"Nanti dulu, Bu Ong. Terlampau enak baginya kalau dibunuh begitu saja. Tidak, untuk setiap orang dari suhengku, dia harus menderita satu macam siksaan. Jari tangannya. Hi-hik, jari-jari tangannya berjumlah sepuluh, itu untuk sepuluh orang suheng! Dan dua buah daun telinganya itu untuk kedua suheng yang lain,"
The Kwat Lin mencabut pedangnya, menyerahkan kepada puteranya sambil tertawa-tawa, kemudian dia mengerahkan khikangnya, "mengirim suara" dengan ilmunya yang tinggi ini sehingga suaranya hanya terdengar oleh Pat-jiu Kai-ong, akan tetapi sama sekali tidak terdengar oleh anaknya,
"Pat-jiu Kai-ong, tahukah kau siapa bocah ini? Dia ini adalah puteramu! Keturunanmu! hasil kotor dari perkosaanmu atas diriku. Nah, sekarang kau lihatlah anakmu, darah dagingmu sendiri yang akan menyiksa dirimu!"
Sepasang mata Pat-jiu Kai-ong terbelalak lebar, mukanya pucat sekali. Puluhan tahun dia ingin sekali memperoleh keturunan, terutama seorang putera, akan tetapi biarpun dia sudah berganti-ganti selir sampai ratusan kali, tetap saja para selir itu tidak pernah memperoleh keturunannya. Sekarang, secara tidak sengaja dia telah memperoleh seorang putera! dan puteranya itu dengan pedang di tangan menghampirinya, siap untuk menyiksanya!
Tadi dia terheran melihat betapa bekas anggauta Cap-sa Sin-hiap, murid Bu-tong-pai yang terkenal gagah itu menjadi begitu keji, mengajar putera sendiri melakukan kekejaman. Kiranya wanita itu memang sengaja hendak menyiksanya dengan menggunakan tangan keturunanya sendiri! Kiranya wanita itu juga membenci anak itu seperti juga membencinya, maka sengaja membiarkan anak itu menyiksa dan membunuh ayah sendiri!
"Anak... jangan... dengarkanlah...."
"Pratttt...!"
Pat-jiu Kai-ong tidak dapat melanjutkan kata-katanya yang tadinya hendak mmperingatkan anak laki-laki itu karena urat ganggunya dileher telah ditotok oleh lengan baju The Kwat Lin yang terkekeh menyeringai
"Pat-jiu Kai-ong, begini pengecutkah engkau? Haiii... di mana kegagahanmu sebagai seorang datuk? Lihatlah baik-baik dan nikmatilah siksaan anak ini! Bu Ong, pergunakan pedang itu. Pertama buntungi kedua daun telinganya untuk Twa-supek dan Ji-supekmu!"
"Baik, Ibu!"
Bu Ong lalu melangkah maju dan dua kali pedang itu berkelebat karena anak itu ternyata sudah pandai menggunakan pedang itu dan buntunglah kedua daun telinga Pat-jiu Kai-ong !
Dapat dibayangkan betapa nyeri, perih dan pedih rasa badan dan hati kakek itu. Air matanya meloncat keluar membasahi pipinya!
"Ha-ha, ibu! Lihat, dia menangis !" Anak itu bersorak dan mengambil dua buah daun telinga itu. "He-he, seperti telinga babi!"
Memang Pat-jiu Kai-ong menangis! Akan tetapi bukan menangis karena rasa nyeri dan pedih karena kedua daun telinganya buntung, melainkan nyeri di hati yang lebih hebat lagi melihat betapa anaknya sendiri yang sejak puluhan tahun yang lalu dirindukannya, kini bersorak girang melihat penderitaannya! Dia tidak takut mati, tidak takut sakit, akan tetapi melihat betapa dia menghadapi siksaan dan kematian di tangan anaknya sendiri, benar-benar merupakan tekanan batin yang hampir tak kuat dia menanggungnya .
"Teruskan, Bu Ong. Masih ada sepuluh orang Supekmu yang belum dibalaskan sakit hatinya. Jari-jari tangannya yang sepuluh itu! Perlahan-lahan saja, satu demi satu buntungkan!"
Mulailah penyiksaan yang amat mengerikan itu dilakukan oleh Bu-ong. Anak ini seolah-olah telah menjadi gila, dengan tertawa-tawa dia membuntungi semua jari tangan kakek itu satu demi satu dan setiap buntung sebuah jari, dia bersorak kegirangan.
Memang sejak dapat mengerti omongan, anak ini dijejali dendam oleh ibunya, dendam terhadap Pat-jiu Kai-ong dan diceritakan betapa Pat-jiu Kai-ong telah membunuh dua belas orang suhengnya dan betapa raja pengemis itu menyiksanya dan Bu Ong kelak harus membalas dendam itu. Maka kini anak itu sama sekali tidak menaruh rasa kasihan, bahkan hatinya puas sekali dapat menyiksa kakek itu.
Dapat dibayangkan betapa hebat penderitaan Pat-jiu Kai-ong. Namun dia tidak menyesali nasibnya karena dia maklum bahwa dia pun telah melakukan perbuatan sewenang-wenang atas diri The Kwat Lin sehingga pembalasan ini sudah jamak. Hanya satu hal yang membuat air matanya bercucuran adalah melihat betapa dia disiksa dan akan dibunuh oleh darah dagingnya sendiri. Dia menangis melihat darah dagingnya sendiri itu, yang baru berusia sepuluh tahun, telah menjadi seorang iblis cilik yang demikian kejam!
Kini The Kwat Lin membebaskan totokan yang membuat kaki tangannya lumpuh. Begitu kaki tangannya dapat bergerak, Pat-jiu Kai-ong meloncat dan menerkam ke arah Bu Ong dengan ke dua tangan yang sudah tak berjari lagi itu, yang berlumuran darah. Niat hatinya untuk membunuh saja anaknya itu agar kelak tidak dijadikan iblis cilik oleh ibu yang membencinya. Akan tetapi sebuah tendangan dari samping yang dilakukan oleh The Kwat Lin membuat dia terguling lagi. Rasa nyeri pada kedua ujung tangannya membuat kakek itu menggeliat-geliat.
"Mundurlah, Bu-ong. lihat sekarang ibumu yang akan turun tangan. Aku akan membalas sendiri perbuatannya kepadaku terdahulu!"
The Kwat Lin menghampiri musuhnya dengan pedang di tangan.
"Pat-jiu Kai-ong, ingatlah engkau akan peristiwa dahulu itu? Bayangkanlah, hi-hik, bayangkanlah betapa nikmatnya bagimu dan betapa menyiksa dan sengsaranya bagiku. Sekarang aku yang menikmati dan kau yang menderita. Sudah adil bukan? Nah, terimalah ini... ini... ini...!"
Bertubi-tubi pedang di tangan The Kwat Lin bergerak dan tubuh kakek itu bergulingan, berkelojotan karena rasa nyeri yang amat hebat ketika ujung pedang itu membabat keseluruh tubuhnya, dengan tepat sekali membabat ujung semua jari kakinya, hidungnya, dagunya. Babatan itu hanya mengenai ujung sedikit, tidak membahayakan keselamatan nyawa namun menimbulkan rasa nyeri yang hebat. Seluruh tubuh kakek itu kini berlepotan darah, mukanya dipenuhi oleh kerut-merut menahan nyeri.
"Hi-hik, bagaimana? Masih kurang? Nah, rasakanlah ini!"
Kembali pedang itu digerakkan, kini menusuk-nusuk dan seluruh tubuhnya ditusuki ujung pedang bertubi-tubi. Ujung pedang hanya menusuk dua senti saja sehingga menembus kulit daging akan tetapi tidak membunuh dan darah keluar makin banyak lagi, rasa nyeri makin menghebat sehingga tubuh kakek itu berkelojotan seperti dalam sekarat.
"Ini yang terakhir!" The Kwat Lin berkata dan ujung pedangnya membabat ke bawah pusar.
Wanita itu tertawa bergelak, tertawa puas, wajahnya yang cantik itu pucat sekali dan dia tertawa sambil berdongak ke atas.
"Suheng sekalian, terutama Twa-suheng, lihatlah musuhmu. Sudah puaskah kalian?" Dan dia terisak, lalu menghampiri tubuh yang berkelojotan itu. "akan tetapi aku belum puas! kau harus tidur dalam keadaan tersiksa di antara mayat-mayat yang membusuk, selama tiga hari tiga malam!" The Kwat Lin menengok kepada anaknya dan berkata, "Bu Ong, kau tunggu di sini sebentar!"
Tubuhnya berkelebat meninggalkan ruangan itu dan dengan cepat dia telah datang menyeret mayat-mayat para pengawal, selir dan pelayan sampai ruangan itu penuh dengan mayat-mayat yang dia lemparkan ke sekeliling tubuh Pat-jiu Kai-ong yang mandi darah.
The Kwat Lin mencabut pedangnya, menyerahkan kepada puteranya sambil tertawa-tawa, kemudian dia mengerahkan khikangnya, "mengirim suara" dengan ilmunya yang tinggi ini sehingga suaranya hanya terdengar oleh Pat-jiu Kai-ong, akan tetapi sama sekali tidak terdengar oleh anaknya,
"Pat-jiu Kai-ong, tahukah kau siapa bocah ini? Dia ini adalah puteramu! Keturunanmu! hasil kotor dari perkosaanmu atas diriku. Nah, sekarang kau lihatlah anakmu, darah dagingmu sendiri yang akan menyiksa dirimu!"
Sepasang mata Pat-jiu Kai-ong terbelalak lebar, mukanya pucat sekali. Puluhan tahun dia ingin sekali memperoleh keturunan, terutama seorang putera, akan tetapi biarpun dia sudah berganti-ganti selir sampai ratusan kali, tetap saja para selir itu tidak pernah memperoleh keturunannya. Sekarang, secara tidak sengaja dia telah memperoleh seorang putera! dan puteranya itu dengan pedang di tangan menghampirinya, siap untuk menyiksanya!
Tadi dia terheran melihat betapa bekas anggauta Cap-sa Sin-hiap, murid Bu-tong-pai yang terkenal gagah itu menjadi begitu keji, mengajar putera sendiri melakukan kekejaman. Kiranya wanita itu memang sengaja hendak menyiksanya dengan menggunakan tangan keturunanya sendiri! Kiranya wanita itu juga membenci anak itu seperti juga membencinya, maka sengaja membiarkan anak itu menyiksa dan membunuh ayah sendiri!
"Anak... jangan... dengarkanlah...."
"Pratttt...!"
Pat-jiu Kai-ong tidak dapat melanjutkan kata-katanya yang tadinya hendak mmperingatkan anak laki-laki itu karena urat ganggunya dileher telah ditotok oleh lengan baju The Kwat Lin yang terkekeh menyeringai
"Pat-jiu Kai-ong, begini pengecutkah engkau? Haiii... di mana kegagahanmu sebagai seorang datuk? Lihatlah baik-baik dan nikmatilah siksaan anak ini! Bu Ong, pergunakan pedang itu. Pertama buntungi kedua daun telinganya untuk Twa-supek dan Ji-supekmu!"
"Baik, Ibu!"
Bu Ong lalu melangkah maju dan dua kali pedang itu berkelebat karena anak itu ternyata sudah pandai menggunakan pedang itu dan buntunglah kedua daun telinga Pat-jiu Kai-ong !
Dapat dibayangkan betapa nyeri, perih dan pedih rasa badan dan hati kakek itu. Air matanya meloncat keluar membasahi pipinya!
"Ha-ha, ibu! Lihat, dia menangis !" Anak itu bersorak dan mengambil dua buah daun telinga itu. "He-he, seperti telinga babi!"
Memang Pat-jiu Kai-ong menangis! Akan tetapi bukan menangis karena rasa nyeri dan pedih karena kedua daun telinganya buntung, melainkan nyeri di hati yang lebih hebat lagi melihat betapa anaknya sendiri yang sejak puluhan tahun yang lalu dirindukannya, kini bersorak girang melihat penderitaannya! Dia tidak takut mati, tidak takut sakit, akan tetapi melihat betapa dia menghadapi siksaan dan kematian di tangan anaknya sendiri, benar-benar merupakan tekanan batin yang hampir tak kuat dia menanggungnya .
"Teruskan, Bu Ong. Masih ada sepuluh orang Supekmu yang belum dibalaskan sakit hatinya. Jari-jari tangannya yang sepuluh itu! Perlahan-lahan saja, satu demi satu buntungkan!"
Mulailah penyiksaan yang amat mengerikan itu dilakukan oleh Bu-ong. Anak ini seolah-olah telah menjadi gila, dengan tertawa-tawa dia membuntungi semua jari tangan kakek itu satu demi satu dan setiap buntung sebuah jari, dia bersorak kegirangan.
Memang sejak dapat mengerti omongan, anak ini dijejali dendam oleh ibunya, dendam terhadap Pat-jiu Kai-ong dan diceritakan betapa Pat-jiu Kai-ong telah membunuh dua belas orang suhengnya dan betapa raja pengemis itu menyiksanya dan Bu Ong kelak harus membalas dendam itu. Maka kini anak itu sama sekali tidak menaruh rasa kasihan, bahkan hatinya puas sekali dapat menyiksa kakek itu.
Dapat dibayangkan betapa hebat penderitaan Pat-jiu Kai-ong. Namun dia tidak menyesali nasibnya karena dia maklum bahwa dia pun telah melakukan perbuatan sewenang-wenang atas diri The Kwat Lin sehingga pembalasan ini sudah jamak. Hanya satu hal yang membuat air matanya bercucuran adalah melihat betapa dia disiksa dan akan dibunuh oleh darah dagingnya sendiri. Dia menangis melihat darah dagingnya sendiri itu, yang baru berusia sepuluh tahun, telah menjadi seorang iblis cilik yang demikian kejam!
Kini The Kwat Lin membebaskan totokan yang membuat kaki tangannya lumpuh. Begitu kaki tangannya dapat bergerak, Pat-jiu Kai-ong meloncat dan menerkam ke arah Bu Ong dengan ke dua tangan yang sudah tak berjari lagi itu, yang berlumuran darah. Niat hatinya untuk membunuh saja anaknya itu agar kelak tidak dijadikan iblis cilik oleh ibu yang membencinya. Akan tetapi sebuah tendangan dari samping yang dilakukan oleh The Kwat Lin membuat dia terguling lagi. Rasa nyeri pada kedua ujung tangannya membuat kakek itu menggeliat-geliat.
"Mundurlah, Bu-ong. lihat sekarang ibumu yang akan turun tangan. Aku akan membalas sendiri perbuatannya kepadaku terdahulu!"
The Kwat Lin menghampiri musuhnya dengan pedang di tangan.
"Pat-jiu Kai-ong, ingatlah engkau akan peristiwa dahulu itu? Bayangkanlah, hi-hik, bayangkanlah betapa nikmatnya bagimu dan betapa menyiksa dan sengsaranya bagiku. Sekarang aku yang menikmati dan kau yang menderita. Sudah adil bukan? Nah, terimalah ini... ini... ini...!"
Bertubi-tubi pedang di tangan The Kwat Lin bergerak dan tubuh kakek itu bergulingan, berkelojotan karena rasa nyeri yang amat hebat ketika ujung pedang itu membabat keseluruh tubuhnya, dengan tepat sekali membabat ujung semua jari kakinya, hidungnya, dagunya. Babatan itu hanya mengenai ujung sedikit, tidak membahayakan keselamatan nyawa namun menimbulkan rasa nyeri yang hebat. Seluruh tubuh kakek itu kini berlepotan darah, mukanya dipenuhi oleh kerut-merut menahan nyeri.
"Hi-hik, bagaimana? Masih kurang? Nah, rasakanlah ini!"
Kembali pedang itu digerakkan, kini menusuk-nusuk dan seluruh tubuhnya ditusuki ujung pedang bertubi-tubi. Ujung pedang hanya menusuk dua senti saja sehingga menembus kulit daging akan tetapi tidak membunuh dan darah keluar makin banyak lagi, rasa nyeri makin menghebat sehingga tubuh kakek itu berkelojotan seperti dalam sekarat.
"Ini yang terakhir!" The Kwat Lin berkata dan ujung pedangnya membabat ke bawah pusar.
Wanita itu tertawa bergelak, tertawa puas, wajahnya yang cantik itu pucat sekali dan dia tertawa sambil berdongak ke atas.
"Suheng sekalian, terutama Twa-suheng, lihatlah musuhmu. Sudah puaskah kalian?" Dan dia terisak, lalu menghampiri tubuh yang berkelojotan itu. "akan tetapi aku belum puas! kau harus tidur dalam keadaan tersiksa di antara mayat-mayat yang membusuk, selama tiga hari tiga malam!" The Kwat Lin menengok kepada anaknya dan berkata, "Bu Ong, kau tunggu di sini sebentar!"
Tubuhnya berkelebat meninggalkan ruangan itu dan dengan cepat dia telah datang menyeret mayat-mayat para pengawal, selir dan pelayan sampai ruangan itu penuh dengan mayat-mayat yang dia lemparkan ke sekeliling tubuh Pat-jiu Kai-ong yang mandi darah.
**** 019 ****
Tidak ada komentar:
Posting Komentar