Semua orang menonton dengan tegang dan terpesona. Akan tetapi Ceng Liong nampak tenang saja, masih berdiri tegak menatap wajah kakek itu. Dua pasang mata saling pandang dan saling serang!
Sepasang mata Ceng Liong semakin mencorong dan nampak betapa dalam adu mata ini akhirnya Boan It berkedip beberapa kali, tak dapat menahan matanya yang terasa perih dan panas. Kemudian, Ceng Liong mengangkat tangan kiri membuat gerakan seperti menggapai ke arah Boan It sambil berkata, suaranya halus dan ramah sekali.
“Boan It, engkau ingin sekali berlutut dan menjilati sepatuku sampai bersih? Aku akan senang sekali, silahkan Boan It, penuhi keinginan itu. Berlututlah dan jilati sepatuku!”
Semua orang nampak heran sekali, dan Boan It nampak betapa tubuhnya menegang, beberapa kali kepalanya digeleng keras-keras akan tetapi sepasang matanya mulai pudar kehilangan cahaya dan akhirnya diapun berlutut, merangkak maju lalu mulai.... menjilati sepatu Ceng Liong seperti seekor anjing besar menjilati kaki majikannya!
Tentu saja peristiwa aneh ini membuat semua orang melongo keheranan. Mereka belum mengerti bahwa antara kakek gendut dan pemuda itu telah terjadi suatu pertandingan sihir! Boan It telah menjadi korban sihirnya sendiri yang telah dikembalikan oleh Ceng Liong.
Seperti diketahui, pemuda ini ketika digembleng oleh orang tuanya sendiri selama tiga tahun terakhir ini, telah mempelajari ilmu sihir dari ibunya sendiri. Maka, menghadapi ilmu sihir Boan It yang mempelajari dari mendiang Hek-i Mo-ong, tentu saja dia mengenal baik sihir itu dan dapat mengalahkannya dengan mudah.
Hanya sebentar saja para tamu terbelalak melihat Boan It menjilati sepatu Ceng Liong. Segera terdengar sorak-sorai dan ketawa meledak-ledak dan hal ini mengguncang Boan It ke dalam kesadarannya kembali. Mukanya menjadi pucat sekali dan dia segera menggereng langsung menyerang Ceng Liong dari posisi berlutut itu dengan tongkatnya!
Akan tetapi Ceng Liong sudah bersiap-siap dan dapat mengelak dengan loncatan ke belakang. Boan It meloncat bangun. Sejenak dia memandang, mukanya sebentar pucat sebentar merah kemudian dia mulai memainkan toyanya, diputar-putar cepat sekali di sekeliling tubuh sebelum menyerang. Terdengar suara berdesing-desing dan tongkat itu lenyap bentuknya, berobah menjadi gulungan sinar hitam lebar yang menyelimuti tubuh kakek gendut itu dan angin menyambar-nyambar ke depan.
Namun, Ceng Liong kini tidak mau main-main lagi. Diapun mulai menggerakkan kaki tangannya, memasang kuda-kuda yang kokoh dan nampak betapa indah dan gagahnya dia mengatur sikap untuk menghadapi lawan yang bersenjata tongkat itu. Sikapnya ini tentu saja mengundang pujian dan kini baru semua tamu tahu betapa indah dan gagahnya gaya permainan silat pemuda itu.
“Haaaiiiit!” Boan It membentak dan mulailah dia menyerang.
“Hem....!”
Ceng Liong mengelak dan ketika gulungan sinar hitam itu menyelimutinya, tubuh pemuda inipun lenyap berobah menjadi bayangan putih yang berkelebat cepat sekali menyelinap di antara sinar hitam, menyambar-nyambar ke sana-sini. Para tamu mengikuti pertandingan yang seru ini dengan hati tegang, maklum bahwa yang berkelahi adalah dua orang yang tinggi ilmu silatnya.
Sepasang mata Ceng Liong semakin mencorong dan nampak betapa dalam adu mata ini akhirnya Boan It berkedip beberapa kali, tak dapat menahan matanya yang terasa perih dan panas. Kemudian, Ceng Liong mengangkat tangan kiri membuat gerakan seperti menggapai ke arah Boan It sambil berkata, suaranya halus dan ramah sekali.
“Boan It, engkau ingin sekali berlutut dan menjilati sepatuku sampai bersih? Aku akan senang sekali, silahkan Boan It, penuhi keinginan itu. Berlututlah dan jilati sepatuku!”
Semua orang nampak heran sekali, dan Boan It nampak betapa tubuhnya menegang, beberapa kali kepalanya digeleng keras-keras akan tetapi sepasang matanya mulai pudar kehilangan cahaya dan akhirnya diapun berlutut, merangkak maju lalu mulai.... menjilati sepatu Ceng Liong seperti seekor anjing besar menjilati kaki majikannya!
Tentu saja peristiwa aneh ini membuat semua orang melongo keheranan. Mereka belum mengerti bahwa antara kakek gendut dan pemuda itu telah terjadi suatu pertandingan sihir! Boan It telah menjadi korban sihirnya sendiri yang telah dikembalikan oleh Ceng Liong.
Seperti diketahui, pemuda ini ketika digembleng oleh orang tuanya sendiri selama tiga tahun terakhir ini, telah mempelajari ilmu sihir dari ibunya sendiri. Maka, menghadapi ilmu sihir Boan It yang mempelajari dari mendiang Hek-i Mo-ong, tentu saja dia mengenal baik sihir itu dan dapat mengalahkannya dengan mudah.
Hanya sebentar saja para tamu terbelalak melihat Boan It menjilati sepatu Ceng Liong. Segera terdengar sorak-sorai dan ketawa meledak-ledak dan hal ini mengguncang Boan It ke dalam kesadarannya kembali. Mukanya menjadi pucat sekali dan dia segera menggereng langsung menyerang Ceng Liong dari posisi berlutut itu dengan tongkatnya!
Akan tetapi Ceng Liong sudah bersiap-siap dan dapat mengelak dengan loncatan ke belakang. Boan It meloncat bangun. Sejenak dia memandang, mukanya sebentar pucat sebentar merah kemudian dia mulai memainkan toyanya, diputar-putar cepat sekali di sekeliling tubuh sebelum menyerang. Terdengar suara berdesing-desing dan tongkat itu lenyap bentuknya, berobah menjadi gulungan sinar hitam lebar yang menyelimuti tubuh kakek gendut itu dan angin menyambar-nyambar ke depan.
Namun, Ceng Liong kini tidak mau main-main lagi. Diapun mulai menggerakkan kaki tangannya, memasang kuda-kuda yang kokoh dan nampak betapa indah dan gagahnya dia mengatur sikap untuk menghadapi lawan yang bersenjata tongkat itu. Sikapnya ini tentu saja mengundang pujian dan kini baru semua tamu tahu betapa indah dan gagahnya gaya permainan silat pemuda itu.
“Haaaiiiit!” Boan It membentak dan mulailah dia menyerang.
“Hem....!”
Ceng Liong mengelak dan ketika gulungan sinar hitam itu menyelimutinya, tubuh pemuda inipun lenyap berobah menjadi bayangan putih yang berkelebat cepat sekali menyelinap di antara sinar hitam, menyambar-nyambar ke sana-sini. Para tamu mengikuti pertandingan yang seru ini dengan hati tegang, maklum bahwa yang berkelahi adalah dua orang yang tinggi ilmu silatnya.
Jurus demi jurus berlangsung dengan cepatnya dan makin lama Boan It semakin terkejut dan heran, juga hatinya mulai merasa gentar ketika pemuda ini seolah-olah mengenal semua gerakannya dan bahkan berani menangkis tongkatnya dengan lengan tangan.
“Plak! Duk!”
Tangkisan itu membuat tubuh Boan It terhuyung dan terpelanting, nyaris roboh kalau saja dia tidak cepat menjatuhkan diri dan bergulingan.
“Tahan dulu!”
Bentaknya ketika meloncat berdiri, melintangkan tongkatnya, napasnya terengah-engah. Belum pernah dia bertanding dengan lawan setangguh ini dan selain gentar, diapun ingin tahu siapa sebenarnya pemuda ini.
“Sebelum engkau mati di ujung tongkatku, katakanlah dulu siapa engkau agar tidak mati tanpa nama.”
Para tamu juga menantikan jawaban pemuda itu dengan tak sabar karena merekapun ingin sekali mengetahui siapa gerangan pemuda yang amat perkasa itu. Kini Ceng Liong menghentikan sikapnya yang main-main dan pandang matanya mencorong penuh wibawa.
“Boan It, engkau seorang murid yang murtad! Hek-i Mo-pang telah bubar atau dibubarkan oleh gurumu dan melarang kalian bergerak dengan nama perkumpulan itu. Akan tetapi engkau berani memimpin anak buah, bertindak liar dan sewenang-wenang menggunakan nama Hek-i Mo- pang!”
Mendengar ini Boan It terkejut sekali. Dia memandang tajam penuh perhatian, dan diapun teringat pemuda cilik yang dulu menjadi tawanan dari Pulau Es kemudian menjadi murid Hek-i Mo-ong itu.
“Kamu....! Kamu.... bocah dari Pulau Es itu? Kamu Suma Ceng Liong?”
“Bagus kalau masih ingat padaku!”
“Hah! Sejak dulu aku ingin membunuhmu dan sekaranglah baru terbuka kesempatan itu!”
Boan It menggereng seperti binatang buas, tidak menggunakan sihir lagi karena tadipun dia mendapat malu ketika menggunakan sihirnya. Kini dia mengerahkan segala ilmu dan tenaganya, menyerang dengan dahsyat.
Ceng Liong tidak mau memberi hati lagi. Dia mengelak, menangkis dan membalas dengan lebih cepat lagi. Para tamu menjadi berisik, mereka saling berbisik membicarakan pemuda itu. Mendegar bahwa pemuda itu adalah seorang pemuda Pulau Es yang she Suma, semua orang menjadi kaget dan kagum. Tahulah mereka bahwa pemuda ini adalah keturunan Pendekar Super Sakti dari Pulau Es yang namanya di dunia persilatan seperti dewa saja.
Pada waktu itu, tingkat ilmu kepandaian Ceng Liong jauh lebih tinggi daripada Boan It. Bahkan kini setelah dia menerima gemblengan dari ayah bundanya selama tiga tahun terakhir ini, Hek-i Mo-ong sendiri andaikata masih hidup belum tentu dapat menadinginya. Bahkan Suma Kian Bu sendiri harus mengakui bahwa setelah mengusai ilmu-ilmu Pulau Es dan Ilmu-ilmu dari Hek-i Mo-ong puteranya itu jauh lebih lihai darinya sendiri.
Betapapun juga Ceng Liong tidak dapat melupakan mendiang Hek-i Mo-ong, bekas gurunya yang amat menyayanginya. Dia tahu betapa Boan It pernah menjadi kepercayaan Hek-i Mo-ong. Maka mengingat mendiang gurunya itu, dia merasa tidak tega untuk membunuh Boan It.
Pada saat tongkat itu meluncur ke arah tenggorokannya, Ceng Liong meloncat ke samping dan tiba-tiba ujung tongkat itu mengeluarkan uap hitam yang menyambar ke arah muka Ceng Liong. Pemuda ini tidak terkejut karena dia sudah mengenal uap beracun yang keluar dari ujung tongkat. Diapun membuka mulut dan uap hitam itu buyar, bahkan kini membalik terdorong oleh uap panas yang menyambar dari mulut Ceng Liong.
“Tok-hwe-ji (Hawa Api Beracun).!”
Boan It berseru kaget ketika hawa panas menyengat mukanya. Pada saat itu sebuah totokan jari tangan Ceng Liong melumpuhkan tangannya dan tongkat hitam itupun pindah tangan. Sebelum Boan It mampu mengelak, tongkatnya sendiri telah mengalungi lehernya. Tongkat itu telah ditekuk oleh tangan Ceng Liong dan kini mengalungi lehernya dengan kuat. Dua kali totokan lagi membuat kaki tangan Boan It menjadi lumpuh dan diapun roboh terguling!
“Pergilah, dan mulai hari ini bubarkan perkumpulanmu dan jangan lagi mengacau dunia dengan nama Hek-i Mo-pang!” kata Ceng Liong mengulang larangan mendiang Hek-i Mo-ong.
Dia memberi isyarat kepada para anak buah baju hitam yang segera menggotong tubuh Boan It dan Ciong Ek Sim meninggalkan tempat itu tanpa banyak cakap lagi.
Tentu saja kemenangan ini disambut dengan gembira dan kagum oleh para tamu. Mereka mengelu-elukan pemuda itu, apalagi ketika Ceng Liong memperkenalkan diri sebagai putera Suma Kian Bu, pendekar sakti yang setengah mengasingkan diri di dusun Hong-cun di tepi Sungai Huang-ho itu.
Dalam kesempatan ini, dengan cerdik Ceng Liong memilih-milih beberapa orang tokoh kang-ouw yang gagah dan bersemangat untuk diajak bicara tentang negara dan bangsa yang dijajah, tentang kepahlawanan dan akhirnya dia berhasil membakar dan membangkitkan semangat beberapa orang pendekar yang menyatakan kebulatan tekadnya untuk membantu perjuangan mengusir penjajah apabila saatnya tiba. Juga mereka berjanji untuk menarik kawan-kawan sehaluan agar memperkuat barisan para patriot dan mempersiapkan diri untuk sewaktu-waktu membantu bilamana saatnya tiba.
Dengan hati gembira dan puas Ceng Liong meninggalkan Nam-san untuk mengunjungi kota raja dalam tugasnya mendekati dan menjajagi hati Jenderal Kao Cin Liong.
“Plak! Duk!”
Tangkisan itu membuat tubuh Boan It terhuyung dan terpelanting, nyaris roboh kalau saja dia tidak cepat menjatuhkan diri dan bergulingan.
“Tahan dulu!”
Bentaknya ketika meloncat berdiri, melintangkan tongkatnya, napasnya terengah-engah. Belum pernah dia bertanding dengan lawan setangguh ini dan selain gentar, diapun ingin tahu siapa sebenarnya pemuda ini.
“Sebelum engkau mati di ujung tongkatku, katakanlah dulu siapa engkau agar tidak mati tanpa nama.”
Para tamu juga menantikan jawaban pemuda itu dengan tak sabar karena merekapun ingin sekali mengetahui siapa gerangan pemuda yang amat perkasa itu. Kini Ceng Liong menghentikan sikapnya yang main-main dan pandang matanya mencorong penuh wibawa.
“Boan It, engkau seorang murid yang murtad! Hek-i Mo-pang telah bubar atau dibubarkan oleh gurumu dan melarang kalian bergerak dengan nama perkumpulan itu. Akan tetapi engkau berani memimpin anak buah, bertindak liar dan sewenang-wenang menggunakan nama Hek-i Mo- pang!”
Mendengar ini Boan It terkejut sekali. Dia memandang tajam penuh perhatian, dan diapun teringat pemuda cilik yang dulu menjadi tawanan dari Pulau Es kemudian menjadi murid Hek-i Mo-ong itu.
“Kamu....! Kamu.... bocah dari Pulau Es itu? Kamu Suma Ceng Liong?”
“Bagus kalau masih ingat padaku!”
“Hah! Sejak dulu aku ingin membunuhmu dan sekaranglah baru terbuka kesempatan itu!”
Boan It menggereng seperti binatang buas, tidak menggunakan sihir lagi karena tadipun dia mendapat malu ketika menggunakan sihirnya. Kini dia mengerahkan segala ilmu dan tenaganya, menyerang dengan dahsyat.
Ceng Liong tidak mau memberi hati lagi. Dia mengelak, menangkis dan membalas dengan lebih cepat lagi. Para tamu menjadi berisik, mereka saling berbisik membicarakan pemuda itu. Mendegar bahwa pemuda itu adalah seorang pemuda Pulau Es yang she Suma, semua orang menjadi kaget dan kagum. Tahulah mereka bahwa pemuda ini adalah keturunan Pendekar Super Sakti dari Pulau Es yang namanya di dunia persilatan seperti dewa saja.
Pada waktu itu, tingkat ilmu kepandaian Ceng Liong jauh lebih tinggi daripada Boan It. Bahkan kini setelah dia menerima gemblengan dari ayah bundanya selama tiga tahun terakhir ini, Hek-i Mo-ong sendiri andaikata masih hidup belum tentu dapat menadinginya. Bahkan Suma Kian Bu sendiri harus mengakui bahwa setelah mengusai ilmu-ilmu Pulau Es dan Ilmu-ilmu dari Hek-i Mo-ong puteranya itu jauh lebih lihai darinya sendiri.
Betapapun juga Ceng Liong tidak dapat melupakan mendiang Hek-i Mo-ong, bekas gurunya yang amat menyayanginya. Dia tahu betapa Boan It pernah menjadi kepercayaan Hek-i Mo-ong. Maka mengingat mendiang gurunya itu, dia merasa tidak tega untuk membunuh Boan It.
Pada saat tongkat itu meluncur ke arah tenggorokannya, Ceng Liong meloncat ke samping dan tiba-tiba ujung tongkat itu mengeluarkan uap hitam yang menyambar ke arah muka Ceng Liong. Pemuda ini tidak terkejut karena dia sudah mengenal uap beracun yang keluar dari ujung tongkat. Diapun membuka mulut dan uap hitam itu buyar, bahkan kini membalik terdorong oleh uap panas yang menyambar dari mulut Ceng Liong.
“Tok-hwe-ji (Hawa Api Beracun).!”
Boan It berseru kaget ketika hawa panas menyengat mukanya. Pada saat itu sebuah totokan jari tangan Ceng Liong melumpuhkan tangannya dan tongkat hitam itupun pindah tangan. Sebelum Boan It mampu mengelak, tongkatnya sendiri telah mengalungi lehernya. Tongkat itu telah ditekuk oleh tangan Ceng Liong dan kini mengalungi lehernya dengan kuat. Dua kali totokan lagi membuat kaki tangan Boan It menjadi lumpuh dan diapun roboh terguling!
“Pergilah, dan mulai hari ini bubarkan perkumpulanmu dan jangan lagi mengacau dunia dengan nama Hek-i Mo-pang!” kata Ceng Liong mengulang larangan mendiang Hek-i Mo-ong.
Dia memberi isyarat kepada para anak buah baju hitam yang segera menggotong tubuh Boan It dan Ciong Ek Sim meninggalkan tempat itu tanpa banyak cakap lagi.
Tentu saja kemenangan ini disambut dengan gembira dan kagum oleh para tamu. Mereka mengelu-elukan pemuda itu, apalagi ketika Ceng Liong memperkenalkan diri sebagai putera Suma Kian Bu, pendekar sakti yang setengah mengasingkan diri di dusun Hong-cun di tepi Sungai Huang-ho itu.
Dalam kesempatan ini, dengan cerdik Ceng Liong memilih-milih beberapa orang tokoh kang-ouw yang gagah dan bersemangat untuk diajak bicara tentang negara dan bangsa yang dijajah, tentang kepahlawanan dan akhirnya dia berhasil membakar dan membangkitkan semangat beberapa orang pendekar yang menyatakan kebulatan tekadnya untuk membantu perjuangan mengusir penjajah apabila saatnya tiba. Juga mereka berjanji untuk menarik kawan-kawan sehaluan agar memperkuat barisan para patriot dan mempersiapkan diri untuk sewaktu-waktu membantu bilamana saatnya tiba.
Dengan hati gembira dan puas Ceng Liong meninggalkan Nam-san untuk mengunjungi kota raja dalam tugasnya mendekati dan menjajagi hati Jenderal Kao Cin Liong.
**** 090 ****
OBJEK WISATA MANCA NEGARA
===============================
Tidak ada komentar:
Posting Komentar