diluar tembok besar, terutama bangsa Mongol yang masih menaruh dendam kekalahannya terhadap Mancu.
Diantara golongan-golongan yang mengadakan persekutuan pemberontakan ini terdapat perkumpulan Pek-lian-kauw (Agama Teratai Putih), yang para pemimpinnya terdiri dari tosu-tosu yang sudah menyeleweng dari Agama To dan mempergunakan agama demi tercapainya ambisi pribadi berkedok agama, yaitu ambisi politik.
Tiga orang tosu yang pada malam itu dipermainkan oleh Kian Lee dan Kian Bu adalah angauta-anggauta Pek-lian-kauw yang ditugaskan oleh pimpinannya untuk melakukan penyelidikan karena Pek-lian-kauw mendengar bahwa pemerintah pusat sedang mulai menaruh curiga terhadap persekutuan itu dan kabarnya mengirim utusan kepada Jenderal Kao Liang yang bertugas sebagai komandan yang menjaga tapal batas utara.
“Hemmm.... setan atau manusia, jelas bahwa mereka itu lihai sekali dan agaknya hendak merintangi tindakan kita. Bodoh sekali kalau kita berlaku nekat. Biarlah kita anggap saja kita gagal malam ini, dan kita tangguhkan sampai besok. Kita harus membawa bantuan kalau begini, siapa tahu diam-diam ada orang pandai yang melindungi rombongan itu.”
Dua orang adiknya mengangguk dan cepat-cepat meninggalkan tempat itu dan beberapa kali si tahi lalat menoleh ke belakang karena dia masih merasa ngeri kalau mengenangkan peristiwa tadi.
Tentu saja mudah diduga bahwa yang melakukan gangguan itu adalah Kian Lee dan Kian Bu. Dan mudah pula diduga bahwa yang mengencingi kepala tiga orang tosu itu dan menyamar sebagai batu lalu menjegal kaki, adalah Kian Bu. Sedangkan yang menggantung si tahi lalat adalah Kian Lee, dibantu oleh adiknya yang melepaskan sabuk dan membuat tali gantungan di dahan.
Setelah tiga orang tosu itu pergi, Kian Lee yang sudah turun ke bawah bersama adiknya, berkata,
“Ingat, Bu-te. Ayah sudah berpesan agar kita tidak menanam permusuhan dengan siapapun. Urusan antara tosu-tosu itu dengan rombongan hartawan adalah urusan mereka yang sama sekali kita tidak ketahui sebab-sebabnya. Kita tidak boleh membantu satu pihak, hanya kita harus turun tangan kalau ada pihak yang akan melakukan kejahatan.”
Kian Bu menggangguk.
“Si tahi lalat suka kepada perempuan itu. Kalau dia menculik si perempuan itu, aku tidak akan mencegahnya.”
“Hushh! Menculik sungguh-sungguh merupakan kejahatan yang harus kita cegah. Kita lihat saja besok, agaknya mereka hendak merampas sesuatu dari rombongan itu.”
“Bagaimana kalau besok terjadi pertempuran, koko?”
“Kita lihat saja dari jauh. Pertempuran diantara mereka tidak ada sangkut pautnya dengan kita. Tentu saja kita tidak dapat membantu siapapun, dan kita tidak dapat mencegah pertempuran yang adil. Hanya kalau melihat ketidak adilan, baru kita harus turun tangan seperti yang dipesankan ayah.”
“Wah, sukar, Lee-ko!”
“Apanya yang sukar?”
“Tentang keadilan itu, atau lebih tepat ketidak adilan itu. Bagaimana menentukannya mana yang adil dan mana yang tidak? Yang tidak adil bagimu belum tentu tidak adil bagiku dan sebaliknya, demikian pula dengan orang lain!”
“Hemm, Bu-te, seorang yang menjunjung tinggi kegagahan, yang mengabdi untuk kebenaran dan keadilan harus waspada akan kebenaran dan keadilan itu. Kebenaran dan keadilan yang didasari kepentingan diri pribadi tentu saja palsu! Akan tetapi, mudah saja melihat kenyataan akan penindasan dan kejahatan yang dilakukan orang, dan itulah ketidak adilan. Kalau kau belum mengerti benar, maka harus belajar, adikku. yang terpenting, seperti pesan ayah, harus diingat dan diketahui bahwa segala sesuatu untuk perbuatan yang dilakukan demi kepentingan diri pribadi, demi keuntungan lahir batin diri pribadi, tidak benar kalau dipertahankan sebagai kebenaran atau keadilan.“
“Wah-wah, kuliahmu membikin aku pusing, koko. Kita sama lihat sajalah besok kalau benar-benar terjadi. Tentu ramai!”
Dua orang kakak beradik itu lalu memilih sebatang pohon besar yang enak dipakai tidur, yang tidak ada semut-semutnya tentu saja dan mereka tidur di dalam selimut daun-daun pohon itu sampai pagi.
Kalau rombongan piauwsu itu sama sekali tak ada yang tidur semenitpun, kedua orang kakak beradik itu tidur dengan nyenyaknya. Mereka tidak khawatir jatuh karena tubuh dan syaraf mereka yang sudah terlatih sejak kecil itu akan selalu siap menjaga segala macam bahaya yang mengancam tubuh mereka.
Siapakah adanya tiga orang tosu yang gerak-geriknya penuh rahasia itu? Dan siapa pula rombongan hartawan yang hendak diganggunya? Untuk mengetahui ini, kita harus mengenal dulu keadaan pemerintahan pada saat itu.
Ternyata bahwa seperti juga di setiap pemerintahan, pada waktu itu banyak terdapat orang-orang yang membenci Pemerintah Mancu yang mulai memperbaiki keadaan pemerintahannya, bahkan berusaha sedapatnya untuk menarik simpati hati rakyat dengan usaha memperbaiki nasib rakyat kecil.
Betapapun juga, tetap saja ada diantara mereka yang penasaran dan menghendaki agar pemerintah penjajah itu lenyap dari tanah air mereka. Golongan ini yang tidak berani berterang melakukan penentangan terhadap pemerintah yang kuat lalu menyusup kemana-mana dan di antaranya ada yang menyusup ke dalam tubuh alat negara yang berupa pasukan pemerintah!
Apalagi pada waktu itu, kesempatan baik tiba bagi mereka yang diam-diam membenci Pemerintah Mancu. Kaisar Kang Hsi sudah tua dan seperti biasanya yang terjadi dalam sejarah kerajaan setiap kali sang raja sudah tua maka timbullah perang dingin diantara para pangeran yang bercita-cita mewarisi kedudukan kaisar yang amat diinginkan itu.
Biarpun putera mahkota yang ditunjuk untuk kelak menggantikan kaisar sudah ada, yaitu Pangeran Yung Ceng, namun banyaklah pangeran-pangeran yang lebih tua usianya, putera-putera selir, merasa iri hati dan selain ada yang menginginkan kedudukan kaisar juga banyak yang memperebutkan pangkat-pangkat tinggi sebagai pembantu kaisar kelak.
Diantara mereka yang berambisi merampas kedudukan terdapat seorang pangeran tua, pangeran yang paling tua diantara para pangeran. Pangeran tua ini bernama Pangeran Liong Bin Ong, usianya sudah lima puluh tahun lebih karena dia dilahirkan dari seorang selir ayah Kaisar Kang Hsi. Jadi dia adalah adik tiri Kaisar Kang Hsi.
Diam-diam Liong Bin Ong mengadakan hubungan dengan orang-orang kang-ouw yang membenci pemerintah, bahkan mengadakan kontak dengan suku bangsa liar diluar tembok besar, terutama bangsa Mongol yang masih menaruh dendam kekalahannya terhadap Mancu.
Diantara golongan-golongan yang mengadakan persekutuan pemberontakan ini terdapat perkumpulan Pek-lian-kauw (Agama Teratai Putih), yang para pemimpinnya terdiri dari tosu-tosu yang sudah menyeleweng dari Agama To dan mempergunakan agama demi tercapainya ambisi pribadi berkedok agama, yaitu ambisi politik.
Tiga orang tosu yang pada malam itu dipermainkan oleh Kian Lee dan Kian Bu adalah angauta-anggauta Pek-lian-kauw yang ditugaskan oleh pimpinannya untuk melakukan penyelidikan karena Pek-lian-kauw mendengar bahwa pemerintah pusat sedang mulai menaruh curiga terhadap persekutuan itu dan kabarnya mengirim utusan kepada Jenderal Kao Liang yang bertugas sebagai komandan yang menjaga tapal batas utara.
Didalam kabar yang diterima ini, pesuruh dari pemerintah pusat menyamar dan selain mengirim berita, juga membawakan biaya dalam bentuk emas dan perak. Tiga orang tosu itu bertugas untuk mengawasi dan kalau dapat merampas semua itu.
Adapun hartawan yang sedang melakukan perjalanan itu memang datang dari kota raja bersama kedua orang isterinya dan dikawal oleh para piauwsu bayaran yang kuat, akan tetapi dia hanyalah seorang hartawan yang hendak pulang ke kampung halamannya saja di utara. Sama sekali dia tidak mengira bahwa dia disangka oleh para pemberontak sebagai utusan dari kota raja!
Demikianlah, dengan hati merasa lega juga bahwa semalam tidak terjadi gangguan terhadap mereka, para piauwsu mengiringkan dua buah kereta itu melanjutkan perjalanan. Dusun yang dituju oleh hartawan itu sudah tidak jauh lagi, terletak di balik gunung di depan kira-kira memerlukan perjalanan setengah hari lebih.
Akan tetapi, belum lama mereka bergerak meninggalkan kuil kuno itu, tiba-tiba kusir kereta pertama yang duduknya agak tinggi melihat debu mengepul di depan.
“Ada orang dari depan....!” serunya dan semua piauwsu terkejut, siap dan mengurung kedua kereta itu untuk melindungi.
“Berhenti dan berjaga-jaga!”
Piauwsu berjenggot putih memberi aba-aba dan dua buah kereta itu lalu berhenti, semua piauwsu meloncat turun dari kuda dan merasa tegang namun siap siaga menghadapi segala kemungkinan. Mereka adalah piauwsu-piauwsu yang sudah bertahun-tahun melakukan tugas itu, sudah terbiasa dengan hidup penuh kekerasan dan pertempuran.
Tak lama kemudian, muncullah tiga orang tosu itu dan di belakangnya tampak sepuluh orang tinggi besar yang menunggang kuda. Dilihat dari cara mereka menunggang kuda saja dapat dipastikan bahwa mereka adalah orang-orang yang biasa melakukan perjalanan jauh dengan berkuda, dan sikap mereka jelas membayangkan kekerasan, kekejaman dan juga ketangkasan ahli-ahli silat.
Yang lebih mengesankan bagi para piauwsu adalah tiga orang tosu itu, yang datang dengan jalan kaki, berlari cepat di depan rombongan berkuda. Para piauwsu yang sudah berpengalaman itu tidak gentar menghadapi sepuluh orang berkuda yang tinggi besar dan kasar itu, akan tetapi mereka dapat menduga bahwa tiga orang tosu itulah yang harus dihadapi dengan hati-hati. Oleh karena itu, pimpinan piauwsu yang tua dan berjenggot putih, segera melangkah maju menghadapi tiga tosu itu dan menjura penuh hormat.
“Kami dari Hui-houw Piauw-kiok (Perusahaan Pengawal Harimau Terbang) di Sen-yang menghaturkan salam persahabatan kepada sam-wi totiang dan cu-wi sekalian. Maafkan bahwa dua kereta yang kami kawal memenuhi jalan sehingga merepotkan cu-wi saja. Kalau cu-wi hendak lewat, silahkan mengambil jalan dulu!”
Kata-kata penuh hormat dan merendah ini memang biasanya dilakukan oleh para piauwsu jika menghadapi gerombolan yang tidak dikenalnya, karena bagi pekerjaan mereka, makin sedikit lawan makin banyak kawan makin baik.
Tiga orang tosu itu tidak segera menjawab, melainkan mata mereka mencari-cari penuh selidik, memandangi semua anggauta piauwsu, bahkan dua orang kusir keretapun tidak luput dari pandang mata mereka yang penuh selidik sehingga para piauwsu menjadi ngeri juga. Pandang mata tiga orang tosu itu mengandung wibawa dan agaknya mereka marah.
Tentu saja tidak ada orang yang tahu bahwa tiga orang kakek pendeta ini mencari apakah selain para piauwsu, tidak ada orang yang menyelundup di dalam rombongan itu. Mereka masih terpengaruh oleh peristiwa gangguan “setan” semalam! Akan tetapi ketika melihat bahwa semua orang yang mengawal kereta adalah piauwsu-piauwsu biasa yang sejak kemarin mereka bayangi, wajah mereka kelihatan lega dan kini si tahi lalat mewakili suhengnya menjawab,
“Kami tidak ingin lewat, kami sengaja menghadang kalian.”
Berubah wajah para piauwsu dan tangan mereka sudah meraba gagang pedang masing-masing. Melihat gerakan ini tiga orang tosu itu tertawa dan tosu tertua sekarang berkata,
“Kami tidak ada permusuhan dengan Hui-houw Piauw-kiok!”
Mendengar ini pimpinan piauwsu kelihatan girang karena sekarang sudah tampak olehnya gambar teratai di baju tiga orang tosu itu, di bagian dada. Tiga orang pendeta itu adalah orang-orang Pek-lian-kauw dan hal ini saja sudah membuat hatinya keder karena sudah terkenallah bahwa orang-orang Pek-lian-kauw memiliki kepandaian yang tinggi. Akan tetapi biasanya orang Pek-lian-kauw tidak melakukan perampokan, maka para piauwsu selain lega juga menjadi heran mengapa tiga orang tosu Pek-lian-kauw itu menghadang perjalanan mereka.
“Kamipun tahu bahwa para locianpwe dari Pek-lian-kauw adalah sahabat rakyat jelata dan tidak akan mengganggu perjalanan kami. Akan tetapi, sam-wi totiang menghadang kami, tidak tahu ada keperluan apakah? Pasti kami akan membantu dengan suka hati sedapat kami.”
“Kami akan menggeledah kereta yang kalian kawal!” kata si tahi lalat yang agaknya sudah tidak sabar lagi.
Berubahlah wajah pimpinan piauwsu. Sambil menahan marah dia mengelus jenggotnya. Betapapun juga, dia adalah wakil ketua piauw-kiok dan telah terkenal sebagai seorang yang memiliki kepandaian tinggi. Selain itu sebagai wakil piauw-kiok dia rela mempertaruhkan nyawanya demi nama baik piauw-kiok dan demi melindungi barang atau orang yang dikawalnya.
“Harap sam-wi totiang suka memandang persahabatan dan tidak mengganggu kawalan kami,” katanya tenang.
“Kami tidak mengganggu, hanya memeriksa dan tentu saja kalian akan bertanggung jawab kalau kami mendapatkan apa yang kami cari,” kata tosu tertua.
“Apakah yang sam-wi cari?” tanya piauwsu.
“Bukan urusanmu!” jawab si tahi lalat. “Suheng, mari kita segera menggeledah, perlu apa melayani segala piauwsu cerewet?”
Pimpinan piauwsu melangkah maju menghadang di depan kereta, mengangkat mukanya dan memandang dengan sinar mata berapi penuh kegagahan.
“Sam-wi totiang perlahan dulu! Sam-wi tentu maklum bahwa seorang piauwsu yang sedang bertugas mengawal menganggap kawalannya lebih berharga daripada nyawanya sendiri. Oleh karena itu, betapapun menyesalnya, kami terpaksa tidak dapat membenarkan sam-wi melakukan penggeledahan terhadap barang dan orang-orang kawalan kami.”
Si tahi lalat membelalakkan matanya lebar-lebar.
“Apa? Kau hendak menentang kami? Kami bukan perampok, akan tetapi sikap kalian bisa saja membuat kami mengambil tindakan lain!”
“Kami juga tidak menuduh sam-wi perampok, akan tetapi kalau kehormatan kami sebagai piauwsu disinggung, apa boleh buat, kami akan melupakan kebodohan kami dan mengerahkan seluruh tenaga untuk melindungi dua kereta ini.”
“Wah, piauwsu sombong, keparat kau!” Si tahi lalat sudah bergerak, akan tetapi lengannya dipegang oleh suhengnya.
“Piauwsu, kalau dua orang suteku bergerak, apalagi dibantu oleh kawan-kawan kita di belakang ini, dalam waktu singkat saja kalian semua yang berjumlah dua losin ini tentu akan menjadi mayat di tempat ini. Kami bukan hendak merampok tanpa alasan dan bukan hendak menyerang orang tanpa sebab dan sekarang kami hanya akan menggeledah. Kalau engkau merasa tersinggung kehormatanmu sebagai piauwsu, nah, sekarang antara engkau dan pinto mengadu kepandaian. Kalau pinto kalah, kami akan pergi dan kami tidak akan mengganggu kalian lebih jauh lagi. Akan tetapi kalau kau kalah, kau harus membolehkan kami melakukan penggeledahan.”
Piauwsu tua itu mengerutkan alis berpikir dan mempertimbangkan usul dan tantangan tosu itu. Memang resikonya besar sekali kalau dia membiarkan anak buahnya bertempur melawan rombongan Pek-lian-kauw itu. Dia dan anak buahnya tentu saja tidak takut mati dalam membela dan melindungi kawalan mereka. Mati dalam tugas melindungi kawalan bagi seorang piauwsu adalah mati terhormat!
Akan tetapi, perlu apa membuang nyawa kalau para tosu ini memang hanya ingin menggeledah? Pula, dia mendengar bahwa orang-orang Pek-lian-kauw hanya mengurus soal pemberontakan, siapa tahu hartawan yang dikawal ini menyembunyikan sesuatu, atau membawa sesuatu yang merugikan dan mengancam keselamatan Pek-lian-kauw?
Kalau dia menang, dia percaya bahwa mereka itu tentu akan pergi karena dia sudah mendengar bahwa orang-orang Pek-lian-kauw, biarpun kadang-kadang amat kejam, namun selalu memegang janji dan karenanya memperoleh kepercayaan rakyat. Kalau dia kalah, dua kereta hanya akan digeledah. Andaikata mereka menemukan sesuatu yang dicarinya, hal itu masih dapat dirundingkan nanti. Resikonya amat kecil kalau dia menerima tantangan, dibandingkan dengan resikonya kalau dia menolak.
“Baiklah, kalau aku kalah, sam-wi boleh menggeledah. Sebaliknya kalau aku menang, harap cu-wi suka melepaskan kami pergi,” katanya sambil mencabut golok besarnya, senjata yang diandalkan selama puluhan tahun sebagai piauwsu. “Saya sudah siap!”
Sebelum tosu tertua maju, tosu ketiga sudah berkata,
“Suheng dan ji-suheng, biarkan aku yang maju melayani. Sudah sebulan lebih aku tidak latihan, tangan kakiku gatal-gatal rasanya!”
Si tahi lalat dan suhengnya mengangguk dan tersenyum, lalu melangkah mundur. Tosu ketiga yang tubuhnya kecil kurus, mukanya pucat seperti seorang penderita penyakit paru-paru itu melangkah maju dengan sigap.
Dia adalah seorang pecandu madat, maka tubuhnya kurus kering dan mukanya pucat, akan tetapi ilmu silatnya lihai. Agaknya racun madat yang dihisapnya tiap hari itu tidak mengurangi kelihaiannya, bahkan menurut cerita orang, setiap kali habis menghisap madat, dia menjadi lebih ampuh dari biasanya, dan jurus-jurus silatnya mempunyai perkembangan yang lebih aneh dan lihai!
Tosu itu menghampiri piauwsu berjenggot putih, tersenyum dan memandang ke arah golok di tangan si piauwsu, lalu berkata,
“Eh, piauwsu, yang kau pegang itu apakah?”
Piauwsu itu tentu saja menjadi heran, mengangkat goloknya lalu berkata,
“Apakah totiang tidak mengenal senjata ini? Sebatang golok yang menjadi kawanku semenjak aku menjadi piauwsu.”
Tosu kecil kurus itu mengangguk-angguk,
“Aahh, pinto tadi mengira bahwa itu adalah alat penyembelih babi. Heii, piauwsu, kalau kau hendak menyembelih aku apakah tidak terlalu kurus?”
Mendengar ucapan yang nadanya berkelakar dan mengejek ini, rombongan anak buah Pek-lian-kauw tertawa tanpa turun dari kudanya, dan rombongan piauwsu juga tersenyum masam karena pihak mereka diejek oleh tosu kecil kurus yang kelihatan lemah namun amat sombong itu!
“Totiang, kurasa sekarang bukan waktunya untuk berkelakar. Kalau totiang mewakili rombongan totiang maju menghadapiku harap totiang segera mengeluarkan senjata totiang, dan mari kita mulai,” kata pimpinan piauwsu yang menahan kemarahannya.
“Senjata.... heh-heh, twa-suheng dan ji-suheng, dia tanya senjata! Eh, piauwsu, apakah kau tidak melihat bahwa pinto telah membawa empat batang senjata yang masing-masing sepuluh kali lebih ampuh daripada alat pemotong babi di tanganmu itu?”
Piauwsu tua itu sudah cukup berpengalaman maka dia mengerti apa artinya kata-kata yang bernada sombong itu.
“Hemm, jadi totiang hendak melawan golokku dengan keempat buah tangan kaki kosong? Baiklah, totiang sendiri yang menghendaki, bukan aku, maka kalau sampai totiang menderita rugi karenanya, harap jangan salahkan aku.”
“Majulah, kau terlalu cerewet!” kata tosu kecil kurus itu dan dia sendiri seenaknya saja, sama sekali tidak memasang kuda-kuda dan sikapnya ini jelas memandang rendah kepada lawan.
Melihat sikap tosu itu, piauwsu itu juga tidak sungkan-sungkan lagi, cepat dia mengeluarkan teriakan dan goloknya menyambar dengan derasnya.
“Wuuuuttt.... sing-sing-sing-singgg....!”
Hebat memang ilmu golok dari piauwsu itu karena sekali bergerak, setiap kali dengan cepat dielakkan lawan, golok itu sudah menyambar, membalik dan melanjutkan serangan pertama yang gagal dengan bacokan kedua. Demikianlah, golok itu menyambar-nyambar bagaikan seekor burung garuda, dari kanan kekiri dan sebaliknya, tak pernah menghentikan gerakan serangannya.
“Wah-wehh.... wutt, luput....!”
Tosu kurus kering itu mengelak kesana-sini dengan cekatan sekali dan biarpun dia juga kaget menyaksikan serangan yang bertubi-tubi dan berbahaya itu, namun dia masih mampu terus-menerus mengelak sambil membadut dan berlagak.
Golok itu bergerak dengan cepat dan teratur, sesuai dengan ilmu golok Siauw-lim-pai yang sudah bercampur dengan gerak kaki ilmu silat Hoa-san-pai, kadang-kadang menusuk akan tetapi lebih banyak membacok dan membabat ke arah leher, dada, pinggang, lutut dan bahkan kadang-kadang membabat mata kaki kalau lawan mengelak dengan loncatan keatas.
Suara golok membacok angin mengeluarkan suara mendesing-desing menyeramkan dan sebentar kemudian, golok itu lenyap bentuknya berubah menjadi sinar bergulung-gulung yang indah dan yang mengejar ke manapun tosu itu bergerak.
Namun hebatnya, tosu itu selalu dapat mengelak, bahkan kini kadang-kadang dia menyampok dengan kaki atau tangannya. Hanya orang yang sudah tinggi ilmunya saja berani menyampok golok dengan kaki atau tangan, karena meleset sedikit saja sampokan itu, tentu mata golok akan menyanyat kulit merobek daging mematahkan tulang!
“Kau boleh juga, piauwsu!”
Kata si tosu dan tiba-tiba dia mengeluarkan suara melengking keras dan tubuhnya juga lenyap bentuknya, berubah menjadi bayangan yang cepat sekali menari-nari diantara gulungan sinar golok.
Si piauwsu terkejut ketika merasa betapa jantungnya berhenti beberapa detik oleh pekik melengking tadi, dan sebelum dia dapat menguasai dirinya yang terpengaruh oleh pekik yang mengandung kekuatan khi-kang tadi, tahu-tahu lengan kanannya tertotok lumpuh, goloknya terampas dan tampak sinar golok berkelebat di depannya, memanjang dari atas ke bawah, disusul suara “bret-bret-brettt....!” dari kain terobek dan.... ketika tosu itu melempar golok ke tanah, tampak piauwsu itu berdiri dengan pakaian bagian depan terobek lebar dari atas ke bawah sehingga tampaklah tubuhnya bagian depan! Tentu saja dia terkejut dan malu sekali, cepat dia menutupkan pakaian yang terobek itu, dan dengan muka merah dia menjura dan memungut goloknya,
“Saya mengaku kalah. Silahkan totiang bertiga melakukan penggeledahan!”
Terdengar suara berbisik diantara para piauwsu, akan tetapi pimpinan piauwsu itu berteriak,
“Saudara-saudara harap mempersilakan sam-wi totiang melakukan penggeledahan di dalam kereta!”
Selagi piauwsu kepala ini menutupi tubuhnya yang setengah telanjang itu dengan pakaian baru yang diambilnya dari buntalannya di punggung kuda dan memakainya dengan cepat, ketiga orang tosu itu sambil tertawa-tawa lalu mendekati kedua kereta itu. Si tahi lalat terpisah sendiri dari kedua orang saudaranya. Kalau tosu pertama dan ketiga menghampiri kereta depan, adalah si tahi lalat ini menghampiri kereta belakang dimana duduk si hartawan bersama kedua orang isterinya!
Sambil menyeringai ke arah wanita muda baju merah, si tahi lalat yang menyingkap tirai itu berkata,
“Kalian sudah mendengar betapa kepala piauwsu kalah dan kami berhak untuk menggeledah. Heh-heh-heh!”
Hartawan itu dengan muka pucat ketakutan menjawab,
“Harap totiang suka menggeledah kereta depan karena semua barang kami berada di kereta depan.”
“Ha-ha, dua orang saudaraku sudah menggeledah kesana, akan tetapi yang kami cari itu mungkin saja disembunyikan di dalam pakaian, heh-heh. Karena itu, pinto terpaksa akan melakukan penggeledahan di pakaian kalian.”
Tentu saja dua orang wanita itu menjadi merah mukanya dan isteri tua cepat berkata,
“Totiang yang baik, kami orang-orang biasa hendak menyembunyikan apakah? Harap totiang suka memaafkan kami dan tidak menggeledah, biarlah saya akan bersembahyang di kelenteng memujikan panjang umur bagi totiang.”
Si tahi lalat tersenyum menyeringai,
“Heh-heh, tidak kau sembahyangkanpun umurku sudah panjang. Kalau terlalu panjang malah berabe, heh-heh!”
Wanita setengah tua itu terkejut dan tidak berani membuka mulut lagi melihat lagak pendeta yang pecengas-pecengis seperti badut dan pandang matanya kurang ajar sekali ditujukan kepada madunya yang masih muda itu.
“Orang menggeledah orang lain harus didasari kecurigaan. Akupun tidak mau berlaku kurang ajar kepada kalian berdua, akan tetapi wanita ini menimbulkan kecurigaan hati pinto, karenanya pinto harus menggeledahnya!”
“Aihhh....!”
Wanita muda itu menjerit lirih, tentu saja merasa ngeri membayangkan akan digeledah pakaiannya oleh tangan-tangan tosu bertahi lalat yang mulutnya menyeringai penuh liur itu.
“Lihat, dia ketakutan! Tentu saja pinto menjadi lebih curiga lagi!” kata tosu bertahi lalat itu serius. “Harap kalian turun dulu, jangan mengganggu pinto sedang bekerja!”
Setelah didorongnya, suami isteri setengah tua itu tergopoh-gopoh turun dari kereta, meninggalkan wanita muda itu sendirian saja. Wanita itu duduk memojok dan tubuhnya gemetaran ketika memandang tosu itu naik ke kereta sambil tersenyum menyeringai.
“Aku.... aku tidak membawa apa-apa....! Aku.... tidak punya apa-apa....”
“Ah, bohong! Segala kau bawa, kau mempunyai begini banyak! Heh-heh, kau harus diam dan jangan membantah kalau tidak ingin pinto bertindak kasar!”
Dan sepuluh jari tangan itu seperti ular-ular hidup merayap-rayap menggerayangi seluruh tubuh wanita muda itu.
Suaminya dan madunya yang berada di luar kereta, hanya mendengar suara wanita itu merintih, merengek dan mendengus diseling kadang-kadang terkekeh genit dan suaranya mencela,
“Eh.... ihh.... hi-hik, jangan begitu totiang....!” Suara ini bercampur dengan suara tosu itu yang terengah-engah dan kadang-kadang terkekeh pula, kadang-kadang terdengar suaranya, “Hushh, jangan ribut.... kau diamlah saja ku.... ku... geledah....”
Sementara itu, dua tosu yang lain telah memeriksa kereta pertama. Akan tetapi mereka tidak menemukan sesuatu yang mencurigakan, kecuali peti-peti terisi pakaian dan beberapa potong perhiasan dan uang emas milik hartawan itu.
“Hemm, sia-sia saja kita bersusah payah. Para penyelidik itu benar bodoh seperti kerbau. Orang biasa dicurigai!” Tosu kurus kering mengomel.
“Mana ji-sute?” Tosu tertua bertanya.
“Kemana lagi si mata keranjang itu kalau tidak ke kereta kedua?”
“Hemm.... mari kita lekas pergi, setelah salah duga, tidak baik terlalu lama menahan mereka. Para piauwsu itu tentu akan menyebarkan berita tidak baik tentang Pek-lian-kauw.”
Keduanya meninggalkan kereta pertama dan menghampiri kereta kedua. Ketika mereka berdua membuka pintu kereta, tosu pertama menyumpah.
“Ji-sute, hayo cepat kita pergi!”
“Eh.... uhh.... baik, suheng!”
Akan tetapi agak lama juga barulah si tahi lalat itu keluar dari kereta, pakaiannya kedodoran, rambutnya awut-awutan dan napasnya agak terengah, dan ketika kedua orang hartawan dan isterinya naik kereta, mereka melihat wanita muda itu sedang membereskan pakaiannya dan rambutnya, mukanya merah sekali dan dia tersenyum kecil, mengerling ke arah suaminya yang cemberut.
Pintu kereta ditutup dari dalam dan segera terjadi maki-makian dan keributan di dalam kereta antara si suami yang memaki-maki bini mudanya dan si bini muda yang membantah dan melawan, diseling suara isteri tua yang melerai mereka.
Akan tetapi, ketika dua tosu itu menghampiri kereta kedua, para pengikutnya yang kasar-kasar itu sudah turun dan beberapa orang dari mereka ikut memeriksa kereta pertama, kemudian beberapa buah peti mereka bawa ke kuda mereka. Melihat ini piauwsu yang terdekat segera meloncat dan menegur,
“Heii, mengapa kalian mengambil peti itu? Kembalikan!”
Jawabannya adalah sebuah bacokan kilat yang membuat piauwsu itu roboh mandi darah. Gegerlah keadaannya yang memang sejak tadi sudah menegangkan itu. Kedua pihak memang sejak tadi sudah hampir terbakar, hampir meledak tinggal menanti penyulutnya saja. Kini, begitu seorang piauwsu mandi darah, semua piauwsu serentak bergerak menyerbu dan terjadilah pertempuran yang sejak tadi sudah ditahan-tahan.
Adapun hartawan yang sedang melakukan perjalanan itu memang datang dari kota raja bersama kedua orang isterinya dan dikawal oleh para piauwsu bayaran yang kuat, akan tetapi dia hanyalah seorang hartawan yang hendak pulang ke kampung halamannya saja di utara. Sama sekali dia tidak mengira bahwa dia disangka oleh para pemberontak sebagai utusan dari kota raja!
Demikianlah, dengan hati merasa lega juga bahwa semalam tidak terjadi gangguan terhadap mereka, para piauwsu mengiringkan dua buah kereta itu melanjutkan perjalanan. Dusun yang dituju oleh hartawan itu sudah tidak jauh lagi, terletak di balik gunung di depan kira-kira memerlukan perjalanan setengah hari lebih.
Akan tetapi, belum lama mereka bergerak meninggalkan kuil kuno itu, tiba-tiba kusir kereta pertama yang duduknya agak tinggi melihat debu mengepul di depan.
“Ada orang dari depan....!” serunya dan semua piauwsu terkejut, siap dan mengurung kedua kereta itu untuk melindungi.
“Berhenti dan berjaga-jaga!”
Piauwsu berjenggot putih memberi aba-aba dan dua buah kereta itu lalu berhenti, semua piauwsu meloncat turun dari kuda dan merasa tegang namun siap siaga menghadapi segala kemungkinan. Mereka adalah piauwsu-piauwsu yang sudah bertahun-tahun melakukan tugas itu, sudah terbiasa dengan hidup penuh kekerasan dan pertempuran.
Tak lama kemudian, muncullah tiga orang tosu itu dan di belakangnya tampak sepuluh orang tinggi besar yang menunggang kuda. Dilihat dari cara mereka menunggang kuda saja dapat dipastikan bahwa mereka adalah orang-orang yang biasa melakukan perjalanan jauh dengan berkuda, dan sikap mereka jelas membayangkan kekerasan, kekejaman dan juga ketangkasan ahli-ahli silat.
Yang lebih mengesankan bagi para piauwsu adalah tiga orang tosu itu, yang datang dengan jalan kaki, berlari cepat di depan rombongan berkuda. Para piauwsu yang sudah berpengalaman itu tidak gentar menghadapi sepuluh orang berkuda yang tinggi besar dan kasar itu, akan tetapi mereka dapat menduga bahwa tiga orang tosu itulah yang harus dihadapi dengan hati-hati. Oleh karena itu, pimpinan piauwsu yang tua dan berjenggot putih, segera melangkah maju menghadapi tiga tosu itu dan menjura penuh hormat.
“Kami dari Hui-houw Piauw-kiok (Perusahaan Pengawal Harimau Terbang) di Sen-yang menghaturkan salam persahabatan kepada sam-wi totiang dan cu-wi sekalian. Maafkan bahwa dua kereta yang kami kawal memenuhi jalan sehingga merepotkan cu-wi saja. Kalau cu-wi hendak lewat, silahkan mengambil jalan dulu!”
Kata-kata penuh hormat dan merendah ini memang biasanya dilakukan oleh para piauwsu jika menghadapi gerombolan yang tidak dikenalnya, karena bagi pekerjaan mereka, makin sedikit lawan makin banyak kawan makin baik.
Tiga orang tosu itu tidak segera menjawab, melainkan mata mereka mencari-cari penuh selidik, memandangi semua anggauta piauwsu, bahkan dua orang kusir keretapun tidak luput dari pandang mata mereka yang penuh selidik sehingga para piauwsu menjadi ngeri juga. Pandang mata tiga orang tosu itu mengandung wibawa dan agaknya mereka marah.
Tentu saja tidak ada orang yang tahu bahwa tiga orang kakek pendeta ini mencari apakah selain para piauwsu, tidak ada orang yang menyelundup di dalam rombongan itu. Mereka masih terpengaruh oleh peristiwa gangguan “setan” semalam! Akan tetapi ketika melihat bahwa semua orang yang mengawal kereta adalah piauwsu-piauwsu biasa yang sejak kemarin mereka bayangi, wajah mereka kelihatan lega dan kini si tahi lalat mewakili suhengnya menjawab,
“Kami tidak ingin lewat, kami sengaja menghadang kalian.”
Berubah wajah para piauwsu dan tangan mereka sudah meraba gagang pedang masing-masing. Melihat gerakan ini tiga orang tosu itu tertawa dan tosu tertua sekarang berkata,
“Kami tidak ada permusuhan dengan Hui-houw Piauw-kiok!”
Mendengar ini pimpinan piauwsu kelihatan girang karena sekarang sudah tampak olehnya gambar teratai di baju tiga orang tosu itu, di bagian dada. Tiga orang pendeta itu adalah orang-orang Pek-lian-kauw dan hal ini saja sudah membuat hatinya keder karena sudah terkenallah bahwa orang-orang Pek-lian-kauw memiliki kepandaian yang tinggi. Akan tetapi biasanya orang Pek-lian-kauw tidak melakukan perampokan, maka para piauwsu selain lega juga menjadi heran mengapa tiga orang tosu Pek-lian-kauw itu menghadang perjalanan mereka.
“Kamipun tahu bahwa para locianpwe dari Pek-lian-kauw adalah sahabat rakyat jelata dan tidak akan mengganggu perjalanan kami. Akan tetapi, sam-wi totiang menghadang kami, tidak tahu ada keperluan apakah? Pasti kami akan membantu dengan suka hati sedapat kami.”
“Kami akan menggeledah kereta yang kalian kawal!” kata si tahi lalat yang agaknya sudah tidak sabar lagi.
Berubahlah wajah pimpinan piauwsu. Sambil menahan marah dia mengelus jenggotnya. Betapapun juga, dia adalah wakil ketua piauw-kiok dan telah terkenal sebagai seorang yang memiliki kepandaian tinggi. Selain itu sebagai wakil piauw-kiok dia rela mempertaruhkan nyawanya demi nama baik piauw-kiok dan demi melindungi barang atau orang yang dikawalnya.
“Harap sam-wi totiang suka memandang persahabatan dan tidak mengganggu kawalan kami,” katanya tenang.
“Kami tidak mengganggu, hanya memeriksa dan tentu saja kalian akan bertanggung jawab kalau kami mendapatkan apa yang kami cari,” kata tosu tertua.
“Apakah yang sam-wi cari?” tanya piauwsu.
“Bukan urusanmu!” jawab si tahi lalat. “Suheng, mari kita segera menggeledah, perlu apa melayani segala piauwsu cerewet?”
Pimpinan piauwsu melangkah maju menghadang di depan kereta, mengangkat mukanya dan memandang dengan sinar mata berapi penuh kegagahan.
“Sam-wi totiang perlahan dulu! Sam-wi tentu maklum bahwa seorang piauwsu yang sedang bertugas mengawal menganggap kawalannya lebih berharga daripada nyawanya sendiri. Oleh karena itu, betapapun menyesalnya, kami terpaksa tidak dapat membenarkan sam-wi melakukan penggeledahan terhadap barang dan orang-orang kawalan kami.”
Si tahi lalat membelalakkan matanya lebar-lebar.
“Apa? Kau hendak menentang kami? Kami bukan perampok, akan tetapi sikap kalian bisa saja membuat kami mengambil tindakan lain!”
“Kami juga tidak menuduh sam-wi perampok, akan tetapi kalau kehormatan kami sebagai piauwsu disinggung, apa boleh buat, kami akan melupakan kebodohan kami dan mengerahkan seluruh tenaga untuk melindungi dua kereta ini.”
“Wah, piauwsu sombong, keparat kau!” Si tahi lalat sudah bergerak, akan tetapi lengannya dipegang oleh suhengnya.
“Piauwsu, kalau dua orang suteku bergerak, apalagi dibantu oleh kawan-kawan kita di belakang ini, dalam waktu singkat saja kalian semua yang berjumlah dua losin ini tentu akan menjadi mayat di tempat ini. Kami bukan hendak merampok tanpa alasan dan bukan hendak menyerang orang tanpa sebab dan sekarang kami hanya akan menggeledah. Kalau engkau merasa tersinggung kehormatanmu sebagai piauwsu, nah, sekarang antara engkau dan pinto mengadu kepandaian. Kalau pinto kalah, kami akan pergi dan kami tidak akan mengganggu kalian lebih jauh lagi. Akan tetapi kalau kau kalah, kau harus membolehkan kami melakukan penggeledahan.”
Piauwsu tua itu mengerutkan alis berpikir dan mempertimbangkan usul dan tantangan tosu itu. Memang resikonya besar sekali kalau dia membiarkan anak buahnya bertempur melawan rombongan Pek-lian-kauw itu. Dia dan anak buahnya tentu saja tidak takut mati dalam membela dan melindungi kawalan mereka. Mati dalam tugas melindungi kawalan bagi seorang piauwsu adalah mati terhormat!
Akan tetapi, perlu apa membuang nyawa kalau para tosu ini memang hanya ingin menggeledah? Pula, dia mendengar bahwa orang-orang Pek-lian-kauw hanya mengurus soal pemberontakan, siapa tahu hartawan yang dikawal ini menyembunyikan sesuatu, atau membawa sesuatu yang merugikan dan mengancam keselamatan Pek-lian-kauw?
Kalau dia menang, dia percaya bahwa mereka itu tentu akan pergi karena dia sudah mendengar bahwa orang-orang Pek-lian-kauw, biarpun kadang-kadang amat kejam, namun selalu memegang janji dan karenanya memperoleh kepercayaan rakyat. Kalau dia kalah, dua kereta hanya akan digeledah. Andaikata mereka menemukan sesuatu yang dicarinya, hal itu masih dapat dirundingkan nanti. Resikonya amat kecil kalau dia menerima tantangan, dibandingkan dengan resikonya kalau dia menolak.
“Baiklah, kalau aku kalah, sam-wi boleh menggeledah. Sebaliknya kalau aku menang, harap cu-wi suka melepaskan kami pergi,” katanya sambil mencabut golok besarnya, senjata yang diandalkan selama puluhan tahun sebagai piauwsu. “Saya sudah siap!”
Sebelum tosu tertua maju, tosu ketiga sudah berkata,
“Suheng dan ji-suheng, biarkan aku yang maju melayani. Sudah sebulan lebih aku tidak latihan, tangan kakiku gatal-gatal rasanya!”
Si tahi lalat dan suhengnya mengangguk dan tersenyum, lalu melangkah mundur. Tosu ketiga yang tubuhnya kecil kurus, mukanya pucat seperti seorang penderita penyakit paru-paru itu melangkah maju dengan sigap.
Dia adalah seorang pecandu madat, maka tubuhnya kurus kering dan mukanya pucat, akan tetapi ilmu silatnya lihai. Agaknya racun madat yang dihisapnya tiap hari itu tidak mengurangi kelihaiannya, bahkan menurut cerita orang, setiap kali habis menghisap madat, dia menjadi lebih ampuh dari biasanya, dan jurus-jurus silatnya mempunyai perkembangan yang lebih aneh dan lihai!
Tosu itu menghampiri piauwsu berjenggot putih, tersenyum dan memandang ke arah golok di tangan si piauwsu, lalu berkata,
“Eh, piauwsu, yang kau pegang itu apakah?”
Piauwsu itu tentu saja menjadi heran, mengangkat goloknya lalu berkata,
“Apakah totiang tidak mengenal senjata ini? Sebatang golok yang menjadi kawanku semenjak aku menjadi piauwsu.”
Tosu kecil kurus itu mengangguk-angguk,
“Aahh, pinto tadi mengira bahwa itu adalah alat penyembelih babi. Heii, piauwsu, kalau kau hendak menyembelih aku apakah tidak terlalu kurus?”
Mendengar ucapan yang nadanya berkelakar dan mengejek ini, rombongan anak buah Pek-lian-kauw tertawa tanpa turun dari kudanya, dan rombongan piauwsu juga tersenyum masam karena pihak mereka diejek oleh tosu kecil kurus yang kelihatan lemah namun amat sombong itu!
“Totiang, kurasa sekarang bukan waktunya untuk berkelakar. Kalau totiang mewakili rombongan totiang maju menghadapiku harap totiang segera mengeluarkan senjata totiang, dan mari kita mulai,” kata pimpinan piauwsu yang menahan kemarahannya.
“Senjata.... heh-heh, twa-suheng dan ji-suheng, dia tanya senjata! Eh, piauwsu, apakah kau tidak melihat bahwa pinto telah membawa empat batang senjata yang masing-masing sepuluh kali lebih ampuh daripada alat pemotong babi di tanganmu itu?”
Piauwsu tua itu sudah cukup berpengalaman maka dia mengerti apa artinya kata-kata yang bernada sombong itu.
“Hemm, jadi totiang hendak melawan golokku dengan keempat buah tangan kaki kosong? Baiklah, totiang sendiri yang menghendaki, bukan aku, maka kalau sampai totiang menderita rugi karenanya, harap jangan salahkan aku.”
“Majulah, kau terlalu cerewet!” kata tosu kecil kurus itu dan dia sendiri seenaknya saja, sama sekali tidak memasang kuda-kuda dan sikapnya ini jelas memandang rendah kepada lawan.
Melihat sikap tosu itu, piauwsu itu juga tidak sungkan-sungkan lagi, cepat dia mengeluarkan teriakan dan goloknya menyambar dengan derasnya.
“Wuuuuttt.... sing-sing-sing-singgg....!”
Hebat memang ilmu golok dari piauwsu itu karena sekali bergerak, setiap kali dengan cepat dielakkan lawan, golok itu sudah menyambar, membalik dan melanjutkan serangan pertama yang gagal dengan bacokan kedua. Demikianlah, golok itu menyambar-nyambar bagaikan seekor burung garuda, dari kanan kekiri dan sebaliknya, tak pernah menghentikan gerakan serangannya.
“Wah-wehh.... wutt, luput....!”
Tosu kurus kering itu mengelak kesana-sini dengan cekatan sekali dan biarpun dia juga kaget menyaksikan serangan yang bertubi-tubi dan berbahaya itu, namun dia masih mampu terus-menerus mengelak sambil membadut dan berlagak.
Golok itu bergerak dengan cepat dan teratur, sesuai dengan ilmu golok Siauw-lim-pai yang sudah bercampur dengan gerak kaki ilmu silat Hoa-san-pai, kadang-kadang menusuk akan tetapi lebih banyak membacok dan membabat ke arah leher, dada, pinggang, lutut dan bahkan kadang-kadang membabat mata kaki kalau lawan mengelak dengan loncatan keatas.
Suara golok membacok angin mengeluarkan suara mendesing-desing menyeramkan dan sebentar kemudian, golok itu lenyap bentuknya berubah menjadi sinar bergulung-gulung yang indah dan yang mengejar ke manapun tosu itu bergerak.
Namun hebatnya, tosu itu selalu dapat mengelak, bahkan kini kadang-kadang dia menyampok dengan kaki atau tangannya. Hanya orang yang sudah tinggi ilmunya saja berani menyampok golok dengan kaki atau tangan, karena meleset sedikit saja sampokan itu, tentu mata golok akan menyanyat kulit merobek daging mematahkan tulang!
“Kau boleh juga, piauwsu!”
Kata si tosu dan tiba-tiba dia mengeluarkan suara melengking keras dan tubuhnya juga lenyap bentuknya, berubah menjadi bayangan yang cepat sekali menari-nari diantara gulungan sinar golok.
Si piauwsu terkejut ketika merasa betapa jantungnya berhenti beberapa detik oleh pekik melengking tadi, dan sebelum dia dapat menguasai dirinya yang terpengaruh oleh pekik yang mengandung kekuatan khi-kang tadi, tahu-tahu lengan kanannya tertotok lumpuh, goloknya terampas dan tampak sinar golok berkelebat di depannya, memanjang dari atas ke bawah, disusul suara “bret-bret-brettt....!” dari kain terobek dan.... ketika tosu itu melempar golok ke tanah, tampak piauwsu itu berdiri dengan pakaian bagian depan terobek lebar dari atas ke bawah sehingga tampaklah tubuhnya bagian depan! Tentu saja dia terkejut dan malu sekali, cepat dia menutupkan pakaian yang terobek itu, dan dengan muka merah dia menjura dan memungut goloknya,
“Saya mengaku kalah. Silahkan totiang bertiga melakukan penggeledahan!”
Terdengar suara berbisik diantara para piauwsu, akan tetapi pimpinan piauwsu itu berteriak,
“Saudara-saudara harap mempersilakan sam-wi totiang melakukan penggeledahan di dalam kereta!”
Selagi piauwsu kepala ini menutupi tubuhnya yang setengah telanjang itu dengan pakaian baru yang diambilnya dari buntalannya di punggung kuda dan memakainya dengan cepat, ketiga orang tosu itu sambil tertawa-tawa lalu mendekati kedua kereta itu. Si tahi lalat terpisah sendiri dari kedua orang saudaranya. Kalau tosu pertama dan ketiga menghampiri kereta depan, adalah si tahi lalat ini menghampiri kereta belakang dimana duduk si hartawan bersama kedua orang isterinya!
Sambil menyeringai ke arah wanita muda baju merah, si tahi lalat yang menyingkap tirai itu berkata,
“Kalian sudah mendengar betapa kepala piauwsu kalah dan kami berhak untuk menggeledah. Heh-heh-heh!”
Hartawan itu dengan muka pucat ketakutan menjawab,
“Harap totiang suka menggeledah kereta depan karena semua barang kami berada di kereta depan.”
“Ha-ha, dua orang saudaraku sudah menggeledah kesana, akan tetapi yang kami cari itu mungkin saja disembunyikan di dalam pakaian, heh-heh. Karena itu, pinto terpaksa akan melakukan penggeledahan di pakaian kalian.”
Tentu saja dua orang wanita itu menjadi merah mukanya dan isteri tua cepat berkata,
“Totiang yang baik, kami orang-orang biasa hendak menyembunyikan apakah? Harap totiang suka memaafkan kami dan tidak menggeledah, biarlah saya akan bersembahyang di kelenteng memujikan panjang umur bagi totiang.”
Si tahi lalat tersenyum menyeringai,
“Heh-heh, tidak kau sembahyangkanpun umurku sudah panjang. Kalau terlalu panjang malah berabe, heh-heh!”
Wanita setengah tua itu terkejut dan tidak berani membuka mulut lagi melihat lagak pendeta yang pecengas-pecengis seperti badut dan pandang matanya kurang ajar sekali ditujukan kepada madunya yang masih muda itu.
“Orang menggeledah orang lain harus didasari kecurigaan. Akupun tidak mau berlaku kurang ajar kepada kalian berdua, akan tetapi wanita ini menimbulkan kecurigaan hati pinto, karenanya pinto harus menggeledahnya!”
“Aihhh....!”
Wanita muda itu menjerit lirih, tentu saja merasa ngeri membayangkan akan digeledah pakaiannya oleh tangan-tangan tosu bertahi lalat yang mulutnya menyeringai penuh liur itu.
“Lihat, dia ketakutan! Tentu saja pinto menjadi lebih curiga lagi!” kata tosu bertahi lalat itu serius. “Harap kalian turun dulu, jangan mengganggu pinto sedang bekerja!”
Setelah didorongnya, suami isteri setengah tua itu tergopoh-gopoh turun dari kereta, meninggalkan wanita muda itu sendirian saja. Wanita itu duduk memojok dan tubuhnya gemetaran ketika memandang tosu itu naik ke kereta sambil tersenyum menyeringai.
“Aku.... aku tidak membawa apa-apa....! Aku.... tidak punya apa-apa....”
“Ah, bohong! Segala kau bawa, kau mempunyai begini banyak! Heh-heh, kau harus diam dan jangan membantah kalau tidak ingin pinto bertindak kasar!”
Dan sepuluh jari tangan itu seperti ular-ular hidup merayap-rayap menggerayangi seluruh tubuh wanita muda itu.
Suaminya dan madunya yang berada di luar kereta, hanya mendengar suara wanita itu merintih, merengek dan mendengus diseling kadang-kadang terkekeh genit dan suaranya mencela,
“Eh.... ihh.... hi-hik, jangan begitu totiang....!” Suara ini bercampur dengan suara tosu itu yang terengah-engah dan kadang-kadang terkekeh pula, kadang-kadang terdengar suaranya, “Hushh, jangan ribut.... kau diamlah saja ku.... ku... geledah....”
Sementara itu, dua tosu yang lain telah memeriksa kereta pertama. Akan tetapi mereka tidak menemukan sesuatu yang mencurigakan, kecuali peti-peti terisi pakaian dan beberapa potong perhiasan dan uang emas milik hartawan itu.
“Hemm, sia-sia saja kita bersusah payah. Para penyelidik itu benar bodoh seperti kerbau. Orang biasa dicurigai!” Tosu kurus kering mengomel.
“Mana ji-sute?” Tosu tertua bertanya.
“Kemana lagi si mata keranjang itu kalau tidak ke kereta kedua?”
“Hemm.... mari kita lekas pergi, setelah salah duga, tidak baik terlalu lama menahan mereka. Para piauwsu itu tentu akan menyebarkan berita tidak baik tentang Pek-lian-kauw.”
Keduanya meninggalkan kereta pertama dan menghampiri kereta kedua. Ketika mereka berdua membuka pintu kereta, tosu pertama menyumpah.
“Ji-sute, hayo cepat kita pergi!”
“Eh.... uhh.... baik, suheng!”
Akan tetapi agak lama juga barulah si tahi lalat itu keluar dari kereta, pakaiannya kedodoran, rambutnya awut-awutan dan napasnya agak terengah, dan ketika kedua orang hartawan dan isterinya naik kereta, mereka melihat wanita muda itu sedang membereskan pakaiannya dan rambutnya, mukanya merah sekali dan dia tersenyum kecil, mengerling ke arah suaminya yang cemberut.
Pintu kereta ditutup dari dalam dan segera terjadi maki-makian dan keributan di dalam kereta antara si suami yang memaki-maki bini mudanya dan si bini muda yang membantah dan melawan, diseling suara isteri tua yang melerai mereka.
Akan tetapi, ketika dua tosu itu menghampiri kereta kedua, para pengikutnya yang kasar-kasar itu sudah turun dan beberapa orang dari mereka ikut memeriksa kereta pertama, kemudian beberapa buah peti mereka bawa ke kuda mereka. Melihat ini piauwsu yang terdekat segera meloncat dan menegur,
“Heii, mengapa kalian mengambil peti itu? Kembalikan!”
Jawabannya adalah sebuah bacokan kilat yang membuat piauwsu itu roboh mandi darah. Gegerlah keadaannya yang memang sejak tadi sudah menegangkan itu. Kedua pihak memang sejak tadi sudah hampir terbakar, hampir meledak tinggal menanti penyulutnya saja. Kini, begitu seorang piauwsu mandi darah, semua piauwsu serentak bergerak menyerbu dan terjadilah pertempuran yang sejak tadi sudah ditahan-tahan.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar