Cu Seng Bu merasa penasaran bukan main. Empat kali dia menyerang dan empat kali dara remaja itu dapat menghindarkannya dengan mudah! Kalau dara ini tidak dihajar dan berkenalan dengan kelihaian keluarga Cu, tentu kelak akan mentertawakan keluarga Cu, apalagi diingat bahwa dara ini adalah anak Kam Hong! Maka kini iapun menerjang lagi ke depan dengan niat untuk menurunkan tangan yang lebih keras! Akan tetapi tiba-tiba Sim Hong Bu meloncat dan menghadangnya.
“Susiok, harap maafkan Bi Eng yang masih kanak-kanak,” katanya.
“Kau.... kau berani melawan susiokmu?” Cu Seng Bu membentak, kemarahannya semakin menjadi.
“Teecu bukan melawan susiok, melainkan melindungi Bi Eng yang menjadi tanggung jawab teecu,” jawab Hong Bu dengan suara tegas.
“Bagus, engkau sudah terang-terangan melindungi anak musuh!”
Cu Seng Bu kini dengan dahsyatnya menyerang dan mengirim pukulan ampuh kepada Hong Bu. Pendekar ini terpaksa menggunakan tangannya menangkis, akan tetapi karena dia merasa sungkan dan hanya menggunakan tenaga setengah-setengah saja, dia terdorong ke belakang dan hampir roboh. Sementara itu, ketika tadi Bi Eng berjungkir balik membuat salto tiga kali, tahu-tahu pundaknya dicengkeram orang dari belakang dan ia tidak mampu berkutik lagi.
Kiranya ia telah dipegang oleh Cu Han Bu secara aneh dan pegangan kakek itu kuat sekali. Begitu Bi Eng mengerahkan sin-kang dan hendak meloloskan diri dari cengkeraman, dara itu merasa betapa pundaknya nyeri bukan main, maka ia berhenti meronta. Kini, melihat suhunya terdorong oleh pukulan kakek yang tadi menyerangnya, iapun menjadi marah.
“Hemm, bagus sekali! Kiranya jagoan-jagoan she Cu ini hanya tukang keroyok saja, tukang menghina murid sendiri dan kakek tidak tahu malu yang beraninya melawan anak kecil. Kalau kalian memang gagah, mengapa menyerang aku dan tidak berani menghadapi ayah dan ibuku? Cih, sungguh tak tahu malu, pengecut dan curang!”
Hebat bukan main makian yang dilontarkan oleh mulut dara remaja itu, terasa oleh kedua orang kakek itu seperti kotoran busuk dilemparkan ke muka mereka. Mereka berdua adalah pendekar-pendekar perkasa yang sejak kecil menjunjung tinggi kehormatan, nama dan kegagahan, dan kini mereka dicaci-maki seorang anak perempuan yang mengatakan mereka curang, pengecut dan tak tahu malu.
Kalau menurutkan nafsu kemarahannya, ingin Cu Han Bu sekali pukul menghancurkan kepala anak itu, akan tetapi dia tidak mungkin melakukan hal ini karena dia akan merasa menyesal selama hidup dan caci maki anak itu akan menjadi kenyataan! Maka dengan hati mendongkol dia melempar tubuh anak itu ke atas lantai.
“Brukk!”
Tubuh Bi Eng terbanting, akan tetapi anak itu dapat menggulingkan tubuhnya dan meloncat bangun lagi dengan sikap penuh keberanian.
“Anak setan yang tekebur, suruh ayah ibumu datang ke sini dan kami akan memperlihatkan bahwa kami tidak takut menghadapi mereka!” Kata Cu Seng Bu yang maklum betapa kakaknya marah sekali akan tetapi juga tidak berdaya.
“Ayahku bukan tukang cari perkara seperti kalian! Kalau kalian datang menyerbu rumah kami, tentu ayah dan ibu akan menghajar kalian sampai kalian terkentut-kentut!”
Memang dara ini lincah jenaka dan pandai bicara, maka kembali muka dua orang kakek itu menjadi merah karena marah. Belum pernah selamanya, sebagai orang-orang yang paling dihormati dunia kang-ouw, mereka dimaki seperti itu. Sim Hong Bu juga sudah mengenal watak muridnya yang berani mati dan pandai bicara dan menggoda orang, maka dia cepat menjatuhkan dirinya berlutut.
“Suhu dan susiok, maafkanlah murid teecu.”
“Susiok, harap maafkan Bi Eng yang masih kanak-kanak,” katanya.
“Kau.... kau berani melawan susiokmu?” Cu Seng Bu membentak, kemarahannya semakin menjadi.
“Teecu bukan melawan susiok, melainkan melindungi Bi Eng yang menjadi tanggung jawab teecu,” jawab Hong Bu dengan suara tegas.
“Bagus, engkau sudah terang-terangan melindungi anak musuh!”
Cu Seng Bu kini dengan dahsyatnya menyerang dan mengirim pukulan ampuh kepada Hong Bu. Pendekar ini terpaksa menggunakan tangannya menangkis, akan tetapi karena dia merasa sungkan dan hanya menggunakan tenaga setengah-setengah saja, dia terdorong ke belakang dan hampir roboh. Sementara itu, ketika tadi Bi Eng berjungkir balik membuat salto tiga kali, tahu-tahu pundaknya dicengkeram orang dari belakang dan ia tidak mampu berkutik lagi.
Kiranya ia telah dipegang oleh Cu Han Bu secara aneh dan pegangan kakek itu kuat sekali. Begitu Bi Eng mengerahkan sin-kang dan hendak meloloskan diri dari cengkeraman, dara itu merasa betapa pundaknya nyeri bukan main, maka ia berhenti meronta. Kini, melihat suhunya terdorong oleh pukulan kakek yang tadi menyerangnya, iapun menjadi marah.
“Hemm, bagus sekali! Kiranya jagoan-jagoan she Cu ini hanya tukang keroyok saja, tukang menghina murid sendiri dan kakek tidak tahu malu yang beraninya melawan anak kecil. Kalau kalian memang gagah, mengapa menyerang aku dan tidak berani menghadapi ayah dan ibuku? Cih, sungguh tak tahu malu, pengecut dan curang!”
Hebat bukan main makian yang dilontarkan oleh mulut dara remaja itu, terasa oleh kedua orang kakek itu seperti kotoran busuk dilemparkan ke muka mereka. Mereka berdua adalah pendekar-pendekar perkasa yang sejak kecil menjunjung tinggi kehormatan, nama dan kegagahan, dan kini mereka dicaci-maki seorang anak perempuan yang mengatakan mereka curang, pengecut dan tak tahu malu.
Kalau menurutkan nafsu kemarahannya, ingin Cu Han Bu sekali pukul menghancurkan kepala anak itu, akan tetapi dia tidak mungkin melakukan hal ini karena dia akan merasa menyesal selama hidup dan caci maki anak itu akan menjadi kenyataan! Maka dengan hati mendongkol dia melempar tubuh anak itu ke atas lantai.
“Brukk!”
Tubuh Bi Eng terbanting, akan tetapi anak itu dapat menggulingkan tubuhnya dan meloncat bangun lagi dengan sikap penuh keberanian.
“Anak setan yang tekebur, suruh ayah ibumu datang ke sini dan kami akan memperlihatkan bahwa kami tidak takut menghadapi mereka!” Kata Cu Seng Bu yang maklum betapa kakaknya marah sekali akan tetapi juga tidak berdaya.
“Ayahku bukan tukang cari perkara seperti kalian! Kalau kalian datang menyerbu rumah kami, tentu ayah dan ibu akan menghajar kalian sampai kalian terkentut-kentut!”
Memang dara ini lincah jenaka dan pandai bicara, maka kembali muka dua orang kakek itu menjadi merah karena marah. Belum pernah selamanya, sebagai orang-orang yang paling dihormati dunia kang-ouw, mereka dimaki seperti itu. Sim Hong Bu juga sudah mengenal watak muridnya yang berani mati dan pandai bicara dan menggoda orang, maka dia cepat menjatuhkan dirinya berlutut.
“Suhu dan susiok, maafkanlah murid teecu.”
“Sim Hong Bu! Keluarkan anak setan ini dari lembah kita, baru engkau menghadap lagi dan akan kami pertimbangkan apakah kami akan dapat mengampuni tindakanmu yang dangkal ini!” bentak ayah mertuanya.
“Suhu, teecu adalah seorang laki-laki sejati, murid dan mantu suhu! Apakah suhu ingin melihat teecu menjilat ludah sendiri yang sudah dikeluarkan, melanggar janji sendiri? Tidak, suhu, teecu sudah mengikat janji dengan Kam-taihiap dan teecu tidak akan melanggarnya.”
“Maksudmu?”
“Teecu akan tetap mendidiknya sampai tiga tahun seperti yang sudah teecu janjikan dengan Kam-taihiap.”
“Engkau lebih memberatkan keluarga Kam daripada kami?”
“Teecu memberatkan janji, dan teecu memberatkan nasib Sim Houw anak teecu. Teecu tidak mau membawa anak teecu terseret ke dalam permusuhan antara keluarga Cu dan keluarga Kam yang tidak ada gunanya itu.”
“Mantu jahat! Murid murtad! Kalau begitu, engkau boleh pilih antara kami dan anak ini. Kalau engkau memilihnya, pergilah dari Lembah Naga Siluman dan jangan injakkan kaki lagi di tempat kami! Juga kami tidak lagi mengakuimu sebagai murid atau mantu! Pergilah!”
Cu Han Bu berteriak marah dan dalam suara teriakannya terkandung isak kekecewaan dan kedukaan hatinya. Dahulu, dia dan adik-adiknya mendidik Sim Hong Bu dengan harapan bahwa murid itu yang kelak akan membalaskan kekalahan mereka terhadap Kam Hong. Harapan itu tidak pernah terkabul karena biarpun Hong Bu sudah melaksanakan tugasnya dan menandingi Kam Hong, ternyata murid mereka itu tidak mampu mengalahkan Pendekar Suling Emas.
Dan sekarang, selagi mereka prihatin dan berusaha menciptakan ilmu lain, dengan harapan masih tertuju kepada murid yang juga menjadi mantu itu, tumpuan harapan mereka ambyar dan porak-poranda. Murid itu bahkan mau berbesan dengan musuh, bukan itu saja, malah saling bertukar ilmu!
“Baiklah, suhu. Teecu akan pergi dari sini bersama Bi Eng dan.... dan kalau ia mau, dengan isteri teecu.”
Setelah berkata demikian, dia bangkit berdiri lalu memegang tangan Bi Eng, untuk diajak pergi dari tempat itu.
“Nanti dulu! Engkau lupa mengembalikan Koai-liong Po-kiam! Engkau tidak berhak lagi memilikinya!” bentak Cu Han Bu dengan hati penuh rasa sesal dan kecewa.
Tanpa banyak cakap, Sim Hong Bu menanggalkan pedang dan sarungnya, lalu menyerahkannya kepada gurunya yang menyambarnya dari tangannya dengan kasar. Setelah menjura sekali lagi, pendekar itu lalu menggandeng tangan muridnya dan meninggalkan guha itu, kembali ke rumah besar di mana Cu Pek In menyambutnya dengan muka pucat.
Isteri yang mencinta suaminya ini memandang khawatir dan sinar matanya mengandung kedukaan ketika ia melihat betapa gadis cilik itu masih bersama suaminya, akan tetapi pedang Koai-liong-kiam tidak lagi berada di punggung pendekar itu. Sebelum suaminya bicara, ia sudah dapat menduga apa yang telah terjadi sebagai akibat pertemuan suaminya dengan ayahnya.
Dengan lemas Sim Hong Bu menjatuhkan dirinya duduk di atas kursi. Isteri yang menyambutnya juga duduk di depannya sedangkan Bi Eng berdiri saja di belakang kursi gurunya, hatinya diliputi keharuan karena ia merasakan benar perlindungan dan pembelaan gurunya terhadap dirinya. Kini ia merasa tegang karena tahu bahwa gurunya akan menghadapi suatu hal yang paling berat, yaitu isterinya yang sejak semula sudah memperlihatkan sikap tidak setuju.
“Suhu mengusirku karena aku bertahan untuk mendidik Kam Bi Eng. Terpaksa aku harus pergi dan terserah kepadamu, apakah engkau akan ikut bersamaku ataukah tinggal di sini.” Suara pendekar itu datar saja karena dia menekan batinnya yang terguncang hebat.
Dia mencinta isterinya dan tentu saja merasa berat kalau harus berpisah, akan tetapi keadaan memaksanya. Dia tidak sudi menjadi seorang lemah yang mengingkari janji sendiri.
Wanita itu menangis, akan tetapi tanpa suara. Hatinya terlalu keras untuk menangis sampai mengeluarkan suara. Sejak kecil Pek In seperti laki-laki. Hanya air matanya yang mengalir keluar dan segera ia menghapus air matanya.
“Keluarga Cu tidak mempunyai anak kecuali aku, dan tadinya engkau diharapkan untuk menjadi keturunan mereka. Akan tetapi sekarang engkau malah menentang, dan kalau aku juga pergi, habis siapa lagi yang akan dipandang oleh ayah dan para paman? Aku tidak bisa meninggalkan ayah, aku akan tinggal di sini sampai mati.... sampai engkau atau Houw-ji ingat kepadaku.” Wanita itu menutupi mukanya dan air matanya mengalir keluar dari celah-celah jari tangannya.
Sim Hong Bu merasa terharu dan kasihan sekali. Ingin dia merangkul dan menghibur isterinya, akan tetapi dia tahu bahwa hal itu akan percuma saja. Maka dia mengangguk-angguk dan menarik napas panjang.
“Sudah kuduga akan begini jadinya.... dan aku sama sekali tidak menyalahkan engkau, isteriku. Biarlah aku memenuhi janjiku, setelah lewat tiga tahun tentu aku akan mencarimu di sini. Selamat tinggal, isteriku, dan kau maafkan suamimu ini.”
Sim Hong Bu lalu berkemas dan meninggalkan tempat itu bersama Bi Eng, diikuti oleh pandang mata isterinya yang masih terus berlinang air mata. Pada saat itu muncullah Cu Kang Bu dan Yu Hwi.
“Eh, engkau hendak pergi lagi?” Cu Kang Bu menegur.
Hong Bu menjura kepada paman dan bibinya.
“Suhu mengusir teecu pergi karena teecu bertahan hendak mendidik Bi Eng. Teecu memilih pergi daripada harus mengingkari janji yang telah teecu ikat bersama Kam-taihiap. Sam-susiok, bibi dan engkau Pek In, harap diketahui bahwa aku sama sekali tidak memihak musuh, bahwa aku sama sekali tidak menentang keluarga Cu. Kalau aku terpaksa pergi dan tidak mentaati suhu, hanyalah karena aku sudah mengikat janji, dan semua ini kulakukan demi kebaikan anakku Sim Houw. Aku tidak ingin Sim Houw terseret dalam permusuhan antar keluarga yang tidak ada gunanya ini. Kalau pendirianku ini benar, semoga Thian melindungiku, dan kalau aku bersalah, biarlah aku terhukum karena kesalahanku. Selamat tinggal!”
Sim Hong Bu bergegas pergi sambil menggandeng tangan Bi Eng yang sejak tadi diam saja. Cu Kang Bu dengan kakinya yang panjang melangkah lebar mendampingi Hong Bu, mengantarnya sampai di tepi jurang.
“Aku harus melihatmu sendiri menyeberang dengan selamat,” katanya lirih.
Diam-diam Hong Bu bersyukur dan berterima kasih. Agaknya pamannya yang dikenalnya amat jujur dan gagah ini meragukan kalau-kalau dua orang kakaknya akan berbuat curang dan karena dendam lalu berusaha melenyapkan Hong Bu dan Bi Eng dengan misalnya membuat mereka terjatuh ke dalam jurang selagi melakukan penyeberangan melalui tali.
“Terima kasih, susiok, terutama akan sikap susiok yang tidak marah kepada teecu.”
Pendekar tinggi besar itu tersenyum dan menghela napas.
“Tak tahulah, Hong Bu. Aku menghargai sikapmu yang memegang teguh perjanjian, akan tetapi kalau sudah menyangkut nama dan kehormatan, orang dapat berbuat apa saja dan aku tidak tahu lagi mana benar mana salah. Kalau dipikir, bukankah mati-matian memegang janji juga merupakan usaha mempertahankan nama dan kehormatan? Nah, selamat jalan, mudah-mudahan segalanya akan dapat berakhir dengan baik kelak.”
“Selamat tinggal, susiok.”
Sim Hong Bu lalu mengajak muridnya meloncat ke atas jembatan tambang yang sudah direntang. Mereka berlarian menuju ke seberang, dan pada saat itu, dari balik batang pohon muncul dua bayangan orang yang bukan lain adalah Cu Han Bu dan Cu Seng Bu. Mereka melihat adik mereka Cu Kang Bu, berdiri di tepi jurang dan keduanya menyelinap pergi lagi tanpa mengeluarkan kata-kata.
“Suhu, teecu adalah seorang laki-laki sejati, murid dan mantu suhu! Apakah suhu ingin melihat teecu menjilat ludah sendiri yang sudah dikeluarkan, melanggar janji sendiri? Tidak, suhu, teecu sudah mengikat janji dengan Kam-taihiap dan teecu tidak akan melanggarnya.”
“Maksudmu?”
“Teecu akan tetap mendidiknya sampai tiga tahun seperti yang sudah teecu janjikan dengan Kam-taihiap.”
“Engkau lebih memberatkan keluarga Kam daripada kami?”
“Teecu memberatkan janji, dan teecu memberatkan nasib Sim Houw anak teecu. Teecu tidak mau membawa anak teecu terseret ke dalam permusuhan antara keluarga Cu dan keluarga Kam yang tidak ada gunanya itu.”
“Mantu jahat! Murid murtad! Kalau begitu, engkau boleh pilih antara kami dan anak ini. Kalau engkau memilihnya, pergilah dari Lembah Naga Siluman dan jangan injakkan kaki lagi di tempat kami! Juga kami tidak lagi mengakuimu sebagai murid atau mantu! Pergilah!”
Cu Han Bu berteriak marah dan dalam suara teriakannya terkandung isak kekecewaan dan kedukaan hatinya. Dahulu, dia dan adik-adiknya mendidik Sim Hong Bu dengan harapan bahwa murid itu yang kelak akan membalaskan kekalahan mereka terhadap Kam Hong. Harapan itu tidak pernah terkabul karena biarpun Hong Bu sudah melaksanakan tugasnya dan menandingi Kam Hong, ternyata murid mereka itu tidak mampu mengalahkan Pendekar Suling Emas.
Dan sekarang, selagi mereka prihatin dan berusaha menciptakan ilmu lain, dengan harapan masih tertuju kepada murid yang juga menjadi mantu itu, tumpuan harapan mereka ambyar dan porak-poranda. Murid itu bahkan mau berbesan dengan musuh, bukan itu saja, malah saling bertukar ilmu!
“Baiklah, suhu. Teecu akan pergi dari sini bersama Bi Eng dan.... dan kalau ia mau, dengan isteri teecu.”
Setelah berkata demikian, dia bangkit berdiri lalu memegang tangan Bi Eng, untuk diajak pergi dari tempat itu.
“Nanti dulu! Engkau lupa mengembalikan Koai-liong Po-kiam! Engkau tidak berhak lagi memilikinya!” bentak Cu Han Bu dengan hati penuh rasa sesal dan kecewa.
Tanpa banyak cakap, Sim Hong Bu menanggalkan pedang dan sarungnya, lalu menyerahkannya kepada gurunya yang menyambarnya dari tangannya dengan kasar. Setelah menjura sekali lagi, pendekar itu lalu menggandeng tangan muridnya dan meninggalkan guha itu, kembali ke rumah besar di mana Cu Pek In menyambutnya dengan muka pucat.
Isteri yang mencinta suaminya ini memandang khawatir dan sinar matanya mengandung kedukaan ketika ia melihat betapa gadis cilik itu masih bersama suaminya, akan tetapi pedang Koai-liong-kiam tidak lagi berada di punggung pendekar itu. Sebelum suaminya bicara, ia sudah dapat menduga apa yang telah terjadi sebagai akibat pertemuan suaminya dengan ayahnya.
Dengan lemas Sim Hong Bu menjatuhkan dirinya duduk di atas kursi. Isteri yang menyambutnya juga duduk di depannya sedangkan Bi Eng berdiri saja di belakang kursi gurunya, hatinya diliputi keharuan karena ia merasakan benar perlindungan dan pembelaan gurunya terhadap dirinya. Kini ia merasa tegang karena tahu bahwa gurunya akan menghadapi suatu hal yang paling berat, yaitu isterinya yang sejak semula sudah memperlihatkan sikap tidak setuju.
“Suhu mengusirku karena aku bertahan untuk mendidik Kam Bi Eng. Terpaksa aku harus pergi dan terserah kepadamu, apakah engkau akan ikut bersamaku ataukah tinggal di sini.” Suara pendekar itu datar saja karena dia menekan batinnya yang terguncang hebat.
Dia mencinta isterinya dan tentu saja merasa berat kalau harus berpisah, akan tetapi keadaan memaksanya. Dia tidak sudi menjadi seorang lemah yang mengingkari janji sendiri.
Wanita itu menangis, akan tetapi tanpa suara. Hatinya terlalu keras untuk menangis sampai mengeluarkan suara. Sejak kecil Pek In seperti laki-laki. Hanya air matanya yang mengalir keluar dan segera ia menghapus air matanya.
“Keluarga Cu tidak mempunyai anak kecuali aku, dan tadinya engkau diharapkan untuk menjadi keturunan mereka. Akan tetapi sekarang engkau malah menentang, dan kalau aku juga pergi, habis siapa lagi yang akan dipandang oleh ayah dan para paman? Aku tidak bisa meninggalkan ayah, aku akan tinggal di sini sampai mati.... sampai engkau atau Houw-ji ingat kepadaku.” Wanita itu menutupi mukanya dan air matanya mengalir keluar dari celah-celah jari tangannya.
Sim Hong Bu merasa terharu dan kasihan sekali. Ingin dia merangkul dan menghibur isterinya, akan tetapi dia tahu bahwa hal itu akan percuma saja. Maka dia mengangguk-angguk dan menarik napas panjang.
“Sudah kuduga akan begini jadinya.... dan aku sama sekali tidak menyalahkan engkau, isteriku. Biarlah aku memenuhi janjiku, setelah lewat tiga tahun tentu aku akan mencarimu di sini. Selamat tinggal, isteriku, dan kau maafkan suamimu ini.”
Sim Hong Bu lalu berkemas dan meninggalkan tempat itu bersama Bi Eng, diikuti oleh pandang mata isterinya yang masih terus berlinang air mata. Pada saat itu muncullah Cu Kang Bu dan Yu Hwi.
“Eh, engkau hendak pergi lagi?” Cu Kang Bu menegur.
Hong Bu menjura kepada paman dan bibinya.
“Suhu mengusir teecu pergi karena teecu bertahan hendak mendidik Bi Eng. Teecu memilih pergi daripada harus mengingkari janji yang telah teecu ikat bersama Kam-taihiap. Sam-susiok, bibi dan engkau Pek In, harap diketahui bahwa aku sama sekali tidak memihak musuh, bahwa aku sama sekali tidak menentang keluarga Cu. Kalau aku terpaksa pergi dan tidak mentaati suhu, hanyalah karena aku sudah mengikat janji, dan semua ini kulakukan demi kebaikan anakku Sim Houw. Aku tidak ingin Sim Houw terseret dalam permusuhan antar keluarga yang tidak ada gunanya ini. Kalau pendirianku ini benar, semoga Thian melindungiku, dan kalau aku bersalah, biarlah aku terhukum karena kesalahanku. Selamat tinggal!”
Sim Hong Bu bergegas pergi sambil menggandeng tangan Bi Eng yang sejak tadi diam saja. Cu Kang Bu dengan kakinya yang panjang melangkah lebar mendampingi Hong Bu, mengantarnya sampai di tepi jurang.
“Aku harus melihatmu sendiri menyeberang dengan selamat,” katanya lirih.
Diam-diam Hong Bu bersyukur dan berterima kasih. Agaknya pamannya yang dikenalnya amat jujur dan gagah ini meragukan kalau-kalau dua orang kakaknya akan berbuat curang dan karena dendam lalu berusaha melenyapkan Hong Bu dan Bi Eng dengan misalnya membuat mereka terjatuh ke dalam jurang selagi melakukan penyeberangan melalui tali.
“Terima kasih, susiok, terutama akan sikap susiok yang tidak marah kepada teecu.”
Pendekar tinggi besar itu tersenyum dan menghela napas.
“Tak tahulah, Hong Bu. Aku menghargai sikapmu yang memegang teguh perjanjian, akan tetapi kalau sudah menyangkut nama dan kehormatan, orang dapat berbuat apa saja dan aku tidak tahu lagi mana benar mana salah. Kalau dipikir, bukankah mati-matian memegang janji juga merupakan usaha mempertahankan nama dan kehormatan? Nah, selamat jalan, mudah-mudahan segalanya akan dapat berakhir dengan baik kelak.”
“Selamat tinggal, susiok.”
Sim Hong Bu lalu mengajak muridnya meloncat ke atas jembatan tambang yang sudah direntang. Mereka berlarian menuju ke seberang, dan pada saat itu, dari balik batang pohon muncul dua bayangan orang yang bukan lain adalah Cu Han Bu dan Cu Seng Bu. Mereka melihat adik mereka Cu Kang Bu, berdiri di tepi jurang dan keduanya menyelinap pergi lagi tanpa mengeluarkan kata-kata.
**** 074 ****
OBJEK WISATA MANCA NEGARA
===============================
Tidak ada komentar:
Posting Komentar