Kita tinggalkan dulu Lin Lin yang kini berubah menjadi seorang Puteri Khitan yang berpengaruh itu, untuk menengok keadaan Kam Bu Sin yang sudah terlalu lama kita tinggalkan. Kenapa Siang-mou Sin-ni muncul di Nan-cao seorang diri saja? Bukankah tadinya Bu Sin berada di dalam cengkeramannya dan pemuda itu menjadi seperti boneka hidup dan barang permainan Siang-mou Sin-ni setelah diminumi racun perampas semangat?
Memang demikianlah, Siang-mou Sin-ni yang merasa sayang akan ketampanan dan kegagahan Bu Sin, tidak membunuh pemuda ini seperti yang biasa ia lakukan, melainkan mengambil pemuda itu sebagai teman dan kekasihnya. Tadinya ia bermaksud membawa Bu Sin ikut dengannya ke Nan-cao dan disana akan ia pergunakan sebagai bukti daripada kelihaiannya bahwa ia telah dapat menundukkan putera dari Jenderal Kam yang terkenal.
Akan tetapi pada suatu hari ketika ia bersama Bu Sin berjalan melalui sebuah hutan di lereng Gunung Burung Dara, tiba-tiba ia mendengar suara alat musik khim. Ia kaget dan heran sekali, apalagi ketika mendadak Bu Sin roboh pingsan dan ia sendiri merasa dadanya tergetar hebat. Cepat Siang-mou Sin-ni mengeluarkan sebuah alat musik khim yang dulu ia rampas dari tangan Bu Kek Siansu, cepat ia duduk bersila dan mainkan alat musik yang diletakkan di depannya. Terdengar bunyi nyaring suara kawat-kawat khim itu dan terjadilah “perang” antara suara khim pertama dan suara khim yang dimainkan Siang-mou Sin-ni.
Iblis wanita rambut panjang ini ternyata dahulu tidak sia-sia belaka merampas khim dari Bu Kek Siansu. Karena ia seorang berilmu tinggi dan memiliki kecerdasan luar biasa, ia telah mempelajari alat musik ini dan menggabungkan kesaktiannya ke dalam permainannya sehingga alat yang sebetulnya merupakan alat kesenian untuk menghibur hati duka lara ini dapat ia pergunakan sebagai senjata yang ampuh sekali.
Banyak sudah lawan-lawan lihai roboh oleh bunyi khimnya yang dapat dimainkan sedemikian rupa sehingga merupakan “jurus-jurus” yang dapat merusak semangat, membikin putus urat syaraf mengaduk berantakan isi perut dan menghancurkan isi dada lawan! Betullah kata-kata para budiman bahwasanya apa pun alat kebaikan atau pun kejahatan, tergantung daripada si pemakai.
Akan tetapi alangkah kaget hati Siang-mou Sin-ni ketika semua jurus suara khimnya yang menerjang dan menyerang ganas itu, mental kembali oleh suara khim yang halus lembut penuh damai dan yang suaranya mendatangkan ketenangan itu. Ia mengerahkan semangat dan sin-kang, menyentil kawat-kawat khimnya lebih tekun dan lebih keras. Akan tetapi tiba-tiba “cringgg!” sebatang kawat khimnya putus!
“Keparat....!”
Siang-mou Sin-ni melompat dan bagaikan kilat menyambar tubuhnya melesat ke arah suara khim, rambutnya berkibar tertiup angin, siap untuk mencekik dan mencambuk lawan.
Akan tetapi tiba-tiba ia berhenti, tertegun berdiri dan mukanya berubah pucat. Kiranya yang duduk bersila di bawah pohon besar yang mainkan khim dengan tenang sambil menundukkan kepala, adalah Bu Kek Siansu! Bagaimanakah kakek yang dulu sudah terjerumus ke jurang itu dapat berada disini? Siang-mou Sin-ni adalah seorang tokoh sakti, seorang yang dijuluki iblis wanita, akan tetapi sekarang ia menjadi pucat ketakutan.
“Kau.... kau.... setan....!”
Teriaknya, membalikkan tubuh dan.... lari meninggalkan kakek itu, kembali menuju ke tempatnya tadi. Tangan kirinya menyambar alat khimnya yang putus sehelai kawatnya, tangan kanan menyambar tubuh Bu Sin yang masih menggeletak pingsan.
Akan tetapi tiba-tiba terdengar suara khim yang melengking tinggi dan.... Siang-mou Sin-ni terjungkal seperti didorong tenaga mujijat dari samping. Ia berteriak marah, menyimpan khim-nya, kemudian menubruk maju lagi untuk memondong tubuh Bu Sin. Untuk kedua kalinya terdengar suara khim melengking dan kembali ia roboh terjengkang.
“Kurang ajar....!”
Siang-mou Sin-ni berteriak lagi dengan marah, kini ia meloncat bangun, rambutnya bergerak menyambar ke arah tubuh Bu Sin yang sudah bergerak-gerak siuman dari pingsannya. Kembali terdengar suara khim dan kini amat nyaring. Rambut panjang yang sudah menyambar ke depan untuk merenggut tubuh Bu Sin itu tiba-tiba seperti tertiup angin keras, berkibar dan membalik menyerang muka Siang-mou Sin-ni sendiri.
Wanita ini menjerit kaget, cepat meloncat ke belakang berjungkir balik beberapa kali, kemudian sambil mengeluarkan suara melengking setengah tertawa setengah menangis seperti kuntilanak kesiangan, ia lari meninggalkan tempat itu!
Suara khim berhenti dan tubuh kakek tua renta Bu Kek Siansu nampak mendatangi, kedua kakinya melangkah perlahan menghampiri Bu Sin. Sebuah alat musik khim yang amat sederhana dan tua tersembul keluar dari balik punggungnya yang agak bongkok. Kemudian ia berdiri di dekat Bu Sin, memandang pemuda itu yang bergerak perlahan dan mulai bangkit.
“Kasihan....” bibir itu berbisik, “anak baik, putera seorang patriot ternama, begini nasibnya....”
Bu Sin menengok, sepasang matanya yang sayu memandang, tidak mengenal kakek itu.
“Mana.... mana dia....?”
Bibirnya yang agak pucat bertanya, suaranya agak gemetar, mengandung takut dan mesra.
Bu Kek Siansu menggeleng-geleng kepala. Sekali pandang saja kakek sakti ini maklum sudah apa yang telah menimpa diri pemuda ini. Tangannya bergerak menyentuh tengkuk Bu Sin, menekan sebentar lalu berbisik lagi.
“Belum terlambat.... anak baik, kau ikutilah aku....”
Seperti linglung Bu Sin bangkit berdiri. Biarpun ia telah menjadi korban racun perampas semangat, namun sikap hormatnya terhadap seorang tua yang patut dihormat tetap ada padanya. Ia segera mengangkat tangan dan membungkuk sambil bertanya,
“Bolehkah saya bertanya siapakah Locianpwe yang mulia? Dan saya berada dimana, apa yang telah terjadi?” Ia mengerutkan keningnya, mengingat-ingat namun ia masih lupa segala.
Sentuhan pada tengkuknya oleh Bu Kek Siansu tadi sudah banyak menolong, namun belum mampu menyembuhkannya sama sekali.
“Kau menjadi korban Siang-mou Sin-ni. Telanlah ini, kau akan dapat mengingat kembali.” Kakek itu mengeluarkan sebutir obat bulat sebesar kacang tanah berwarna kuning.
Bu Sin menerimanya dan menelannya, terasa amat pahit, akan tetapi ia tetap menelannya. Tiba-tiba kepalanya menjadi pening, perutnya terasa panas seperti terbakar dan pemuda ini terhuyung-huyung lalu jatuh terduduk. Kepalanya terasa berputaran sehingga ia menggunakan kedua tangan memegangi kepalanya, bibirnya mengeluh. Entah berapa lamanya ia berhal seperti ini ia sendiri tidak tahu. Tiba-tiba ia melompat bangun dan berseru.
“Iblis betina, boleh kau bunuh aku, jangan harap aku sudi tunduk kepadamu!”
Akan tetapi terpaksa Bu Sin harus meramkan matanya karena kembali ia merasa pusing. Ketika ia membuka kedua matanya, ia melihat seorang kakek tua renta di depannya yang memandang dengan senyum penuh kesabaran. Teringatlah ia sekarang. Kakek ini telah memberi obat kepadanya, dan dia.... dia tadinya menjadi tawanan Siang-mou Sin-ni, disiksa hampir mati. Serta-merta ia menjatuhkan diri berlutut, dapat menduga bahwa tentu kakek ini yang telah menolongnya dari tangan Siang-mou Sin-ni, sungguhpun ia tidak tahu bagaimana caranya.
“Locianpwe tentu telah membebaskan teecu dari tangan Siang-mou Sin-ni. Teecu menghaturkan terima kasih....” Ia berhenti dan mengerang. Tubuhnya serasa lemas dan dadanya agak sakit.
“Anak baik, mari kau ikut denganku agar kesehatanmu pulih kembali.”
Kakek itu mengulurkan tangan dan di lain saat tubuh Bu Sin sudah ia bawa pergi dari situ. Bu Sin hanya merasa betapa tubuhnya seperti melayang cepat sekali, kedua telinganya mendengar suara angin dan matanya pedas, tak dapat dibuka, hidungnya sukar bernapas karena angin sehingga ia meramkan mata dan membalikkan muka agar dapat membelakangi angin.
“Kita sudah sampai!” Suara halus kakek itu menyadarkannya.
Bu Sin merasa seperti baru bangun tidur dari mimpi. Ia membuka matanya dan kiranya ia sudah berdiri di depan air terjun yang amat bening dan air yang terjun itu seperti perak, putih berkilauan tertimpa sinar matahari. Kembali ia menjatuhkan diri berlutut di depan kakek itu yang kini ia tahu tentulah seorang tua yang memiliki kesaktian luar biasa.
“Locianpwe, teecu mengerti bahwa Locianpwe menolong teecu. Teecu sendiri tidak mengerti mengapa tubuh teecu terasa sakit-sakit dan lemas, dan mengapa pula Locianpwe membawa teecu ke tempat ini? Mohon petunjuk....”
“Orang muda, kau telah menjadi korban keganasan Siang-mou Sin-ni, kau diberi minum racun perampas semangat dan selama beberapa pekan kau menjadi barang permainannya. Baiknya di dalam sanubarimu sebelum kau minum racun kau telah mempunyai perasaan tidak suka dan membencinya, dan hatimu tidak dikotori nafsu, maka masih dapat tertolong. Hanya sin-kang di dalam tubuh yang menjadi lemah. Orang muda, sekarang katakan, apakah cita-cita yang terkandung dalam hatimu?”
Bu Sin diam-diam terkejut sekali mendengar bahwa dia telah menjadi korban Siang-mou Sin-ni. Ia dapat menduga apa artinya “menjadi permainannya” dan ia merasa malu, juga gemas terhadap iblis wanita itu.
“Locianpwe, mohon Locianpwe sudi menolong teecu. Teecu telah terpisah dari dua orang adik teecu yang masih belum teecu ketahui bagaimana nasibnya. Teecu masih belum dapat menemukan musuh besar yang telah membunuh ayah bunda teecu. Teecu juga masih belum berhasil mencari kakak teecu untuk memenuhi pesan Ayah. Sekarang ditambah lagi dengan perbuatan Siang-mou Sin-ni si iblis betina yang harus teecu balas! Akan tetapi teecu yang begini lemah dan bodoh, bagaimana akan dapat memenuhi tugas itu semua? Mohon Locianpwe sudi menolong.”
Kakek itu menarik napas panjang.
“Aku akan lebih suka kalau kau melepaskan semua itu dan ikut dengan aku ke puncak untuk menjadi seorang pertapa. Akan tetapi, hal demikian tak dapat dipaksa, harus keluar dari dalam sanubari sendiri. Orang muda, aku bersedia membantumu, akan tetapi berhasil atau tidaknya seluruhnya tergantung kepadamu sendiri. Kalau hatimu cukup kuat, kalau kemauanmu cukup keras, kalau kau tahan menderita dan tidak takut menghadapi maut dalam mengejar cita-cita, agaknya Tuhan pasti akan mengabulkannya. Nah, kau duduklah di atas batu itu, biarkan air terjun itu menimpa di atas kepalamu, duduk bersila dan curahkan perhatianmu kepada apa yang akan kuajarkan kepadamu. Mulailah!”
Bu Sin sudah membulatkan tekadnya. Ia maklum bahwa kakek ini bukan manusia biasa dan hanya dengan pertolongan kakek ini ia dapat mengharapkan semua cita-citanya tercapai. Hanya ada dua jalan terbuka baginya. Berhasil atau mati. Bukankah ia baru saja terbebas daripada kematian yang amat hebat di tangan Siang-mou Sin-ni? Apa artinya lagi kematian baginya?
Tanpa ragu-ragu ia lalu melompat ke atas batu besar yang tengahnya menjadi berlobang karena terus menerus ditimpa air terjun. Lalu ia duduk bersila, menyatukan panca indera dan membuka telinganya untuk mendengarkan.
Akan tetapi, air yang menimpa kepalanya mendatangkan suara bergemuruh yang memekakkan kedua telinganya di samping mendatangkan rasa dingin yang menyusup ke tulang sumsum. Mula-mula memang terasa segar dan enak, akan tetapi lambat-laun rasa dingin hampir tak tertahankan lagi, kepalanya terasa sakit seperti ditimpa batu godam ratusan kati beratnya. Bu Sin meramkan matanya, wajahnya pucat sekali dan hampir ia tidak kuat menahan, tubuhnya sudah bergoncang.
Dalam keadaan seperti itu, tiba-tiba ia mendengar suara kakek tadi, dekat sekali suara itu, berbisik-bisik di dekat telinganya,
“Orang muda, kerahkan sisa tenaga dari pusar, biarkan berkumpul dan desak ke atas melalui dada, terus salurkan ke jalan darah tiong-cu-hiat.”
Otomatis Bu Sin melakukan perintah ini, akan tetapi karena ia merasa amat lemah, sukar baginya untuk menyalurkan tenaga dalam ke arah jalan tiong-cu-hiat di belakang leher. Mendadak belakang lehernya itu seperti disentuh sesuatu dan aneh, dengan mudah kini tenaga dalamnya menjalar ke tiong-cu-hiat! Girang hatinya karena kakek sakti itu membantunya.
“Lindungi tiong-cu-hiat dengan sisa sin-kang itu agar kuat menahan serangan air. Kini mulailah mengatur pernapasan menurut aturan Im Yang, sedot masuk berikut hawa pukulan air, kumpul di dada, tekan ke pusar sambil keluarkan napas.”
Dengan kata-kata yang halus berbisik-bisik dan seperti diucapkan dekat kedua telinga Bu Sin, kakek itu mulai menurunkan ilmunya kepada Bu Sin yang mendengarkan dengan amat tekun.
Seluruh perhatiannya tercurah kepada semua kata-kata ini sehingga ia lupa akan segala hal lainnya, bahkan ia tidak tahu lagi dimana ia berada, apa yang terjadi dengannya, dan dia tidak lagi merasai pukulan air yang menimpa di atas kepalanya.
Memang demikianlah, Siang-mou Sin-ni yang merasa sayang akan ketampanan dan kegagahan Bu Sin, tidak membunuh pemuda ini seperti yang biasa ia lakukan, melainkan mengambil pemuda itu sebagai teman dan kekasihnya. Tadinya ia bermaksud membawa Bu Sin ikut dengannya ke Nan-cao dan disana akan ia pergunakan sebagai bukti daripada kelihaiannya bahwa ia telah dapat menundukkan putera dari Jenderal Kam yang terkenal.
Akan tetapi pada suatu hari ketika ia bersama Bu Sin berjalan melalui sebuah hutan di lereng Gunung Burung Dara, tiba-tiba ia mendengar suara alat musik khim. Ia kaget dan heran sekali, apalagi ketika mendadak Bu Sin roboh pingsan dan ia sendiri merasa dadanya tergetar hebat. Cepat Siang-mou Sin-ni mengeluarkan sebuah alat musik khim yang dulu ia rampas dari tangan Bu Kek Siansu, cepat ia duduk bersila dan mainkan alat musik yang diletakkan di depannya. Terdengar bunyi nyaring suara kawat-kawat khim itu dan terjadilah “perang” antara suara khim pertama dan suara khim yang dimainkan Siang-mou Sin-ni.
Iblis wanita rambut panjang ini ternyata dahulu tidak sia-sia belaka merampas khim dari Bu Kek Siansu. Karena ia seorang berilmu tinggi dan memiliki kecerdasan luar biasa, ia telah mempelajari alat musik ini dan menggabungkan kesaktiannya ke dalam permainannya sehingga alat yang sebetulnya merupakan alat kesenian untuk menghibur hati duka lara ini dapat ia pergunakan sebagai senjata yang ampuh sekali.
Banyak sudah lawan-lawan lihai roboh oleh bunyi khimnya yang dapat dimainkan sedemikian rupa sehingga merupakan “jurus-jurus” yang dapat merusak semangat, membikin putus urat syaraf mengaduk berantakan isi perut dan menghancurkan isi dada lawan! Betullah kata-kata para budiman bahwasanya apa pun alat kebaikan atau pun kejahatan, tergantung daripada si pemakai.
Akan tetapi alangkah kaget hati Siang-mou Sin-ni ketika semua jurus suara khimnya yang menerjang dan menyerang ganas itu, mental kembali oleh suara khim yang halus lembut penuh damai dan yang suaranya mendatangkan ketenangan itu. Ia mengerahkan semangat dan sin-kang, menyentil kawat-kawat khimnya lebih tekun dan lebih keras. Akan tetapi tiba-tiba “cringgg!” sebatang kawat khimnya putus!
“Keparat....!”
Siang-mou Sin-ni melompat dan bagaikan kilat menyambar tubuhnya melesat ke arah suara khim, rambutnya berkibar tertiup angin, siap untuk mencekik dan mencambuk lawan.
Akan tetapi tiba-tiba ia berhenti, tertegun berdiri dan mukanya berubah pucat. Kiranya yang duduk bersila di bawah pohon besar yang mainkan khim dengan tenang sambil menundukkan kepala, adalah Bu Kek Siansu! Bagaimanakah kakek yang dulu sudah terjerumus ke jurang itu dapat berada disini? Siang-mou Sin-ni adalah seorang tokoh sakti, seorang yang dijuluki iblis wanita, akan tetapi sekarang ia menjadi pucat ketakutan.
“Kau.... kau.... setan....!”
Teriaknya, membalikkan tubuh dan.... lari meninggalkan kakek itu, kembali menuju ke tempatnya tadi. Tangan kirinya menyambar alat khimnya yang putus sehelai kawatnya, tangan kanan menyambar tubuh Bu Sin yang masih menggeletak pingsan.
Akan tetapi tiba-tiba terdengar suara khim yang melengking tinggi dan.... Siang-mou Sin-ni terjungkal seperti didorong tenaga mujijat dari samping. Ia berteriak marah, menyimpan khim-nya, kemudian menubruk maju lagi untuk memondong tubuh Bu Sin. Untuk kedua kalinya terdengar suara khim melengking dan kembali ia roboh terjengkang.
“Kurang ajar....!”
Siang-mou Sin-ni berteriak lagi dengan marah, kini ia meloncat bangun, rambutnya bergerak menyambar ke arah tubuh Bu Sin yang sudah bergerak-gerak siuman dari pingsannya. Kembali terdengar suara khim dan kini amat nyaring. Rambut panjang yang sudah menyambar ke depan untuk merenggut tubuh Bu Sin itu tiba-tiba seperti tertiup angin keras, berkibar dan membalik menyerang muka Siang-mou Sin-ni sendiri.
Wanita ini menjerit kaget, cepat meloncat ke belakang berjungkir balik beberapa kali, kemudian sambil mengeluarkan suara melengking setengah tertawa setengah menangis seperti kuntilanak kesiangan, ia lari meninggalkan tempat itu!
Suara khim berhenti dan tubuh kakek tua renta Bu Kek Siansu nampak mendatangi, kedua kakinya melangkah perlahan menghampiri Bu Sin. Sebuah alat musik khim yang amat sederhana dan tua tersembul keluar dari balik punggungnya yang agak bongkok. Kemudian ia berdiri di dekat Bu Sin, memandang pemuda itu yang bergerak perlahan dan mulai bangkit.
“Kasihan....” bibir itu berbisik, “anak baik, putera seorang patriot ternama, begini nasibnya....”
Bu Sin menengok, sepasang matanya yang sayu memandang, tidak mengenal kakek itu.
“Mana.... mana dia....?”
Bibirnya yang agak pucat bertanya, suaranya agak gemetar, mengandung takut dan mesra.
Bu Kek Siansu menggeleng-geleng kepala. Sekali pandang saja kakek sakti ini maklum sudah apa yang telah menimpa diri pemuda ini. Tangannya bergerak menyentuh tengkuk Bu Sin, menekan sebentar lalu berbisik lagi.
“Belum terlambat.... anak baik, kau ikutilah aku....”
Seperti linglung Bu Sin bangkit berdiri. Biarpun ia telah menjadi korban racun perampas semangat, namun sikap hormatnya terhadap seorang tua yang patut dihormat tetap ada padanya. Ia segera mengangkat tangan dan membungkuk sambil bertanya,
“Bolehkah saya bertanya siapakah Locianpwe yang mulia? Dan saya berada dimana, apa yang telah terjadi?” Ia mengerutkan keningnya, mengingat-ingat namun ia masih lupa segala.
Sentuhan pada tengkuknya oleh Bu Kek Siansu tadi sudah banyak menolong, namun belum mampu menyembuhkannya sama sekali.
“Kau menjadi korban Siang-mou Sin-ni. Telanlah ini, kau akan dapat mengingat kembali.” Kakek itu mengeluarkan sebutir obat bulat sebesar kacang tanah berwarna kuning.
Bu Sin menerimanya dan menelannya, terasa amat pahit, akan tetapi ia tetap menelannya. Tiba-tiba kepalanya menjadi pening, perutnya terasa panas seperti terbakar dan pemuda ini terhuyung-huyung lalu jatuh terduduk. Kepalanya terasa berputaran sehingga ia menggunakan kedua tangan memegangi kepalanya, bibirnya mengeluh. Entah berapa lamanya ia berhal seperti ini ia sendiri tidak tahu. Tiba-tiba ia melompat bangun dan berseru.
“Iblis betina, boleh kau bunuh aku, jangan harap aku sudi tunduk kepadamu!”
Akan tetapi terpaksa Bu Sin harus meramkan matanya karena kembali ia merasa pusing. Ketika ia membuka kedua matanya, ia melihat seorang kakek tua renta di depannya yang memandang dengan senyum penuh kesabaran. Teringatlah ia sekarang. Kakek ini telah memberi obat kepadanya, dan dia.... dia tadinya menjadi tawanan Siang-mou Sin-ni, disiksa hampir mati. Serta-merta ia menjatuhkan diri berlutut, dapat menduga bahwa tentu kakek ini yang telah menolongnya dari tangan Siang-mou Sin-ni, sungguhpun ia tidak tahu bagaimana caranya.
“Locianpwe tentu telah membebaskan teecu dari tangan Siang-mou Sin-ni. Teecu menghaturkan terima kasih....” Ia berhenti dan mengerang. Tubuhnya serasa lemas dan dadanya agak sakit.
“Anak baik, mari kau ikut denganku agar kesehatanmu pulih kembali.”
Kakek itu mengulurkan tangan dan di lain saat tubuh Bu Sin sudah ia bawa pergi dari situ. Bu Sin hanya merasa betapa tubuhnya seperti melayang cepat sekali, kedua telinganya mendengar suara angin dan matanya pedas, tak dapat dibuka, hidungnya sukar bernapas karena angin sehingga ia meramkan mata dan membalikkan muka agar dapat membelakangi angin.
“Kita sudah sampai!” Suara halus kakek itu menyadarkannya.
Bu Sin merasa seperti baru bangun tidur dari mimpi. Ia membuka matanya dan kiranya ia sudah berdiri di depan air terjun yang amat bening dan air yang terjun itu seperti perak, putih berkilauan tertimpa sinar matahari. Kembali ia menjatuhkan diri berlutut di depan kakek itu yang kini ia tahu tentulah seorang tua yang memiliki kesaktian luar biasa.
“Locianpwe, teecu mengerti bahwa Locianpwe menolong teecu. Teecu sendiri tidak mengerti mengapa tubuh teecu terasa sakit-sakit dan lemas, dan mengapa pula Locianpwe membawa teecu ke tempat ini? Mohon petunjuk....”
“Orang muda, kau telah menjadi korban keganasan Siang-mou Sin-ni, kau diberi minum racun perampas semangat dan selama beberapa pekan kau menjadi barang permainannya. Baiknya di dalam sanubarimu sebelum kau minum racun kau telah mempunyai perasaan tidak suka dan membencinya, dan hatimu tidak dikotori nafsu, maka masih dapat tertolong. Hanya sin-kang di dalam tubuh yang menjadi lemah. Orang muda, sekarang katakan, apakah cita-cita yang terkandung dalam hatimu?”
Bu Sin diam-diam terkejut sekali mendengar bahwa dia telah menjadi korban Siang-mou Sin-ni. Ia dapat menduga apa artinya “menjadi permainannya” dan ia merasa malu, juga gemas terhadap iblis wanita itu.
“Locianpwe, mohon Locianpwe sudi menolong teecu. Teecu telah terpisah dari dua orang adik teecu yang masih belum teecu ketahui bagaimana nasibnya. Teecu masih belum dapat menemukan musuh besar yang telah membunuh ayah bunda teecu. Teecu juga masih belum berhasil mencari kakak teecu untuk memenuhi pesan Ayah. Sekarang ditambah lagi dengan perbuatan Siang-mou Sin-ni si iblis betina yang harus teecu balas! Akan tetapi teecu yang begini lemah dan bodoh, bagaimana akan dapat memenuhi tugas itu semua? Mohon Locianpwe sudi menolong.”
Kakek itu menarik napas panjang.
“Aku akan lebih suka kalau kau melepaskan semua itu dan ikut dengan aku ke puncak untuk menjadi seorang pertapa. Akan tetapi, hal demikian tak dapat dipaksa, harus keluar dari dalam sanubari sendiri. Orang muda, aku bersedia membantumu, akan tetapi berhasil atau tidaknya seluruhnya tergantung kepadamu sendiri. Kalau hatimu cukup kuat, kalau kemauanmu cukup keras, kalau kau tahan menderita dan tidak takut menghadapi maut dalam mengejar cita-cita, agaknya Tuhan pasti akan mengabulkannya. Nah, kau duduklah di atas batu itu, biarkan air terjun itu menimpa di atas kepalamu, duduk bersila dan curahkan perhatianmu kepada apa yang akan kuajarkan kepadamu. Mulailah!”
Bu Sin sudah membulatkan tekadnya. Ia maklum bahwa kakek ini bukan manusia biasa dan hanya dengan pertolongan kakek ini ia dapat mengharapkan semua cita-citanya tercapai. Hanya ada dua jalan terbuka baginya. Berhasil atau mati. Bukankah ia baru saja terbebas daripada kematian yang amat hebat di tangan Siang-mou Sin-ni? Apa artinya lagi kematian baginya?
Tanpa ragu-ragu ia lalu melompat ke atas batu besar yang tengahnya menjadi berlobang karena terus menerus ditimpa air terjun. Lalu ia duduk bersila, menyatukan panca indera dan membuka telinganya untuk mendengarkan.
Akan tetapi, air yang menimpa kepalanya mendatangkan suara bergemuruh yang memekakkan kedua telinganya di samping mendatangkan rasa dingin yang menyusup ke tulang sumsum. Mula-mula memang terasa segar dan enak, akan tetapi lambat-laun rasa dingin hampir tak tertahankan lagi, kepalanya terasa sakit seperti ditimpa batu godam ratusan kati beratnya. Bu Sin meramkan matanya, wajahnya pucat sekali dan hampir ia tidak kuat menahan, tubuhnya sudah bergoncang.
Dalam keadaan seperti itu, tiba-tiba ia mendengar suara kakek tadi, dekat sekali suara itu, berbisik-bisik di dekat telinganya,
“Orang muda, kerahkan sisa tenaga dari pusar, biarkan berkumpul dan desak ke atas melalui dada, terus salurkan ke jalan darah tiong-cu-hiat.”
Otomatis Bu Sin melakukan perintah ini, akan tetapi karena ia merasa amat lemah, sukar baginya untuk menyalurkan tenaga dalam ke arah jalan tiong-cu-hiat di belakang leher. Mendadak belakang lehernya itu seperti disentuh sesuatu dan aneh, dengan mudah kini tenaga dalamnya menjalar ke tiong-cu-hiat! Girang hatinya karena kakek sakti itu membantunya.
“Lindungi tiong-cu-hiat dengan sisa sin-kang itu agar kuat menahan serangan air. Kini mulailah mengatur pernapasan menurut aturan Im Yang, sedot masuk berikut hawa pukulan air, kumpul di dada, tekan ke pusar sambil keluarkan napas.”
Dengan kata-kata yang halus berbisik-bisik dan seperti diucapkan dekat kedua telinga Bu Sin, kakek itu mulai menurunkan ilmunya kepada Bu Sin yang mendengarkan dengan amat tekun.
Seluruh perhatiannya tercurah kepada semua kata-kata ini sehingga ia lupa akan segala hal lainnya, bahkan ia tidak tahu lagi dimana ia berada, apa yang terjadi dengannya, dan dia tidak lagi merasai pukulan air yang menimpa di atas kepalanya.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar