"Mandi? Air persediaan di rumah penginapan ini hanya sedikit, itupun tidak terlalu bersih, Lu-cici. Di sebelah barat, tidak jauh dari kuil Kwan-im-bio tempat tinggal bibi guru Su-nikouw, terdapat telaga kecil di sebuah hutan. Airnya jernih sekali dan aku sendiri selalu mandi disana."
Lu Sian serentak bangkit berdiri, wajahnya berseri.
"Kalau begitu menanti apa lagi? Mari kita kesana, mandi lalu mengunjungi bibi gurumu Su-nikouw!"
Setelah membereskan perhitungan makanan, mereka berdua keluar dari rumah penginapan. Malam telah tiba ketika mereka berada di luar rumah penginapan. Yap Kwan Bi yang mengenal jalan, tanpa ragu-ragu lagi menggandeng tangan Lu Sian, diajak berjalan cepat melalui lorong-lorong gelap.
Mereka setengah berlari menuju ke sebelah barat kota, bahkan setelah keluar dari pintu gerbang sebelah barat, mereka berlari cepat sambil tertawa-tawa seperti dua orang kanak-kanak bergembira. Tak lama kemudian mereka memasuki sebuah hutan yang sunyi dan gelap karena sinar bulan tertutup daun-daun pohon. Setelah makin dekat dengan telaga kecil yang berada di tengah hutan, jalan yang mereka lalui licin.
"Hati-hati, jalannya licin..."
Baru saja Kwan Bi berkata demikian, Lu Sian terpeleset dan tentu jatuh kalau Kwan Bi tidak cepat memeluknya.
"Eh, hampir jatuh aku..." Lu Sian tertawa. Akan tetapi pemuda itu tidak melepaskan pelukannya. "Heee, Yap-te, mengapa kau ini....?" Tegurnya, pura-pura marah.
Dengan dada turun naik dan napas tersendat-sendat, Kwan Bi mempererat dekapannya dan berbisik di dekat telinga Lu Sian, suaranya menggetar, tubuhnya agak menggigil.
"Ah... aku telah gila... aku... aku cinta padamu, Lu-cici!"
Lu Sian tertawa dan mencubit dagu yang halus tak ditumbuhi rambut itu sambil melepaskan diri dari pelukan.
"Aihhh, kiranya kau nakal!" Kemudian sambil tertawa-tawa ia lari menuju ke telaga.
Kini pohon-pohon tidak begitu banyak lagi dan sinar bulan tampak indah sekali menyinari permukaan air telaga dan membuat keadaan sekeliling yang sunyi itu menjadi amat romantis.
Sejenak Yap Kwan Bi tertegun, kemudian ia pun tertawa dan mengejar ke telaga. Cinta memang aneh dan luar biasa pengaruhnya. Seorang muda yang sedang dicengkeram cinta, seakan-akan menjadi buta dan linglung. Demikian pula dengan Kwan Bi. Andaikata dia tidak dibikin mabok dan buta oleh perasaan ini, tentu dia akan menjadi curiga dan heran mengapa seorang wanita sedemikian tinggi ilmu kepandaiannya seperti Lu Sian begitu mudah terpeleset hampir jatuh! Mungkin hal ini terjadi bukan hanya karena ia menjadi buta oleh nafsu cinta, melainkan terutama sekali oleh kekurangan pengalamannya.
"Yap-te, mari kita mandi!" seru Lu Sian dengan suara gembira
Yap Kwan Bi berdiri seperti terpaku di atas tanah, tak kuasa bergerak maupun membuka suara, matanya memandang ke arah Lu Sian seperti orang terkena pesona, hanya kalamenjingnya yang bergerak perlahan ketika ia menelan ludah. Pemandangan yang tampak olehnya benar-benar merupakan pemandangan yang belum pernah ia saksikan selamanya, pemandangan indah dan menggairahkan hati mudanya.
Betapa tidak? Wanita yang cantik jelita seperti bidadari itu dengan gerakan indah seperti dewi menari, menanggalkan pakaian luarnya begitu bebas, seakan-akan dia tidak berada disitu, menanggalkan pakaian luar dan kaus serta sepatu, kemudian melepaskan sanggulnya, menoleh kepadanya sambil tersenyum lebar lalu meloncat ke dalam air!
Suara air muncrat menyadarkan Kwan Bi, dan ia pun lari mendekati telaga dengan hati berdebar-debar. Cepat ia menanggalkan pula pakaiannya dan melompat ke dalam air, berenang menghampiri Lu Sian yang tertawa-tawa dan bermain-main dengan air yang jernih di tengah telaga. Setelah dekat, Kwan Bi menangkap lengan tangan Lu Sian sambil berkata,
"Lu-cici, kau ... tidak marah kepadaku?"
"Marah? Kenapa mesti marah?" kata Lu Sian tertawa dan memercikkan air.
"Kau tidak marah mendengar aku mencintaimu?"
"Hi-hik, kenapa marah? Kau baik sekali, akan tetapi harus kau buktikan dulu cintamu!"
Jawab Lu Sian manja, dan ia kelihatan cantik luar biasa di bawah sinar bulan. Benar-benar seperti seorang dewi dari langit turun dan mandi di telaga ini.
"Oh, Lu-cici... aku mencintaimu... aku berani bersumpah, dan kau minta bukti? Ini buktinya...!" Kwan Bi memeluk, merangkul dan mencium.
"Eiiihhh... ini bukan bukti namanya. Belum apa-apa kau sudah mau enaknya saja!" Lu Sian merenggutkan diri terlepas dari pelukan, tertawa-tawa menggoda membuat pemuda itu makin gemas, makin bergelora gairahnya. "Adikku yang tampan, sebelum itu kau harus membuktikan bahwa kau benar-benar mencintaku dan suka menolongku."
"Pertolongan apakah? Katakanlah, kasihku, katakan. Biar dengan taruhan nyawa sekalipun, aku pasti akan memenuhi permintaanmu, membuktikan cinta kasihku kepadamu,"
Kata Kwan Bi dengan suara gemetar dan tubuh menggigil saking hebatnya gelombang nafsu membakarnya.
"Yap Kwan Bi, aku ingin sekali melihat kamar penyimpanan kitab di Siauw-lim-si, memilih sebuah kitab dan meminjamnya. Maukah kau menolongku?"
Bukan main kagetnya hati Yap Kwan Bi.
"Ah... ini... ini... agaknya sukar sekali Lu-cici!"
Bibir yang melebihi madu manisnya itu berjebi dan cuping hidung yang bangir itu bergerak-gerak mengejek,
"Huhh! Dan kau bilang mencintaku? Berani bersumpah?"
Lu Sian berenang ke pinggir telaga dan mendarat, duduk di atas rumput. Setelah wanita itu keluar dari dalam air, tubuh yang bentuknya ramping padat itu hanya tertutup pakaian dalam yang basah kuyup oleh air pula. Kwan Bi Seperti dicabut semangatnya. Sejenak ia menatap pemandangan luar biasa itu, pandang matanya menelan lekuk-lengkung tubuh yang demikian menantang, maka maboklah pemuda ini. Ia lupa segala, tidak peduli akan segala apa di dunia ini, yang teringat olehnya hanyalah wajah jelita dan tubuh menggairahkan. Setiap titik darahnya, setiap hembusan napasnya, seakan-akan berteriak-teriak dalam kerinduan membutuhkan si jelita!
"Lu-cici..., tunggu dulu!" serunya sambil mengejar, berenang ke darat. Diam-diam Lu Sian tersenyum.
Pemuda itu amat tampan, amat menyenangkan dan hatinya memang sudah tergerak. Tanpa adanya harapan melihat kitab pusaka Siauw-lim-pai sekalipun ia akan merasa senang bersahabat dengan Yap Kwan Bi si muda remaja yang tampan ini. Apalagi kalau mendapatkan kitab!
"Mengapa lagi? Kau tidak mau menolongku, berarti kau tidak suka kepadaku."
Lu Sian pura-pura marah dan membuang muka dengan gerakan sedemikian rupa sehingga tubuhnya tampak dari samping dan makin menonjol keindahannya.
Yap Kwan Bi menelan ludah beberapa kali, matanya seperti lekat pada lekuk lekung di depannya.
"Lu-cici... aku tadi bukan bilang tidak mau menolong, hanya menyatakan sukar sekali."
"Jadi kau mau menolongku?" Tiba-tiba Lu Sian membalik dan memegang lengan pemuda itu.
Tentu saja tubuhnya mendekat dari rambut serta tubuhnya semerbak bau harum dan wangi yang khas! Menggigil tubuh Kwan Bi dan hampir saja ia menitikkan air mata saking dikuasai haru, kasih dan nafsu.
"Tentu, Lu-cici. Biarpun hal itu merupakan perbuatan yang amat murtad. Kalau ketahuan, tentu akan dihukum mati oleh para Suhu. Namun, demi cintaku kepadamu, Cici, biarlah akan kulakukan juga. Mati untukmu merupakan kebahagiaan bagiku."
Suaranya menggetar dan terharulah hati Lu Sian. Agaknya dalam soal cinta, pemuda yang lebih muda dari padanya ini tidaklah kalah oleh bekas suaminya, Kam Si Ek, dan bekas kekasihnya, Tan Hui. Saking terharunya, ia lalu merangkul leher pemuda itu dan memberi ciuman mesra dengan bibirnya.
"Kau baik sekali, Yap-te, dan aku beruntung mendapatkan sahabat seperti engkau." Kemudian ia menjauhkan diri ketika melihat betapa pemuda itu terangsang oleh ciumannya dan hendak mendekapnya. "Nanti dulu, Adikku, bersabarlah. Kau ceritakan, bagaimana kita akan dapat memasuki kamar kitab di Siauw-lim-si? Padahal disana tentu terjaga kuat oleh tokoh-tokoh Siauw-lim-pai yang lihai."
"Kau betul, Cici. Akan tetapi, kebetulan sekali besok lusa diadakan sembahyang besar di Siauw-lim-si. Agaknya Thian memang akan menolong dan melindungi cinta kasih kita. Dalam upacara sembahyang besar itu, semua murid Siauw-lim-si berikut pimpinannya yang telah menjadi hwesio dan nikouw, melakukan upacara sembahyang beramai-ramai dan berbareng. Tidak ada seorang pun hwesio yang tidak ikut dalam upacara itu. Nah, pada saat itulah, selama upacara sembahyang dilakukan semua tempat dalam lingkungan Siauw-lim-si tidak terjaga. Adapun penjagaan hanya dilakukan oleh murid-murid bukan pendeta, itupun yang dijaga hanya sekeliling tembok yang mengurung Siauw-lim-si. Aku pun ikut menjadi penjaga, penjaga pintu gerbang dan tembok bagian selatan. Kalau aku yang menjaga di sana, apakah sukarnya bagimu untuk masuk? Dan selagi para hwesio melakukan upacara sembahyang, kau dapat dengan leluasa memasuki kamar kitab, bukan?"
Girang sekali hati Lu Sian.
"Ah, bagus kalau begitu! Masih dua hari lagi? Ah, masih banyak waktu bagi kita untuk..." Lu Sian mengerling tajam.
"... untuk bersenang-senang bersama bukan?"
Lu Sian tersenyum.
"Ketika kau menawarkan kamarmu untukku, bukankah disudut hatimu ada maksud itu?"
Wajah yang tampan itu menjadi merah, akan tetapi pemuda ini menggeleng kepala dan berkata dengan suara sungguh-sungguh,
"Tidak, Lu-cici. Ketika itu aku hanya berniat menolong, karena memang sifat pendekar harus selalu dilaksanakan oleh para murid Siauw-lim-pai. Akan tetapi... ah, entah mengapa, aku tergila-gila kepadamu, dan aku cinta kepadamu! Tak baik kalau kita kembali kesana bersama, Lu-cici, orang-orang tentu akan menaruh curiga. Di sinilah tempat kita, bukankah enak dan nyaman sekali disini?" Yap Kwan Bi memeluknya lagi dan kali ini Lu Sian mendiamkannya saja.
Tiba-tiba wanita ini bangkit berdiri dan menarik tangan Kwan Bi.
"Eh, bocah pelupa! Bukankah kau hendak memperkenalkan aku kepada bibi gurumu Su-nikouw?"
Yap Kwan Bi tertawa, agak kecewa karena tidak ada keinginan lain di dunia ini baginya kecuali berdua-dua dan bersenda gurau bermain cinta dengan Lu Sian, jauh dari urusan dan orang lain. Akan tetapi ia tidak berani menolak. Setelah mengenakan pakaian luar, mereka berdua bergandeng tangan dan berlari menuju ke Kuil Kwan-im-bio.
Su-nikouw atau Su Pek Hong adalah seorang nikouw yang ramah tamah wataknya. Ia menjadi ketua Kwan-im-bio yang kecil namun bersih dan rapi, hanya diurus oleh tujuh orang nikouw.
Ketika Su-nikouw menyambut kedatangan murid keponakannya, Lu Sian memandang dengan heran dan kagum. Nikouw itu tidak cantik, wajahnya biasa saja dan tubuhnya terlalu kurus, akan tetapi harus diakui bahwa melihat wajah dan tangannya, wanita ini tentu tidak akan lebih dari tiga puluh tahun usianya. Padahal menurut penuturan Kwan Bi, nikouw ini usianya sudah lima puluh tahun lebih! Benar-benar hebat sekali dan timbullah keinginan di hati Lu Sian untuk mendapatkan ilmu awet muda ini.
"Eh, Kwan Bi, kaukah ini? Darimana kau dan siapakah Nona ini? Apakah kau tidak ikut membuat persiapan di Siauw-lim-si?"
Yap Kwan Bi sudah memberi hormat lalu menjawab,
"Bibi Guru, kedatangan teecu (murid) adalah untuk mengantar Lu-lihiap (Pendekar Wanita Lu) ini, yang ingin berjumpa dan berkenalan dengan Bibi. Teecu menanti kedatangan Sam-suheng dan Ngo-suheng (Kakak Seperguruan Ke Tiga dan Ke Lima) untuk bersama-sama merencanakan tugas jaga besok lusa."
Ia lalu memperkenalkan Lu Sian dan menceritakan betapa Lu Sian memberi hajaran kepada para buaya darat di Kim-peng yang hendak mengganggu.
"Aih kiranya Nona seorang pendekar yang lihai!" Nikouw itu mengangkat kedua tangan di depan dada.
Lu Sian serentak bangkit berdiri, wajahnya berseri.
"Kalau begitu menanti apa lagi? Mari kita kesana, mandi lalu mengunjungi bibi gurumu Su-nikouw!"
Setelah membereskan perhitungan makanan, mereka berdua keluar dari rumah penginapan. Malam telah tiba ketika mereka berada di luar rumah penginapan. Yap Kwan Bi yang mengenal jalan, tanpa ragu-ragu lagi menggandeng tangan Lu Sian, diajak berjalan cepat melalui lorong-lorong gelap.
Mereka setengah berlari menuju ke sebelah barat kota, bahkan setelah keluar dari pintu gerbang sebelah barat, mereka berlari cepat sambil tertawa-tawa seperti dua orang kanak-kanak bergembira. Tak lama kemudian mereka memasuki sebuah hutan yang sunyi dan gelap karena sinar bulan tertutup daun-daun pohon. Setelah makin dekat dengan telaga kecil yang berada di tengah hutan, jalan yang mereka lalui licin.
"Hati-hati, jalannya licin..."
Baru saja Kwan Bi berkata demikian, Lu Sian terpeleset dan tentu jatuh kalau Kwan Bi tidak cepat memeluknya.
"Eh, hampir jatuh aku..." Lu Sian tertawa. Akan tetapi pemuda itu tidak melepaskan pelukannya. "Heee, Yap-te, mengapa kau ini....?" Tegurnya, pura-pura marah.
Dengan dada turun naik dan napas tersendat-sendat, Kwan Bi mempererat dekapannya dan berbisik di dekat telinga Lu Sian, suaranya menggetar, tubuhnya agak menggigil.
"Ah... aku telah gila... aku... aku cinta padamu, Lu-cici!"
Lu Sian tertawa dan mencubit dagu yang halus tak ditumbuhi rambut itu sambil melepaskan diri dari pelukan.
"Aihhh, kiranya kau nakal!" Kemudian sambil tertawa-tawa ia lari menuju ke telaga.
Kini pohon-pohon tidak begitu banyak lagi dan sinar bulan tampak indah sekali menyinari permukaan air telaga dan membuat keadaan sekeliling yang sunyi itu menjadi amat romantis.
Sejenak Yap Kwan Bi tertegun, kemudian ia pun tertawa dan mengejar ke telaga. Cinta memang aneh dan luar biasa pengaruhnya. Seorang muda yang sedang dicengkeram cinta, seakan-akan menjadi buta dan linglung. Demikian pula dengan Kwan Bi. Andaikata dia tidak dibikin mabok dan buta oleh perasaan ini, tentu dia akan menjadi curiga dan heran mengapa seorang wanita sedemikian tinggi ilmu kepandaiannya seperti Lu Sian begitu mudah terpeleset hampir jatuh! Mungkin hal ini terjadi bukan hanya karena ia menjadi buta oleh nafsu cinta, melainkan terutama sekali oleh kekurangan pengalamannya.
"Yap-te, mari kita mandi!" seru Lu Sian dengan suara gembira
Yap Kwan Bi berdiri seperti terpaku di atas tanah, tak kuasa bergerak maupun membuka suara, matanya memandang ke arah Lu Sian seperti orang terkena pesona, hanya kalamenjingnya yang bergerak perlahan ketika ia menelan ludah. Pemandangan yang tampak olehnya benar-benar merupakan pemandangan yang belum pernah ia saksikan selamanya, pemandangan indah dan menggairahkan hati mudanya.
Betapa tidak? Wanita yang cantik jelita seperti bidadari itu dengan gerakan indah seperti dewi menari, menanggalkan pakaian luarnya begitu bebas, seakan-akan dia tidak berada disitu, menanggalkan pakaian luar dan kaus serta sepatu, kemudian melepaskan sanggulnya, menoleh kepadanya sambil tersenyum lebar lalu meloncat ke dalam air!
Suara air muncrat menyadarkan Kwan Bi, dan ia pun lari mendekati telaga dengan hati berdebar-debar. Cepat ia menanggalkan pula pakaiannya dan melompat ke dalam air, berenang menghampiri Lu Sian yang tertawa-tawa dan bermain-main dengan air yang jernih di tengah telaga. Setelah dekat, Kwan Bi menangkap lengan tangan Lu Sian sambil berkata,
"Lu-cici, kau ... tidak marah kepadaku?"
"Marah? Kenapa mesti marah?" kata Lu Sian tertawa dan memercikkan air.
"Kau tidak marah mendengar aku mencintaimu?"
"Hi-hik, kenapa marah? Kau baik sekali, akan tetapi harus kau buktikan dulu cintamu!"
Jawab Lu Sian manja, dan ia kelihatan cantik luar biasa di bawah sinar bulan. Benar-benar seperti seorang dewi dari langit turun dan mandi di telaga ini.
"Oh, Lu-cici... aku mencintaimu... aku berani bersumpah, dan kau minta bukti? Ini buktinya...!" Kwan Bi memeluk, merangkul dan mencium.
"Eiiihhh... ini bukan bukti namanya. Belum apa-apa kau sudah mau enaknya saja!" Lu Sian merenggutkan diri terlepas dari pelukan, tertawa-tawa menggoda membuat pemuda itu makin gemas, makin bergelora gairahnya. "Adikku yang tampan, sebelum itu kau harus membuktikan bahwa kau benar-benar mencintaku dan suka menolongku."
"Pertolongan apakah? Katakanlah, kasihku, katakan. Biar dengan taruhan nyawa sekalipun, aku pasti akan memenuhi permintaanmu, membuktikan cinta kasihku kepadamu,"
Kata Kwan Bi dengan suara gemetar dan tubuh menggigil saking hebatnya gelombang nafsu membakarnya.
"Yap Kwan Bi, aku ingin sekali melihat kamar penyimpanan kitab di Siauw-lim-si, memilih sebuah kitab dan meminjamnya. Maukah kau menolongku?"
Bukan main kagetnya hati Yap Kwan Bi.
"Ah... ini... ini... agaknya sukar sekali Lu-cici!"
Bibir yang melebihi madu manisnya itu berjebi dan cuping hidung yang bangir itu bergerak-gerak mengejek,
"Huhh! Dan kau bilang mencintaku? Berani bersumpah?"
Lu Sian berenang ke pinggir telaga dan mendarat, duduk di atas rumput. Setelah wanita itu keluar dari dalam air, tubuh yang bentuknya ramping padat itu hanya tertutup pakaian dalam yang basah kuyup oleh air pula. Kwan Bi Seperti dicabut semangatnya. Sejenak ia menatap pemandangan luar biasa itu, pandang matanya menelan lekuk-lengkung tubuh yang demikian menantang, maka maboklah pemuda ini. Ia lupa segala, tidak peduli akan segala apa di dunia ini, yang teringat olehnya hanyalah wajah jelita dan tubuh menggairahkan. Setiap titik darahnya, setiap hembusan napasnya, seakan-akan berteriak-teriak dalam kerinduan membutuhkan si jelita!
"Lu-cici..., tunggu dulu!" serunya sambil mengejar, berenang ke darat. Diam-diam Lu Sian tersenyum.
Pemuda itu amat tampan, amat menyenangkan dan hatinya memang sudah tergerak. Tanpa adanya harapan melihat kitab pusaka Siauw-lim-pai sekalipun ia akan merasa senang bersahabat dengan Yap Kwan Bi si muda remaja yang tampan ini. Apalagi kalau mendapatkan kitab!
"Mengapa lagi? Kau tidak mau menolongku, berarti kau tidak suka kepadaku."
Lu Sian pura-pura marah dan membuang muka dengan gerakan sedemikian rupa sehingga tubuhnya tampak dari samping dan makin menonjol keindahannya.
Yap Kwan Bi menelan ludah beberapa kali, matanya seperti lekat pada lekuk lekung di depannya.
"Lu-cici... aku tadi bukan bilang tidak mau menolong, hanya menyatakan sukar sekali."
"Jadi kau mau menolongku?" Tiba-tiba Lu Sian membalik dan memegang lengan pemuda itu.
Tentu saja tubuhnya mendekat dari rambut serta tubuhnya semerbak bau harum dan wangi yang khas! Menggigil tubuh Kwan Bi dan hampir saja ia menitikkan air mata saking dikuasai haru, kasih dan nafsu.
"Tentu, Lu-cici. Biarpun hal itu merupakan perbuatan yang amat murtad. Kalau ketahuan, tentu akan dihukum mati oleh para Suhu. Namun, demi cintaku kepadamu, Cici, biarlah akan kulakukan juga. Mati untukmu merupakan kebahagiaan bagiku."
Suaranya menggetar dan terharulah hati Lu Sian. Agaknya dalam soal cinta, pemuda yang lebih muda dari padanya ini tidaklah kalah oleh bekas suaminya, Kam Si Ek, dan bekas kekasihnya, Tan Hui. Saking terharunya, ia lalu merangkul leher pemuda itu dan memberi ciuman mesra dengan bibirnya.
"Kau baik sekali, Yap-te, dan aku beruntung mendapatkan sahabat seperti engkau." Kemudian ia menjauhkan diri ketika melihat betapa pemuda itu terangsang oleh ciumannya dan hendak mendekapnya. "Nanti dulu, Adikku, bersabarlah. Kau ceritakan, bagaimana kita akan dapat memasuki kamar kitab di Siauw-lim-si? Padahal disana tentu terjaga kuat oleh tokoh-tokoh Siauw-lim-pai yang lihai."
"Kau betul, Cici. Akan tetapi, kebetulan sekali besok lusa diadakan sembahyang besar di Siauw-lim-si. Agaknya Thian memang akan menolong dan melindungi cinta kasih kita. Dalam upacara sembahyang besar itu, semua murid Siauw-lim-si berikut pimpinannya yang telah menjadi hwesio dan nikouw, melakukan upacara sembahyang beramai-ramai dan berbareng. Tidak ada seorang pun hwesio yang tidak ikut dalam upacara itu. Nah, pada saat itulah, selama upacara sembahyang dilakukan semua tempat dalam lingkungan Siauw-lim-si tidak terjaga. Adapun penjagaan hanya dilakukan oleh murid-murid bukan pendeta, itupun yang dijaga hanya sekeliling tembok yang mengurung Siauw-lim-si. Aku pun ikut menjadi penjaga, penjaga pintu gerbang dan tembok bagian selatan. Kalau aku yang menjaga di sana, apakah sukarnya bagimu untuk masuk? Dan selagi para hwesio melakukan upacara sembahyang, kau dapat dengan leluasa memasuki kamar kitab, bukan?"
Girang sekali hati Lu Sian.
"Ah, bagus kalau begitu! Masih dua hari lagi? Ah, masih banyak waktu bagi kita untuk..." Lu Sian mengerling tajam.
"... untuk bersenang-senang bersama bukan?"
Lu Sian tersenyum.
"Ketika kau menawarkan kamarmu untukku, bukankah disudut hatimu ada maksud itu?"
Wajah yang tampan itu menjadi merah, akan tetapi pemuda ini menggeleng kepala dan berkata dengan suara sungguh-sungguh,
"Tidak, Lu-cici. Ketika itu aku hanya berniat menolong, karena memang sifat pendekar harus selalu dilaksanakan oleh para murid Siauw-lim-pai. Akan tetapi... ah, entah mengapa, aku tergila-gila kepadamu, dan aku cinta kepadamu! Tak baik kalau kita kembali kesana bersama, Lu-cici, orang-orang tentu akan menaruh curiga. Di sinilah tempat kita, bukankah enak dan nyaman sekali disini?" Yap Kwan Bi memeluknya lagi dan kali ini Lu Sian mendiamkannya saja.
Tiba-tiba wanita ini bangkit berdiri dan menarik tangan Kwan Bi.
"Eh, bocah pelupa! Bukankah kau hendak memperkenalkan aku kepada bibi gurumu Su-nikouw?"
Yap Kwan Bi tertawa, agak kecewa karena tidak ada keinginan lain di dunia ini baginya kecuali berdua-dua dan bersenda gurau bermain cinta dengan Lu Sian, jauh dari urusan dan orang lain. Akan tetapi ia tidak berani menolak. Setelah mengenakan pakaian luar, mereka berdua bergandeng tangan dan berlari menuju ke Kuil Kwan-im-bio.
Su-nikouw atau Su Pek Hong adalah seorang nikouw yang ramah tamah wataknya. Ia menjadi ketua Kwan-im-bio yang kecil namun bersih dan rapi, hanya diurus oleh tujuh orang nikouw.
Ketika Su-nikouw menyambut kedatangan murid keponakannya, Lu Sian memandang dengan heran dan kagum. Nikouw itu tidak cantik, wajahnya biasa saja dan tubuhnya terlalu kurus, akan tetapi harus diakui bahwa melihat wajah dan tangannya, wanita ini tentu tidak akan lebih dari tiga puluh tahun usianya. Padahal menurut penuturan Kwan Bi, nikouw ini usianya sudah lima puluh tahun lebih! Benar-benar hebat sekali dan timbullah keinginan di hati Lu Sian untuk mendapatkan ilmu awet muda ini.
"Eh, Kwan Bi, kaukah ini? Darimana kau dan siapakah Nona ini? Apakah kau tidak ikut membuat persiapan di Siauw-lim-si?"
Yap Kwan Bi sudah memberi hormat lalu menjawab,
"Bibi Guru, kedatangan teecu (murid) adalah untuk mengantar Lu-lihiap (Pendekar Wanita Lu) ini, yang ingin berjumpa dan berkenalan dengan Bibi. Teecu menanti kedatangan Sam-suheng dan Ngo-suheng (Kakak Seperguruan Ke Tiga dan Ke Lima) untuk bersama-sama merencanakan tugas jaga besok lusa."
Ia lalu memperkenalkan Lu Sian dan menceritakan betapa Lu Sian memberi hajaran kepada para buaya darat di Kim-peng yang hendak mengganggu.
"Aih kiranya Nona seorang pendekar yang lihai!" Nikouw itu mengangkat kedua tangan di depan dada.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar