“Bagus, kami pun memang tidak ingin membawa-bawa fihak yang tidak bersalah. Pek-bin-ciangkun, sebagai wakil dari Khitan kau telah melihat sendiri bahwa sekali-kali bukan kami fihak Beng-kauw maupun Kerajaan Nan-cao tidak menghormat tamu apalagi wakil kerajaan lain, melainkan karena orang telah berbuat keterlaluan terpaksa kami bertindak. Silakan Ciangkun kembali ke tempat duduk.”
Setelah wakil Khitan itu mengundurkan diri, Kauw Bian Cinjin menggerakkan pecutnya, menghadapi Pak-sin-tung.
“Pak-sin-tung, karena jelas bahwa kau dan orang-orangmu membantu Hek-giam-lo maka kalian bersama Hek-giam-lo yang berani menghina ketua Beng-kauw harus dihukum. Menyerahlah, dan kami akan mempertimbangkan dengan adil tentang hukuman. Melawan, kami akan menggunakan kekerasaan.”
“Ha-ha-ha, Kauw Bian Cinjin, omongan dan sikapmu benar-benar lucu sekali!” Pak-sin-tung tertawa bergelak. “Siapa tidak tahu bahwa orang-orang seperti kita yang menjunjung kegagahan, berbuat apa yang kita suka dan sekali berbuat berani menanggung segala akibatnya? Suheng telah meminjam tongkat Beng-kauwcu atas perintah Puteri junjungan kami, aku telah mencegah kalian mengejarnya untuk membantu agar perintah itu terlaksana. Nah, segala kejadian memang disengaja, untuk menyerah tentu saja pantang bagi Pak-sin-tung. Terserah kau mau apa!”
Kauw Bian Cinjin agaknya ragu-ragu karena mengingat bahwa mereka sedang melakukan sembahyang, ragu-ragu untuk bertindak pada hari yang dianggap keramat itu. Akan tetapi ketika menoleh ke arah ketua Beng-kauw, Beng-kauwcu Liu Mo berkata perlahan.
“Sute, kehormatan Beng-kauw dilanggar orang, di depan peti mati mendiang twa-suheng yang mulia, kalau tidak diperlihatkan keangkeran kita, Beng-kauw akan diperhina orang. Hukum mati dia!”
Cambuk atau pecut panjang di tangan Kau Bian Cinjin berbunyi “tar-tar-tar” tiga kali dan kakek ini sudah melangkah maju sambil membentak,
“Pak-sin-tung, terimalah hukuman Beng-kauw!”
Pak-sin-tung tertawa bergelak dan melihat gulungan sinar hitam kecil panjang yang mengeluarkan suara berciutan menyambar ke arahnya, cepat ia mengangkat tongkat kirinya menangkis. Terdengar bunyi nyaring sekali ketika dua senjata ini beradu, disusul mengebulnya asap putih. Agaknya saking kerasnya pertemuan pecut dan tongkat, sampai mengakibatkan panas yang hampir membakar tongkat!
Pak-sin-tung terhuyung-huyung ke belakang, namun segera dapat membalas dengan serangan tongkat kanan lalu disusul lagi dengan tongkat kiri. Hebat dan aneh memang serangan Pak-sin-tung. Tongkat-tongkat itu adalah pengganti kakinya, akan tetapi ia dapat mempergunakannya susul-menyusul sehingga seakan-akan tubuhnya tergantung di udara tanpa kaki!
Tidak saja serangan-serangannya cepat dan aneh gerakannya, akan tetapi juga kedua batang tongkat itu menyambar dengan hawa pukulan dahsyat sehingga terasa oleh para penonton deretan terdepan betapa angin pukulan menyambar-nyambar menggerakkan rambut dan baju mereka. Dari sini saja sudah dapat dibuktikan bahwa julukan Pak-sin-tung (Tongkat Sakti dari Utara) tidaklah kosong belaka.
Akan tetapi ternyata wakil Beng-kauw itu pun amat hebat kepandaiannya, malah agaknya menang setingkat dibandingkan dengan Pak-sin-tung. Kauw Bian Cinjin adalah adik seperguruan mendiang Pat-jiu Sin-ong dan ketua Beng-kauw yang sekarang, ilmu silatnya tinggi sekali, maka kakak seperguruannya mempercayakan semua urusan penting kepadanya, pecut di tangan kakek ini tampaknya memang hanya sebuah pecut biasa yang sering kali dipergunakan oleh penggembala-penggembala kerbau menggiring ternak ke kandang. Memang di waktu menganggur, Kauw Bian Cinjin suka menggembala kerbau-kerbaunya yang berjumlah banyak.
Akan tetapi ia bukanlah penggembala biasa, dan tentu saja, pecutnya juga bukan pecut biasa, melainkan sebuah cambuk yang terbuat dari rambut monyet besar dan hanya terdapat di Pegunungan Himalaya. Cambuknya ini tidak dapat terbabat putus oleh senjata tajam manapun juga, dan mengandung hawa panas seperti api ketika digerakkan untuk menyerang, sebaliknya di waktu dipergunakan untuk menangkis, mengandung hawa lemas dingin sehingga mudah menyedot habis tenaga serangan lawan.
Betapapun pandainya, menghadapi Pak-sin-tung, Kauw Bian Cinjin bertemu dengan lawan tangguh yang tidak mudah ia kalahkan begitu saja. Tongkat dan cambuk saling sambar berganti-ganti merupakan tangan-tangan maut yang pasti akan merenggut nyawa apabila lengah sedikit saja. Puluhan jurus telah lewat dan sedikit demi sedikit Kauw Bian Cinjin mendesak lawannya. Gulungan sinar hitam dari pecutnya makin melebar, membentuk lingkaran-lingkaran yang mengurung lawan sehingga sinar tongkat dari Pak-sin-tung makin menyempit dan kehilangan ruang gerak.
“Ciuuuuuttt!”
Tiba-tiba cambuk itu berubah menjadi sebuah lingkaran besar, memutar-mutar mengitari dua pasang tongkat. Baiknya Pak-sin-tung segera cepat dapat merenggut lepas tongkat kirinya karena kalau sampai kedua tongkat yang menggantikan kedua kaki itu terlibat pecut, tentu ia akan roboh karena tidak berkaki lagi! Akan tetapi tongkat kanannya telah terlibat pecut sedemikian eratnya sehingga tidak akan mungkin terlepas lagi.
Pak-sin-tung mengeluarkan bentakan keras sekali sambil menggerakkan tongkat kanannya. Ia telah mengerahkan seluruh tenaga yang ada padanya untuk merenggut lepas tongkatnya dan.... bukan tongkatnya yang terlepas melainkan tubuh Kam Bian Cinjin yang terlempar ke atas berikut pecut dan tongkat itu!
Tongkatnya tidak terlepas dari libatan pecut, melainkan terlepas dari pegangannya. Kiranya ketika ia mengerahkan tenaga yang amat kuat untuk merenggut tongkat ke atas, Kauw Bin Cinjin mempergunakan kepandaiannya melompat ke atas dan tenaga renggutan lawannya ia tambahi dengan tenaganya sendiri untuk merampas tongkat. Kemudian, selagi Pak-sin-tung kaget dan terkesiap, dari atas udara Kauw Bian Cinjin menggerakkan tangan kanannya. Tongkat yang tadinya terlibat pecut, kini meluncur bagaikan anak panah terlepas dari busurnya, tak dapat dicegah oleh apa pun juga!
Pak-sin-tung yang hanya berdiri di atas sebatang tongkat, tidak mampu menangkis atau mengelak lagi, tidak keburu, maka terdengar suara mengerikan ketika tongkatnya sendiri menerobos dadanya sehingga tembus. Tubuhnya terjengkang ke belakang, akan tetapi tidak terus rebah melainkan tertahan oleh tongkat yang menembus dadanya, sehingga tubuh itu seakan-akan bersandar, ia mati seketika, tubuhnya bagian depan tiada tanda darah sama sekali, akan tetapi dari punggungnya mengucur darah di sepanjang tongkat yang menahan tubuhnya.
Enam orang Khitan yang melihat keadaan pemimpin mereka seperti itu, segera maju menyerbu Kauw Bian Cinjin. Kakek ini dengan tenangnya menggerakkan cambuknya, terdengar bunyi “tar-tar-tar....” enam kali dan.... enam orang Khitan itu roboh tak berkutik lagi karena nyawa mereka pun sudah menyusul Pak-sin-tung.
Hening di sekeliling tempat itu, akan tetapi hanya untuk sesaat setelah enam orang itu roboh. Semua mata memandang ke arah tujuh sosok mayat yang malang-melintang di atas tanah. Kauw Bian Cinjin menghela napas panjang sambil mengikatkan cambuknya di pinggang, membuka capingnya dan mengebuti dada dan muka dengan caping. Rambutnya sudah dua warna, panjang dan digelung ke atas seperti seorang tosu. Kalau tadi ia tampak angker berwibawa dengan caping, sekarang ia tampak alim seperti seorang pertapa.
Belasan orang telah melangkah maju. Kauw Bian Cinjin memandang dan ternyata mereka ini adalah Pek-bin-ciangkun perwira tinggi wakil Khitan dan para pengawalnya. Semua tamu makin tegang, mengira bahwa wakil-wakil Khitan tentu akan menuntut balas, pertempuran akan makin menghebat. Akan tetapi mereka keliru. Pek-bin-ciangkun menjura ke arah Kaw Bian Cinjin dan berkata, suaranya lantang, tegas, tapi sama sekali tidak membayangkan kemarahan.
“Cinjin, Pak-sin-tung dan enam orang pembantunya telah melakukan kesalahan terhadap Beng-kauw dan telah terhukum mati, akan tetapi menurut penilaian kami, mereka mati sebagai laki-laki sejati dan karena mereka adalah orang-orang Khitan, kami akan membawa pergi dan mengurus jenazah mereka. Ini bukan permintaan melainkan pemberitahuan karena apa pun yang terjadi, kami akan melakukannya juga, kalau perlu dengan taruhan nyawa. Sekarang ijinkan kami pergi dan terima kasih atas penyambutan Kerajaan Nan-cao dan juga Beng-kauw selama kami menjadi tamu di sini.” Ia menjura dengan hormat.
Kauw Bian Cinjin balas menjura dan berkata, nadanya menyesal.
“Mereka memang orang-orang gagah, dan Ciangkun memang berhak mengurus mayat mereka. Maaf akan semua peristiwa yang sesungguhnya tidak kami kehendaki ini. Sebagai wakil Beng-kauw saya haturkan terima kasih dan selamat jalan.”
Pek-bin-ciangkun memberi hormat ke arah ketua Beng-kauw dan juga ke arah Kaisar Nan-cao yang semenjak tadi duduk dan menonton penuh perhatian. Kemudian perwira Khitan ini memimpin anak buahnya membawa pergi tujuh mayat itu pergi meninggalkan Nan-cao.
Seperginya rombongan ini, para tamu menjadi berisik, apalagi ketika mereka melihat munculnya pengemis mata satu It-gan Kai-ong secara tiba-tiba. Kakek pengemis ini tahu-tahu sudah berada di depan Kauw Bian Cinjin dan mengeluarkan suara mengejek.
“Aha, Beng-kauw telah memperlakukan para tamunya dengan baik sekali, sekalian memperlihatkan kehebatan Beng-kauw. Agaknya Pat-jiu Sin-ong sejak dahulu haus darah sehingga untuk menyembahyangi rohnya pun harus mempergunakan darah tujuh orang manusia. Heh-heh-heh!”
Sirap semua suara berisik tadi dan keadaan kembali menjadi tegang. Apalagi ketika di belakang It-gan Kai-ong itu tampak dua orang tokoh mengerikan, dua orang di antara Thian-te Liok-koai, yaitu Toat-beng Koai-jin si iblis berpunuk dan Tok-sim Lo-tong yang membawa-bawa ular. Iblis kakak beradik ini hanya berdiri sambil memandang liar dan kadang-kadang saling pandang dan tertawa-tawa. Benar-benar mereka ini merupakan manusia-manusia yang tidak normal dan amat menyeramkan.
Melihat munculnya It-gan Kai-ong sudah mendatangkan rasa marah di dalam hati Kauw Bian Cinjin, apalagi mendengar ucapannya yang mengejek dan menghina tadi. Dengan muka merah dan suara lantang wakil ketua Beng-kauw itu berkata, sambil memandang sekeliling.
“It-gan Kai-ong, kami tahu bahwa kau datang kesini dengan niat busuk yang sedianya akan kami rahasiakan. Akan tetapi karena kau telah membuka mulut, biarlah aku menjawabmu. Orang-orang dari Khitan, biarpun mereka melakukan kesalahan terhadap Beng-kauw, namun harus kami akui bahwa mereka adalah manusia-manusia jantan yang patut dihormati, kecuali Hek-giam-lo si curang. Akan tetapi, kami sama sekali tidak dapat menghormat dan menghargai orang macam It-gan Kai-ong dan sekutunya yang datang dihormat sebagai tamu akan tetapi sebaliknya melakukan usaha-usaha khianat untuk merusak nama baik Nan-cao dan Beng-kauw. It-gan Kai-ong, apakah kau hendak menyangkal kata-kataku?” Kauw Bian Cinjin memandang tajam, berdiri tegak dan gagah.
It-gan Kai-ong menyeringai. Matanya yang hanya sebuah itu melayang ke arah Kaisar Nan-cao dan ketua Beng-kauw yang tetap duduk diam tak bergerak. Kemudian ia menotok-notokkan tongkatnya ke atas tanah dan meludah ke kiri.
“Cuhhh, anak kecil bicara besar! Tuduhanmu membabi buta itu apa buktinya?”
Kauw Bian Cinjin memutar tubuh ke arah ketua Beng-kauw dan Kaisar Nan-cao yang duduk bersanding.
“Kauwcu, bolehkan siauwte sekalian membuka semua rahasia agar didengar oleh para tamu yang terhormat?”
Beng-kauwcu Liu Mo bicara perlahan dengan kaisar, agaknya mereka berunding, kemudian keduanya mengangguk.
Kauw Bian Cinjin kembali menghadapi It-gan Kai-ong, lalu berkata lantang.
“Harap para tamu mendengarnya! Diantara Cu-wi (Tuan-tuan sekalian) yang hadir sebagai tamu terhormat dan datang dengan hati bersih, terdapat orang-orang yang datang dengan membawa niat busuk, di antaranya It-gan Kai-ong. Ada usaha mengadu domba kita dengan Kerajaan Sung, dengan cara mencuri sebagian barang sumbangan Kerajaan Sung dan mengganti batu-batu pemata dengan batu-batu biasa. Ini adalah hasil kerja orang-orang Hou-han yang dalam hal ini masih dapat kami maafkan dan kami telah menghukum orang-orang kami sendiri yang bersekutu dengan orang-orang Hou-han, mengingat bahwa maksud dari Hou-han hanya hendak menarik kami menjadi sekutunya dalam memusuhi Kerajaan Sung! Akan tetapi ada usaha yang lebih busuk lagi dalam hal memusuhi Kerajaan Sung, yaitu ada usaha untuk meracuni semua wakil dari Kerajaan Sung!”
Semua tamu menjadi berisik. Kagetlah mereka bahwa diam-diam telah terjadi hal yang demikian hebat, padahal suasananya tetap gembira dan tenang saja. Hal ini membuktikan bahwa Nan-cao di bawah Beng-kauw benar-benar pandai menyimpan rahasia dan pandai pula mengatasi keadaan. It-gan Kai-ong hanya menyeringai dan kadang-kadang meludah ke kanan kiri seperti sengaja hendak menghina si pembicara.
“Baiknya usaha busuk itu dapat digagalkan oleh Empek Gan yang mulia.”
Semua orang tertawa dan mata mereka mencari-cari, namun tidak tampak mata hidung Empek Gan.
“Siapakah yang melakukah usaha busuk ini? Tidak lain adalah kaki tangan It-gan Kai-ong! Malah Tok-sim Lo-tong juga telah dipergunakan untuk menghalang-halangi campur tangan Empek Gan!”
Setelah wakil Khitan itu mengundurkan diri, Kauw Bian Cinjin menggerakkan pecutnya, menghadapi Pak-sin-tung.
“Pak-sin-tung, karena jelas bahwa kau dan orang-orangmu membantu Hek-giam-lo maka kalian bersama Hek-giam-lo yang berani menghina ketua Beng-kauw harus dihukum. Menyerahlah, dan kami akan mempertimbangkan dengan adil tentang hukuman. Melawan, kami akan menggunakan kekerasaan.”
“Ha-ha-ha, Kauw Bian Cinjin, omongan dan sikapmu benar-benar lucu sekali!” Pak-sin-tung tertawa bergelak. “Siapa tidak tahu bahwa orang-orang seperti kita yang menjunjung kegagahan, berbuat apa yang kita suka dan sekali berbuat berani menanggung segala akibatnya? Suheng telah meminjam tongkat Beng-kauwcu atas perintah Puteri junjungan kami, aku telah mencegah kalian mengejarnya untuk membantu agar perintah itu terlaksana. Nah, segala kejadian memang disengaja, untuk menyerah tentu saja pantang bagi Pak-sin-tung. Terserah kau mau apa!”
Kauw Bian Cinjin agaknya ragu-ragu karena mengingat bahwa mereka sedang melakukan sembahyang, ragu-ragu untuk bertindak pada hari yang dianggap keramat itu. Akan tetapi ketika menoleh ke arah ketua Beng-kauw, Beng-kauwcu Liu Mo berkata perlahan.
“Sute, kehormatan Beng-kauw dilanggar orang, di depan peti mati mendiang twa-suheng yang mulia, kalau tidak diperlihatkan keangkeran kita, Beng-kauw akan diperhina orang. Hukum mati dia!”
Cambuk atau pecut panjang di tangan Kau Bian Cinjin berbunyi “tar-tar-tar” tiga kali dan kakek ini sudah melangkah maju sambil membentak,
“Pak-sin-tung, terimalah hukuman Beng-kauw!”
Pak-sin-tung tertawa bergelak dan melihat gulungan sinar hitam kecil panjang yang mengeluarkan suara berciutan menyambar ke arahnya, cepat ia mengangkat tongkat kirinya menangkis. Terdengar bunyi nyaring sekali ketika dua senjata ini beradu, disusul mengebulnya asap putih. Agaknya saking kerasnya pertemuan pecut dan tongkat, sampai mengakibatkan panas yang hampir membakar tongkat!
Pak-sin-tung terhuyung-huyung ke belakang, namun segera dapat membalas dengan serangan tongkat kanan lalu disusul lagi dengan tongkat kiri. Hebat dan aneh memang serangan Pak-sin-tung. Tongkat-tongkat itu adalah pengganti kakinya, akan tetapi ia dapat mempergunakannya susul-menyusul sehingga seakan-akan tubuhnya tergantung di udara tanpa kaki!
Tidak saja serangan-serangannya cepat dan aneh gerakannya, akan tetapi juga kedua batang tongkat itu menyambar dengan hawa pukulan dahsyat sehingga terasa oleh para penonton deretan terdepan betapa angin pukulan menyambar-nyambar menggerakkan rambut dan baju mereka. Dari sini saja sudah dapat dibuktikan bahwa julukan Pak-sin-tung (Tongkat Sakti dari Utara) tidaklah kosong belaka.
Akan tetapi ternyata wakil Beng-kauw itu pun amat hebat kepandaiannya, malah agaknya menang setingkat dibandingkan dengan Pak-sin-tung. Kauw Bian Cinjin adalah adik seperguruan mendiang Pat-jiu Sin-ong dan ketua Beng-kauw yang sekarang, ilmu silatnya tinggi sekali, maka kakak seperguruannya mempercayakan semua urusan penting kepadanya, pecut di tangan kakek ini tampaknya memang hanya sebuah pecut biasa yang sering kali dipergunakan oleh penggembala-penggembala kerbau menggiring ternak ke kandang. Memang di waktu menganggur, Kauw Bian Cinjin suka menggembala kerbau-kerbaunya yang berjumlah banyak.
Akan tetapi ia bukanlah penggembala biasa, dan tentu saja, pecutnya juga bukan pecut biasa, melainkan sebuah cambuk yang terbuat dari rambut monyet besar dan hanya terdapat di Pegunungan Himalaya. Cambuknya ini tidak dapat terbabat putus oleh senjata tajam manapun juga, dan mengandung hawa panas seperti api ketika digerakkan untuk menyerang, sebaliknya di waktu dipergunakan untuk menangkis, mengandung hawa lemas dingin sehingga mudah menyedot habis tenaga serangan lawan.
Betapapun pandainya, menghadapi Pak-sin-tung, Kauw Bian Cinjin bertemu dengan lawan tangguh yang tidak mudah ia kalahkan begitu saja. Tongkat dan cambuk saling sambar berganti-ganti merupakan tangan-tangan maut yang pasti akan merenggut nyawa apabila lengah sedikit saja. Puluhan jurus telah lewat dan sedikit demi sedikit Kauw Bian Cinjin mendesak lawannya. Gulungan sinar hitam dari pecutnya makin melebar, membentuk lingkaran-lingkaran yang mengurung lawan sehingga sinar tongkat dari Pak-sin-tung makin menyempit dan kehilangan ruang gerak.
“Ciuuuuuttt!”
Tiba-tiba cambuk itu berubah menjadi sebuah lingkaran besar, memutar-mutar mengitari dua pasang tongkat. Baiknya Pak-sin-tung segera cepat dapat merenggut lepas tongkat kirinya karena kalau sampai kedua tongkat yang menggantikan kedua kaki itu terlibat pecut, tentu ia akan roboh karena tidak berkaki lagi! Akan tetapi tongkat kanannya telah terlibat pecut sedemikian eratnya sehingga tidak akan mungkin terlepas lagi.
Pak-sin-tung mengeluarkan bentakan keras sekali sambil menggerakkan tongkat kanannya. Ia telah mengerahkan seluruh tenaga yang ada padanya untuk merenggut lepas tongkatnya dan.... bukan tongkatnya yang terlepas melainkan tubuh Kam Bian Cinjin yang terlempar ke atas berikut pecut dan tongkat itu!
Tongkatnya tidak terlepas dari libatan pecut, melainkan terlepas dari pegangannya. Kiranya ketika ia mengerahkan tenaga yang amat kuat untuk merenggut tongkat ke atas, Kauw Bin Cinjin mempergunakan kepandaiannya melompat ke atas dan tenaga renggutan lawannya ia tambahi dengan tenaganya sendiri untuk merampas tongkat. Kemudian, selagi Pak-sin-tung kaget dan terkesiap, dari atas udara Kauw Bian Cinjin menggerakkan tangan kanannya. Tongkat yang tadinya terlibat pecut, kini meluncur bagaikan anak panah terlepas dari busurnya, tak dapat dicegah oleh apa pun juga!
Pak-sin-tung yang hanya berdiri di atas sebatang tongkat, tidak mampu menangkis atau mengelak lagi, tidak keburu, maka terdengar suara mengerikan ketika tongkatnya sendiri menerobos dadanya sehingga tembus. Tubuhnya terjengkang ke belakang, akan tetapi tidak terus rebah melainkan tertahan oleh tongkat yang menembus dadanya, sehingga tubuh itu seakan-akan bersandar, ia mati seketika, tubuhnya bagian depan tiada tanda darah sama sekali, akan tetapi dari punggungnya mengucur darah di sepanjang tongkat yang menahan tubuhnya.
Enam orang Khitan yang melihat keadaan pemimpin mereka seperti itu, segera maju menyerbu Kauw Bian Cinjin. Kakek ini dengan tenangnya menggerakkan cambuknya, terdengar bunyi “tar-tar-tar....” enam kali dan.... enam orang Khitan itu roboh tak berkutik lagi karena nyawa mereka pun sudah menyusul Pak-sin-tung.
Hening di sekeliling tempat itu, akan tetapi hanya untuk sesaat setelah enam orang itu roboh. Semua mata memandang ke arah tujuh sosok mayat yang malang-melintang di atas tanah. Kauw Bian Cinjin menghela napas panjang sambil mengikatkan cambuknya di pinggang, membuka capingnya dan mengebuti dada dan muka dengan caping. Rambutnya sudah dua warna, panjang dan digelung ke atas seperti seorang tosu. Kalau tadi ia tampak angker berwibawa dengan caping, sekarang ia tampak alim seperti seorang pertapa.
Belasan orang telah melangkah maju. Kauw Bian Cinjin memandang dan ternyata mereka ini adalah Pek-bin-ciangkun perwira tinggi wakil Khitan dan para pengawalnya. Semua tamu makin tegang, mengira bahwa wakil-wakil Khitan tentu akan menuntut balas, pertempuran akan makin menghebat. Akan tetapi mereka keliru. Pek-bin-ciangkun menjura ke arah Kaw Bian Cinjin dan berkata, suaranya lantang, tegas, tapi sama sekali tidak membayangkan kemarahan.
“Cinjin, Pak-sin-tung dan enam orang pembantunya telah melakukan kesalahan terhadap Beng-kauw dan telah terhukum mati, akan tetapi menurut penilaian kami, mereka mati sebagai laki-laki sejati dan karena mereka adalah orang-orang Khitan, kami akan membawa pergi dan mengurus jenazah mereka. Ini bukan permintaan melainkan pemberitahuan karena apa pun yang terjadi, kami akan melakukannya juga, kalau perlu dengan taruhan nyawa. Sekarang ijinkan kami pergi dan terima kasih atas penyambutan Kerajaan Nan-cao dan juga Beng-kauw selama kami menjadi tamu di sini.” Ia menjura dengan hormat.
Kauw Bian Cinjin balas menjura dan berkata, nadanya menyesal.
“Mereka memang orang-orang gagah, dan Ciangkun memang berhak mengurus mayat mereka. Maaf akan semua peristiwa yang sesungguhnya tidak kami kehendaki ini. Sebagai wakil Beng-kauw saya haturkan terima kasih dan selamat jalan.”
Pek-bin-ciangkun memberi hormat ke arah ketua Beng-kauw dan juga ke arah Kaisar Nan-cao yang semenjak tadi duduk dan menonton penuh perhatian. Kemudian perwira Khitan ini memimpin anak buahnya membawa pergi tujuh mayat itu pergi meninggalkan Nan-cao.
Seperginya rombongan ini, para tamu menjadi berisik, apalagi ketika mereka melihat munculnya pengemis mata satu It-gan Kai-ong secara tiba-tiba. Kakek pengemis ini tahu-tahu sudah berada di depan Kauw Bian Cinjin dan mengeluarkan suara mengejek.
“Aha, Beng-kauw telah memperlakukan para tamunya dengan baik sekali, sekalian memperlihatkan kehebatan Beng-kauw. Agaknya Pat-jiu Sin-ong sejak dahulu haus darah sehingga untuk menyembahyangi rohnya pun harus mempergunakan darah tujuh orang manusia. Heh-heh-heh!”
Sirap semua suara berisik tadi dan keadaan kembali menjadi tegang. Apalagi ketika di belakang It-gan Kai-ong itu tampak dua orang tokoh mengerikan, dua orang di antara Thian-te Liok-koai, yaitu Toat-beng Koai-jin si iblis berpunuk dan Tok-sim Lo-tong yang membawa-bawa ular. Iblis kakak beradik ini hanya berdiri sambil memandang liar dan kadang-kadang saling pandang dan tertawa-tawa. Benar-benar mereka ini merupakan manusia-manusia yang tidak normal dan amat menyeramkan.
Melihat munculnya It-gan Kai-ong sudah mendatangkan rasa marah di dalam hati Kauw Bian Cinjin, apalagi mendengar ucapannya yang mengejek dan menghina tadi. Dengan muka merah dan suara lantang wakil ketua Beng-kauw itu berkata, sambil memandang sekeliling.
“It-gan Kai-ong, kami tahu bahwa kau datang kesini dengan niat busuk yang sedianya akan kami rahasiakan. Akan tetapi karena kau telah membuka mulut, biarlah aku menjawabmu. Orang-orang dari Khitan, biarpun mereka melakukan kesalahan terhadap Beng-kauw, namun harus kami akui bahwa mereka adalah manusia-manusia jantan yang patut dihormati, kecuali Hek-giam-lo si curang. Akan tetapi, kami sama sekali tidak dapat menghormat dan menghargai orang macam It-gan Kai-ong dan sekutunya yang datang dihormat sebagai tamu akan tetapi sebaliknya melakukan usaha-usaha khianat untuk merusak nama baik Nan-cao dan Beng-kauw. It-gan Kai-ong, apakah kau hendak menyangkal kata-kataku?” Kauw Bian Cinjin memandang tajam, berdiri tegak dan gagah.
It-gan Kai-ong menyeringai. Matanya yang hanya sebuah itu melayang ke arah Kaisar Nan-cao dan ketua Beng-kauw yang tetap duduk diam tak bergerak. Kemudian ia menotok-notokkan tongkatnya ke atas tanah dan meludah ke kiri.
“Cuhhh, anak kecil bicara besar! Tuduhanmu membabi buta itu apa buktinya?”
Kauw Bian Cinjin memutar tubuh ke arah ketua Beng-kauw dan Kaisar Nan-cao yang duduk bersanding.
“Kauwcu, bolehkan siauwte sekalian membuka semua rahasia agar didengar oleh para tamu yang terhormat?”
Beng-kauwcu Liu Mo bicara perlahan dengan kaisar, agaknya mereka berunding, kemudian keduanya mengangguk.
Kauw Bian Cinjin kembali menghadapi It-gan Kai-ong, lalu berkata lantang.
“Harap para tamu mendengarnya! Diantara Cu-wi (Tuan-tuan sekalian) yang hadir sebagai tamu terhormat dan datang dengan hati bersih, terdapat orang-orang yang datang dengan membawa niat busuk, di antaranya It-gan Kai-ong. Ada usaha mengadu domba kita dengan Kerajaan Sung, dengan cara mencuri sebagian barang sumbangan Kerajaan Sung dan mengganti batu-batu pemata dengan batu-batu biasa. Ini adalah hasil kerja orang-orang Hou-han yang dalam hal ini masih dapat kami maafkan dan kami telah menghukum orang-orang kami sendiri yang bersekutu dengan orang-orang Hou-han, mengingat bahwa maksud dari Hou-han hanya hendak menarik kami menjadi sekutunya dalam memusuhi Kerajaan Sung! Akan tetapi ada usaha yang lebih busuk lagi dalam hal memusuhi Kerajaan Sung, yaitu ada usaha untuk meracuni semua wakil dari Kerajaan Sung!”
Semua tamu menjadi berisik. Kagetlah mereka bahwa diam-diam telah terjadi hal yang demikian hebat, padahal suasananya tetap gembira dan tenang saja. Hal ini membuktikan bahwa Nan-cao di bawah Beng-kauw benar-benar pandai menyimpan rahasia dan pandai pula mengatasi keadaan. It-gan Kai-ong hanya menyeringai dan kadang-kadang meludah ke kanan kiri seperti sengaja hendak menghina si pembicara.
“Baiknya usaha busuk itu dapat digagalkan oleh Empek Gan yang mulia.”
Semua orang tertawa dan mata mereka mencari-cari, namun tidak tampak mata hidung Empek Gan.
“Siapakah yang melakukah usaha busuk ini? Tidak lain adalah kaki tangan It-gan Kai-ong! Malah Tok-sim Lo-tong juga telah dipergunakan untuk menghalang-halangi campur tangan Empek Gan!”
Tidak ada komentar:
Posting Komentar