FB

FB


Ads

Senin, 28 Januari 2019

Bukek Siansu Jilid 065

Gadis bernama Liang-cu yang sebenarnya adalah penyamaran Bu Swi Liang, bekerja di dalam istana sebagai pengawal pribadi Yang Kui Hui. Dia bertugas memikat hati selir Kaisar yang cantik jelita ini. Dapat dibayangkan betapa tersiksa hati pemuda itu menyaksikan semua yang terjadi di dalam kamar Yang Kui Hui, melihat selir yang cantik jelita itu beristirahat, mandi, berganti pakaian dan lain-lain di depan matanya begitu saja karena dia dianggap wanita pula!

Betapa tersiksa hati orang muda ini hidup di antara wanita-wanita cantik, yaitu para pelayan Yang Kui Hui. Di istana bagian puteri ini tidak ada prianya, karena para thaikam yang bertugas di situ biarpun kelihatan seperti orang pria, namun sesunguhnya tidak lagi dapat disebut sebagai pria.

Untuk melakukan tugasnya memikat Yang Kui Hui, dia belum berani karena kesempatanya belum tiba. Dia tidak berani bersikap kasar dan membuka rahasia penyamarannya begitu saja. Karena sekali gagal, dia tentu akan mati konyol. Akan tetapi untuk menunda lebih lama lagi menguasai nafsunya, dia tidak sanggup! Akan tetapi, Swi Liang menahan gelora hatinya sedapat mungkin. Dia harus bersabar menanti kesempatan baik. Tugasnya amat penting bagi perjuangan subonya. Sama sekali tidak boleh gagal karena taruhannya adalah nyawanya

Pada suatu senja belasan hari kemudian Swi Liang diperbolehkan mengaso karena malam itu kaisar akan mengunjungi selirnya yang tercinta dan tempat itu penuh dengan pengawal-pengawal pribadi Kaisar sendiri. Swi Liang lalu mengundurkan diri ke dalam kamarnya, sebuah kamar yang amat indah dan berdekatan dengan kamar para pelayan utama atau pelayan pribadi selir Kaisar itu.

"Enci Liang-cu! kenapa melamun saja?"

Seorang gadis cantik berbaju hijau menegurnya sambil tertawa-tawa, di belakangnya masuk pula seorang gadis cantik berbaju merah. Mereka itu adalah dua orang pelayan pribadi Yang Kui Hui, dua orang gadis cantik jelita yang genit-genit

"Ah, Enci Liang-cu orangnya pendiam amat sih, tidak mau bersendau gurau dengan kami?"

"Ahh, aku lelah dan sedang beristirahat. Jarang ada kesempatan beristirahat seperti ini...." kata Swi Liang.

"Mari temani kami main thio-ki (kartu) di kamarku, Enci Liang-cu!" kata Si Baju Hijau.

"Ya, marilah, Enci Liang-cu. Tidak enak hanya bermain berdua. Marilah, sambil kita berkenalan lebih erat lagi. Kenapa sih? Bukankah kita ini rekan-rekan yang berkerja di sini?" kata Si Baju Merah sambil menarik tangan Swi Liang.

Tak dapat Swi Liang menolak karena hal ini mendatangkan kecurigaan apalagi memang dia sudah rindu sekali akan sentuhan tangan wanita cantik setelah belasan hari berpisah dari subonya.

Kedua orang gadis itu tertawa-tawa, menggandeng kedua tangan Swi Liang dan membawanya kedalam kamar Si Baju Hijau yang berbau harum. Sebuah meja bundar rendah telah dipersiapkan di tengah kamar, di dekat pembaringan di sekeliling meja itu terdapat tikar yang ditilami kasur dan bantal. Selain kartu untuk main, juga di atas meja terdapat seguci arak wangi dan cawan-cawan kecil, juga beberapa macam kuih kering.

"Duduklah, Enci Liang-cu. Mari kita, main-main. kau bermalam saja di sini malam ini, ya?" Si Baju Hijau berkata sambil merangkul.

"Dan tubuhmu begini tegap dan kelihatan kuat, Enci Liang-cu," kata Si Baju Merah memegang-megang lengan pemuda itu.






"Aihhh, tangan Enci Liang-cu kuat dan kasar!" kata Si Baju Merah mengelus telapak tangan pemuda itu.

Swi Liang menarik tangannya.
"Aahh, aku sejak kecil berlatih silat. Tentu saja aku seorang gadis yang kasar, mana bisa dibandingkan dengan kalian yang halus mungil?"

"Hi-hik, kau terlalu memuji, Enci!" kata Si Baju Merah sambil mencubit paha Swi Liang.

"Kalau engkau menjadi seorang laki-laki, tentu tampan dan gagah, Enci Liang-cu!" kata Si Baju Hijau.

"Eh, untuk apa arak ini?" katanya setelah Si Baju Merah menuangkan secawan arak yang berbau wangi.

"Hi-hik, bermain thioki tanpa taruhan tidak menyenangkan. Siapa kalah harus menebus kekalahannya dengan minum secawan arak wangi!" kata Si Baju Hijau.

Mereka mulai bermain thioki sambil bercakap-cakap dan bersendau gurau, atau lebih tepat lagi, kedua orang gadis itu yang bercakap-cakap dan bersendau gurau sedangkan Swi Liang hanya mendengarkan dan kadang-kadang tersenyum saja.

Karena dia tidak ingin dilolohi arak sehingga rahasianya dapat terbuka, maka Swi Liang bermain sungguh-sungguh sehingga dia jarang kalah dan yang kebagian minum arak adalah kedua orang gadis itulah! Mereka bermain terus sampai menjelang tengah malam dan akhirnya arak dalam guci kecil itu habis!

"Ahhh, hawanya panas sekali ....!" kata Si Baju Hijau.

"Bukan panas, hanya engkau terlalu banyak minum maka terasa panas, " kata Swi Liang.

"Hemm, mungkin... aihhh, gerahnya."
Si Baju Hijau membuka kancing bajunya dan mengebut-ngebut dengan kipas.

Karena pandang matanya selalu tertarik ke arah Si Baju Hijau, maka permainan Swi Liang menjadi kalut dan sekali ini dia kalah. Akan tetapi arak telah habis!

"Wah, Enci Liang-cu jarang kalah, sekarang telah kalah araknya habis. Mana dia bisa menebus kekalahannya?" kata Si Baju Merah cemberut.

Swi Liang memejamkan kedua matanya!
"Eh.... eh...., kalian ini bagaimana? Ihh... malu, kan....?" katanya gelagapan.

"Enci Liang-cu, mengapa kau begitu kejam? Kita bertahun-tahun dikurung di tempat ini dan hanya dapat menyaksikan orang lain bermain cinta. Bertemu dengan pria pun merupakan hal yang tak mungkin bagi kita. Apa salahnya di antara kita saling menghibur dan saling mencumbu? Sekedar menghilangkan rindu......" kata Si Baju Merah.

"Enci Liang-cu.... kalau saja engkau seorang pria....." bisik Si Baju Merah

"Kalian senang?" Swi Liang berkata, terengah-engah sedikit. "Matikanlah lampunya, barangkali di dalam gelap aku akan dapat pian-hoa (bermain rupa) menjadi pria, siapa tahu?"

Sambil terkekeh genit, Si Baju Hijau meniup padam lampu di meja dan mereka bertiga pindah ke pembaringan, Mereka merasa semakin bebas setelah keadaan di dalam kamar itu menjadi gelap, tanpa malu-malu lagi.

Tak lama kemudian terdengar jerit tertahan, disusul teriakan-teriakan yang lebih menyerupai bisikan kaget bercampur girang,

"Eh... kau...?"

Menjelang pagi, terdengar suara Si Baju Hijau, suara yang berbisik dan agak serak karena semalam tidak tidur rupanya,

"...engkau.... setiap malam harus menemani kami.... ya, koko yang baik?"

"....harus, kalau tidak.... hemm, kami akan melaporkan bahwa kau adalah seorang pria sejati......" bisik pula Si Baju Merah dengan nada manja mengancam.

Sunyi mengikuti kata-kata bisikan itu, kemudian terdengar jerit tertahan dan tak lama kemudian, tampak Swi Liang dalam pakaian seperti liang-cu, meloncat keluar dari dalam kamar itu memondong tubuh dua orang pelayan itu yang sudah menjadi mayat!

Dengan tergesa-gesa Swi Liang membawa dua mayat itu ke kebun, menggali lubang, mengubur dengan cepat sekali, kemudian kembali ke kamarnya dengan badan penuh keringat dan muka pucat.

Akan tetapi hatinya lega dan diam-diam dia menyesali perbuatannya sendiri. Mengapa dia begitu lemah sehingga tidak dapat menahan diri terjatuh ke dalam rayuan dua orang gadis cantik itu? Dia terpaksa membunuh mereka, sungguhpun hal itu dilakukannya dengan perasaan penuh penyesalan. Tugasnya lebih penting dan kalau sampai gagal, dia akan tewas, akan mati konyol.

Dengan membuka rahasianya kepada dua orang gadis itu, keadaannya tentu saja terancam hebat. Belum apa-apa dua orang gadis itu telah "memerasnya" untuk setiap malam melayani mereka dengan ancaman akan dibuka rahasianya! Tentu saja dia terpaksa harus membunuh mereka demi keselamatan dirinya sendiri.

Lenyapnya dua orang pelayan itu hanya menimbulkan sedikit keributan di istana bagian puteri. Betapapun juga, mereka itu hanyalah dua orang pelayan dan akhirnya Yang Kui Hui hanya memerintahkan para pengawal untuk melakukan pengejaran karena dikira bahwa mereka itu tentu melarikan diri, dan kalau sampai dapat ditangkap agar supaya dijatuhi hukuman berat.

Mengertilah kini Swi Liang bahwa dia harus cepat-cepat turun tangan kalau tidak mau terjadi gangguan lain lagi. Mulailah dia mendekati Yang Kui Hui, membantu pada setiap kali ada kesempatan, membantu para pelayan yang memandikan selir jelita itu, menggosok punggungnya, mengeringkan tubuhnya dan mengenakan pakaiannya. Bahkan pada suatu malam, ketika Yang Kui Hui merebahkan diri seorang diri dengan mata merem melek seperti seekor kucing malas, ia mendekatinya, berlutut dan menggunakan tangannya untuk memijit-mijit kaki selir itu dengan perlahan, meniru perbuatan pelayan yang suka memijit tubuh selir itu.

Jantungnya berdebar keras sekali. Nafsu hatinya ditekannya keras sekali dia merasa betapa api berahi telah membakar dadanya dan api itu menyala dari ujung jari tangannya yang bersentuhan dengan kulit kaki yang halus lunak dan hangat.






Tidak ada komentar:

Posting Komentar