FB

FB


Ads

Senin, 29 Desember 2014

Pendekar Super Sakti Jilid 098 ( TAMAT )

“Tidak mungkin, Han-koko. Tak mungkin aku tidak memikirkan engkau. Biarpun aku menjadi isterinya, aku akan sengsara kalau kau tidak berada di dekatku. Lebih baik aku selamanya tidak kawin, biarlah aku ikut bersamamu.... hu-hu-huk, kita kembali ke Pulau Es....!”

Han Han tersentak kaget. Permintaan Lulu ini cocok sekali dengan perasaan hatinya. Dia harus melawan ini. Tidak boleh begini! Kalau dia menuruti perasaannya, dia tahu bahwa dia akan menemukan bahagia asmara yang sejati disamping Lulu. Akan tetapi hal itu hanya akan menambah dosanya yang sudah bertumpuk-tumpuk.

“Tidak! Lulu, jangan berpikiran gila seperti itu! Engkau adikku, dan adik berada di samping kakaknya di waktu kecil, setelah dewasa dan bertemu jodohnya, harus berpisah.”

“Aku tidak mau....! Tidak mau....!”

Lulu terisak-isak dan membanting-banting kakinya. Kembali Han Han teringat kepada Nirahai. Selama sebulan itu, ketika ia memeluk dan mencinta Nirahai, bukankah setengah hatinya menganggap bahwa Nirahai menjadi pengganti Lulu? Dan sekarang dia memeluk Lulu! Akan tetapi Lulu yang dipeluknya ini adalah adiknya! Lebih patut menjadi isteri Wan Sin Kiat.

“Lulu! Apakah engkau ingin melihat kakakmu makin sengsara? Aku bisa mati karena duka jika engkau bersikap seperti ini!”

Lulu merintih dan melepaskan pelukannya, melangkah mundur sambil memandang kakaknya dengan mata terbelalak dan muka pucat.

“Han-koko, benar-benarkah engkau menghendaki aku kawin dengan Sin Kiat?”

Sejenak mereka berpandangan. Lulu memandang dengan matanya yang lebar penuh selidik. Han Han berusaha mengelak dan menyembunyikan perasaan hatinya. Jelas sekali tampak olehnya betapa sinar mata adiknya itu menyorotkan cinta kasih yang mendalam, penuh pemasrahan, cinta kasih dengan pemasrahan total tanpa halangan perbedaan faham seperti yang dimiliki Nirahai, dan agaknya karena kenyataan bahwa mereka kakak beradik yang membuat Lulu tidak berani menyatakan perasaan melalui mulutnya.

Han Han mengerahkan seluruh kekuatan kemauannya untuk menekan perasaannya, kemudian ia tersenyum lebar dan memandang adiknya seperti memandang seorang anak nakal sambil berkata,

“Lulu.... lulu adikku sayang, mengapa kau masih bertanya lagi? Engkau tahu, satu-satunya kebahagiaan bagiku adalah melihat engkau bahagia adikku. Dan aku yakin engkau akan bahagia menjadi isteri Sin Kiat. Bukankah selama ini dia bersikap amat baik padamu?”

Lulu menarik napas panjang, menggunakan punggung tangan untuk mengeringkan air mata dari pelupuk mata dan pipi.

“Dia baik, akan tetapi engkau jauh lebih baik”

“Hushhhhh! Tentu lain! Dia adalah calon suamimu, dan aku hanya kakakmu.” Han Han menggandeng tangan adiknya sambil tertawa. “Jangan seperti anak kecil, Lulu. Mari kita masuk menghadap Locianpwe Im-yang Seng-cu, guru Sin Kiat.”

Lulu terpaksa menghentikan tangisnya dan tidak sempat lagi berbantahan dengan kakaknya karena tak lama kemudian Sin Kiat muncul lagi bersama gurunya, Im-yang Seng-cu, Tan Bu Kong dan beberapa orang anak murid Hoa-san-pai yang telah berada di situ. Ketika melihat Han Han yang rambutnya sudah putih semua, Im-yang Seng-cu membalas penghormatannya sambil berkata,

“Siancai.... telah banyak sudah aku mendengar akan sepak terjangmu, orang muda, membuatku kagum. Kiranya engkau cucu sahabatku Suma Hoat telah menjadi seorang pendekar yang amat sakti!”

Han Han yang sudah menjura penuh hormat, segera menjawab,
“Harap locianpwe tidak memuji secara berlebihan. Saya hanyalah seorang kakak yang kini datang untuk merayakan pernikahan adik saya Lulu dengan murid locianpwe. Mohon locianpwe maafkan, karena keadaan kami kakak beradik yang tiada orang tua dan tidak memiliki sesuatu, maka segala pelaksanaan upacara dan perayaan kami serahkan kepada fihak locianpwe.”

“Suma-taihiap mengapa bersikap sungkan? Kita berada di antara keluarga sendiri. Tentu saja kami sudah mempersiapkan segalanya, bahkan kami telah menyebar undangan,” kata Tan-piauwsu yang menjadi tuan rumah.

Ramailah mereka merundingkan rencana pernikahan yang akan diadakan beberapa hari lagi. Kini Lulu tidak pernah rewel lagi sehingga hati Han Han terasa lega sungguhpun tiap kali bertemu pandang dengan adiknya itu, Han Han merasa jantungnya tertikam melihat sinar duka menyuramkan sepasang mata adiknya yang biasanya berseri dan wajahnya yang biasanya cerah itu.

Akhirnya, tibalah harinya yang telah dinanti-nantikan dan dilangsungkanlah pernikahan antara Wan Sin Kiat, jago muda Hoa-san-pai yang berjuluk Hoa-san Gi-hiap dengan Lulu. Upacara pernikahan dilangsungkan secara sederhana namun cukup meriah dan dihadiri oleh tamu-tamu terhormat dari kota Kwan-teng dan sekitarnya.

Han Han dan Im-yang Seng-cu sebagai wakil kedua mempelai, memandang penuh keharuan ketika sepasang mempelai bersembahyang di depan meja sembahyang, mengangkat dupa wangi, berdampingan dalam pakaian mempelai yang membuat Lulu tampak makin cantik jelita.

Dalam keharuannya, Han Han merasa lega hatinya. Belum pernah ia merasa begitu lega hatinya seperti ketika menyaksikan adiknya bersembahyang di samping Sin Kiat. Adiknya merupakan satu-satunya persoalan yang memberatkan hatinya, karena kalau dia pergi menjauhi segala kesengsaraan dunia, bagaimana dengan adiknya yang ia ditinggalkannya. Kini adiknya sudah ada yang memiliki, ada yang mengurus, membela dan melindungi. Dan dia percaya bahwa Sin Kiat akan menjadi seorang suami yang baik, dia percaya bahwa tentu Lulu akan hidup sebagai seorang isteri yang penuh kebahagiaan.

Malam tadi, untuk yang terakhir kalinya Lulu menemuinya dan menangis, dengan terisak-isak minta supaya pernikahan dibatalkan!

“Koko.... lebih senang kalau aku pergi saja bersamamu!” Demikian adiknya itu rewel lagi.

“Eh, eh, bagaimana engkau ini, Lulu? Besok dirayakan perkawinan, tamu-tamu akan datang, mana bisa dibatalkan? Eh, terus terang saja. Katakanlah, apa engkau tidak cinta kepada Sin Kiat?”

Lulu mengangguk.
“Aku suka padanya, Koko. Aku mau menjadi isterinya, akan tetapi.... berat sekali kalau aku harus berpisah darimu. Kau berjanjilah bahwa setelah aku menikah, engkau akan tinggal bersama kami untuk selamanya!”

“Hush, bocah nakal! Apa kau akan mengikat kakiku seperti seekor burung? Jangan begitu, adikku. Engkau mencinta Sin Kiat, dia pun mencintaimu. Kalau kalian sudah menjadi suami isteri, berarti kalian merupakan dua tubuh satu hati, sehidup semati dan mengenai aku.... ah, aku hanya kakakmu, dan aku.... aku akan mencari jodohku sendiri!”

Terpaksa Han Han menggunakan alasan ini dan benar saja, wajah adiknya menjadi berseri dan biarpun pipinya masih basah, kini Lulu dapat tersenyum.

“Benarkah, Koko? Kenapa tidak dengan Suci Nirahai?”






Kalau saja kini rongga dada Han Han tidak sudah kosong melompong, tentu disebutnya nama Nirahai ini akan membuat perasaannya tertikam hebat. Akan tetapi tikaman itu mengenai tempat kosong dan ia hanya memejamkan mata sesaat, kemudian menjawab,

“Entahlah, adikku. Soal jodoh berada di tangan Tuhan, seperti jodohmu dengan Sin Kiat ini pun sudah ditentukan oleh Thian Yang Maha Kasih.”

Bujukan-bujukannya ini membuat Lulu dapat bersikap wajar dan gembira ketika sepasang mempelai bersembahyang dan mengikuti upacara pertemuan. Setelah upacara selesai dan sepasang mempelai duduk bersanding, barulah pesta dimulai dan suasana menjadi gembira sekali. Sebagai kedua wali sepasang mempelai, Han Han duduk berhadapan dengan Im-yang Seng-cu dan minum arak wangi.

Akan tetapi, mendadak suasana gembira itu dipecahkan oleh suara yang nyaring menggema, datang dari luar pekarangan gedung Pek-eng-piauwkiok,

“Suma Han, pinceng tidak ingin mengganggu pesta pernikahan. Keluarlah agar kita dapat bicara!”

Han Han dan semua orang yang berada di situ terkejut karena suara ini mendatangkan getaran hebat yang seolah-olah menimbulkan gempa bumi. Han Han mengenal suara Thian Tok Lama, pendeta Tibet, maka ia lalu bangkit berdiri dan berkata kepada para tamu,

“Harap cu-wi melanjutkan makan minum, urusan ini adalah urusan saya sendiri yang akan saya bereskan di luar!” Setelah berkata demikian, Han Han lalu terpincang-pincang keluar dari ruangan pesta itu.

Akan tetapi, Im-yang Seng-cu yang mengerti bahwa orang yang mengeluarkan suara seperti itu tentulah memiliki kepandaian yang luar biasa, segera bangkit dan diam-diam mengikuti Han Han.

Lulu juga cepat bangkit berdiri dan sebelum dapat dicegah, sudah lari keluar. Tentu saja Sin Kiat tidak mau membiarkan isterinya pergi sendiri, dan cepat ia pun ikut keluar. Melihat betapa sepasang mempelai keluar, tentu saja para tamu menjadi tertarik dan ingin tahu, maka tanpa dapat dicegah lagi, berbondong-bondong mereka keluar untuk melihat apa yang terjadi.

Ternyata yang berada di depan gedung Pek-eng-piauwkiok itu adalah dua orang pendeta Tibet, bukan lain Thian Tok Lama dan Thai Li Lama yang berdiri dengan sikap tenang, akan tetapi mata mereka memandang marah.

“Kiranya ji-wi yang datang,” kata Han Han, sikapnya tenang. “Ada keperluan apakah mengganggu aku yang sedang merayakan pernikahan adikku?”

“Suma-taihiap, kami berdua masih mengingat akan hubungan lama, karena itu kami datang bukan dengan niat mencari keributan. Tak perlu kiranya kami jelaskan lagi dan tidak perlu pula urusan ini dibicarakan panjang lebar. Kami hanya ingin tahu dimana adanya Sang Puteri sekarang.”

Han Han memandang tajam dan melihat betapa sepasukan pengawal kerajaan yang jumlahnya dua puluh empat orang, kesemuanya pengawal pilihan dan yang berbaris rapi di belakang dua orang pendeta itu, telah siap menerjang. Akan tetapi ia didahului oleh Im-yang Seng-cu yang telah meloncat maju mendekati kedua orang pendeta Lama itu sambil menudingkan tongkatnya,

“Pinto sebagai tuan rumah yang mengadakan pesta pernikahan murid pinto, mengharap agar ji-wi Losuhu tidak menggangu perayaan kami, atau, kalau ji-wi beriktikad baik, kami persilakan untuk masuk sebagai tamu-tamu yang kami hormati.”

Thian Tok Lama memandang tosu kurus itu dengan alis berkerut, kemudian ia berkata tegas dan angkuh,

“Kami tidak ingin mengganggu dan tidak mau diganggu! Kami tidak mempunyai urusan dengan siapapun juga, kecuali dengan Suma Han. Harap yang lain tidak mencampuri urusan kami!”

Bayangan Lulu berkelebat dan dia sudah berdiri di dekat kakaknya. Dengan tirai masih menutupi mukanya, dia menudingkan telunjuknya dan membentak.

“Thian Tok Lama dan Thai Li Lama. Aku mengenal siapa kalian! Beranikah kalian menghinaku dengan mengacau hari pernikahanku dan menghina kakakku?”

Wan Sin Kiat juga sudah berkata keras,
“Ji-wi Losuhu sudah menyeberang ke fihak musuh, hal itu tidak ada sangkut-pautnya dengan kami! Mengapa ji-wi sekarang datang mengganggu?”

Thian Tok Lama memandang sepasang mempelai itu lalu tertawa.
“Omitohud....! Seorang puteri Mancu berjodoh dengan seorang tokoh pejuang! Betapa manis dan baiknya! Kami tidak mengganggu kalian, melainkan hendak berurusan dengan Suma Han!”

“Suma Han adalah wali mempelai wanita, menjadi tamu agung bagi pinto. Siapapun juga tidak boleh mengganggunya. Pinto sebagai tuan rumah berhak melindunginya. Harap ji-wi suka pergi!” Sambil berkata demikian, Im-yang Seng-cu meloncat maju dan menggerakkan tongkatnya.

“Locianpwe, jangan....!” Han Han berseru mencegah.

Namun terlambat. Im-yang Seng-cu yang dapat menduga bahwa kedua orang pendeta itu tentu lihai dan berbahaya sekali, telah menyerang dengan tongkatnya. Thian Tok Lama tertawa dan menggerakkan tangan kanan menyambut tongkat.

“Krekkk....!”

Tongkat di tangan Im-yang Seng-cu patah menjadi dua dan tosu ini terhuyung ke belakang. Kagetlah Im-yang Seng-cu. Dia merupakan seorang sakti yang berilmu tinggi, akan tetapi ternyata dalam segebrakan saja, tangkisan tangan pendeta aneh itu telah mematahkan tongkatnya dan ia merasa sebuah tenaga panas mendorongnya sehingga ia terhuyung. Mengertilah ia bahwa hwesio ini amat sakti!

“Pendeta sesat!”

Lulu dan Sin Kiat bergerak hendak menyerang, akan tetapi Han Han sudah melonjorkan lengannya mencegah, lalu berkata penuh wibawa,

“Kalian sedang merayakan pernikahan, tidak boleh bergerak dan berkelahi. Urusan ini memang tiada sangkut-pautnya dengan lain orang, biarlah aku sendiri yang membereskan!”

Mendengar ucapan Han Han ini, Lulu dan Sin Kiat mundur dan kini Han Han sendiri menghadapi dua orang pendeta Lama itu.

“Ji-wi Losuhu, baiklah pertanyaan ji-wi tadi kujawab. Tentang Puteri Nirahai, aku tidak tahu dia berada di mana sekarang. Jawabku ini sama sekali tidak membohong, karena memang aku tidak tahu ke mana dia pergi setelah berhasil kuselamatkan dari tahanan istana. Akan tetapi, perlu ji-wi ketahui pula bahwa andaikata aku tahu di mana dia berada sekalipun, takkan kuberitahukan kepada siapapun juga jika tidak dia kehendaki. Nah, setelah kujawab sejujurnya, harap ji-wi tidak mengganggu lagi dan suka pergi dari sini.”

Ramailah anak buah pasukan pengawal itu bicara sendiri mendengar jawaban Han Han. Thian Tok Lama mengerutkan keningnya dan nampak marah.

“Suma Han! Engkau telah melakukan dosa besar, menyerbu istana dan melarikan Sang Puteri, sekarang sengaja hendak menyembunyikannya. Namun, pinceng masih ingat akan hubungan antara kita dan pinceng persilakan engkau ikut bersama kami untuk menghadapi kaisar dan memberi jawaban sendiri.”

“Kalau aku tidak mau?”

“Berarti engkau tidak mengindahkan iktikad baik kami dan terpaksa kami menggunakan kekerasan menangkapmu!”

Han Han tertawa.
“Thian Tok Lama dan Thai Li Lama, apakah yang kalian andalkan untuk dapat menangkap aku? Kalau hendak menggunakan kekerasan silahkan!”

Kedua orang pendeta Tibet itu sudah mengenal kelihaian Han Han, maka dengan cerdik mereka tadi hendak menggunakan bujukan halus. Kini melihat pemuda itu tak dapat dibujuk, Thian Tok Lama lalu mengangkat tangan dan memberi perintah kepada para pasukan pengawal pilihan,

“Tangkap si pemberontak!”

Terdengar suara nyaring dan tampak sinar berkilauan ketika dua losin pasukan pengawal itu mencabut senjata mereka. Thian Tok Lama dan Thai Li Lama pun sudah bersiap-siap untuk menyerbu kalau pasukan itu sudah mengeroyok. Akan tetapi Han Han yang tidak ingin membunuh orang, sudah mendahului mereka. Tiba-tiba ia mengeluarkan suara keras sekali,

“Jangan bergerak!”

Dan tubuhnya sendiri mencelat ke atas seperti seekor burung garuda menyambar. Aneh sekali, dua puluh empat orang yang sudah mencabut senjata itu kini berdiri diam seperti arca dan sekali tubuh Han Han menyambar turun, dengan mudahnya Han Han merampas dan melucuti senjata-senjata mereka, mematah-matahkan semua senjata itu dengan kedua tangan seperti orang mematah-matahkan sekumpulan lidi saja! Kemudian ia membuang senjata-senjata yang sudah patah itu ke atas tanah.

Melihat ini, semua orang terheran-heran. Thian Tok Lama dan Thai Li Lama terkejut sekali. Terutama Thai Li Lama yang merupakan seorang tokoh dan ahli sihir. Dia tadi sampai ikut diam tak mampu bergerak mendengar bentakan Han Han, maka tahulah pendeta ini bahwa sekarang Si Pemuda berkaki buntung telah memiliki kekuatan yang mujijat, jauh lebih kuat daripada dahulu ketika bertanding kekuatan sihir dengannya.

Namun, sebagai dua orang yang memiliki sin-kang tenaga batin kuat, dua orang pendeta Tibet ini sudah dapat menguasai dirinya kembali dan sambil berseru marah mereka menerjang maju dari kiri kanan memukul dengan pengerahan sin-kang ke arah Han Han.

Menghadapi pukulan dari kiri kanan yang amat kuat ini, Han Han malah berdiri tegak dan memejamkan matanya! Tentu saja Im-yang Seng-cu, Lulu dan Sin Kiat menjadi terkejut dan amat khawatir menyaksikan dua pukulan yang mendatangkan angin mendesir kuat sekali itu. Tiba-tiba Han Han mengembangkan kedua lengannya dan berseru.

“Thian Tok Lama dan Thai Li Lama, pergilah kalian!”

Kedua telapak tangan Han Han menyambut pukulan dua orang lawannya. Terjadilah pertemuan tenaga yang amat hebat! Tubuh Han Han diam seperti arca, akan tetapi tubuh dua orang pendeta Lama itu tergoncang hebat. Mereka masih hendak bertahan, namun mereka terguncang makin hebat dan kalau dilanjutkan pertahanan mereka, tentu isi dada mereka akan hancur. Mengerti akan bahaya maut, keduanya lalu melompat mundur dan terhuyung-huyung, lalu roboh terpelanting dan cepat mereka duduk bersila mengatur pernapasan!

Pasukan itu menjadi gempar. Mereka tadi tak dapat menggerakkan kaki tangan sama sekali, dan barulah sekarang mereka dapat bergerak, namun apa yang dapat mereka lakukan? Senjata telah dirampas begitu mudah, dan dua orang pendeta itu telah terluka hebat.

“Pergilah, dan bawalah mereka pergi dari sini,”

Han Han berkata halus kepada pasukan itu. Akan tetapi dua orang pendeta itu sudah bangkit kembali, sejenak memandang kepada Han Han dengan sinar mata penuh kemarahan, kekaguman dan juga penasaran. Mereka benar-benar merasa heran sekali mengapa baru berpisah beberapa bulan saja, agaknya kepandaian Si Pemuda buntung ini sudah meningkat secara luar biasa!

“Suma Han, semenjak saat itu, engkau adalah musuh negara dan kami akan selalu berusaha untuk membunuhmu! Engkau seorang pelarian, seperti halnya Puteri Nirahai!” kata Thian Tok Lama.

Han Han menghela napas panjang.
“Sudah untung kami! Akan tetapi, peganglah aturan orang-orang gagah ji-wi losuhu. Kalian boleh saja mencari aku dan Sang Puteri, akan tetapi jangan sekali-kali mengganggu orang lain yang tiada sangkut-pautnya dengan kami. Sang Puteri telah pergi, dan aku pun akan pergi dari sini. Kalian boleh mencari kami kalau bisa, suatu usaha yang sia-sia belaka karena sesungguhnya aku tidak peduli akan urusan dunia lagi. Nah, pergilah!”

“Engkau.... siluman!” Thai Li Lama berseru penuh keheranan. “Engkau patut dijuluki Pendekar Siluman!”

Para pasukan yang masih terheran-heran menyaksikan cara pemuda itu merampas senjata mereka, otomatis berseru,

“Pendekar Siluman....!”

“Kalian jangan memaki kakakku! Hayo pergi, kalau tidak, sekali aku turun tangan, aku tak akan sesabar kakakku dan takkan puas sebelum kepala kalian menggelinding di sini!” Lulu meloncat maju dan memaki-maki marah mendengar kakaknya dijuluki Pendekar Siluman.

Dua orang hwesio Lama itu menghela napas lalu membalikkan tubuh, melangkah pergi diikuti para pasukan yang masih merasa ngeri dan takut. Semua tamu yang menyaksikan peristiwa ini juga memandang Han Han seperti orang memandang mahluk aneh bukan manusia, kagum heran dan juga serem. Hanya Im-yang Seng-cu yang memandang penuh kekaguman, menjura kepada Han Han sambil berkata lirih.

“Sungguh bahagia sekali bagi mata tuaku ini menyaksikan cucu sahabat baik Suma Hoat menjadi seorang yang kesaktiannya jauh melampaui nenek moyangnya. Siancai.... siancai!”

Lulu sudah menggandeng tangan Han Han diajak memasuki gedung dan dara yang sejenak lupa bahwa dia sedang menjadi pengantin ini menegur kakaknya,

“Han-koko, mengapa kau tidak menceritakan aku tentang Suci Nirahai? Engkau melarikan dia dari istana? Aihhh, engkau nakal sekali. Kau harus menceritakan hal itu kepadaku, Koko.!”

Setelah pesta pernikahan itu selesai dan para tamu sudah pulang, barulah pada malam hari itu Han Han terpaksa bercerita kepada Lulu dan Sin Kiat. Dengan terus terang Han Han menceritakan bahwa atas keputusan mendiang Nenek Maya dan Nenek Khu Siauw Bwee, dia dijodohkan dengan Nirahai.

Mendengar penuturan Han Han sampai di sini, Lulu menangis. Menangis karena gurunya, Nenek Maya, telah meninggal dunia, dan menangis saking terharu mendengar bahwa kakaknya dijodohkan dengan Nirahai.

Han Han melanjutkan ceritanya yang menyedihkan, betapa kaisar bukan hanya melarang perjodohan itu, bahkan menjebloskan Nirahai ke dalam penjara. Betapa dia menyerbu istana untuk membebaskan Puteri Nirahai.

“Di mana suci sekarang, Koko? Kenapa tidak ikut ke sini?” Lulu bertanya tak sabar.

“Benar sekali pertanyaan isteriku, Han Han. Kenapa dia tidak ikut ke sini dan.... alangkah baiknya kalau tadinya dirayakan pernikahan kalian di sini,”

Kata pula Sin Kiat yang menyebut Lulu “isteriku” dengan suara mesra, akan tetapi tidak dapat mengubah panggilannya terhadap Han Han yang dianggapnya sahabat sejak kecil.

“Ya, kenapa tidak begitu, Koko? Mana suci?” Lulu bertanya lagi penuh desakan.

Han Han merasa jantungnya seperti ditusuk, akan tetapi hanya untuk beberapa detik saja karena perasaan ini telah tenggelam dan lenyap. Betapapun juga, wajahnya membayangkan kesayuan dan kekosongan, sayu dan layu, sinar matanya seperti lampu kehabisan minyak. Ia menghela napas dan menggeleng kepalanya.

“Dia telah pergi, Lulu. Dan harap jangan mendesakku.... cukup kalau kuberitahukan bahwa.... bahwa.... diantara kami tidak sefaham.”

“Koko....!”

Lulu memegang pundak kakaknya dan menangis. Dia telah mengenal betul wajah kakaknya dan maklum bahwa pada saat itu, kakaknya sedang menderita tekanan batin yang amat hebat.

“Huuussshhhhh, jangan begini, Lulu.”

Dari atas pundak Lulu, Han Han memberi isyarat kepada Sin Kiat untuk menghibur Lulu. Dia bangkit berdiri dan berkata,

“Lulu, tentang diriku tak perlu kau hiraukan lagi. Bagiku, yang terpenting adalah keadaanmu. Sudah menjadi kewajibanku untuk berusaha sekuat tenaga demi kebahagiaanmu. Kini engkau telah menemukan jodoh, telah mendapatkan seorang suami yang kupercaya penuh akan mencintamu selamanya, akan menjagamu, membimbingmu dan melindungimu dengan seluruh jiwa raganya. Maka legalah hatiku, adikku. Cukuplah hidup ini bagiku kalau melihat engkau bahagia. Kini aku dapat pergi dengan hati lapang, tidak lagi mengkhawatirkan hidupmu. Yang pandai-pandailah engkau menjaga dan mengatur rumah tanggamu, Lulu. Yang hati-hatilah engkau bersama suamimu mendayung biduk rumah tanggamu menuju ke pantai bahagia. Aku.... aku hanya dapat mendoakan setiap saat untuk kebahagiaanmu.”

“Koko....! Engkau.... engkau akan ke mana....?”

Lulu bertanya dengan muka pucat melihat kakaknya bangkit berdiri dan agaknya siap hendak pergi itu.

Han Han tersenyum, senyum yang menyayat jantung Lulu.
“Ke mana? Tentu saja pergi dari sini, adikku. Aku sudah bebas sekarang, bebas lepas seperti burung di udara, bebas daripada tugas, bebas dari segala-galanya. Aku akan pergi, sekarang juga.”

“Koko, jangan pergi sekarang....!”

Lulu berteriak, mukanya makin pucat dan air matanya mengucur deras. Melihat keadaan isterinya ini, Sin Kiat cepat merangkul pundak isterinya dan ikut berkata.

“Han Han, mengapa tergesa-gesa? Tinggallah di sini barang sepekan.”

Han Han menengok keluar jendela. Bulan sedang purnama dan di luar rumah terang seperti siang.

“Tidak, aku harus pergi sekarang! Malam ini merupakan malam bahagia bagi kalian, dan merupakan malam keramat bagiku. Aku harus pergi, selagi bulan sedang purnama, selagi hatiku sedang terang.”

“Han-koko....!” Lulu menjerit menahan isak. “Engkau hendak pergi ke manakah? Malam-malam begini....? Ke mana....?”

Kembali Han Han memaksa tersenyum kepada adiknya.
“Ke mana? Ke manakah semua manusia akan pergi? Hemmm, aku tidak tahu, adikku. Dunia ini terlalu luas, dan di manapun sama saja. Terserah kepada hati dan kakiku ke mana aku pergi. Jangan engkau memikirkan aku lagi, adikku. Nah, selamat tinggal.”

“Koko....!”

“Han Han, jangan pergi seperti ini! Besok saja.!” Sin Kiat mencegah.

“Tidak, sekarang inilah saatnya,” Han Han berpincangan keluar.

“Koko, aku antar engkau....” Lulu mengejar. Sin Kiat juga mengejar. “Kami antar sampai keluar kota!” kata Sin Kiat yang terharu menyaksikan penderitaan isterinya.

Han Han tak dapat membantah lagi. Di luar ruangan gedung, mereka bertemu dengan Tan-piauwsu, atau Tan Bu Kong pemilik Pek-eng-piauwkiok. Ketika mendengar bahwa malam hari itu juga Han Han akan pergi, Tan Bu Kong menyatakan keheranannya, akan tetapi dia tidak berani mencegah bahkan ikut pula mengantar.

Setibanya di luar kota, Han Han berkata,
“Sudah cukup, adikku Lulu. Cukuplah Sin Kiat dan Tan-piauwsu. Kembalilah kalian ke kota, aku akan melanjutkan perjalananku.”

“Koko....! Ahhh, Koko.... jangan.... jangan tinggalkan aku....!”

Lulu tidak mempedulikan apa-apa lagi, menubruk Han Han, merangkul dan menyembunyikan mukanya di dada kakaknya sambil menangis sesunggukan.

“Lulu, engkau bukan anak kecil lagi, mengapa bersikap begini? Tidak baik begini, Lulu....”

“Bawalah aku, Koko.... bawalah aku...., aku tidak bisa berpisah lagi darimu....!”

“Lulu!”

Han Han membentak sehingga Lulu tersentak kaget. Dengan gerakan halus Han Han mendorong Lulu mundur, kemudian berkata,

“Ingat, engkau adalah isteri Wan Sin Kiat yang mencintamu dan kau cinta. Adikku sayang, selamat tlinggal, semoga Tuhan melindungimu selamanya!”

Setelah berkata demikian, Han Han membalikkan tubuh dan berjalan terpincang-pincang meninggalkan mereka.

Lulu seperti terkena pesona berdiri seperti patung, mukanya pucat, air matanya bercucuran, matanya tak pernah berkedip menatap tubuh yang pergi itu. Tubuh seorang laki-laki yang berkaki satu, terpincang-pincang dibantu tongkat bututnya, rambutnya terurai lepas berwarna putih. Sesosok tubuh yang menimbulkan haru dan iba kepada yang melihatnya, terutama sekali Lulu.

“Koko....! Han-koko.... kakakku....!”

Sin Kiat sudah memegang lengannya.
“Kuatkan hatimu, isteriku. Biarkan kakakmu pergi, di sini ada aku suamimu yang mencintamu lahir batin.”

Sin Kiat menahan isak yang bercampur dalam suaranya. Lulu membalikkan tubuh memandang suaminya, lalu menubruk suaminya dan menangis tersedu-sedu.

“Han koko.... ah, Han-koko.... betapa malang dan sengsara nasib kakakku.... dia.... selalu berusaha menolong orang sengsara.... akan tetapi dia sendiri selalu dirundung malang.... ohhh, kakakku....”

Sin Kiat memeluk isterinya, kemudian mereka berdua memandang tubuh yang makin menjauh itu. Tubuh yang berjalan terpincang-pincang di bawah sinar bulan purnama, dan tidak pernah sekali juga Han Han menoleh. Bukan karena tidak ingin, oh, dia ingin sekali menoleh, akan tetapi dia tidak mau tampak oleh mereka betapa kedua pipinya basah oleh tetesan air matanya.!

Berbareng dengan kepergian Suma Han atau Han Han, yang dikenal sebagai Pendekar Super Sakti, juga Pendekar Siluman, maka berakhirlah cerita yang berjudul Pendekar Super Sakti ini.

Khusus untuk para pembaca yang masih ingin mengikuti perjalanan hidup Han Han yang selama ini banyak menderita, pengarang menyusun sebuah cerita baru yang merupakan lanjutan cerita ini, yang berjudul “Sepasang Pedang Iblis”.

Dalam cerita ini, pembaca akan berjumpa kembali dengan Han Han, dengan Nirahai, Lulu dan tokoh-tokoh dalam cerita Pendekar Super Sakti.

Semoga cerita Pendekar Super Sakti ini mengandung manfaat bagi pembaca, dan pengarang menyertakan salamnya bersama salam dari Han Han kepada para penggemar dengan ucapan: “Semoga Tuhan memberkahi kita semua dan sampai jumpa dalam cerita “Sepasang Pedang Iblis”

T A M A T






Tidak ada komentar:

Posting Komentar