Seorang diantara mereka yang bertubuh tinggi besar bermuka hitam bermata lebar menunjuk dengan goloknya ke arah muka Ceng Ceng dan Syanti Dewi.
“Ahhhh, dia puteri Bhutan! Tidak salah lagi! Aku pernah melihatnya, dia Puteri Bhutan!” tiba-tiba terdengar teriak seorang tinggi kurus bermuka kuning. Mendengar ini, lima orang itu cepat maju mengurung.
“Ha-ha-ha, benarkah itu, kawan? Kalau begitu, kita telah berhasil menjebak kakap dalam jaring kita! Ha-haha, raja muda tentu akan memberikan hadiah banyak sekali kepada kita. Tangkap dia!” teriak si muka hitam yang agaknya menjadi pemimpin gerombolan lima orang kasar ini.
Si muka hitam dan si muka kuning sudah menggunakan golok mereka untuk menerjang kakek Lu Kiong, sedangkan tiga orang teman mereka menubruk Ceng Ceng dan Syanti Dewi.
“Plak-plak, dess!”
Tiga orang itu tersungkur karena Ceng Ceng sudah memukul dan menendang dua orang, sedangkan Syanti Dewi sendiri merobohkan seorang dengan sebuah tendangan kilat.
“Tranggg....! Cringgg....!”
Kakek Lu Kiong berhasil menangkis dua batang golok lawan, biarpun dia terkejut sekali karena ketika dia menangkis, dia merasa betapa dua kali pedangnya tergetar hebat, tanda bahwa si muka hitam dan si muka kuning itu memiliki tenaga sin-kang yang kuat sekali! Melihat tiga orang temannya tersungkur dan meloncat kembali, si muka hitam tertawa.
“Ha-ha-ha, kiranya memiliki kepandaian juga si puteri dan pelayannya....!”
“Mulut busuk! Aku bukan pelayan!” bentak Ceng Ceng marah sekali dan dia sudah menghunus pedangnya, demikian pula Syanti Dewi.
“Ha-ha-ha, tangkap mereka, jangan sampai mereka terluka. Sang Puteri boleh untuk Raja Muda, akan tetapi si cantik liar itu untukku saja, ha-ha-ha!”
“Keparat!”
Lu Kiong sudah menggerakkan pedangnya menyerang dan dapat ditangkis oleh si muka hitam. Segera terjadi pertandingan yang seru sekali antara kakek Lu Kiong dikeroyok dua orang yang ternyata memiliki ilmu silat yang tangguh juga.
Tiga orang anak buah mereka itu sudah mencabut golok dan kini menyerang Ceng Ceng dan Syanti Dewi. Akan tetapi karena mereka tidak berani melukai, sedangkan dua orang dara itu melawan mati-matian, tentu saja tiga orang itu menjadi kewalahan, betapapun lihai ilmu silat mereka.
Ceng Ceng mulai mendesak dengan pedangnya dan tiga puluh jurus kemudian, dia sudah merobohkan seorang pengeroyok dengan bacokan pedangnya yang hampir memisahkan kepala dari tubuh lawan itu!
Terdengar teriakan keras dan Ceng Ceng melihat kakeknya juga sudah berhasil merobohkan si muka kuning yang terbabat hampir putus pinggangnya, akan tetapi betapa kagetnya ketika dia melihat bahwa kakeknya juga terluka parah pada pundak kirinya sehingga bajunya penuh darah.
“Kong-kong....!” Teriaknya sambil menangkis dua batang golok yang menyerangnya.
“Ceng Ceng, jaga sang puteri....!” kakek itu berteriak.
“Wuuuutttt.... singgg....!”
Golok itu menjadi sinar terang meluncur cepat sekali dari atas membacok ke arah kepala kakek Lu Kiong. Si muka hitam ternyata marah sekali melihat saudaranya tewas dan kini dia mengerahkan tenaga untuk membalas dendam.
“Tringggg.... augghhh....!”
“Ahhhh, dia puteri Bhutan! Tidak salah lagi! Aku pernah melihatnya, dia Puteri Bhutan!” tiba-tiba terdengar teriak seorang tinggi kurus bermuka kuning. Mendengar ini, lima orang itu cepat maju mengurung.
“Ha-ha-ha, benarkah itu, kawan? Kalau begitu, kita telah berhasil menjebak kakap dalam jaring kita! Ha-haha, raja muda tentu akan memberikan hadiah banyak sekali kepada kita. Tangkap dia!” teriak si muka hitam yang agaknya menjadi pemimpin gerombolan lima orang kasar ini.
Si muka hitam dan si muka kuning sudah menggunakan golok mereka untuk menerjang kakek Lu Kiong, sedangkan tiga orang teman mereka menubruk Ceng Ceng dan Syanti Dewi.
“Plak-plak, dess!”
Tiga orang itu tersungkur karena Ceng Ceng sudah memukul dan menendang dua orang, sedangkan Syanti Dewi sendiri merobohkan seorang dengan sebuah tendangan kilat.
“Tranggg....! Cringgg....!”
Kakek Lu Kiong berhasil menangkis dua batang golok lawan, biarpun dia terkejut sekali karena ketika dia menangkis, dia merasa betapa dua kali pedangnya tergetar hebat, tanda bahwa si muka hitam dan si muka kuning itu memiliki tenaga sin-kang yang kuat sekali! Melihat tiga orang temannya tersungkur dan meloncat kembali, si muka hitam tertawa.
“Ha-ha-ha, kiranya memiliki kepandaian juga si puteri dan pelayannya....!”
“Mulut busuk! Aku bukan pelayan!” bentak Ceng Ceng marah sekali dan dia sudah menghunus pedangnya, demikian pula Syanti Dewi.
“Ha-ha-ha, tangkap mereka, jangan sampai mereka terluka. Sang Puteri boleh untuk Raja Muda, akan tetapi si cantik liar itu untukku saja, ha-ha-ha!”
“Keparat!”
Lu Kiong sudah menggerakkan pedangnya menyerang dan dapat ditangkis oleh si muka hitam. Segera terjadi pertandingan yang seru sekali antara kakek Lu Kiong dikeroyok dua orang yang ternyata memiliki ilmu silat yang tangguh juga.
Tiga orang anak buah mereka itu sudah mencabut golok dan kini menyerang Ceng Ceng dan Syanti Dewi. Akan tetapi karena mereka tidak berani melukai, sedangkan dua orang dara itu melawan mati-matian, tentu saja tiga orang itu menjadi kewalahan, betapapun lihai ilmu silat mereka.
Ceng Ceng mulai mendesak dengan pedangnya dan tiga puluh jurus kemudian, dia sudah merobohkan seorang pengeroyok dengan bacokan pedangnya yang hampir memisahkan kepala dari tubuh lawan itu!
Terdengar teriakan keras dan Ceng Ceng melihat kakeknya juga sudah berhasil merobohkan si muka kuning yang terbabat hampir putus pinggangnya, akan tetapi betapa kagetnya ketika dia melihat bahwa kakeknya juga terluka parah pada pundak kirinya sehingga bajunya penuh darah.
“Kong-kong....!” Teriaknya sambil menangkis dua batang golok yang menyerangnya.
“Ceng Ceng, jaga sang puteri....!” kakek itu berteriak.
“Wuuuutttt.... singgg....!”
Golok itu menjadi sinar terang meluncur cepat sekali dari atas membacok ke arah kepala kakek Lu Kiong. Si muka hitam ternyata marah sekali melihat saudaranya tewas dan kini dia mengerahkan tenaga untuk membalas dendam.
“Tringggg.... augghhh....!”
Tubuh kakek Lu Kiong tersungkur dan dia bergulingan. Ketika menangkis tadi, rasa nyeri menusuk pundak kirinya yang terluka sehingga dia kehilangan tenaga dan hanya dengan jalan menjatuhkan diri saja dia terbebas dari bacokan golok.
Si muka hitam mengejar dan menghujankan bacokan, namun kakek itu dengan sigapnya bergulingan sambil mengangkat pedang beberapa kali menangkis, kemudian dengan teriakan keras dia sudah meloncat bangun dan segera terjadi pertandingan mati-matian antara kedua orang itu.
“Kakekmu terluka.... bantulah dia, adik Candra....!”
Syanti Dewi berkata sambil membacokkan pedangnya ke arah lawan yang dapat ditangkis oleh lawan itu.
“Tidak, kita bereskan dulu dua ekor anjing ini!”
Ceng Ceng berseru karena dia mengerti bahwa puteri itu bukanlah lawan kedua orang yang cukup lihai ini, maka dia cepat memutar pedangnya. Kemarahan melihat kakeknya terluka menambah semangat dara ini dan dengan putaran pedang seperti kitiran cepatnya, akhirnya dia berhasil menendang roboh seorang lawan. Tendangan dengan ujung sepatu yang tepat mengenai sambungan lutut sehingga orang itu berlutut tanpa mampu berdiri kembali.
“Singggg....!” Pedang di tangan Syanti Dewi menyambar.
“Tranggg....!”
Orang yang sudah berlutut itu berusaha menangkis, namun karena kedudukannya yang tidak baik, tangkisannya membuat goloknya terpental dan terlempar.
“Wuuuutttt.... crotttt....!”
Pedang Ceng Ceng sudah menyambar dan merobek tenggorokannya. Orang itu mengeluarkan suara seperti babi disembelih dan roboh terjengkang, darah muncrat-muncrat dari lehernya yang dicobanya ditutupinya dengan telapak tangan. Melihat ini, Syanti Dewi meloncat mundur dan membuang muka dengan penuh kengerian. Hampir dia muntah-muntah menyaksikan pemandangan yang mengerikan hatinya ini.
Ceng Ceng mengamuk dan menekan lawan yang tinggal seorang lagi itu. Orang itu kini menjadi panik karena kedua orang kawannya telah tewas. Setelah menangkis tiga kali dan selalu tangannya tergetar sehingga goloknya hampir terlepas, dia berteriak, meloncat ke belakang hendak lari.
“Robohlah....!”
Teriak Ceng Ceng. Dengan gerakan indah dia melontarkan pedangnya ke depan. Pedang itu meluncur seperti anak panah dan menancap di punggung orang itu, menembus sampai ke dada. Dengan teriakan keras orang itu roboh terguling.
“Kong-kong....!”
Ceng Ceng menjerit ketika melihat kakeknya terhuyung lalu kakek itu roboh di atas mayat si muka hitam yang baru saja dirobohkan dan ditewaskan. Ternyata kakek yang kosen ini biarpun berhasil membunuh si muka hitam yang lihai, menderita luka pula karena kena bacokan golok si muka hitam yang mengenai dadanya sehingga dada itu terobek lebar!
“Kong-kong....!”
Ceng Ceng berlutut dan memangku kepala kakeknya. Wajahnya pucat dan matanya terbelalak penuh kegelisahan menyaksikan keadaan kakeknya yang terluka hebat dan seluruh pakaiannya berlepotan darah itu.
Kakek Lu Kiong membuka matanya, memandang kepada Ceng Ceng lalu kepada Syanti Dewi yang juga sudah datang berlutut di dekat Ceng Ceng.
“Ceng Ceng, kau.... kau selamatkan puteri.... harus, sekarang juga.... pergilah kau ke kota raja.... jumpai disana Puteri Milana, dia sahabat mendiang ibumu lindungi puteri dengan nyawamu sebagai.... sebagai keturunan seorang bekas pengawal setia....” Kakek itu menghentikan kata-katanya karena napasnya telah terhenti.
“Kong-kong....!”
Ceng Ceng memeluk kepala kakek itu, kemudian dia mengangkat mukanya. Dia tidak menangis biarpun ada dua butir air mata di pipinya yang pucat.
“Engkau benar, kong-kong! Kita adalah pengawal-pengawal setia sampai mati. Engkau gugur sebagai orang gagah, kong-kong! Dan aku akan melanjutkan kegagahanmu.”
Dia melepaskan pelukannya dan dengan hati-hati dia merebahkan tubuh kakeknya itu diantara mayat-mayat lima orang lawan tadi.
“Marilah, enci. Kita harus cepat pergi dari sini sebelum musuh datang!”
“Tapi.... tapi jenazah kakekmu....”
“Tidak apa! Kong-kong akan tahu bahwa kita tidak sempat menguburnya. Biarlah semua orang melihat bahwa kong-kong tewas diantara musuh-musuhnya dalam tugas sebagai seorang pengawal perkasa! Marilah....!”
Ceng Ceng menahan tangisnya karena sesungguhnya hatinya perih sekali harus meninggalkan mayat kakeknya seperti itu. Namun dia tahu bahwa kalau dia terlambat, musuh akan datang dan dia akan sukar sekali menyelamatkan sang puteri.
Puteri Syanti Dewi menahan isak, mengeluarkan sehelai kalung dan sambil berlutut mengalungkan benda itu di leher kakek Lu Kiong.
“Ini adalah kalungku sendiri, biarlah sebagai tanda terima kasihku....”
Dia terisak dan lengannya disambar oleh Ceng Ceng lalu diajaknya puteri itu melarikan diri. Hampir saja Ceng Ceng tadi menangis melihat sikap puteri itu, dan dengan mengeraskan hati dia setengah menyeret kakak angkatnya karena kalau dia menurutkan hati dan ikut menangisi jenazah kakeknya, keadaan mereka bisa berbahaya sekali.
Demikianlah, dengan menyamar sebagai dua orang petani yang melarikan diri karena terjadi perang, Ceng Ceng dan Syanti Dewi melewati gurun pasir, pegunungan dan hutan-hutan lebat menuju ke timur. Tentu saja perjalanan itu sukar bukan main bagi mereka berdua, seperti dua ekor ikan kecil yang dilepas di tengah lautan. Mereka tidak mengenal jalan. Satu-satunya yang mereka ketahui hanyalah bahwa kota raja Kerajaan Ceng berada jauh sekali di timur!
Mereka membawa bekal banyak perhiasan berharga, namun apa artinya semua itu kalau mereka selama belasan hari tidak pernah bertemu dengan orang lain? Mereka terpaksa harus makan binatang buruan dan daun-daun, minum dari air sungai dan mereka selalu dalam keadaan waspada dan gelisah karena mereka maklum bahwa sebelum tiba di kota raja, mereka selalu akan terancam bahaya karena fihak musuh, yaitu orang-orang bawahan Raja Muda Tambolon tentu melakukan pengejaran.
Si muka hitam mengejar dan menghujankan bacokan, namun kakek itu dengan sigapnya bergulingan sambil mengangkat pedang beberapa kali menangkis, kemudian dengan teriakan keras dia sudah meloncat bangun dan segera terjadi pertandingan mati-matian antara kedua orang itu.
“Kakekmu terluka.... bantulah dia, adik Candra....!”
Syanti Dewi berkata sambil membacokkan pedangnya ke arah lawan yang dapat ditangkis oleh lawan itu.
“Tidak, kita bereskan dulu dua ekor anjing ini!”
Ceng Ceng berseru karena dia mengerti bahwa puteri itu bukanlah lawan kedua orang yang cukup lihai ini, maka dia cepat memutar pedangnya. Kemarahan melihat kakeknya terluka menambah semangat dara ini dan dengan putaran pedang seperti kitiran cepatnya, akhirnya dia berhasil menendang roboh seorang lawan. Tendangan dengan ujung sepatu yang tepat mengenai sambungan lutut sehingga orang itu berlutut tanpa mampu berdiri kembali.
“Singggg....!” Pedang di tangan Syanti Dewi menyambar.
“Tranggg....!”
Orang yang sudah berlutut itu berusaha menangkis, namun karena kedudukannya yang tidak baik, tangkisannya membuat goloknya terpental dan terlempar.
“Wuuuutttt.... crotttt....!”
Pedang Ceng Ceng sudah menyambar dan merobek tenggorokannya. Orang itu mengeluarkan suara seperti babi disembelih dan roboh terjengkang, darah muncrat-muncrat dari lehernya yang dicobanya ditutupinya dengan telapak tangan. Melihat ini, Syanti Dewi meloncat mundur dan membuang muka dengan penuh kengerian. Hampir dia muntah-muntah menyaksikan pemandangan yang mengerikan hatinya ini.
Ceng Ceng mengamuk dan menekan lawan yang tinggal seorang lagi itu. Orang itu kini menjadi panik karena kedua orang kawannya telah tewas. Setelah menangkis tiga kali dan selalu tangannya tergetar sehingga goloknya hampir terlepas, dia berteriak, meloncat ke belakang hendak lari.
“Robohlah....!”
Teriak Ceng Ceng. Dengan gerakan indah dia melontarkan pedangnya ke depan. Pedang itu meluncur seperti anak panah dan menancap di punggung orang itu, menembus sampai ke dada. Dengan teriakan keras orang itu roboh terguling.
“Kong-kong....!”
Ceng Ceng menjerit ketika melihat kakeknya terhuyung lalu kakek itu roboh di atas mayat si muka hitam yang baru saja dirobohkan dan ditewaskan. Ternyata kakek yang kosen ini biarpun berhasil membunuh si muka hitam yang lihai, menderita luka pula karena kena bacokan golok si muka hitam yang mengenai dadanya sehingga dada itu terobek lebar!
“Kong-kong....!”
Ceng Ceng berlutut dan memangku kepala kakeknya. Wajahnya pucat dan matanya terbelalak penuh kegelisahan menyaksikan keadaan kakeknya yang terluka hebat dan seluruh pakaiannya berlepotan darah itu.
Kakek Lu Kiong membuka matanya, memandang kepada Ceng Ceng lalu kepada Syanti Dewi yang juga sudah datang berlutut di dekat Ceng Ceng.
“Ceng Ceng, kau.... kau selamatkan puteri.... harus, sekarang juga.... pergilah kau ke kota raja.... jumpai disana Puteri Milana, dia sahabat mendiang ibumu lindungi puteri dengan nyawamu sebagai.... sebagai keturunan seorang bekas pengawal setia....” Kakek itu menghentikan kata-katanya karena napasnya telah terhenti.
“Kong-kong....!”
Ceng Ceng memeluk kepala kakek itu, kemudian dia mengangkat mukanya. Dia tidak menangis biarpun ada dua butir air mata di pipinya yang pucat.
“Engkau benar, kong-kong! Kita adalah pengawal-pengawal setia sampai mati. Engkau gugur sebagai orang gagah, kong-kong! Dan aku akan melanjutkan kegagahanmu.”
Dia melepaskan pelukannya dan dengan hati-hati dia merebahkan tubuh kakeknya itu diantara mayat-mayat lima orang lawan tadi.
“Marilah, enci. Kita harus cepat pergi dari sini sebelum musuh datang!”
“Tapi.... tapi jenazah kakekmu....”
“Tidak apa! Kong-kong akan tahu bahwa kita tidak sempat menguburnya. Biarlah semua orang melihat bahwa kong-kong tewas diantara musuh-musuhnya dalam tugas sebagai seorang pengawal perkasa! Marilah....!”
Ceng Ceng menahan tangisnya karena sesungguhnya hatinya perih sekali harus meninggalkan mayat kakeknya seperti itu. Namun dia tahu bahwa kalau dia terlambat, musuh akan datang dan dia akan sukar sekali menyelamatkan sang puteri.
Puteri Syanti Dewi menahan isak, mengeluarkan sehelai kalung dan sambil berlutut mengalungkan benda itu di leher kakek Lu Kiong.
“Ini adalah kalungku sendiri, biarlah sebagai tanda terima kasihku....”
Dia terisak dan lengannya disambar oleh Ceng Ceng lalu diajaknya puteri itu melarikan diri. Hampir saja Ceng Ceng tadi menangis melihat sikap puteri itu, dan dengan mengeraskan hati dia setengah menyeret kakak angkatnya karena kalau dia menurutkan hati dan ikut menangisi jenazah kakeknya, keadaan mereka bisa berbahaya sekali.
Demikianlah, dengan menyamar sebagai dua orang petani yang melarikan diri karena terjadi perang, Ceng Ceng dan Syanti Dewi melewati gurun pasir, pegunungan dan hutan-hutan lebat menuju ke timur. Tentu saja perjalanan itu sukar bukan main bagi mereka berdua, seperti dua ekor ikan kecil yang dilepas di tengah lautan. Mereka tidak mengenal jalan. Satu-satunya yang mereka ketahui hanyalah bahwa kota raja Kerajaan Ceng berada jauh sekali di timur!
Mereka membawa bekal banyak perhiasan berharga, namun apa artinya semua itu kalau mereka selama belasan hari tidak pernah bertemu dengan orang lain? Mereka terpaksa harus makan binatang buruan dan daun-daun, minum dari air sungai dan mereka selalu dalam keadaan waspada dan gelisah karena mereka maklum bahwa sebelum tiba di kota raja, mereka selalu akan terancam bahaya karena fihak musuh, yaitu orang-orang bawahan Raja Muda Tambolon tentu melakukan pengejaran.
**** 018f ****
Tidak ada komentar:
Posting Komentar