Melihat pandang mata Lin Lin penuh pertanyaan seakan-akan heran mendengar kata-katanya tadi, Gan-lopek segera tertawa dan berkata,
“Ha-ha-ha, anak baik, tenangkan hatimu dan bergembiralah. Bok Liong belum mati. Kalau tubuhnya terbanting ke dasar ini, biarpun akan hancur berantakan, sedikitnya kita tentu akan menemukan daging atau tulangnya, atau tentu ada tanda-tanda darahnya. Akan tetapi tidak terdapat tanda-tanda itu, hal ini hanya bisa berarti bahwa Bok Liong telah selamat, entah bagaimana cara Tuhan menyelamatkan seorang yang membela kebenaran, akan tetapi percayalah, aku yakin bahwa Bok Liong pasti masih hidup dan selamat di saat itu.”
Bukan main girangnya hati Lin Lin. Kegirangan luar biasa yang tidak dibuat-buat. Seketika ia melompat bangun dan merangkul kakek itu dan.... menangis lagi.
“Eh-eh, bagaimana ini? Kenapa kau begini cengeng, hah?”
Akan tetapi diam-diam Gan-lopek mengangguk-angguk dan hatinya sudah setuju seratus prosen kalau muridnya berjodoh dengan gadis ini. Ia tahu betul betapa besar cinta kasih Bok Liong terhadap Lin Lin. Hal ini diucapkan sendiri oleh Bok Liong dalam keadaan tidak sadar ketika ia merawat muridnya itu setelah menyelamatkannya dari tangan Hek-giam-lo. Dan sekarang, melihat sikap Lin Lin, agaknya muridnya tidak bertepuk tangan sebelah, cinta kasih muridnya terhadap Lin Lin bukan tiada terbalas.
Tiba-tiba Lin Lin mengundurkan diri dan tertawa. Gan-lopek membelalakkan matanya, tapi kemudian ia pun tertawa, girang bukan main karena ternyata calon “mantu murid” ini memiliki watak yang aneh. Keduanya tertawa-tawa di dasar jurang, seperti dua orang yang sama-sama menonton dagelan (badut) di panggung. Akan tetapi kalau ada orang lain melihat mereka, tentu mengira mereka berdua itu sudah menjadi gila atau mungkin juga mereka disangka iblis-iblis penjaga jurang!
“Eh, nanti dulu. Kenapa kau tertawa?”
Akhirnya Gan-lopek berhenti dan bertanya karena merasa betapa suara ketawanya kalah merdu oleh nona itu. Ia seakan-akan merasa seorang penyanyi yang merasa kalah indah suaranya.
Lin Lin akhirnya dapat menghentikan ketawanya pula. Sambil tersenyum dan mengusap air matanya dengan ujung lengan baju, gadis ini berkata.
“Banyak sekali hal yang patut membikin aku tertawa, Kek.” Tanpa ragu-ragu ia menyebut kakek kepada Gan-lopek.
“Apa itu? Kukira kau tertawa saking bahagia mendengar Bok Liong belum mati.”
“Itulah yang pertama kali memang. Aku girang sekali bahwa Liong-twako belum mati. Benar sekali dugaanmu, Kek, agaknya memang Liong-twako tertolong secara ajaib dan belum tewas. Hal ini amat menggirangkan hatiku, karena muridmu itu seorang yang amat baik terhadap aku, sehingga kalau ia mati aku akan merasa sedih sekali.”
“Hemmm, lalu hal apalagi yang membikin kau tertawa selain hal yang kau sebutkan tadi?”
Kembali Lin Lin tertawa dan tak segera menjawab. Ia ketawa geli terpingkal-pingkal sambil menudingkan telunjuknya ke arah Gan-lopek. Kakek ini tercengang keheranan, memandang ke sana ke mari, berputaran berkeliling untuk mencari apa yang menyebabkan Lin Lin tertawa. Agaknya perbuatannya ini makin menggelikan hati Lin Lin yang makin terpingkal-pingkal. Akhirnya kakek itu juga tertawa menandingi Lin Lin.
Gadis ini terkejut dan tentu ia akan segera berhenti tertawa saking kagetnya karena suara ketawa kakek itu kali ini bukanlah suara ketawa wajar, melainkan suara ketawa yang mengandung khi-kang dan yang membuat ia hampir terjengkang karena suara itu mendebarkan jantungnya dan membuatnya seperti lumpuh.
Akan tetapi, gadis nakal ini tidak menghentikan suara ketawanya, bahkan kini pun ia mengerahkan khi-kang dan sin-kangnya, disalurkan ke dalam suara ketawanya untuk menandingi Gan-lopek.
Maka terjadilah hal aneh dan terdengarlah hal aneh pula. Suara ketawa mereka, yang satu merdu tinggi yang lain rendah parau, terbahak-bahak dan bergema dari dasar jurang membubung naik sampai keluar jurang, suara yang tentu akan dianggap orang yang tak melihat mereka sebagai suara ketawa raja iblis dan kuntilanak sendiri!
Lebih aneh lagi melihat keadaan tubuh mereka. Tidak seperti orang bergirang tertawa karena keduanya berdiri tegak, lutut sedikit ditekuk seperti orang memasang kuda-kuda, wajah sama sekali tidak seperti orang kegirangan, melainkan sungguh-sungguh dan seperti orang mengerahkan tenaga ketika sedang buang air dan sukar keluar!
“Stop....! Stop....!” Akhirnya Gan-lopek berseru sambil meloncat ke atas.
Lin Lin hampir terjengkang dan hal ini adalah karena Empek Gan telah mengerahkan seluruh tenaganya untuk “mendorong” gadis itu dalam “pergulatan” tenaga suara yang kalau dilanjutkan akan berbahaya itu.
Setelah berhasil mendorong, ia melompat dan terbebaslah mereka daripada pertandingan khi-kang yang hebat itu. Kini Gan-lopek memandang dengan bengong, hanya bibirnya yang bergerak-gerak tanpa mengeluarkan suara sehingga kumis dan jenggotnya saja yang bergerak-gerak.
Lin Lin juga mengerahkan hawa murni untuk mengembalikan tenaga, kemudian ia memandang dan berkata,
“Kau hebat, Kek!”
Si tua menarik napas panjang, mengelus-elus jenggot dan mengangguk-angguk.
“Siapa bilang aku hebat? Tidak, anak baik, aku tua bangka dan tiada gunanya lagi. Akan tetapi engkau.... ah, hampir aku tidak percaya bahwa kau memiliki khikang yang begitu hebat. Hampir aku tidak kuat menahannya. Kau anak nakal, apa kau tadi bermaksud membunuh aku si tua bangka, yang biarpun jelek-jelek masih guru Bok Liong?”
Lin Lin kaget.
“Ah, mana mungkin aku mencelakakanmu, Kek? Andaikata ada maksud yang buruk itu, tak mungkin aku mampu. Menghadapi seorang sakti seperti kau ini, Kek, aku tiada ubahnya seekor semut melawan gajah!”
“Huh-huh, kadang-kadang si semut berhasil memasuki telinga gajah dan si gajah tua bangka mampus sendiri! Anak baik, aku pernah melihatmu, pernah mendengar dari Bok Liong, akan tetapi kepandaianmu tidak seperti yang kau perlihatkan tadi. Anak nakal, kau memiliki ilmu begini hebat, mengapa berpura-pura bodoh?”
Kini Lin Lin benar-benar merasa heran. Akan tetapi segera ia menjadi girang sekali karena ia dapat menduga bahwa ilmu yang ia dapatkan di dalam tongkat Pusaka Beng-kauw itulah agaknya yang tadi mendatangkan khi-kang luar biasa yang membuat Empek Gan kaget setengah mati dan keheranan. Akan tetapi, teringat akan nasihat Suling Emas, Lin Lin tidak mau membuka rahasia ini dan ia hanya berkata.
“Kakek Gan, kau orang tua harap jangan mengejek orang muda. Kepandaian apa yang kupunyai? Dari pada mengejek dan membikin panas perut orang muda, lebih baik kau orang tua memberi petunjuk-petunjuk sehingga ilmuku yang mentah akan menjadi matang dan berguna!”
Empek Gan tertawa.
“Wah, boleh.... boleh.... memang aku tahu bahwa kalau ilmumu sudah matang, aku si tua mana mampu menandingimu? Tapi, kau tadi bicara tentang perut panas, tidak demikian dengan perutku. Perutku perih sekali!”
Tiba-tiba terdengar “ayam berkokok” dari dalam perut kakek itu sehingga Lin Lin tertawa geli.
“Tunggulah, Kek. Betapapun juga, aku adalah seorang wanita dan aku tahu bagaimana caranya menyembuhkan perut perih.”
Setelah berkata demikian, gadis ini berlari memasuki hutan dan tak lama kemudian ia sudah kembali membawa seekor kelinci yang gemuk sekali. Di dalam hatinya, Lin Lin girang dan gembira karena ia mendapat jalan untuk menyempurnakan ilmu yang baru ia dapat, yaitu dengan minta petunjuk-petunjuk Empek Gan pada bagian yang sulit. Maklum bahwa kakek ini seorang sakti, maka ia segera menggunakan kecerdikannya untuk “mengambil hati” melalui perut lapar Kakek Gan.
“Ha-ha-ha, anak baik, tenangkan hatimu dan bergembiralah. Bok Liong belum mati. Kalau tubuhnya terbanting ke dasar ini, biarpun akan hancur berantakan, sedikitnya kita tentu akan menemukan daging atau tulangnya, atau tentu ada tanda-tanda darahnya. Akan tetapi tidak terdapat tanda-tanda itu, hal ini hanya bisa berarti bahwa Bok Liong telah selamat, entah bagaimana cara Tuhan menyelamatkan seorang yang membela kebenaran, akan tetapi percayalah, aku yakin bahwa Bok Liong pasti masih hidup dan selamat di saat itu.”
Bukan main girangnya hati Lin Lin. Kegirangan luar biasa yang tidak dibuat-buat. Seketika ia melompat bangun dan merangkul kakek itu dan.... menangis lagi.
“Eh-eh, bagaimana ini? Kenapa kau begini cengeng, hah?”
Akan tetapi diam-diam Gan-lopek mengangguk-angguk dan hatinya sudah setuju seratus prosen kalau muridnya berjodoh dengan gadis ini. Ia tahu betul betapa besar cinta kasih Bok Liong terhadap Lin Lin. Hal ini diucapkan sendiri oleh Bok Liong dalam keadaan tidak sadar ketika ia merawat muridnya itu setelah menyelamatkannya dari tangan Hek-giam-lo. Dan sekarang, melihat sikap Lin Lin, agaknya muridnya tidak bertepuk tangan sebelah, cinta kasih muridnya terhadap Lin Lin bukan tiada terbalas.
Tiba-tiba Lin Lin mengundurkan diri dan tertawa. Gan-lopek membelalakkan matanya, tapi kemudian ia pun tertawa, girang bukan main karena ternyata calon “mantu murid” ini memiliki watak yang aneh. Keduanya tertawa-tawa di dasar jurang, seperti dua orang yang sama-sama menonton dagelan (badut) di panggung. Akan tetapi kalau ada orang lain melihat mereka, tentu mengira mereka berdua itu sudah menjadi gila atau mungkin juga mereka disangka iblis-iblis penjaga jurang!
“Eh, nanti dulu. Kenapa kau tertawa?”
Akhirnya Gan-lopek berhenti dan bertanya karena merasa betapa suara ketawanya kalah merdu oleh nona itu. Ia seakan-akan merasa seorang penyanyi yang merasa kalah indah suaranya.
Lin Lin akhirnya dapat menghentikan ketawanya pula. Sambil tersenyum dan mengusap air matanya dengan ujung lengan baju, gadis ini berkata.
“Banyak sekali hal yang patut membikin aku tertawa, Kek.” Tanpa ragu-ragu ia menyebut kakek kepada Gan-lopek.
“Apa itu? Kukira kau tertawa saking bahagia mendengar Bok Liong belum mati.”
“Itulah yang pertama kali memang. Aku girang sekali bahwa Liong-twako belum mati. Benar sekali dugaanmu, Kek, agaknya memang Liong-twako tertolong secara ajaib dan belum tewas. Hal ini amat menggirangkan hatiku, karena muridmu itu seorang yang amat baik terhadap aku, sehingga kalau ia mati aku akan merasa sedih sekali.”
“Hemmm, lalu hal apalagi yang membikin kau tertawa selain hal yang kau sebutkan tadi?”
Kembali Lin Lin tertawa dan tak segera menjawab. Ia ketawa geli terpingkal-pingkal sambil menudingkan telunjuknya ke arah Gan-lopek. Kakek ini tercengang keheranan, memandang ke sana ke mari, berputaran berkeliling untuk mencari apa yang menyebabkan Lin Lin tertawa. Agaknya perbuatannya ini makin menggelikan hati Lin Lin yang makin terpingkal-pingkal. Akhirnya kakek itu juga tertawa menandingi Lin Lin.
Gadis ini terkejut dan tentu ia akan segera berhenti tertawa saking kagetnya karena suara ketawa kakek itu kali ini bukanlah suara ketawa wajar, melainkan suara ketawa yang mengandung khi-kang dan yang membuat ia hampir terjengkang karena suara itu mendebarkan jantungnya dan membuatnya seperti lumpuh.
Akan tetapi, gadis nakal ini tidak menghentikan suara ketawanya, bahkan kini pun ia mengerahkan khi-kang dan sin-kangnya, disalurkan ke dalam suara ketawanya untuk menandingi Gan-lopek.
Maka terjadilah hal aneh dan terdengarlah hal aneh pula. Suara ketawa mereka, yang satu merdu tinggi yang lain rendah parau, terbahak-bahak dan bergema dari dasar jurang membubung naik sampai keluar jurang, suara yang tentu akan dianggap orang yang tak melihat mereka sebagai suara ketawa raja iblis dan kuntilanak sendiri!
Lebih aneh lagi melihat keadaan tubuh mereka. Tidak seperti orang bergirang tertawa karena keduanya berdiri tegak, lutut sedikit ditekuk seperti orang memasang kuda-kuda, wajah sama sekali tidak seperti orang kegirangan, melainkan sungguh-sungguh dan seperti orang mengerahkan tenaga ketika sedang buang air dan sukar keluar!
“Stop....! Stop....!” Akhirnya Gan-lopek berseru sambil meloncat ke atas.
Lin Lin hampir terjengkang dan hal ini adalah karena Empek Gan telah mengerahkan seluruh tenaganya untuk “mendorong” gadis itu dalam “pergulatan” tenaga suara yang kalau dilanjutkan akan berbahaya itu.
Setelah berhasil mendorong, ia melompat dan terbebaslah mereka daripada pertandingan khi-kang yang hebat itu. Kini Gan-lopek memandang dengan bengong, hanya bibirnya yang bergerak-gerak tanpa mengeluarkan suara sehingga kumis dan jenggotnya saja yang bergerak-gerak.
Lin Lin juga mengerahkan hawa murni untuk mengembalikan tenaga, kemudian ia memandang dan berkata,
“Kau hebat, Kek!”
Si tua menarik napas panjang, mengelus-elus jenggot dan mengangguk-angguk.
“Siapa bilang aku hebat? Tidak, anak baik, aku tua bangka dan tiada gunanya lagi. Akan tetapi engkau.... ah, hampir aku tidak percaya bahwa kau memiliki khikang yang begitu hebat. Hampir aku tidak kuat menahannya. Kau anak nakal, apa kau tadi bermaksud membunuh aku si tua bangka, yang biarpun jelek-jelek masih guru Bok Liong?”
Lin Lin kaget.
“Ah, mana mungkin aku mencelakakanmu, Kek? Andaikata ada maksud yang buruk itu, tak mungkin aku mampu. Menghadapi seorang sakti seperti kau ini, Kek, aku tiada ubahnya seekor semut melawan gajah!”
“Huh-huh, kadang-kadang si semut berhasil memasuki telinga gajah dan si gajah tua bangka mampus sendiri! Anak baik, aku pernah melihatmu, pernah mendengar dari Bok Liong, akan tetapi kepandaianmu tidak seperti yang kau perlihatkan tadi. Anak nakal, kau memiliki ilmu begini hebat, mengapa berpura-pura bodoh?”
Kini Lin Lin benar-benar merasa heran. Akan tetapi segera ia menjadi girang sekali karena ia dapat menduga bahwa ilmu yang ia dapatkan di dalam tongkat Pusaka Beng-kauw itulah agaknya yang tadi mendatangkan khi-kang luar biasa yang membuat Empek Gan kaget setengah mati dan keheranan. Akan tetapi, teringat akan nasihat Suling Emas, Lin Lin tidak mau membuka rahasia ini dan ia hanya berkata.
“Kakek Gan, kau orang tua harap jangan mengejek orang muda. Kepandaian apa yang kupunyai? Dari pada mengejek dan membikin panas perut orang muda, lebih baik kau orang tua memberi petunjuk-petunjuk sehingga ilmuku yang mentah akan menjadi matang dan berguna!”
Empek Gan tertawa.
“Wah, boleh.... boleh.... memang aku tahu bahwa kalau ilmumu sudah matang, aku si tua mana mampu menandingimu? Tapi, kau tadi bicara tentang perut panas, tidak demikian dengan perutku. Perutku perih sekali!”
Tiba-tiba terdengar “ayam berkokok” dari dalam perut kakek itu sehingga Lin Lin tertawa geli.
“Tunggulah, Kek. Betapapun juga, aku adalah seorang wanita dan aku tahu bagaimana caranya menyembuhkan perut perih.”
Setelah berkata demikian, gadis ini berlari memasuki hutan dan tak lama kemudian ia sudah kembali membawa seekor kelinci yang gemuk sekali. Di dalam hatinya, Lin Lin girang dan gembira karena ia mendapat jalan untuk menyempurnakan ilmu yang baru ia dapat, yaitu dengan minta petunjuk-petunjuk Empek Gan pada bagian yang sulit. Maklum bahwa kakek ini seorang sakti, maka ia segera menggunakan kecerdikannya untuk “mengambil hati” melalui perut lapar Kakek Gan.
**** 131 ****
Tidak ada komentar:
Posting Komentar