Sekali pandang tahulah Lin Lin bahwa ia dikurung oleh para perajurit Khitan, bahkan di antaranya ada yang ia kenal sebagai perwira-perwira yang pernah ikut rombongan ke Nan-cao menghadiri perayaan Beng-kauw. Dan di belakang belasan orang ini muncul pula rombongan yang merupakan pasukan berjumlah lima puluh orang lebih, lengkap dengan senjata tajam.
Sikap mereka rata-rata galak dan tangkas, dan memang suku bangsa Khitan terkenal sebagai orang-orang yang berjiwa gagah perkasa, sudah biasa akan kesulitan hidup yang membuat mereka kuat lahir batin.
Namun menghadapi pengurungan banyak orang itu Lin Lin tidak menjadi gentar. Di dalam hatinya timbul perasaan bahwa mereka ini adalah orang-orangnya, bukan musuh. Maka sambil berdiri tegak dan bertolak pinggang ia menghardik.
“Kalian ini mau apa? Mengapa hendak menawan aku? Tidak tahukah siapa aku? Aku adalah Puteri Yalina, puteri mahkota yang berhak akan mahkota Kerajaan Khitan!”
Sikapnya yang agung dan kata-katanya yang mantap ini meragukan para perajurit. Akan tetapi seorang komandan berkata keras, biarpun kata-katanya tidak kasar.
“Kami hanya menerima perintah dari Lo-ciangkun, bahwa apabila Nona muncul di wilayah ini, kami harus menawan Nona.”
Lin Lin tahu siapa yang dimaksudkan dengan Lo-ciangkun (panglima tua) itu. Ia tersenyum mengejek.
“Hemmm, siapa takut iblis Hek-giam-lo? Kalian ini bangsa Khitan yang terkenal gagah perkasa, yang sejak dahulu setia kepada nenek moyangku, menjadi abdi-abdi setia dari kakekku, raja besar Kulukan, mengapa sekarang bersikap pengecut, tunduk kepada perintah seorang iblis seperti Hek-giam-lo?”
“Kami bukan pengecut!” bantah komandan itu dengan muka merah. “Akan tetapi kami harus tunduk terhadap perintah Lo-ciangkun yang menjadi kepercayaan sri baginda. Kalau kami tidak melakukan perintah, tentu kami dihukum mati. Sudah banyak contohnya pembangkang yang dihukum mati secara mengerikan. Oleh karena itu selain kami takut dihukum, juga kami sayangkan kalau sampai Nona menerima hukuman dari Lo-ciangkun.”
“Hemmm, siapa takut? Kalian tahu betapa kejamnya iblis Hek-giam-lo, kejam dan menjadi tokoh penjahat di dunia yang hanya menodai nama besar Khitan! Apakah dahulu kakekku, raja besar Kulukan sekejam itu? Baru sekarang, setelah paman tiriku Kubakan menjadi raja dan dibantu Hek-giam-lo, terjadi kekejaman-kekejaman. Hek-giam-lo adalah pengkhianat. Dahulu juga seorang panglima kakekku, akan tetapi karena berdosa kepada mendiang ibuku, maka mukanya menjadi seperti iblis, dan dia membantu paman tiriku yang tidak berhak akan kedudukan raja. Lihat, kalau aku yang mewarisi mahkota yang menjadi hakku, aku tidak akan berlaku kejam. Kalian sudah menghinaku, hendak menawanku, akan tetapi aku tidak akan membunuh kalian.”
Mau tidak mau komandan itu tersenyum.
“Nona, Lo-ciangkun mengandalkan kepandaiannya yang setinggi langit. Nona hendak mengandalkan apa untuk melakukan kekejaman?”
“Eh, kau memandang rendah? Keparat! Lihat baik-baik!”
Dengan kecepatan kilat Lin Lin menggerakkan tubuhnya, melakukan jurus sakti memukul dan menendang ke depan. Terdengar teriakan-teriakan kaget dan.... enam orang Khitan berikut komandan tadi berjungkir-balik dan jatuh tumpang tindih, tanpa mereka ketahui mengapa mereka dapat jatuh bangun seperti itu!
“Nah, kau kira aku tidak dapat menyiksa kalian dan membunuh kalian secara kejam kalau kukehendaki? Akan tetapi biarpun kalian keterlaluan, aku tetap memaafkan kalian karena kalian adalah bangsaku dan orang-orangku. Bangunlah!”
Enam orang itu meringis-ringis dan bangun, akan tetapi kesetiakawanan mereka membuat pasukan itu bergerak dan merapatkan pengepungan. Melihat enam orang kawan mereka dirobohkan Lin Lin, mereka yang tidak mendengar kata-kata Lin Lin tadi kini maju mendesak dan siap untuk mengeroyok gadis itu dalam kepungan itu. Melihat ini Lin Lin membentak.
“Mundur kalian! Benar-benarkah kalian ini akan melupakan darah nenek moyangku dan membantu pengkhianat? Belum cukupkah bukti tadi bahwa aku cukup kuat akan tetapi tidak mau membunuh kalian yang kusayang sebagai rakyatku? Awas, kalau memang kalian ini hanya terdiri dari orang-orang yang hanya tunduk kalau diperlakukan kejam, jangan salahkan aku terpaksa menggunakan kekerasan!”
Akan tetapi orang-orang Khitan itu tidak mengenal takut. Mereka mendesak makin dekat dan sikap mereka mengancam. Tiba-tiba mata mereka menjadi silau oleh sinar kuning terang yang bergulung-gulung ketika Lin Lin mencabut pedangnya dan menggerak-gerakkannya dengan cepat di atas kepalanya.
“Mundur! Kalian tidak melihat ini? Pedang pusaka Besi Kuning, pedang mendiang ibuku Puteri Tayami, siapa berani melawan ini? Hayo maju, siapa maju akan kupenggal kepalanya!”
Semua orang Khitan mengenal belaka pedang ini. Mereka yang masih muda dan belum pernah menyaksikan pedang ini, setidaknya pernah mendengar dongeng bermacam-macam tentang pedang ini yang katanya dahulu adalah pemberian raja dewa kepada nenek moyang Raja Khitan. Mereka serentak mundur dan muka mereka menjadi pucat.
“Kalian tahu, hanya pedang pusaka inilah yang menjadi tanda. Siapa memegangnya dialah yang patut menjadi raja di Khitan. Dahulu pedang ini terlepas dari tangan Kubakan, terampas oleh Kaisar Sung. Raja macam apa dia itu sehingga melepaskan pusaka kerajaan? Dia tidak patut menjadi raja dan dia hanyalah anak dari selir kakek Kulukan. Ibukulah puteri mahkota, dan karena aku anaknya, maka akulah keturunan langsung dari kakek Kulukan, dan aku, Puteri Yalina, yang berhak memakai mahkota Kerajaan Khitan. Hayo, siapa berdiri di fihakku dan siapa berani menentangku?”
Sambil berkata Lin Lin mengacungkan pedangnya ke atas, berdiri tegak dan sikapnya gagah dan agung. Anehnya biarpun belum banyak ia mempelajari bahasa Khitan ketika ia ditawan Hek-giam-lo, namun kini dia dapat bicara dengan lancar dalam bahasa itu. Memang panggilan darah agaknya yang membuat ia merasa tidak asing dengan suku bangsa dan bahasa Khitan. Apalagi ia adalah keturunan dari orang-orang yang berdarah Kerajaan Khitan.
Pada saat orang-orang Khitan itu ragu-ragu dan tidak tahu harus bersikap bagaimana terhadap gadis ini, tiba-tiba di bagian kiri orang-orang itu bergerak minggir, memberi jalan kepada rombongan yang datang. Diantara mereka ada yang berkata dengan suara membayangkan kelegaan hati.
“Bagus, Pek-bin-ciangkun tiba! Hanya dialah yang dapat memberi keputusan, kita ini perajurit biasa yang tunduk perintah!”
Lin Lin cepat menengok dan ia melihat bahwa yang datang betul adalah Panglima Khitan yang terkenal itu, yang dahulu mewakili Kerajaan Khitan ketika datang pada pesta Beng-kauw.
Panglima yang berwajah putih ini datang bersama belasan orang perwira pembantunya dan mereka semua memandang ke arah Lin Lin dengan pandang mata penuh selidik dan wajah keren. Namun Lin Lin tidak menjadi gentar dan ia cepat menghadapi Pek-bin-ciangkun dengan sikap agung dan gagah. Sengaja ia tidak mengucapkan kata-kata seakan-akan sikap seorang puteri yang menerima laporan dari panglimanya!
Pek-bin-ciangkun tentu saja mengenal siapa Lin Lin dan panglima ini sudah pula mendengar tentang asal-usul gadis ini. Maka ia bersikap hormat sungguhpun ia tidak merendahkan diri. Tadi ia sudah menerima laporan lengkap, bahkan ucapan Lin Lin yang terakhir tadi didengarnya pula. Hal ini mengejutkan hatinya. Terang bahwa gadis keturunan langsung dari raja lama ini menuntut haknya dan kalau gadis ini berhasil menghasut, pasti akan terjadi perang saudara!
“Nona, kami sudah mendengar semua laporan dan mendengar pula ucapan Nona yang amat berbahaya. Ketahuilah, Nona. Kami hanya menjalankan tugas kami, taat kepada perintah raja besar kami. Lebih baik Nona menurut saja kami bawa menghadap raja dan percuma membujuk kami yang semenjak dahulu merupakan perajurit-perajurit setia sampai mati terhadap junjungan kami.”
Ucapan yang bersemangat dan gagah ini berhasil menggugah semangat para perajurit dan menghilangkan keraguan mereka.
Lin Lin melihat hal ini menjadi gemas. Dengan sinar mata tajam ia menentang wajah Pek-bin-ciangkun dan berkata lantang.
“Pek-bin-ciangkun! Melihat usiamu yang sudah lanjut, tentu kau dahulu pernah mengenal ibuku. Tahukah kau siapa mendiang ibuku?”
Sambil menunduk hormat panglima itu menjawab.
“Ibunda Nona yang mulia adalah mendiang Puteri Mahkota Tayami yang gagah perkasa.”
“Dan kau tentu tahu pula siapakah kakekku, ayah dari ibuku?”
Kembali panglima itu membungkuk lebih hormat lagi,
“Beliau adalah mendiang raja terbesar kami yang amat mulia, yaitu mendiang Kulukan yang besar!”
“Hemmm, agaknya ingatanmu masih baik. Dan kau tahu, rajamu yang sekarang itu, Raja Kubakan, dia itu terhitung apa dengan aku....?”
“Dengan Nona, beliau terhitung paman tiri, karena sri baginda adalah putera mendiang Maha Raja Kulukan dari seorang selir.”
“Hemmm, paman tiri, namun masih ada hubungan darah, masih sama-sama keturunan kakek Raja Kulukan, sungguhpun ibuku puteri permaisuri dan dia hanya putera selir. Akan retapi tahukah kalian semua apa maksud hati paman tiriku itu hendak menangkapku? Aku hendak dipaksanya menjadi isterinya! Bukankah amat gila ini? Tidakkah jelas menunjukkan betapa bejat moral Kubakan yang kini menjadi raja kalian, raja yang tak berhak?”
“Kami tidak mau mencampuri urusan pribadi orang lain, apalagi urusan pribadi raja kami yang kami junjung tinggi,” bantah Pek-bin-ciangkun sambil mengerutkan keningnya.
“Bagus!” Lin Lin berseru marah sambil melintangkan pedangnya. “Kau juga tidak memandang pedang pusaka ini?”
Pek-bin-ciangkun menghela napas panjang.
“Tentu saja, kami menaruh hormat kepada pedang pusaka yang sudah banyak berjasa terhadap bangsa kita itu. Akan tetapi, sebagai kepala pasukan pengawal raja, kami harus mentaati perintah yang diberikan atasan kami, yaitu yang terhormat Lo-ciangkun. Menyerahlah Nona, kami akan memperlakukanmu dengan hormat dan baik.”
Lin Lin mengedikkan kepalanya, matanya bersinar-sinar marah.
“Kalau kalian tunduk dan menjadi kaki tangan Hek-giam-lo si iblis jahanam, biarlah sekarang mengeroyok dan membunuhku. Aku tidak takut!”
“Ah, Nona Muda. Sesungguhnya kami bukan tidak tahu bahwa kau adalah tuan puteri, keturunan langsung dari Yang Mulia Kulukan. Kami merasa sayang dan segan untuk memusuhimu. Akan tetapi apakah daya seorang anak perempuan muda seperti kau ini? Apakah artinya melawan dengan kekerasan? Siapa tidak tahu bahwa Lo-ciangkun memiliki kesaktian yang tak terlawan? Kuharap saja kau dapat menyadari hal ini dan mari ikut kami menghadap raja. Mungkin hubungan darah kekeluargaan akan menyelamatkan dirimu.”
“Aku tidak takut terhadap Hek-giam-lo si iblis! Aku tidak takut kepada si muka buruk Bayisan itu, seorang perwira yang berani menghina mendiang ibuku. Suruh dia datang, biar kami mengadu nyawa disini!” teriaknya nekat.
“Bayisan....? Apa maksudmu, Nona?” tanya Pek-bin-ciangkun dengan suara kaget.
“Siapa lagi kalau bukan Hek-giam-lo? Dia adalah Bayisan, apakah kalian masih pura-pura tidak tahu bahwa Hek-giam-lo adalah Bayisan, dahulu perwira kakek Raja Kulukan yang berani menghina ibuku?”
“Aaahhh....!”
Jelas sekali kelihatan Pek-bin-ciangkun kaget bukan main, wajahnya yang putih itu mendadak menjadi merah dan matanya terbelalak tak percaya. Bukan panglima ini saja yang terkejut, juga semua perwira yang mengiringkannya kelihatan kaget dan para perajurit juga ribut mendengar ucapan Lin Lin itu. Suasana menjadi gaduh karena mereka kini saling bicara sendiri dan keadaan baru tenang kembali setelah Pek-bin-ciangkun membentak, menyuruh mereka diam. Kemudian panglima ini menghadapi Lin Lin dan bertanya.
“Nona, semenjak kecil Nona terpisah dari lingkungan kami, bagaimana Nona bisa mengatakan bahwa lo-ciangkun adalah.... Bayisan?” Panglima yang sudah banyak pengalaman ini tidak mau percaya begitu saja.
Sebaliknya, menyaksikan sikap mereka yang kaget dan mendengar pertanyaan Pek-bin-ciangkun yang demikian sungguh-sungguh, diam-diam Lin Lin menjadi heran tak mengerti. Mengapa mereka semua tidak tahu bahwa Hek-giam-lo adalah Bayisan seperti yang ia dengar dari iblis itu sendiri, dan mengapa pula hal itu membuat mereka kaget? Tentu ada rahasia yang hebat, yang ia tidak ketahui. Dengan hati berdebar penuh harapan Lin Lin bergantung kepada kesempatan ini, lalu ia bercerita dengan suara sungguh-sungguh.
Sikap mereka rata-rata galak dan tangkas, dan memang suku bangsa Khitan terkenal sebagai orang-orang yang berjiwa gagah perkasa, sudah biasa akan kesulitan hidup yang membuat mereka kuat lahir batin.
Namun menghadapi pengurungan banyak orang itu Lin Lin tidak menjadi gentar. Di dalam hatinya timbul perasaan bahwa mereka ini adalah orang-orangnya, bukan musuh. Maka sambil berdiri tegak dan bertolak pinggang ia menghardik.
“Kalian ini mau apa? Mengapa hendak menawan aku? Tidak tahukah siapa aku? Aku adalah Puteri Yalina, puteri mahkota yang berhak akan mahkota Kerajaan Khitan!”
Sikapnya yang agung dan kata-katanya yang mantap ini meragukan para perajurit. Akan tetapi seorang komandan berkata keras, biarpun kata-katanya tidak kasar.
“Kami hanya menerima perintah dari Lo-ciangkun, bahwa apabila Nona muncul di wilayah ini, kami harus menawan Nona.”
Lin Lin tahu siapa yang dimaksudkan dengan Lo-ciangkun (panglima tua) itu. Ia tersenyum mengejek.
“Hemmm, siapa takut iblis Hek-giam-lo? Kalian ini bangsa Khitan yang terkenal gagah perkasa, yang sejak dahulu setia kepada nenek moyangku, menjadi abdi-abdi setia dari kakekku, raja besar Kulukan, mengapa sekarang bersikap pengecut, tunduk kepada perintah seorang iblis seperti Hek-giam-lo?”
“Kami bukan pengecut!” bantah komandan itu dengan muka merah. “Akan tetapi kami harus tunduk terhadap perintah Lo-ciangkun yang menjadi kepercayaan sri baginda. Kalau kami tidak melakukan perintah, tentu kami dihukum mati. Sudah banyak contohnya pembangkang yang dihukum mati secara mengerikan. Oleh karena itu selain kami takut dihukum, juga kami sayangkan kalau sampai Nona menerima hukuman dari Lo-ciangkun.”
“Hemmm, siapa takut? Kalian tahu betapa kejamnya iblis Hek-giam-lo, kejam dan menjadi tokoh penjahat di dunia yang hanya menodai nama besar Khitan! Apakah dahulu kakekku, raja besar Kulukan sekejam itu? Baru sekarang, setelah paman tiriku Kubakan menjadi raja dan dibantu Hek-giam-lo, terjadi kekejaman-kekejaman. Hek-giam-lo adalah pengkhianat. Dahulu juga seorang panglima kakekku, akan tetapi karena berdosa kepada mendiang ibuku, maka mukanya menjadi seperti iblis, dan dia membantu paman tiriku yang tidak berhak akan kedudukan raja. Lihat, kalau aku yang mewarisi mahkota yang menjadi hakku, aku tidak akan berlaku kejam. Kalian sudah menghinaku, hendak menawanku, akan tetapi aku tidak akan membunuh kalian.”
Mau tidak mau komandan itu tersenyum.
“Nona, Lo-ciangkun mengandalkan kepandaiannya yang setinggi langit. Nona hendak mengandalkan apa untuk melakukan kekejaman?”
“Eh, kau memandang rendah? Keparat! Lihat baik-baik!”
Dengan kecepatan kilat Lin Lin menggerakkan tubuhnya, melakukan jurus sakti memukul dan menendang ke depan. Terdengar teriakan-teriakan kaget dan.... enam orang Khitan berikut komandan tadi berjungkir-balik dan jatuh tumpang tindih, tanpa mereka ketahui mengapa mereka dapat jatuh bangun seperti itu!
“Nah, kau kira aku tidak dapat menyiksa kalian dan membunuh kalian secara kejam kalau kukehendaki? Akan tetapi biarpun kalian keterlaluan, aku tetap memaafkan kalian karena kalian adalah bangsaku dan orang-orangku. Bangunlah!”
Enam orang itu meringis-ringis dan bangun, akan tetapi kesetiakawanan mereka membuat pasukan itu bergerak dan merapatkan pengepungan. Melihat enam orang kawan mereka dirobohkan Lin Lin, mereka yang tidak mendengar kata-kata Lin Lin tadi kini maju mendesak dan siap untuk mengeroyok gadis itu dalam kepungan itu. Melihat ini Lin Lin membentak.
“Mundur kalian! Benar-benarkah kalian ini akan melupakan darah nenek moyangku dan membantu pengkhianat? Belum cukupkah bukti tadi bahwa aku cukup kuat akan tetapi tidak mau membunuh kalian yang kusayang sebagai rakyatku? Awas, kalau memang kalian ini hanya terdiri dari orang-orang yang hanya tunduk kalau diperlakukan kejam, jangan salahkan aku terpaksa menggunakan kekerasan!”
Akan tetapi orang-orang Khitan itu tidak mengenal takut. Mereka mendesak makin dekat dan sikap mereka mengancam. Tiba-tiba mata mereka menjadi silau oleh sinar kuning terang yang bergulung-gulung ketika Lin Lin mencabut pedangnya dan menggerak-gerakkannya dengan cepat di atas kepalanya.
“Mundur! Kalian tidak melihat ini? Pedang pusaka Besi Kuning, pedang mendiang ibuku Puteri Tayami, siapa berani melawan ini? Hayo maju, siapa maju akan kupenggal kepalanya!”
Semua orang Khitan mengenal belaka pedang ini. Mereka yang masih muda dan belum pernah menyaksikan pedang ini, setidaknya pernah mendengar dongeng bermacam-macam tentang pedang ini yang katanya dahulu adalah pemberian raja dewa kepada nenek moyang Raja Khitan. Mereka serentak mundur dan muka mereka menjadi pucat.
“Kalian tahu, hanya pedang pusaka inilah yang menjadi tanda. Siapa memegangnya dialah yang patut menjadi raja di Khitan. Dahulu pedang ini terlepas dari tangan Kubakan, terampas oleh Kaisar Sung. Raja macam apa dia itu sehingga melepaskan pusaka kerajaan? Dia tidak patut menjadi raja dan dia hanyalah anak dari selir kakek Kulukan. Ibukulah puteri mahkota, dan karena aku anaknya, maka akulah keturunan langsung dari kakek Kulukan, dan aku, Puteri Yalina, yang berhak memakai mahkota Kerajaan Khitan. Hayo, siapa berdiri di fihakku dan siapa berani menentangku?”
Sambil berkata Lin Lin mengacungkan pedangnya ke atas, berdiri tegak dan sikapnya gagah dan agung. Anehnya biarpun belum banyak ia mempelajari bahasa Khitan ketika ia ditawan Hek-giam-lo, namun kini dia dapat bicara dengan lancar dalam bahasa itu. Memang panggilan darah agaknya yang membuat ia merasa tidak asing dengan suku bangsa dan bahasa Khitan. Apalagi ia adalah keturunan dari orang-orang yang berdarah Kerajaan Khitan.
Pada saat orang-orang Khitan itu ragu-ragu dan tidak tahu harus bersikap bagaimana terhadap gadis ini, tiba-tiba di bagian kiri orang-orang itu bergerak minggir, memberi jalan kepada rombongan yang datang. Diantara mereka ada yang berkata dengan suara membayangkan kelegaan hati.
“Bagus, Pek-bin-ciangkun tiba! Hanya dialah yang dapat memberi keputusan, kita ini perajurit biasa yang tunduk perintah!”
Lin Lin cepat menengok dan ia melihat bahwa yang datang betul adalah Panglima Khitan yang terkenal itu, yang dahulu mewakili Kerajaan Khitan ketika datang pada pesta Beng-kauw.
Panglima yang berwajah putih ini datang bersama belasan orang perwira pembantunya dan mereka semua memandang ke arah Lin Lin dengan pandang mata penuh selidik dan wajah keren. Namun Lin Lin tidak menjadi gentar dan ia cepat menghadapi Pek-bin-ciangkun dengan sikap agung dan gagah. Sengaja ia tidak mengucapkan kata-kata seakan-akan sikap seorang puteri yang menerima laporan dari panglimanya!
Pek-bin-ciangkun tentu saja mengenal siapa Lin Lin dan panglima ini sudah pula mendengar tentang asal-usul gadis ini. Maka ia bersikap hormat sungguhpun ia tidak merendahkan diri. Tadi ia sudah menerima laporan lengkap, bahkan ucapan Lin Lin yang terakhir tadi didengarnya pula. Hal ini mengejutkan hatinya. Terang bahwa gadis keturunan langsung dari raja lama ini menuntut haknya dan kalau gadis ini berhasil menghasut, pasti akan terjadi perang saudara!
“Nona, kami sudah mendengar semua laporan dan mendengar pula ucapan Nona yang amat berbahaya. Ketahuilah, Nona. Kami hanya menjalankan tugas kami, taat kepada perintah raja besar kami. Lebih baik Nona menurut saja kami bawa menghadap raja dan percuma membujuk kami yang semenjak dahulu merupakan perajurit-perajurit setia sampai mati terhadap junjungan kami.”
Ucapan yang bersemangat dan gagah ini berhasil menggugah semangat para perajurit dan menghilangkan keraguan mereka.
Lin Lin melihat hal ini menjadi gemas. Dengan sinar mata tajam ia menentang wajah Pek-bin-ciangkun dan berkata lantang.
“Pek-bin-ciangkun! Melihat usiamu yang sudah lanjut, tentu kau dahulu pernah mengenal ibuku. Tahukah kau siapa mendiang ibuku?”
Sambil menunduk hormat panglima itu menjawab.
“Ibunda Nona yang mulia adalah mendiang Puteri Mahkota Tayami yang gagah perkasa.”
“Dan kau tentu tahu pula siapakah kakekku, ayah dari ibuku?”
Kembali panglima itu membungkuk lebih hormat lagi,
“Beliau adalah mendiang raja terbesar kami yang amat mulia, yaitu mendiang Kulukan yang besar!”
“Hemmm, agaknya ingatanmu masih baik. Dan kau tahu, rajamu yang sekarang itu, Raja Kubakan, dia itu terhitung apa dengan aku....?”
“Dengan Nona, beliau terhitung paman tiri, karena sri baginda adalah putera mendiang Maha Raja Kulukan dari seorang selir.”
“Hemmm, paman tiri, namun masih ada hubungan darah, masih sama-sama keturunan kakek Raja Kulukan, sungguhpun ibuku puteri permaisuri dan dia hanya putera selir. Akan retapi tahukah kalian semua apa maksud hati paman tiriku itu hendak menangkapku? Aku hendak dipaksanya menjadi isterinya! Bukankah amat gila ini? Tidakkah jelas menunjukkan betapa bejat moral Kubakan yang kini menjadi raja kalian, raja yang tak berhak?”
“Kami tidak mau mencampuri urusan pribadi orang lain, apalagi urusan pribadi raja kami yang kami junjung tinggi,” bantah Pek-bin-ciangkun sambil mengerutkan keningnya.
“Bagus!” Lin Lin berseru marah sambil melintangkan pedangnya. “Kau juga tidak memandang pedang pusaka ini?”
Pek-bin-ciangkun menghela napas panjang.
“Tentu saja, kami menaruh hormat kepada pedang pusaka yang sudah banyak berjasa terhadap bangsa kita itu. Akan tetapi, sebagai kepala pasukan pengawal raja, kami harus mentaati perintah yang diberikan atasan kami, yaitu yang terhormat Lo-ciangkun. Menyerahlah Nona, kami akan memperlakukanmu dengan hormat dan baik.”
Lin Lin mengedikkan kepalanya, matanya bersinar-sinar marah.
“Kalau kalian tunduk dan menjadi kaki tangan Hek-giam-lo si iblis jahanam, biarlah sekarang mengeroyok dan membunuhku. Aku tidak takut!”
“Ah, Nona Muda. Sesungguhnya kami bukan tidak tahu bahwa kau adalah tuan puteri, keturunan langsung dari Yang Mulia Kulukan. Kami merasa sayang dan segan untuk memusuhimu. Akan tetapi apakah daya seorang anak perempuan muda seperti kau ini? Apakah artinya melawan dengan kekerasan? Siapa tidak tahu bahwa Lo-ciangkun memiliki kesaktian yang tak terlawan? Kuharap saja kau dapat menyadari hal ini dan mari ikut kami menghadap raja. Mungkin hubungan darah kekeluargaan akan menyelamatkan dirimu.”
“Aku tidak takut terhadap Hek-giam-lo si iblis! Aku tidak takut kepada si muka buruk Bayisan itu, seorang perwira yang berani menghina mendiang ibuku. Suruh dia datang, biar kami mengadu nyawa disini!” teriaknya nekat.
“Bayisan....? Apa maksudmu, Nona?” tanya Pek-bin-ciangkun dengan suara kaget.
“Siapa lagi kalau bukan Hek-giam-lo? Dia adalah Bayisan, apakah kalian masih pura-pura tidak tahu bahwa Hek-giam-lo adalah Bayisan, dahulu perwira kakek Raja Kulukan yang berani menghina ibuku?”
“Aaahhh....!”
Jelas sekali kelihatan Pek-bin-ciangkun kaget bukan main, wajahnya yang putih itu mendadak menjadi merah dan matanya terbelalak tak percaya. Bukan panglima ini saja yang terkejut, juga semua perwira yang mengiringkannya kelihatan kaget dan para perajurit juga ribut mendengar ucapan Lin Lin itu. Suasana menjadi gaduh karena mereka kini saling bicara sendiri dan keadaan baru tenang kembali setelah Pek-bin-ciangkun membentak, menyuruh mereka diam. Kemudian panglima ini menghadapi Lin Lin dan bertanya.
“Nona, semenjak kecil Nona terpisah dari lingkungan kami, bagaimana Nona bisa mengatakan bahwa lo-ciangkun adalah.... Bayisan?” Panglima yang sudah banyak pengalaman ini tidak mau percaya begitu saja.
Sebaliknya, menyaksikan sikap mereka yang kaget dan mendengar pertanyaan Pek-bin-ciangkun yang demikian sungguh-sungguh, diam-diam Lin Lin menjadi heran tak mengerti. Mengapa mereka semua tidak tahu bahwa Hek-giam-lo adalah Bayisan seperti yang ia dengar dari iblis itu sendiri, dan mengapa pula hal itu membuat mereka kaget? Tentu ada rahasia yang hebat, yang ia tidak ketahui. Dengan hati berdebar penuh harapan Lin Lin bergantung kepada kesempatan ini, lalu ia bercerita dengan suara sungguh-sungguh.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar