FB

FB


Ads

Rabu, 31 Desember 2014

Sepasang Pedang Iblis Jilid 001

Kuil tua itu berdiri di tepi Sungai Fen-ho, di lembah antara Pegunungan Tai-hang-san dan Lu-liang-san, di sebelah selatan kota Taigoan. Sunyi sekali keadaan di sekitar tempat itu, sunyi dan kuno sehingga kuil yang amat kuno dan sudah bobrok itu cocok sekali dengan keadaan alam yang sunyi dan liar di sekelilingnya. Biasanya, kuil ini kosong dan bagi yang percaya, tempat seperti itu paling cocok menjadi tempat tinggal setan iblis dan siluman.

Akan tetapi, pada sore hari itu, keadaan di sekeliling kuil tampak amat menyeramkan karena ada bayangan-bayangan yang berkelebatan, begitu cepat gerakan bayangan-bayangan itu sehingga agaknya iblis-iblis sendiri yang sedang sibuk mengadakan persiapan sesuatu.

Akan tetapi kalau diperhatikan, bayangan-bayangan itu sama sekali bukanlah setan melainkan manusia-manusia, sungguhpun manusia-manusia yang menyeramkan karena mereka yang berjumlah lima orang itu bertubuh tinggi besar, bersikap kasar dan berwajah liar.

Gerakan mereka tidak seperti orang biasa, karena selain cepat juga membayangkan kekuatan yang jauh lebih daripada manusia-manusia biasa. Golok besar yang terselip di punggung dan golok lima orang tinggi besar itu menandakan bahwa mereka adalah orang-orang yang sudah biasa mempergunakan kekerasan mengandalkan ilmu silat dan senjata mereka.

Memang sesungguhnyalah bahwa lima orang tinggi besar ini bukan orang-orang sembarangan. Mereka adalah lima orang bajak laut yang sudah terkenal bertahun-tahun lamanya menjadi setan sungai Fen-ho. Kepandaian mereka amat tinggi karena mereka ini yang berjuluk Fen-ho Ngo-kwi (Lima Iblis Sungai Fen-ho) adalah anak buah yang sudah menerima gemblengan dari mendiang Kang-thouw-kwi Gak Liat, datuk iblis yang terkenal dengan nama poyokan Setan Botak itu! Sejak tadi lima orang ini berkelebatan di sekitar kuil tua, seperti hendak menyelidiki keadaan kuil yang sunyi dan kelihatan kosong itu.

“Twako, tidak kelirukah kita? Apakah benar kuil ini yang dimaksudkan dalam pesan Gak-locianpwe?”

Tiba-tiba seorang diantara mereka, yang mempunyai tahi lalat besar di dagunya, bertanya kepada orang tertua di antara mereka yang matanya besar sebelah.

“Tidak salah lagi,” jawab orang tertua Fen-ho Ngo-kwi yang usianya kurang lebih lima puluh tahun itu sambil memandang ke arah kuil tua. “Satu-satunya kuil tua di tepi Sungai Fen-ho di daerah ini hanya satu inilah. Akan tetapi sungguh heran, mengapa kelihatan sunyi dan kosong?”

“Lebih baik kita serbu saja ke dalam!” kata Si Tahi Lalat sambil mencabut goloknya.

Twakonya mengangguk dan mereka semua sudah mencabut golok, siap untuk menyerbu. Pimpinan rombongan itu menggerakkan tangan kepada adik-adiknya dan berkata,

“Kau masuk dari pintu belakang, dan kau dari jendela kiri, kau dari jendela kanan, seorang menjaga di luar dan aku yang akan menerjang dari pintu depan!”

Mereka berpencar, gerakan mereka gesit dan ringan sekali. Kuil itu telah dikurung. Pemimpin itu memberi isarat dengan tangan dan mereka menyerbu memasuki kuil dari empat jurusan.

Tiba-tiba tampak sinar-sinar hitam menyambar dari depan dan belakang kuil. Sinar-sinar hitam ini adalah senjata-senjata rahasia berbentuk bintang terbuat dari baja. Lima orang tinggi besar kaget sekali, cepat menggerakkan golok mereka menangkis.

“Cring-cring-tranggg....!”

Terdengar suara nyaring dan golok mereka itu patah semua, disusul suara jerit lima orang itu yang tak dapat lagi menghindarkan diri dari sambaran senjata-senjata rahasia bintang yang luar biasa kuatnya itu. Mereka roboh dengan dahi pecah karena masing-masing terkena senjata rahasia yang menancap di antara alis mereka.

Tubuh mereka berkelojotan, mulut mereka mengeluarkan suara mengorok dan akhirnya tubuh mereka berhenti bergerak, tak bernyawa lagi. Hanya darah mereka yang bergerak mengucur keluar dari dahi!

Dari belakang dan depan kuil berlompatan keluarlah dua orang kakek sambil tertawa-tawa. Dilihat keadaan mereka yang bertubuh kurus seperti kurang makan, pantasnya mereka adalah orang-orang yang lemah. Namun, dengan senjata rahasia sekali lepas dapat merobohkan dan menewaskan lima orang bajak Fen-ho Ngo-kwi, menjadi bukti bahwa dua orang ini tentu orang-orang yang memiliki ilmu kepandaian yang hebat. Begitu mudahnya mereka memhunuh anak buah dan juga murid-murid mendiang datuk sesat Kang-thouw-kwi, benar-benar sukar dipercaya!

“Heh-heh, Sute, orang-orang kasar macam ini berani bersaing dengan kita! Sungguh menjemukan!”

Kata kakek yang mukanya begitu kurus sehingga seperti tengkorak dibungkus kulit tipis saja. Ia bertolak pinggang memandang mayat-mayat para bajak setelah melompat dengan gerakan seperti terbang cepatnya.

Kakek ke dua yang tadi bersembunyi di belakang kuil, juga melompat cepat dan ia membelalakkan kedua matanya yang begitu sipit sehingga ia kelihatan selalu tidur memejamkan mata.

“Tentu masih ada lagi saingan lain, Suheng. Bukankah Pangcu berpesan agar kita hati-hati? Pesanan itu menandakan bahwa di sini tentu terdapat banyak lawan pandai.” katanya, juga bertolak pinggang.

Tampak pada lengan kanan kedua orang kakek ini lukisan kecil berbentuk naga yang agaknya dicacah pada kulit lengan mereka.

“Heh-heh, Sute! Siapa sih orangnya yang berani menentang Thian-liong-pang? Selama negeri dalam perang, kita tidak bergerak akan tetapi memupuk kekuatan sehingga kalau partai-partai lain hancur dan rusak oleh perang, partai kita malah makin kuat. Sekarang tibalah saatnya Thian-liong-pang memperlihatkan taringnya! Pangcu menginginkan bocah itu, siapa yang akan berani menentang?”

Si Mata Sipit mengangguk-angguk.
“Engkau benar, Suheng. Keinginan Pangcu kita merupakan keputusan yang tak boleh ditentang siapapun juga. Yang menentangnya berarti mati, seperti lima orang kasar ini. Thian-liong-pang adalah partai terbesar dan terkuat di dunia untuk masa kini.”

“Awas, Sute....!”

Tiba-tiba Si Muka Tengkorak berseru dan keduanya cepat mengelak, dengan jalan melempar tubuh ke belakang dan bergulingan karena secara tiba-tiba sekali ada enam buah hui-to (golok terbang) yang kecil akan tetapi yang menyambar amat cepat dan kuatnya, masing-masing tiga batang menyambar ke arah leher, ulu hati, dan pusar mereka!






Jalan satu-satunya hanya mengelak seperti yang mereka lakukan tadi karena untuk menyambut hui-to-hui-to yang meluncur secepat itu, sungguh amat berbahaya sekali.

Dua orang anggauta Thian-liong-pang itu amat lihai, sambil bergulingan mereka menggerakkan tangan dan meluncurlah sinar-sinar hitam dari senjata rahasia bintang mereka ke arah datangnya hui-to tadi.

Senjata rahasia mereka itu tadi sudah terbukti keampuhannya ketika merobohkan lima orang Fen-ho Ngo-kwi. Akan tetapi betapa terkejut hati mereka ketika melihat betapa enam buah hui-to yang luput menyerang mereka tadi kini terbang kembali amat cepatnya dan dari samping enam golok kecil itu menyambari bintang-bintang mereka.

Terdengar suara keras disusul bunga api berhamburan dan enam batang golok kecil bersama bintang-bintang baja itu runtuh semua ke atas tanah. Biarpun dua orang anggauta Thian-liong-pang yang terkejut menyaksikan ini, namun hati mereka lega bahwa bintang-bintang baja mereka ternyata tidak kalah kuat sehingga hui-to-hui-to itu pun runtuh, tanda bahwa tenaga mereka tidak kalah oleh tenaga lawan yang belum tampak. Mereka segera meloncat bangun dan Si Mata Sipit memaki,

“Keparat curang, siapa engkau?”

Dari balik rumpun muncullah seorang laki-laki dan seorang wanita sambil tersenyum mengejek. Laki-laki itu usianya ada empat puluh tahun, berjenggot dan kumisnya kecil panjang, bajunya berlengan lebar. Yang wanita juga berusia empat puluh tahun lebih, rambutnya diikat dengan saputangan sutera putih, juga lengan bajunya lebar.

Yang amat mengerikan pada dua orang ini adalah warna kulit mereka. Yang wanita kulitnya, dari mukanya sampai kulit lengannya, berwarna jambon kemerahan, sedangkan yang laki-laki kulitnya berwarna ungu kebiruan! Sungguh sukar mencari orang berkulit dengan warna seperti itu, seolah-olah kulit tubuh mereka itu dicat! Yang luar biasa sekali, bukan hanya kulit, bahkan mata mereka pun berwarna seperti kulit mereka!

“Ha-ha-ha, tidak salah, tidak salah! Kabarnya orang-orang Thian-liong-pang amat sombong, dan ternyata ucapan mereka besar-besar. Ha-ha-ha!” Laki-laki berkulit ungu itu tertawa bergelak sambil mengebut-ngebutkan ujung lengan bajunya.

“Gentong kosong berbunyi nyaring, orang bodoh bermulut besar. Apa anehnya?”

Wanita berkulit jambon itu menyambung, bersungut-sungut dan memandang kepada dua orang murid Thian-liong-pang dengan pandang mata merendahkan.

Dua orang murid Thian-liong-pang itu memandang kepada mereka dengan mata terbuka lebar. Yang menarik perhatian mereka adalah warna-warna kulit laki-laki dan wanita itu, kemudian Si Muka Tengkorak berkata, suaranya masih membayangkan rasa kaget dan heran.

“Ji-wi.... Ji-wi.... dari Pulau Neraka....?”

Kini kedua orang laki perempuan itu yang terbelalak dan heran, lalu mereka saling pandang. Kemudian laki-laki bermuka ungu itu menghadapi kedua orang Thian-liong-pang dan menjura,

“Ahh, kiranya Thian-liong-pang memiliki mata yang tajam sekali. Pantas terkenal sebagai partai besar! Kami tidak pernah turun ke dunia ramai, kini sekali muncul Ji-wi telah dapat mengenal kami. Sungguh mengagumkan sekali!”

Dia lalu mengeluarkan suara yang aneh, nyaring sekali dan terdengar seperti suara burung. Dari dalam hutan di belakangnya terdengar suara siulan yang sama dan tak lama kemudian tampaklah belasan orang berlarian datang ke tempat itu seperti terbang cepatnya.

Setelah dekat, dua orang Thian-liong-pang memandang dengan mata terbelalak karena kulit belasan orang ini pun aneh sekali, delapan orang berkulit hitam dan delapan orang pula berkulit merah tua!

Si Muka Tengkorak lalu bersuit nyaring dan dari sebelah belakangnya muncul pula serombongan anak buah Thian-liong-pang yang berjumlah dua puluh orang! Kedua rombongan kini berhadapan dengan sikap siap siaga menanti perintah bertanding. Akan tetapi, kakek muka ungu itu tertawa dan berkata lagi,

“Ha-ha-ha, kiranya Thian-liong-pang juga sudah siap! Tidak usah khawatir, kami mendapat perintah agar tidak memancing pertempuran dengan fihak lain, apalagi dengan fihak Thian-liong-pang. Kami datang hanya untuk menjemput anak yang berada di dalam kuil.”

“Nanti dulu, sobat!” Si Muka Tengkorak berkata. “Kami pun menerima tugas dari Pangcu (Ketua) kami untuk mengambil anak yang berada di dalam kuil. Dan Thian-liong-pang tidak ingin bermusuhan, apalagi dengan fihak Ji-wi, karena sudah menjadi cita-cita Thian-liong-pang untuk bersahabat dan menyatukan semua partai persilatan.”

“Hemmm, bagus sekali omongan itu, akan tetapi apakah cocok dengan buktinya? Kami melihat sendiri keganasan Sin-seng-ci (Peluru Bintang Sakti) membunuh lima orang ini,” Si Muka Ungu mencela.

Murid Thian-liong-pang mengangkat pundak dan mengerling ke arah mayat lima orang Fen-ho Ngo-kwi dengan sikap tak acuh.

“Mereka hanyalah bajak-bajak sungai yang hina, tidak masuk hitungan. Apalagi mereka itu merupakan golongan yang patut dibasmi. Harap Ji-wi dapat mengerti dan membedakan.”

“Sudahlah!”

Si Wanita bermuka jambon mencela.
“Kami tidak peduli akan semua urusan kalian. Kami datang hendak mengambil anak itu. Marilah Suheng, kita lekas melaksanakan tugas!” Ia sudah bergerak maju hendak memasuki kuil.

“Eh, eh, nanti dulu, Toanio!” Kini Si Mata Sipit maju menghalang. “Terang bahwa Thian-liong-pang tidak ingin bermusuh, akan tetapi agaknya dalam urusan ini di antara kita ada pertentangan. Kami pun bertugas untuk mengambil bocah itu.”

“Bagus! Kalau begitu, kiranya hanya kekerasan yang akan dapat membereskan pertentangan ini!”

Wanita bermuka jambon itu membentak. Suhengnya juga memandang marah dan enam belas orang anak buah mereka semua sudah mencabut pedang.

“Srat-srat-sratttt!”

“Sing-sing-sing!” Dua puluh orang anak buah Thian-liong-pang juga sudah mencabut pedang dan golok.

Dua orang murid Thian-liong-pang itu kelihatan bingung, lalu mengangkat tangan memberi isarat kepada pasukan mereka untuk mundur, kemudian Si Muka Tengkorak menjura dan berkata kepada dua orang aneh yang mereka anggap tokoh-tokoh dari Pulau Neraka itu.

“Harap Ji-wi menghindarkan pertempuran yang tidak perlu. Memang kita semua sebagai utusan-utusan harus melaksanakan tugas kita, dan kita masing-masing dua orang merupakan penanggung jawab yang tidak perlu menarik anak buah dalam pertempuran.”

“Hemm, maksudmu bagaimana?” tanya wanita bermuka jambon menantang.

“Kita mewakili partai-partai besar dan sekarang perselisihan ini dapat dibereskan secara orang-orang gagah.”

“Maksudmu sebagai orang-orang gagah mengadu ilmu?” tantang Si Wanita.

“Begitulah. Kita dua lawan dua, siapa kalah harus mengalah dan memberikan anak dalam kuil kepada yang menang. Setuju?”

“Akur! Majulah!” Si Wanita menantang.

Dua orang Thian-liong-pang itu saling pandang, kemudian mengangguk. Si Muka Tengkorak memandang ke sekeliling. Kedua pasukan sudah mundur jauh dan setengah bersembunyi di dalam cuaca yang sudah mulai gelap.

“Tempat ini kurang lega untuk bertanding, biar kusingkirkan pohon-pohon ini!”

Katanya dan ia menghampiri sebatang pohon yang besarnya sepelukan orang. Dengan gerakan seenaknya ia mendorong dan pohon itu tumbang, mengeluarkan suara hiruk-pikuk.

“Benar, harus disingkirkan pohon-pohon ini!” kata Si Mata Sipit dan dia pun menghampiri sebatang pohon, melakukan dorongan seperti suhengnya.

Sebentar saja enam batang pohon sudah mereka tumbangkan! Para anggauta Thian-liong-pang barsorak memberi semangat sedangkan para anak buah yang mukanya berwarna hitam dan merah itu memandnng tarbelalak, kagum akan kekuatan hebat dua orang Thian-liong-pang itu. Akan tetapi, laki-laki bermuka ungu dan wanita bermuka jambon itu tertawa mengejek.

“Batu-batu ini pun menghalang gerakan pertandingan!”

Kata Si Wanita muka jambon dan kakinya perlahan menendang, akan tetapi batu yang sebesar anak kerbau itu terbang seperti sepotong batu kerikil dilempar saja. Suhengnya juga melakukan ini dan sebentar saja ada delapan buah batu beterbangan! Anak buah mereka kini bersorak-sorak dan giliran anak buah Thian-liong-pang yang bengong dan ngeri hatinya. Betapa kuat kedua orang aneh itu!

“Bagus! Tempat telah menjadi luas, sebelum cuaca gelap mari kita mulai!” kata Si Mata Sipit dan seperti dikomando saja, empat orang itu telah saling serang dengan hebat.

Keempat orang ini tidak memegang senjata dan hal ini juga menunjukkan bahwa tingkat kepandaian mereka sudah amat tinggi. Pukulan dan tendangan kaki mereka jauh lebih berbahaya daripada sambaran pedang atau golok, dan angin menderu ketika mereka saling pukul sehingga rumput dan daun pohon bergoyang seperti diamuk badai!

Wanita muka jambon bertanding melawan Si Muka Sipit. Ternyata tenaga Si Mata Sipit lebih besar sehingga wanita itu tidak berani langsung menangkis atau mengadu lengan, akan tetapi wanita itu memiliki gerakan ilmu silat yang aneh, juga gerakannya jauh lebih cepat sehingga pertandingan itu amat seru.

Di lain fihak, pertandingan antara Si Muka Tengkorak dan Si Muka Ungu lebih hebat lagi karena tenaga mereka seimbang. Berkali-kali mereka keduanya terdorong mundur, akan tetapi secepat kilat sudah maju lagi dan melanjutkan pertandingan mereka.

Pada waktu itu, memang Thian-liong-pang merupakan sebuah partai yang baru muncul sejak bangsa Mancu menyerang ke selatan. Selama perang berlangsung, Thian-liong-pang tidak mau melibatkan diri, bahkan diam-diam memupuk tenaga mereka dan memperdalam ilmu silat.

Puluhan tahun yang lalu, Thian-liong-pang yang berpusat di Yen-an, di kaki Lu-liang-san sebelah barat, Thian-liong-pang menjadi sebuah partai golongan hitam, diselewengkan oleh ketuanya di waktu itu yang berjuluk Sin-seng Losu (Kakek Bintang Sakti) dengan murid-muridnya yang jahat sebanyak dua belas orang berjuluk Cap-ji-liong (Dua Belas Ekor Naga).

Akan tatapi, semenjak Thian-liong-pang dikuasai oleh cucu kakek itu sendiri, seorang laki-laki gagah perkasa bernama Siangkoan Li, maka Cap-ji-liong kembali ke jalan lurus. Tentang Siangkoan Li ini dapat dibaca dalam cerita “Mutiara Hitam”.

Kemudian bertahun-tahun Thian-liong-pang diketuai oleh orang-orang yang gagah perkasa dan tinggi ilmu silatnya. Ilmu silat mereka itu adalah ilmu keturunan dari dua orang kakek sakti yang setengah gila, yaitu Pak-kek Sian-ong dan Lam-kek Sian-ong.

Makin lama ketua-ketua mereka yang merupakan murid-murid Siangkoan Li, memperdalam ilmu kesaktian dari kedua orang kakek sakti itu sehingga kini para pimpinan Thian-liong-pang merupakan orang-orang yang berilmu tinggi sekali. Dua orang ini saja hanya merupakan tokoh tingkat lima, namun ilmu kepandaian mereka sudah hebat sekali.

Adapun dua orang tokoh Pulau Neraka itu lebih hebat lagi. Tingkat mereka masih amat rendah di kalangan penghuni Pulau Neraka yang merupakan keluarga besar orang-orang aneh. Warna-warna pada muka mereka menandakan bahwa tingkat mereka masih rendah, namun toh mereka sudah dapat mengimbangi ilmu dari kedua orang tokoh Thian-liong-pang tingkat lima!

Anak buah Pulau Neraka semua kulitnya berwarna hitam atau merah. Warna hitam merupakan tingkat paling rendah, lalu disusul merah sebagai tingkat lebih tinggi, kemudian biru, ungu, hijau dan jambon. Makin terang warna itu, makin tinggilah tingkat kepandaiannya! Namun pada masa itu, Pulau Neraka merupakan kabar angin atau setengah dongeng saja karena sudah ratusan tahun tidak pernah muncul.

Nama Pulau Neraka disejajarkan dalam rahasia dan keanehannya dengan Pulau Es, bahkan lebih tua lagi! Dua orang tokoh Thian-liong-pang itupun hanya mendengar “dongeng” dari ketua mereka, tentang warna-warna aneh kulit para penghuni Pulau Neraka maka tadi mereka dapat menduga tepat!

Pertandingan masih berlangsung dengan hebatnya, dan tak seorang pun di antara mereka pada saat-saat yang amat berbahaya bagi nyawa mereka itu ingat akan anak yang mereka jadikan rebutan dan yang menjadi bahan pertandingan-pertandingan itu, bahkan yang menyebabkan kematian lima orang Fen-ho Ngo-kwi! Siapakah anak itu?

Bocah itu adalah seorang anak laki-laki yang berwajah tampan, bermuka bulat dengan kulit putih bersih, sepasang matanya lebar bening penuh keberanian, berusia kurang lebih lima tahun! Sudah lebih dari tiga bulan anak itu hidup seorang diri di dalam kuil tua!

Benar amat mentakjubkan keberanian anak ini. Tadinya dia tinggal bersama ibunya di kuil ini, akan tetapi semenjak ibunya pergi meninggalkannya beberapa bulan yang lalu, dia hidup seorang diri di tempat sunyi ini. Namun dia tidak pernah menangis, tidak pernah mengeluh, mencari makan seadanya, bahkan kadang-kadang kalau dia tidak bisa mendapatkan buah-buahan atau tidak dapat menangkap binatang, ia hanya makan daun-daun muda ditambah air gunung!

Akan tetapi kalau ada binatang kelinci lewat, tentu binatang itu dapat ia bunuh dengan sambitan batu karena anak ini pandai menyambit, dan tenaganya mengagumkan. Tidaklah aneh kalau diketahui bahwa semenjak kecil ia digembleng oleh ibunya yang sakti. Ibunya merupakan seorang murid Siauw-lim-pai yang berhasil mencuri ilmu-ilmu aneh dari Siauw-lim-pai, mempelajari ilmu-ilmu aneh ini secara mengawur sehingga mempengaruhi jiwanya, membuatnya setengah gila.

Kegilaannya ini bukan semata karena dia keliru mempelajari ilmu-ilmu rahasia dari Siauw-lim-pai, melainkan terutama sekali karena tekanan jiwanya ketika dia dahulu dicemarkan oleh mendiang datuk sesat Kang-thouw-kwi Gak Liat Si Setan Botak (baca cerita Pendekar Super Sakti). Nama wanita ini adalah Bhok Khim, dahulu merupakan seorang di antara Kang-lam Sam-eng (Tiga Pendekar Kang-lam) tokoh-tokoh Siauw-lim-pai dan dia berjuluk Bi-kiam (Pedang Cantik)!

Di dalam cerita Pendekar Super Sakti telah dituturkan bahwa Bhok Khim yang meninggalkan puteranya di kuil tua itu pergi mencari Gak Liat dan berhasil membalas dendam dengan membunuh Setan Botak, akan tetapi dia sendiri pun tewas oleh musuh besar yang memperkosanya itu (baca Pendekar Super Sakti).

Demikianlah, anak kecil berusia lima tahun itu kini berada di dalam kuil, dan semenjak tadi dia mengintai dari dalam kuil menyaksikan semua peristiwa yang terjadi di luar kuil. Dia melihat kamatian Fen-ho Ngo-kwi yang mengerikan, kemudian menyaksikan pertandingan antara dua orang tokoh Thian-liong-pang melawan dua orang tokoh Pulau Neraka.

Anak ini amat cerdik, dari percakapan itu tahulah dia bahwa semua orang di luar itu memperebutkan dia! Akan tetapi dia tidak tahu mengapa dan juga di dalam hatinya dia tidak berpihak kepada siapa-siapa, hanya ingin melihat siapa di antara mereka yang paling lihai. Ibunya juga seorang berilmu tinggi, maka karena sejak kecil dikenalkan dengan ilmu silat, kini sepasang matanya yang bening dan tajam itu menonton pertandingan dengan hati amat tertarik.

Cuaca menjadi semakin gelap dengan datangnya malam akan tetapi pertandingan antara dua orang jagoan itu masih berlangsung seru. Masing-masing telah terkena pukulan dua tiga kali dari lawan akan tetapi mereka belum ada yang roboh dan masih terus bertanding terus, biarpun napas mereka mulai terengah dan uap putih mengepul dari kepala mereka.

“Omitohud....! Mengapa kalian bertanding mati-matian di sini? Apa yang telah terjadi?”

Tiba-tiba terdengar teguran dibarengi munculnya seorang hwesio yang tinggi kurus. Hwesio ini kurus sekali dan wajahnya selalu muram tampaknya, namun suaranya penuh wibawa. Akan tetapi empat orang yang tengah bertanding, tidak mempedulikannya dan hwesio ini menarik napas panjang.

“Aaahhh, jalan damai banyak sekali, mengapa menempuh jalan kekerasan yang hanya akan membahayakan keselamatan? Kepandaian Cu-wi yang tinggi ini pasti dipelajari susah payah sampai puluhan tahun, apakah hanya akan digunakan untuk mengadu nyawa?”

Setelah berkata demikian, hwesio ini melangkah maju, kedua tangannya dikembangkan ke kanan kiri dan.... empat orang yang sedang bertanding itu tiba-tiba terhuyung mundur oleh dorongan tenaga dahsyat, namun sukar ditahan! Otomatis pertandingan terhenti dan empat orang itu dengan napas sengal-sengal memandang kepada hwesio yang amat tua dan kurus itu.

“Maaf, maaf, pinceng terpaksa menghentikan pertandingan. Ada urusan dapat didamaikan. Mengapa kalian begini mati-matian hendak saling bunuh?”

“Losuhu siapakah?”

Si Muka Tengkorak bertanya, sikapnya menghormat karena dia maklum bahwa hwesio itu adalah seorang berilmu yang amat lihai.

“Pinceng adalah Siauw Lam Hwesio dari Siauw-lim-pai. Mengapa Sicu berdua bertanding dengan mereka?”

Diam-diam Siauw Lam Hwesio terkejut menyaksikan warna kulit dua orang tokoh Pulau Neraka yang biarpun cuaca mulai gelap masih tampak warna mereka yang menyolok mengingatkan dia akan “dongeng” tentang penghuni Pulau Neraka!

Si Muka Tengkorak menjura penuh hormat lalu berkata,
“Kiranya Losuhu adalah seorang tokoh sakti dari Siauw-lim-pai. Kami berdua adalah utusan-utusan Thian-liong-pang dan kedua orang sahabat ini pun utusan-utusan dari Pulau Neraka.”

Mendengar ini, hwesio tua itu tercengang dan ia kembali memandang kedua orang itu dengan penuh perhatian. Hatinya bertanya-tanya. Kalau begitu, benarkah dongeng yang didengarnya tentang Pulau Neraka? Kalau mereka itu sudah turun ke dunia ramai, bersama dengan turunnya tokoh-tokoh Thian-liongpang yang kabarnya tidak lagi mau beruruaan dengan dunia ramai, tentu dunia ini akan menjadi benar-benar ramai!

“Mengapa Cu-wi bertempur?”

“Kami sama-sama memenuhi tugas untuk menjemput anak laki-laki yang berada di dalam kuil. Karena bertentangan oleh tugas yang sama, terpaksa kami hendak menentukan dalam pibu (adu kepandaian) yang adil.”

“Omitohud! Betapa anehnya dunia ini....!”

Hwesio tua itu berkata. Dia adalah Siauw Lam Hwesio. Seorang hwesio tua yang kedudukannya tidak penting di Siauw-lim-pai. Akan tetapi dia adalah seorang yang sakti, karena selama puluhan tahun dia menjadi pelayan Kian Ti Hosiang, supek dari Ketua Siauw-lim-pai yang memiliki ilmu seperti dewa!

“Lama sekali pinceng mengikuti jejak murid perempuan Siauw-lim-pai dan akhirnya di tempat ini untuk mengambil puteranya yang ditinggalkan! Anak itu adalah putera dari Bhok Khim, seorang murid Siauw-lim-pai. Tentu saja hanya Siauw-lim-pai yang berhak untuk mendidiknya. Harap Cu-wi menghentikan pertempuran dan membiarkan pinceng sebagai hwesio Siauw-lim-si untuk membawanya pulang ke Siauw-lim-si.” Setelah berkata demikian, hwesio itu dengan tenang melangkah menuju ke kuil.

“Tahan....!”

Teriakan ini keluar dari empat buah mulut tokoh-tokoh yang tadi saling serang dan berbareng mereka memberi tanda dengan tangan kepada anak buah mereka. Dari tempat persembunyian mereka, enam belas orang anak buah Pulau Neraka dan dua puluh orang rombongan Thian-liong-pang itu bergerak cepat sekali mendekati kuil.

Hwesio tua itu memandang penuh perhatian, agaknya siap untuk menolong anak di dalam kuil kalau orang-orang itu menggunakan kekerasan. Akan tetapi, rombongan Thian-liong-pang itu sibuk melempar-lemparkan benda hitam di seputar kuil. sedangkan anak buah Pulau Neraka melempar-lemparkan cairan merah di seputar kuil. Begitu benda cair yang mereka siramkan itu mengenai tanah, mengepullah asap kemerahan yang berbau harum bercampur amis!

Sementara itu, anak laki-laki yang sejak tadi memandang dari dalam kuil, ketika menyaksikan betapa hwesio tua dapat menghentikan pertandingan dengan mudah, mengerti bahwa hwesio kurus kering itu sakti sekali, maka hatinya condong untuk ikut dengan hwesio itu yang dianggapnya paling lihai di antara orang-orang aneh yang berada di luar kuil.

Lebih-lebih lagi ketika ia mendengar keterangan hwesio itu bahwa ibunya adalah anak murid Siauw-lim-pai, hal ini tak pernah diceritakan ibunya, dan bahwa hwesio itu adalah seorang tokoh Siauw-lim-pai, tentu saja ia memilih hwesio itu. Ketika melihat bahwa banyak orang melempar-lemparkan benda hitam dan cairan merah yang kini mengepulkan asap dan tanah yang tersiram benda cairan itu mengeluarkan suara mendesis-desis seperti mendidih, ia cepat keluar dari dalam kuil dan muncul di depan.

“Berhenti....!”

Hwesio tua itu cepat menggerakkan tangan kirinya, mendorong ke depan, ke arah anak yang muncul itu. Jarak antara dia dan anak itu masih jauh, akan tetapi angin dorongan tangannya membuat anak itu terjengkang dan jatuh terlentang kembali ke dalam kuil.

“Anak, jangan keluar, berbahaya sekali! Asap itu beracun!”

Teriak Siauw Lam Hwesio dan bocah yang ternyata cerdik ini segera mengerti dan kembali ia bersembunyi di dalam kuil sambil mengintai dari tempatnya yang tadi.

Siauw Lam Hwesio mengeluh,
“Omitohud, alangkah kejinya!”

Ia kini dapat melihat jelas bahwa benda-benda hitam itu adalah senjata-senjata rahasia berbentuk bintang yang berduri runcing sekali dan kini benda-benda itu bertebaran di sekeliling kuil, menghalang jalan masuk dalam jarak lebar.

Mengertilah ia bahwa benda-benda itu tentulah mengandung racun pula dan amat runcing sehingga akan menembus sepatu. Sedikit saja kulit terluka oleh benda-benda ini, tentu akan menimbulkan bahaya kematian! Adapun benda cair yang dapat “membakar” tanah dan mengeluarkan asap kemerahan berbau harum amis itu pun merupakan racun yang berbahaya. Jalan menuju ke kuil itu terhalang oleh racun-racun yang lihai!





Tidak ada komentar:

Posting Komentar