Lin Lin belum dapat mengerti.
“Membunuh siapa, Enci Eng?”
“Siapa lagi kalau bukan murid anjing ini?”
Lin Lin terkejut, terheran. Setahunya murid It-gan Kai-ong adalah Suma Boan. Memang mereka semua membenci Suma Boan, akan tetapi mengapa agaknya encinya membenci secara luar biasa?
“Kau maksudkan, Suma Boan?”
Tiba-tiba meledak lagi tangis Sian Eng.
“Betul! Anjing biadab itu! Keparat jahanam Suma Boan, kau tunggulah pembalasanku!” Ia berteriak-teriak.
Diam-diam Lin Lin girang. Dia sendiri bermaksud mencari adik perempuan Suma Boan yang ia anggap telah merampas kekasihnya. Akan tetapi di samping kegirangannya mendapat teman enci-nya pergi ke kota raja, ia pun merasa heran bukan main.
“Enci Sian Eng, memang Suma Boan itu bukan manusia baik-baik dan sudah sepatutnya kita membencinya. Akan tetapi, kau sebut-sebut tentang pembalasan. Apakah artinya itu?”
Sian Eng merangkul Lin Lin. Pada saat itu, ia telah kembali normal. Lin Lin merapikan rambut encinya, mengatur dan menyanggulkannya kembali.
“Lin-moi, dia.... dia.... ah, tadinya aku.... aku telah gila. Aku.... aku mencintanya....”
“Hemmm....?” Tapi Lin Lin menindas keheranannya, “Apa anehnya dengan itu? Wajar, Enci. Memang hati ini tidak dapat dikuasai kalau sudah menjatuhkan pilihannya.”
“Tapi dia menipuku! Dia mengkhianatiku! Ah.... Lin-moi, pilihanku keliru....!”
Sambil menangis Sian Eng lalu menceritakan semua pengalamannya, mulai dia diperalat oleh Suma Boan mencari ilmu warisan Tok-siauw-kui sampai peristiwa di dalam perahu dimana ia dinodai oleh pemuda bangsawan yang berwatak kotor itu.
Berdiri sepasang alis Lin Lin, ia mempertemukan giginya dengan penuh kegemasan sambil berkata,
“Bedebah! Dia patut dibasmi! Mari kubantu kau, Enci Sian Eng. Kita cari dia di kota raja dan kita bunuh anjing itu, setelah itu, kita langsung pergi ke istana karena aku pun harus membunuh adik perempuan Suma Boan.”
Kini Sian Eng yang memandangnya dengan mata terbelalak heran. Saking kaget dan herannya, Sian Eng lupa akan tangisnya dan dengan mata merah dan pipi masih basah air mata ia menatap wajah adiknya, bertanya,
“Suma Ceng? Mengapa kau hendak membunuh Suma Ceng? Aku pernah bertemu dengannya, dia itu biarpun adik dari Suma Boan, namun wataknya baik sekali, berbeda dengan kakaknya. Pula, dia adalah bekas kekasih kakak Kam Bu Song yang sampai sekarang masih mencintanya.”
“Justeru itulah sebabnya mengapa aku harus membunuhnya!”
“Apa? Karena ia mencinta kakak Bu Song?”
“Karena ia berani mencinta Suling Emas!”
“Eh, Lin-moi. Bagaimana itu? Apa salahnya itu? Mengapa kau marah melihat Suma Ceng mencinta....”
“Karena aku mencinta Suling Emas!” ucapan Lin Lin ini terdengar keras.
Sian Erg melongo dan sejenak tak dapat mengeluarkan kata-kata. Kemudian ia memegang lengan adiknya dan mengguncang-guncang, seakan-akan ia hendak membangunkan adiknya daripada tidur dari mimpi buruk.
“Lin-moi....! Gilakah kau? Suling Emas adalah Kam Bu Song!”
“Aku tahu!” jawabnya dingin.
Sian Eng makin bingung.
“Kau tahu dan kau bilang mencintanya? Suling Emas atau Kam Bu Song adalah kakakmu....”
“Bukan! Sekali lagi bukan kakakku! Pertalian apakah yang mengikat persaudaraan kami? Dia itu kakak tiriku, memang betul. Kalian seayah lain ibu. Akan tetapi aku? Aku adalah Yalina, Puteri Yalina, Puteri Mahkota Khitan! Dia itu, juga kau, dengan aku adalah orang lain, berlainan darah. Mengapa aku tidak boleh mencinta Suling Emas?”
Hening sejenak. Agaknya Sian Eng terpukul mendengar kenyataan yang benar-benar mengguncangkan hatinya ini. Sama sekali tak pernah disangkanya akan terjadi keruwetan cinta kasih semacam ini. Tadinya ia mengira bahwa dialah orang paling tidak beruntung di dunia ini, yang menjatuhkan hati secara keliru. Kiranya sekarang terjadi pertalian asmara yang lebih aneh pada diri Lin Lin.
“Hemmm, begitukah? Kau mencinta Suling Emas. Lalu, mengapa kau hendak membunuh Suma Ceng? Dia sudah bersuami orang lain, sudah mempunyai anak, mengapa diganggu lagi? Bagaimana sikap Suling Emas terhadap cintamu?”
Ditanya begini, tiba-tiba Lin Lin menangis! Keadaan menjadi terbalik sama sekali. Sekarang Lin Lin yang menangis dan Sian Eng memeluknya, menghiburnya. Kemudian, diantara isak tangisnya, Lin Lin yang menceritakan pengalamannya, betapa secara aneh Suling Emas menolak cintanya dengan alasan sudah tua, alasan yang sama sekali tidak dipercayanya karena ia yakin bahwa kakak angkatnya itu juga mencintanya.
“Tentu karena gara-gara Suma Ceng itulah maka ia tidak membalas cintaku, atau lebih tepat ia memaksa diri memutuskan pertalian asmara denganku. Enci Sian Eng, biarpun kita bukan saudara sedarah, namun semenjak kecil kita berkumpul. Aku akan membantumu membunuh Suma Boan, kemudian kau membantu aku membunuh Suma Ceng. Setelah itu, aku akan pergi ke Khitan untuk merampas kedudukan ratu yang menjadi hakku. Nah, bagaimana? Apakah kau mau ikut denganku? Aku akan tetap menganggapmu sebagai kakakku sendiri. Biarlah kita yang menderita karena asmara ini bersama-sama menghadapi segala hal, sehidup semati.”
Sian Eng terharu, merangkulnya dan kedua orang gadis itu bertangisan. Kemudian mereka meninggalkan tempat itu tempat yang amat menyeramkan karena disitu terdapat onggokan daging tulang dan darah It-gan Kai-ong yang sudah tidak dapat disebut mayat lagi, dan tak lama setelah kedua orang gadis itu pergi, burung-burung liar beterbangan datang untuk menyantap hidangan yang lezat bagi mereka ini!
“Membunuh siapa, Enci Eng?”
“Siapa lagi kalau bukan murid anjing ini?”
Lin Lin terkejut, terheran. Setahunya murid It-gan Kai-ong adalah Suma Boan. Memang mereka semua membenci Suma Boan, akan tetapi mengapa agaknya encinya membenci secara luar biasa?
“Kau maksudkan, Suma Boan?”
Tiba-tiba meledak lagi tangis Sian Eng.
“Betul! Anjing biadab itu! Keparat jahanam Suma Boan, kau tunggulah pembalasanku!” Ia berteriak-teriak.
Diam-diam Lin Lin girang. Dia sendiri bermaksud mencari adik perempuan Suma Boan yang ia anggap telah merampas kekasihnya. Akan tetapi di samping kegirangannya mendapat teman enci-nya pergi ke kota raja, ia pun merasa heran bukan main.
“Enci Sian Eng, memang Suma Boan itu bukan manusia baik-baik dan sudah sepatutnya kita membencinya. Akan tetapi, kau sebut-sebut tentang pembalasan. Apakah artinya itu?”
Sian Eng merangkul Lin Lin. Pada saat itu, ia telah kembali normal. Lin Lin merapikan rambut encinya, mengatur dan menyanggulkannya kembali.
“Lin-moi, dia.... dia.... ah, tadinya aku.... aku telah gila. Aku.... aku mencintanya....”
“Hemmm....?” Tapi Lin Lin menindas keheranannya, “Apa anehnya dengan itu? Wajar, Enci. Memang hati ini tidak dapat dikuasai kalau sudah menjatuhkan pilihannya.”
“Tapi dia menipuku! Dia mengkhianatiku! Ah.... Lin-moi, pilihanku keliru....!”
Sambil menangis Sian Eng lalu menceritakan semua pengalamannya, mulai dia diperalat oleh Suma Boan mencari ilmu warisan Tok-siauw-kui sampai peristiwa di dalam perahu dimana ia dinodai oleh pemuda bangsawan yang berwatak kotor itu.
Berdiri sepasang alis Lin Lin, ia mempertemukan giginya dengan penuh kegemasan sambil berkata,
“Bedebah! Dia patut dibasmi! Mari kubantu kau, Enci Sian Eng. Kita cari dia di kota raja dan kita bunuh anjing itu, setelah itu, kita langsung pergi ke istana karena aku pun harus membunuh adik perempuan Suma Boan.”
Kini Sian Eng yang memandangnya dengan mata terbelalak heran. Saking kaget dan herannya, Sian Eng lupa akan tangisnya dan dengan mata merah dan pipi masih basah air mata ia menatap wajah adiknya, bertanya,
“Suma Ceng? Mengapa kau hendak membunuh Suma Ceng? Aku pernah bertemu dengannya, dia itu biarpun adik dari Suma Boan, namun wataknya baik sekali, berbeda dengan kakaknya. Pula, dia adalah bekas kekasih kakak Kam Bu Song yang sampai sekarang masih mencintanya.”
“Justeru itulah sebabnya mengapa aku harus membunuhnya!”
“Apa? Karena ia mencinta kakak Bu Song?”
“Karena ia berani mencinta Suling Emas!”
“Eh, Lin-moi. Bagaimana itu? Apa salahnya itu? Mengapa kau marah melihat Suma Ceng mencinta....”
“Karena aku mencinta Suling Emas!” ucapan Lin Lin ini terdengar keras.
Sian Erg melongo dan sejenak tak dapat mengeluarkan kata-kata. Kemudian ia memegang lengan adiknya dan mengguncang-guncang, seakan-akan ia hendak membangunkan adiknya daripada tidur dari mimpi buruk.
“Lin-moi....! Gilakah kau? Suling Emas adalah Kam Bu Song!”
“Aku tahu!” jawabnya dingin.
Sian Eng makin bingung.
“Kau tahu dan kau bilang mencintanya? Suling Emas atau Kam Bu Song adalah kakakmu....”
“Bukan! Sekali lagi bukan kakakku! Pertalian apakah yang mengikat persaudaraan kami? Dia itu kakak tiriku, memang betul. Kalian seayah lain ibu. Akan tetapi aku? Aku adalah Yalina, Puteri Yalina, Puteri Mahkota Khitan! Dia itu, juga kau, dengan aku adalah orang lain, berlainan darah. Mengapa aku tidak boleh mencinta Suling Emas?”
Hening sejenak. Agaknya Sian Eng terpukul mendengar kenyataan yang benar-benar mengguncangkan hatinya ini. Sama sekali tak pernah disangkanya akan terjadi keruwetan cinta kasih semacam ini. Tadinya ia mengira bahwa dialah orang paling tidak beruntung di dunia ini, yang menjatuhkan hati secara keliru. Kiranya sekarang terjadi pertalian asmara yang lebih aneh pada diri Lin Lin.
“Hemmm, begitukah? Kau mencinta Suling Emas. Lalu, mengapa kau hendak membunuh Suma Ceng? Dia sudah bersuami orang lain, sudah mempunyai anak, mengapa diganggu lagi? Bagaimana sikap Suling Emas terhadap cintamu?”
Ditanya begini, tiba-tiba Lin Lin menangis! Keadaan menjadi terbalik sama sekali. Sekarang Lin Lin yang menangis dan Sian Eng memeluknya, menghiburnya. Kemudian, diantara isak tangisnya, Lin Lin yang menceritakan pengalamannya, betapa secara aneh Suling Emas menolak cintanya dengan alasan sudah tua, alasan yang sama sekali tidak dipercayanya karena ia yakin bahwa kakak angkatnya itu juga mencintanya.
“Tentu karena gara-gara Suma Ceng itulah maka ia tidak membalas cintaku, atau lebih tepat ia memaksa diri memutuskan pertalian asmara denganku. Enci Sian Eng, biarpun kita bukan saudara sedarah, namun semenjak kecil kita berkumpul. Aku akan membantumu membunuh Suma Boan, kemudian kau membantu aku membunuh Suma Ceng. Setelah itu, aku akan pergi ke Khitan untuk merampas kedudukan ratu yang menjadi hakku. Nah, bagaimana? Apakah kau mau ikut denganku? Aku akan tetap menganggapmu sebagai kakakku sendiri. Biarlah kita yang menderita karena asmara ini bersama-sama menghadapi segala hal, sehidup semati.”
Sian Eng terharu, merangkulnya dan kedua orang gadis itu bertangisan. Kemudian mereka meninggalkan tempat itu tempat yang amat menyeramkan karena disitu terdapat onggokan daging tulang dan darah It-gan Kai-ong yang sudah tidak dapat disebut mayat lagi, dan tak lama setelah kedua orang gadis itu pergi, burung-burung liar beterbangan datang untuk menyantap hidangan yang lezat bagi mereka ini!
**** 154 ****
Tidak ada komentar:
Posting Komentar