“Guruku sedang sakit, engkau tidak boleh mengganggunya sekarang!”
“Bocah tolol, minggirlah dan jangan mencampuri urusanku!”
Akan tetapi Ceng Liong tidak mau minggir sehingga terpaksa Pouw Kui Lok menusukkan pedangnya. Ceng Liong mengelak dan membalas dengan tendangan kilat, membuat Pouw Kui Lok terkejut dan meloncat ke samping. Pada saat itu, muncullah dua orang tosu berpakaian kuning dan mereka segera menghadapi Ceng Liong dari kanan kiri sambil berkata,
“Pouw-taihiap, biar pinto berdua menghadapi iblis muda ini!” Dan merekapun langsung menyerang Ceng Liong dengan tangan kosong.
Ceng Liong melihat betapa gerakan kedua orang tosu ini cukup lihai. Mereka bertangan kosong akan tetapi ketika mereka menyerang, ujung kedua lengan baju mereka menyambar dahsyat dengan kekuatan yang cukup ampuh. Tahulah dia bahwa dua orang tosu ini bukan lawan yang lunak, maka diapun cepat mengelak dan menangkis pukulan tosu ke dua untuk mengukur tenaganya.
“Dukk!”
Tosu itu hampir terjengkang dan melangkah sampai lima langkah ke belakang dengan muka berobah.
“Siancai....! Iblis muda ini berbahaya....!” katanya dan mereka berdua bersikap hati-hati sekali menahan Ceng Liong agar pemuda ini tidak dapat membantu gurunya yang sudah diserang oleh Pouw Kui Lok.
Hek-i Mo-ong memang seorang aneh. Dia sengaja tadi mengejek dan menantang musuhnya, hanya untuk melihat sampai di mana kesetiaan muridnya kepadanya! Padahal, sikapnya ini amat membahayakan dirinya. Gerakan Pouw Kui Lok amat cepat dan kuat, pedangnya lenyap bentuknya berobah menjadi sinar terang yang menyambar laksana kilat.
Memang sesungguhnya pemuda ini telah menggembleng diri dan telah berhasil mewarisi ilmu pedang mendiang Yang I Cin-jin, bahkan telah memperdalam ilmu pedangnya di Kun-lun-pai sehingga dia menjadi seorang ahli pedang yang lihai. Yang I Cin-jin adalah seorang tosu, dan biarpun bukan menjadi pendekar budiman yang terkenal, setidaknya bukan penjahat dan sudah kenal baik dengan para tosu Kun-lun-pai.
Inilah sebabnya ketika Pouw Kui Lok menceritakan tentang kematian gurunya di tangan datuk sesat Hek-i Mo-ong, mereka mau membantunya, menggemblengnya, bahkan ketika pemuda ini mencari musuh besarnya, dua orang tosu Kun-lun-pai yang menjadi para suhengnya menemaninya.
Sebagai pendekar-pendekar Kun-lun-pai, dua orang tosu itu tidak berniat mengeroyok Hek-i Mo-ong karena urusan antara Hek-i Mo-ong dan Pouw Kui Lok adalah urusan pribadi. Akan tetapi mereka menemani pemuda itu karena ingin membantunya kalau-kalau sute mereka yang ilmu pedangnya amat lihai itu dikeroyok oleh kawan-kawan atau anak buah Hek-i Mo-ong.
Inilah sebabnya ketika Ceng Liong maju, mereka berdua langsung turun tangan mencegah Ceng Liong membantu gurunya dan memberi kesempatan kepada Pouw Kui Lok untuk bertanding secara adil melawan musuh besarnya.
Biarpun kini tingkat kepandaian Pouw Kui Lok sudah lebih tinggi dari mendiang gurunya, akan tetapi andaikata keadaan Hek-i Mo-ong seperti biasa, sehat dan tidak sedang menderita luka yang amat parah, jangan harap pemuda itu akan mampu mengalahkannya. Akan tetapi saat itu Hek-i Mo-ong memang sudah payah sekali.
Dipakai bernapas saja dadanya terasa nyeri, apalagi kalau dia mengerahkan sin-kang, rasanya seperti ditusuk-tusuk jantungnya. Dan penyerangnya yang muda itu benar-benar amat lihai. Pedangnya membuat sinar bergulung-gulung dan repotlah Hek-i Mo-ong mengelak ke sana sini.
Dia tidak berani mempergunakan kekebalannya untuk menghadapi pedang lawan. Pertama karena pedang lawan amat ampuh dan kuat, kedua kalinya karena dia tidak berani mengerahkan terlalu banyak tenaga sin-kang. Hal ini bisa membuat lukanya menjadi semakin parah. Maka tidaklah mengherankan apabila dia terdesak hebat dan main mundur terus, mengelak ke kanan kiri dan terhuyung-huyung.
Hek-i Mo-ong bukanlah seorang tolol yang ingin membiarkan dirinya mati konyol. Kalau dia tahu bahwa pemuda musuh besarnya itu dibantu oleh dua orang tosu Kun-lun-pai yang demikian lihai, tentu dia tidak mengeluarkan ejekan dan tantangan tadi. Kini, dia terkejut melihat betapa muridnya dihadang dua orang tosu itu sehingga tentu saja Ceng Liong tidak dapat membantunya.
Dia harus menghadapi sendiri amukan Pouw Kui Lok dan ternyata pemuda ini lihai bukan main ilmu pedangnya. Lewat beberapa puluh jurus saja, sudah dua kali tubuhnya terserempet ujung pedang sehingga bajunya robek dan kulitnya juga robek. Darah bercucuran!
Sejak tadi Bi Eng menonton perkelahian itu dengan mata terbelalak dan bingung. Dara ini tidak mengenal siapa adanya pemuda dan dua orang tosu yang memusuhi Hek-i Mo-ong dan Ceng Liong. Akan tetapi, iapun cukup mengerti bahwa biasanya, tosu adalah pendeta yang mengutamakan kebaikan. Bagaimanapun juga, ia adalah puteri Pendekar Suling Emas dan ayahnya sudah seringkali memperingatkan kepadanya bahwa ia tidak boleh menilai orang dari keadaan lahirnya.
Manusia tidak dapat dinilai dari pakaiannya, kekayaannya, kepandaiannya, agamanya dan sebagainya. Semua itu hanya pakaian. Yang penting adalah manusianya itu sendiri, lepas dari pada semua pakaiannya yang kadang-kadang hanya dipakai untuk menutupi dan menyembunyikan kekotoran dan keburukannya.
Ternyata dua orang tosu itu lihai sekali, walaupun mereka belum juga dapat mendesak Ceng Liong. Melihat betapa pemuda itu mampu menahan dua orang tosu yang demikian lihainya, diam-diam Bi Eng menjadi semakin kagum saja kepadanya. Dan ketika dara remaja ini menoleh dan memandang kepada Hek-i Mo-ong, ia mengerutkan alisnya.
Kakek itu sedang terluka parah dan kini didesak amat hebatnya oleh pemuda berpedang. Sudah terluka di sana-sini dan tubuhnya berlumuran darah. Akan tetapi, Bi Eng mempunyai harga diri. Ia tidak mungkin dapat turun tangan membantu Hek-i Mo-ong. Hal itu akan berarti pengeroyokan dan ia sama sekali tidak mempunyai sangkut paut dengan urusan pribadi dua orang itu.
Bagaimanapun juga, kakek iblis itu telah menyelamatkan nyawanya, kalau kini ia mendiamkan saja kakek itu terancam bahaya, kalau sampai kakek itu dibunuh orang di depan matanya tanpa ia berusaha menyelamatkannya, sungguh ia akan menjadi orang yang tidak mengenal budi sama sekali! Secara otomatis, matanya mulai mencari-cari senjata karena suling emasnya telah hilang ketika ia berkelahi melawan Louw Tek Ciang.
“Bocah tolol, minggirlah dan jangan mencampuri urusanku!”
Akan tetapi Ceng Liong tidak mau minggir sehingga terpaksa Pouw Kui Lok menusukkan pedangnya. Ceng Liong mengelak dan membalas dengan tendangan kilat, membuat Pouw Kui Lok terkejut dan meloncat ke samping. Pada saat itu, muncullah dua orang tosu berpakaian kuning dan mereka segera menghadapi Ceng Liong dari kanan kiri sambil berkata,
“Pouw-taihiap, biar pinto berdua menghadapi iblis muda ini!” Dan merekapun langsung menyerang Ceng Liong dengan tangan kosong.
Ceng Liong melihat betapa gerakan kedua orang tosu ini cukup lihai. Mereka bertangan kosong akan tetapi ketika mereka menyerang, ujung kedua lengan baju mereka menyambar dahsyat dengan kekuatan yang cukup ampuh. Tahulah dia bahwa dua orang tosu ini bukan lawan yang lunak, maka diapun cepat mengelak dan menangkis pukulan tosu ke dua untuk mengukur tenaganya.
“Dukk!”
Tosu itu hampir terjengkang dan melangkah sampai lima langkah ke belakang dengan muka berobah.
“Siancai....! Iblis muda ini berbahaya....!” katanya dan mereka berdua bersikap hati-hati sekali menahan Ceng Liong agar pemuda ini tidak dapat membantu gurunya yang sudah diserang oleh Pouw Kui Lok.
Hek-i Mo-ong memang seorang aneh. Dia sengaja tadi mengejek dan menantang musuhnya, hanya untuk melihat sampai di mana kesetiaan muridnya kepadanya! Padahal, sikapnya ini amat membahayakan dirinya. Gerakan Pouw Kui Lok amat cepat dan kuat, pedangnya lenyap bentuknya berobah menjadi sinar terang yang menyambar laksana kilat.
Memang sesungguhnya pemuda ini telah menggembleng diri dan telah berhasil mewarisi ilmu pedang mendiang Yang I Cin-jin, bahkan telah memperdalam ilmu pedangnya di Kun-lun-pai sehingga dia menjadi seorang ahli pedang yang lihai. Yang I Cin-jin adalah seorang tosu, dan biarpun bukan menjadi pendekar budiman yang terkenal, setidaknya bukan penjahat dan sudah kenal baik dengan para tosu Kun-lun-pai.
Inilah sebabnya ketika Pouw Kui Lok menceritakan tentang kematian gurunya di tangan datuk sesat Hek-i Mo-ong, mereka mau membantunya, menggemblengnya, bahkan ketika pemuda ini mencari musuh besarnya, dua orang tosu Kun-lun-pai yang menjadi para suhengnya menemaninya.
Sebagai pendekar-pendekar Kun-lun-pai, dua orang tosu itu tidak berniat mengeroyok Hek-i Mo-ong karena urusan antara Hek-i Mo-ong dan Pouw Kui Lok adalah urusan pribadi. Akan tetapi mereka menemani pemuda itu karena ingin membantunya kalau-kalau sute mereka yang ilmu pedangnya amat lihai itu dikeroyok oleh kawan-kawan atau anak buah Hek-i Mo-ong.
Inilah sebabnya ketika Ceng Liong maju, mereka berdua langsung turun tangan mencegah Ceng Liong membantu gurunya dan memberi kesempatan kepada Pouw Kui Lok untuk bertanding secara adil melawan musuh besarnya.
Biarpun kini tingkat kepandaian Pouw Kui Lok sudah lebih tinggi dari mendiang gurunya, akan tetapi andaikata keadaan Hek-i Mo-ong seperti biasa, sehat dan tidak sedang menderita luka yang amat parah, jangan harap pemuda itu akan mampu mengalahkannya. Akan tetapi saat itu Hek-i Mo-ong memang sudah payah sekali.
Dipakai bernapas saja dadanya terasa nyeri, apalagi kalau dia mengerahkan sin-kang, rasanya seperti ditusuk-tusuk jantungnya. Dan penyerangnya yang muda itu benar-benar amat lihai. Pedangnya membuat sinar bergulung-gulung dan repotlah Hek-i Mo-ong mengelak ke sana sini.
Dia tidak berani mempergunakan kekebalannya untuk menghadapi pedang lawan. Pertama karena pedang lawan amat ampuh dan kuat, kedua kalinya karena dia tidak berani mengerahkan terlalu banyak tenaga sin-kang. Hal ini bisa membuat lukanya menjadi semakin parah. Maka tidaklah mengherankan apabila dia terdesak hebat dan main mundur terus, mengelak ke kanan kiri dan terhuyung-huyung.
Hek-i Mo-ong bukanlah seorang tolol yang ingin membiarkan dirinya mati konyol. Kalau dia tahu bahwa pemuda musuh besarnya itu dibantu oleh dua orang tosu Kun-lun-pai yang demikian lihai, tentu dia tidak mengeluarkan ejekan dan tantangan tadi. Kini, dia terkejut melihat betapa muridnya dihadang dua orang tosu itu sehingga tentu saja Ceng Liong tidak dapat membantunya.
Dia harus menghadapi sendiri amukan Pouw Kui Lok dan ternyata pemuda ini lihai bukan main ilmu pedangnya. Lewat beberapa puluh jurus saja, sudah dua kali tubuhnya terserempet ujung pedang sehingga bajunya robek dan kulitnya juga robek. Darah bercucuran!
Sejak tadi Bi Eng menonton perkelahian itu dengan mata terbelalak dan bingung. Dara ini tidak mengenal siapa adanya pemuda dan dua orang tosu yang memusuhi Hek-i Mo-ong dan Ceng Liong. Akan tetapi, iapun cukup mengerti bahwa biasanya, tosu adalah pendeta yang mengutamakan kebaikan. Bagaimanapun juga, ia adalah puteri Pendekar Suling Emas dan ayahnya sudah seringkali memperingatkan kepadanya bahwa ia tidak boleh menilai orang dari keadaan lahirnya.
Manusia tidak dapat dinilai dari pakaiannya, kekayaannya, kepandaiannya, agamanya dan sebagainya. Semua itu hanya pakaian. Yang penting adalah manusianya itu sendiri, lepas dari pada semua pakaiannya yang kadang-kadang hanya dipakai untuk menutupi dan menyembunyikan kekotoran dan keburukannya.
Ternyata dua orang tosu itu lihai sekali, walaupun mereka belum juga dapat mendesak Ceng Liong. Melihat betapa pemuda itu mampu menahan dua orang tosu yang demikian lihainya, diam-diam Bi Eng menjadi semakin kagum saja kepadanya. Dan ketika dara remaja ini menoleh dan memandang kepada Hek-i Mo-ong, ia mengerutkan alisnya.
Kakek itu sedang terluka parah dan kini didesak amat hebatnya oleh pemuda berpedang. Sudah terluka di sana-sini dan tubuhnya berlumuran darah. Akan tetapi, Bi Eng mempunyai harga diri. Ia tidak mungkin dapat turun tangan membantu Hek-i Mo-ong. Hal itu akan berarti pengeroyokan dan ia sama sekali tidak mempunyai sangkut paut dengan urusan pribadi dua orang itu.
Bagaimanapun juga, kakek iblis itu telah menyelamatkan nyawanya, kalau kini ia mendiamkan saja kakek itu terancam bahaya, kalau sampai kakek itu dibunuh orang di depan matanya tanpa ia berusaha menyelamatkannya, sungguh ia akan menjadi orang yang tidak mengenal budi sama sekali! Secara otomatis, matanya mulai mencari-cari senjata karena suling emasnya telah hilang ketika ia berkelahi melawan Louw Tek Ciang.
Melihat keadaan Hek-i Mo-ong makin lemah, Pouw Kui Lok memperhehat desakannya. Pedangnya membentuk sinar bergulung-gulung yang seperti tali-temali melibat-libat tubuh Hek-i Mo-ong.
“Cetttt....!”
Kembali ujung pedang itu merobek pundak kiri Hek-i Mo-ong. Kakek itu terhuyung dan terjengkang. Melihat ini, Pouw Kui Lok menubruk ke depan dengan serangan kilatnya. Demikian hebat serangannya itu sehingga tahu-tahu pedangnya telah amblas ke dalam dada Hek-i Mo-ong.
“Cratttt....!”
Kakek itu meregang, akan tetapi tangan kirinya dengan membentuk cakar menyambar ke arah kepala Pouw Kui Lok. Pemuda ini terkejut setengah mati. Tak disangkanya bahwa kakek yang sudah ditembusi pedang dadanya itu masih mampu melakukan serangan sedemikian hebatnya!
Itulah ilmu mujijat Coan-kut-ci (Jari Penembus Tulang) dari Hek-i Mo-ong! Kalau tadi kakek itu tidak mengeluarkan ilmu ini adalah karena ilmu ini membutuhkan pengerahan sin-kang yang amat kuat dan untuk mengerahkan ini, sama saja dengan membunuh diri karena luka di dalam tubuhnya tentu akan makin menghebat. Maka baru sekarang, setelah pedang lawan menembus dadanya, dia mengeluarkan ilmu ini.
“Crokkk....!”
Betapapun lihainya Pouw Kwi Lok dan biarpun dia sudah berusaha untuk mengelak, dia hanya berhasil menyelamatkan kepalanya saja dan jari-jari tangan kakek itu tetap saja mencengkeram pundaknya sehingga kulit dan daging pundak itu menjadi hancur, dan ujung tulang pundak juga patah!
Pouw Kui Lok mengeluh kesakitan dan meloncat ke belakang. Pundak kirinya terluka parah dan lengan kirinya lumpuh sama sekali. Akan tetapi melihat kakek itu masih belum tewas, dia menjadi nekat dan maju lagi untuk memberi tusukan-tusukan lagi. Pada saat itu, terdengar bentakan nyaring dan sebatang ranting digerakkan secara istimewa menyerangnya dari samping! Pouw Kui Lok terkejut dan menangkis dengan pedangnya.
“Trakkk!”
Ranting itu tertangkis, akan tetapi melesat dengan gerakan menyerong dan tahu-tahu ujung ranting hampir menusuk matanya! Pouw Kui Lok berseru kaget dan melempar tubuhnya ke belakang, terus bergulingan. Dia selamat, akan tetapi keringat dingin membasahi lehernya karena nyaris matanya buta oleh tusukan ranting tadi.
Ketika dia meloncat dan menyeringai kesakitan karena pundak yang terluka tadi terasa nyeri sekali ketika dipakai bergulingan, dia melihat dengan heran bahwa yang menyerangnya dengan ranting hanyalah seorang gadis remaja yang wajahnya masih pucat, agaknya baru sembuh dari sakit.
“Suheng, pergi....!”
Pouw Kui Lok berseru. Dia sudah terluka parah, dan dia sudah berhasil menusuk tembus dada musuhnya sehingga dia merasa yakin bahwa musuh besarnya pasti akan mati, dan di situ selain ada murid Hek-i Mo-ong yang amat lihai, terdapat pula gadis remaja yang memiliki ilmu silat istimewa pula. Dua orang tosu yang memang kewalahan menghadapi Ceng Liong, meloncat jauh ke belakang dan mereka bertiga melarikan diri.
“Suhu....!”
Ceng Liong berseru ketika melihat kakek itu berdiri dengan mendekapkan tangan kiri ke dadanya, wajahnya berseri akan tetapi pucat sekali dan berdirinya terhuyung-huyung. Ketika Ceng Liong merangkul gurunya, kakek itu tertawa.
“Ha-ha-ha, dalam saat terakhir, muridku membelaku dan calon isterinya juga membantuku. Aku puas sudah.... ha-ha-ha, Hek-i Mo-ong.... hari akhirmu diantar oleh hati orang-orang muda yang sayang kepadamu.... ha-ha!”
Dan kakek itu tentu terguling kalau tidak cepat dipondong oleh Ceng Liong. Gurunya setengah pingsan dan ketika Ceng Liong memondongnya dan merebahkannya di atas rumput, terasa oleh Ceng Liong betapa kakek yang bertubuh tinggi besar seperti raksasa itu kini amatlah kurusnya dan amat ringannya.
Hatinya merasa terharu, apalagi ketika melihat bahwa gurunya telah menderita luka parah sekali. Dada dan punggungnya berlubang dan mengucurkan darah, napasnya tinggal satu-satu. Bi Eng juga berlutut di dekat tubuh kakek itu yang dengan lemah memandangi mereka berdua.
Pada saat itu ada angin menyambar dan berkelebat dua bayangan orang. Tahu-tahu di situ telah berdiri Kam Hong dan isterinya! Akhirnya, suami isteri ini dapat juga menyusul dan betapa kaget, heran dan juga girang rasa hati mereka melihat Bi Eng berada di tempat itu dalam keadaan selamat, akan tetapi gadis itu berlutut di dekat tubuh Hek-i Mo-ong yang terluka parah, bersama seorang pemuda yang tampaknya sedang berusaha menotok beberapa jalan darah di tubuh kakek itu untuk menghentikan darah yang bercucuran dan menghilangkan rasa nyeri.
Akan tetapi begitu melihat siapa yang datang, Hek-i Mo-ong mendorong tangan muridnya dengan halus dan diapun seperti memperoleh kekuatan baru, bangkit duduk lalu berdiri menghadapi Pendekar Suling Emas dan isterinya!
“Heh-heh-heh, orang she Kam! Engkau datang untuk melanjutkan perkelahian denganku? Baik, hayolah, aku sudah siap!” katanya menantang.
Tentu saja Kam Hong menjadi marah. Gara-gara kakek ini dan kaki tangannya, dia kehilangan nyawa beberapa orang murid, bahkan puteri merekapun terculik dan nyaris celaka.
“Hek-i Mo-ong, orang seperti engkau ini adalah iblis jahat yang sudah sepatutnya dienyahkan dari muka bumi!” bentak Kam Hong, siap untuk menyerang.
“Ha-ha-ha, biar jahat seperti aku atau baik seperti engkau, kita semuapun pada akhirnya akan lenyap dari muka bumi! Hayo, sudah lama aku menanti saat ini, dan aku tidak akan merasa penasaran kalau engkau yang mengantar kematianku, orang she Kam, karena engkaulah yang berhasil mengalahkan aku!”
Keadaan kakek itu sebetulnya sudah payah sekali, bicarapun sudah terengah-engah, sudah lebih mendekati mati daripada hidup. Akan tetapi dia kelihatan gembira menghadapi kematiannya dan dengan kedua tangannya membentuk cakar penuh pengerahan hawa sakti dari Ilmu Coan-kut-ci, dia berdiri menghadapi musuh besarnya.
Akan tetapi, Kam Hong adalah seorang pendekar besar yang pantang melakukan hal-hal yang rendah atau licik. Dia sudah melihat betapa payah keadaan musuhnya, maka biarpun dia marah sekali mengingat betapa kakek iblis ini telah menyebabkan tewasnya para pelayannya yang dianggap sebagai murid-murid pula, namun dia nampak ragu-ragu untuk menyerang orang yang sudah tidak mampu melawan lagi.
Tiba-tiba nampak bayangan berkelebat dan seorang pemuda remaja telah berdiri menghadang antara pendekar ini dan kakek iblis itu. Pemuda yang bertubuh tinggi tegap, wajahnya cerah dan gagah, sinar matanya mencorong aneh, akan tetapi belum dewasa benar sehingga nampak lucu bahwa seorang pemuda remaja yang masih hijau itu berani berdiri menghadapi dan menentang seorang pendekar seperti Kam Hong!
“Suhuku sudah terluka dan tidak dapat melawan, biarlah aku yang menggantikannya menghadapimu kalau engkau hendak menyerangnya.”
Kata Ceng Liong dengan sikap tenang sekali, menandakan bahwa nyalinya amat besar dan dia tidak takut menghadapi lawan yang berpakaian sasterawan sederhana ini. Diapun tahu dari ucapan gurunya tadi bahwa sasterawan inilah musuh besar gurunya yang dapat diduganya tentu lihai bukan main.
Kam Hong mengerutkan alisnya. Kini dia tahu bahwa tentu pemuda ini yang mengaku murid Hek-i Mo-ong yang telah menculik Bi Eng.
“Hemm, tidak patut aku menyerang seorang bocah, akan tetapi mengingat engkau murid iblis tua ini, sudah semestinya kalau aku mengenyahkan engkau pula yang tentu akan menjadi lebih jahat daripada gurunya kelak!”
Akan tetapi anak muda itu hanya berdiri memandangnya dan tidak juga bergerak menyerang.
“Majulah,” kata Kam Hong. “Engkau boleh mewakili gurumu menghadapiku!”
Akan tetapi Ceng Liong menggeleng kepala.
“Aku tidak ingin memusuhi siapapun juga, akan tetapi aku harus melindungi guruku dari serangan siapapun juga!”
Kerut di antara alis pendekar itu mendalam dan dia mengeluarkan dengus mengejek dari hidungnya.
“Hemm, seorang murid yang berbakti, ya? Murid iblis tua tentu menjadi calon iblis pula!”
“Heh-heh-heh, muridktu yang baik! Tidak percuma aku mendidikmu bertahun-tahun dan mewariskan semua ilmuku kepadamu. Lebih baik menjadi murid iblis akan tetapi berbakti daripada menjadi murid pendekar akan tetapi murtad, heh-heh!”
Hek-i Mo-ong terkekeh, akan tetapi terpaksa dia cepat duduk bersila dan mengatur pernapasan karena kata-katanya dan tawanya tadi membuat darah mengucur keluar dari luka di dadanya.
“Hahh!”
Kam Hong sudah menyerang dengan tamparan kilat ke arah leher Ceng Liong. Tamparan yang selain amat cepat, juga mengandung hawa pukulan yang amat kuat sehingga terdengar suara angin mendesis.
“Dukk! Dukk! Dukkk!”
Tiga kali Kam Hong melakukan tamparan bertubi yang amat hebat, akan tetapi semua serangan itu dapat ditangkis dengan baiknya oleh Ceng Liong. Barulah mata Kam Hong terbelalak ketika dia merasa betapa tangkisan-tangkisan itu selain cepat dan tepat, juga mengandung tenaga yang hebat, yang mampu menahan tenaganya sendiri! Tahulah dia bahwa ucapan Hek-i Mo-ong tadi tidaklah bualan belaka.
Anak ini, biarpun masih muda, telah mewarisi ilmu-ilmu yang hebat dari kakek iblis itu! Tentu saja dia tidak tahu bahwa sebetulnya, pada saat itu, andaikata diadukan antara Hek-i Mo-ong dan Ceng Liong, agaknya kakek itupun belum tentu akan mampu mengalahkan muridnya, terutama sekali dalam hal tenaga sakti. Seperti kita ketahui, Suma Ceng Liong telah mewarisi tenaga sakti dari kakeknya, yaitu Pendekar Super Sakti Suma Han. Selain itu, juga semua ilmu yang dimiliki Hek-i Mo-ong telah diwarisinya.
Setelah merasa yakin akan kelihaian lawan yang amat muda ini, Kam Hong tidak mau membuang waktu lagi dan diapun mencabut suling emasnya. Sinar emas berkilat menyilaukan mata ketika suling tercabut dan melihat ini, tiba-tiba saja Bi Eng melompat ke depan. Gadis ini sejak tadi dirangkul oleh ibunya yang merasa lega dan girang sekali melihat bahwa puterinya dalam keadaan sehat dan selamat.
Tadinya, Bi Eng juga diam saja tidak mau mencampuri urusan antara Hek-i Mo-ong dan ayahnya karena iapun tahu bahwa Hek-i Mo-ong dan kawan-kawannya datang untuk memusuhi dan menyerbu keluarga ayahnya sehingga mengakibatkan tewasnya para pelayan.
Akan tetapi ketika ia melihat ayahnya menyerang Ceng Liong, kemudian ayahnya mencabnt suling emas, hatinya merasa ngeri. Ia tahu akan kehebatan suling emas di tangan ayahnya dan ia tidak ingin ayahnya membunuh Ceng Liong yang telah begitu baik terhadap dirinya.
“Ayah....! Jangan....!” teriaknya sambil melompat.
Kam Hong terkejut, juga heran sekali melihat puterinya mencegahnya menyerang murid musuh besar yang berbahaya itu. Dia menunda gerakannya, berdiri dan memandang puterinya dengan mata tajam dan alis berkerut tak senang.
“Bi Eng! Kau kenapakah?” bentak ayah ini.
Tentu saja dia marah. Bukankah para pelayannya telah terbunuh oleh musuh, bahkan Bi Eng sendiri diculik. Sekarang, anaknya itu malah melarangnya membunuh musuh yang jahat ini! Bi Eng maklum apa yang dipikirkan ayahnya, maka ia dengan cepat maju dan berdiri di dekat Ceng Liong dengan sikap seperti hendak melindungi pemuda itu dari kemarahan ayahnya.
“Ayah, jangan serang dia! Ceng Liong tidak bersalah apa-apa.!”
“Hemm, bukankah dia murid iblis tua itu?” tanya Kam Hong meragu.
“Benar, akan tetapi dialah yang menyelamatkan aku, ayah. Aku roboh oleh penjahat cabul dan tentu akan celaka kalau tidak dibawa lari dan diobati oleh Ceng Liong ini. Ayah, dia telah menyelamatkan puterimu, apakah sekarang, sebagai imbalannya ayah hendak membunuhnya?”
Kam Hong menjadi bingung. Tentu saja dia merasa heran. Pemuda yang lihai ini adalah murid Hek-i Mo-ong, lalu bagaimana dia harus bersikap kalau murid musuh besarnya itu menolong puterinya.
“Tapi.... tapi mereka membunuh para pelayan kita....!”
“Bukan Ceng Liong yang membunuh, melainkan penjahat cabul itu dan gurunya!” Bi Eng membela.
Kam Hong mengangguk-angguk. Dia tahu siapa yang dimaksudkan puterinya dengan penjahat cabul itu. Tentu pemuda lihai yang menjadi murid Jai-hwa Siauw-ok itu. Kalau memang pemuda remaja ini tidak ikut melakukan pembunuhan, dan sudah menyelamatkan Bi Eng, memang tidak layak kalau dia membunuhnya.
“Baik,” katanya, “akan tetapi suruh dia minggir agar aku dapat membunuh raja iblis jahat Hek-i Mo-ong itu.” Diapun melangkah maju dengan suling di tangannya.
“Siapapun hanya dapat menyerang suhu dengan melangkahi mayatku!”
Kata Ceng Liong, sikapnya tenang akan tetapi suaranya terdengar tegas. Sikap pemuda ini kembali membangkitkan kemarahan di hati Kam Hong. Siapa orangnya tidak akan marah kalau menghalangi dia menghukum iblis yang telah menyebar maut di tempat tinggalnya?
“Ayah, Hek-i Mo-ong juga telah menyelamatkan nyawaku. Bahkan.... dia berkorban nyawa untuk membelaku....”
“Apa....?” Ayahnya bertanya, terkejut juga kini karena pernyataan puterinya itu sungguh tak disangkanya.
“Aku dirobohkan oleh penjahat cabul lalu ditolong oleh Ceng Liong. Akan tetapi aku terluka parah karena pukulan beracun penjahat itu. Ketika penjahat-penjahat guru dan murid itu hendak merampasku, kakek ini mempertahankan dan dia membunuh guru penjahat itu akan tetapi dia sendiri terluka. Dan luka beracun di tubuhku juga diobati oleh Hek-i Mo-ong.”
Kembali Kam Hong menjadi bingung, tak tahu harus berbuat apa. Dia tahu benar bahwa Hek-i Mo-ong adalah seorang datuk kaum sesat, seorang penjahat besar yang kejam dan ganas. Entah berapa banyak orang yang celaka atau tewas di tangannya.
Akan tetapi, kakek itu telah menyelamatkan puterinya. Kalau kini dia menyerang dan membunuhnya, apakah dia tidak akan merasa menyesal selama hidupnya? Akan tetapi, kalau dia tidak turun tangan, berarti pula bahwa dia membiarkan saja penjahat keji berkeliaran dan ini bertentangan dengan watak seorang pendekar.
Hek-i Mo-ong yang duduk bersila itu kini membuka matanya memandang, mulutnya menyeringai dalam usahanya untuk tersenyum mengejek, akan tetapi dia tidak berani tertawa karena luka di dalam tubuhnya amat parah. Dengan mengerahkan kekuatan terakhir yang masih bersisa, dia berkata,
“Orang she Kam, lihat bagaimana seorang jahat dan sesat seperti aku dibela oleh dua orang muda yang gagah! Dan yang seorang puterimu sendiri malah. Hati siapa takkan bangga dan senang? Jangan khawatir, tanpa kau turun tanganpun aku takkan hidup lama lagi. Akan tetapi sebelum mati aku ingin memberitahu kepadamu bahwa puterimu ini akan menjadi isteri muridku.”
“Apa? Tidak mungkin! Hek-i Mo-ong, aku tidak akan membunuhmu karena engkau pernah menolong puteriku, akan tetapi jangan harap lebih daripada itu. Sampai mati kami tidak sudi berbesan denganmu!”
“Tapi.... tapi.... puterimu telah berjanji untuk menjadi isteri Ceng Liong muridku ini!”
Kam Hong dan isterinya terkejut dan Bu Ci Sian yang sejak tadi hanya menonton saja, tiba-tiba menjadi marah.
“Bi Eng! Apa artinya ini? Benarkah engkau berjanji seperti itu?”
“Tidak, ibu. Aku tidak pernah berjanji!” jawab Bi Eng dengan sungguh-sungguh.
Akan tetapi Bu Ci Sian yang biasanya berwatak keras, hanya setelah menjadi isteri Kam Hong saja ia dapat merobah kekerasannya di bawah pimpinan suaminya, masih belum puas dengan jawaban itu. Hati ibu ini sungguh merasa khawatir membayangkan puterinya akan menjadi isteri murid seorang datuk seperti Hek-i Mo-ong, walaupun ia harus mengakui bahwa pemuda remaja itu gagah, tampan dan juga berilmu tinggi seperti yang dilihatnya tadi ketika pemuda itu mampu menahan serangan suaminya.
“Bi Eng, katakanlah, apakah engkau mau menjadi mantu seorang penjahat terkutuk seperti Hek-i Mo-ong itu? Apakah engkau mau menjadi calon isteri murid orang sesat ini?”
Didesak oleh ibunya seperti itu, Bi Eng menggeleng kepalanya. Ia sendiri sebetulnya tidak pernah mempertimbangkan hal itu. Ketika Hek-i Mo-ong mengajukan syarat agar ia berjanji mau menjadi calon isteri Ceng Liong untuk diobati, ia menolak keras, bukan karena ia membenci Ceng Liong melainkan karena ia tidak sudi ditekan dan ia tidak mau tunduk.
Akan tetapi, mengenai perjodohannya, sama sekali ia tidak pernah memikirkan. Biarpun demikian, ketika didesak ibunya, dalam keadaan seperti itu, tentu saja ia merasa tidak enak dan jalan satu-satunya bagi Bi Eng hanyalah dengan menolak.
“Tidak, ibu, aku tidak mau.”
Hening sejenak setelah dara itu memberikan jawabannya dan diam-diam Ceng Liong merasa sesuatu yang amat tidak enak dalam hatinya. Dia sendiri sama sekali belum pernah memikirkan tentang perjodohan dan perasaannya terhadap Bi Eng hanyalah perasaan suka biasa saja. Kalau dia bersikeras menolong dara itu adalah karena terdorong rasa iba dan karena pada dasarnya dia memang tidak senang melihat kejahatan dilakukan orang di depan matanya.
Biarpun demikian, melihat dan mendengar betapa dara itu dan ayah bundanya jelas memperlihatkan sikap tidak suka kepadanya merupakan suatu hal yang amat tidak enak. Akan tetapi tentu saja dia tidak mau membuka mulut dan hanya memandang kepada suhunya dengan hati kasihan. Dia sudah berjanji kepada gurunya untuk kelak menjadi suami dara ini, bukan karena memang dia sudah mengambil keputusan itu, melainkan hanya untuk menyenangkan hati gurunya dan agar kakek itu mau mengobati Bi Eng.
“Hemm, kakek iblis! Engkau mendengar sendiri bahwa puteriku tidak sudi menjadi isteri muridmu!” kata nyonya itu dengan hati lega.
Hati Ceng Liong diliputi rasa iba melihat betapa gurunya yang sudah tua itu kini memandang dengan mata sayu dan wajah kakek yang biasanya keras itu kini nampak begitu kecewa sehingga mewek-mewek seperti anak kecil yang mau menangis. Sepasang mata kakek itu yang sudah kehilangan sinarnya memandang kepada Ceng Liong, kemudian kepada Bi Eng dengan penuh duka, kemudian kepada suami isteri pendekar itu.
“Tapi.... tapi.... muridku sudah berjanji akan menjadi suaminya.... dan aku.... ah, aku tidak akan dapat mati dengan tenang kalan mereka belum terikat jodoh.”
Seluruh sikap dan kata-kata, terutama pandang mata kakek itu penuh diliputi kekecewaan dan penyesalan yang amat menyedihkan. Akan tetapi, tentu saja hal ini hanya terasa oleh Ceng Liong. Bagi Kam Hong dan Bu Ci Sian, sikap itu tentu saja malah menjengkelkan.
Puteri tunggal mereka hendak dijodohkan dengan murid datuk sesat itu? Sungguh merupakan suatu penghinaan besar! Kalau saja tidak ingat bahwa kakek itu pernah menyelamatkan Bi Eng dan kini berada dalam keadaan luka parah sekali, tentu Kam Hong atau Bu Ci Sian sudah menyerangnya.
“Hek-i Mo-ong,” kata Kam Hong dengan sikap tenang, mendahului isterinya yang dikhawatirkannya akan mengeluarkan kata-kata keras. “Engkau tentu tahu bahwa kami sekeluarga tidak sudi mengikat pertalian keluarga denganmu. Puteri kami tidak suka menjadi calon isteri muridmu, juga kami berdua sebagai ayah bundanya tidak sudi. Maka, tidak perlu kau melanjutkan mimpi kosongmu itu. Bi Eng, mari kita pulang!” kata Kam Hong mengajak puterinya dan isterinya untuk meninggalkan tempat itu.
“Kam Hong, kau.... kau....!”
Hek-i Mo-ong meloncat bangun berdiri dan menerjang ke depan, maksudnya untuk menyerang pendekar itu yang sudah melangkah pergi. Akan tetapi tiba-tiba dia mengeluh dan roboh terguling.
“Cetttt....!”
Kembali ujung pedang itu merobek pundak kiri Hek-i Mo-ong. Kakek itu terhuyung dan terjengkang. Melihat ini, Pouw Kui Lok menubruk ke depan dengan serangan kilatnya. Demikian hebat serangannya itu sehingga tahu-tahu pedangnya telah amblas ke dalam dada Hek-i Mo-ong.
“Cratttt....!”
Kakek itu meregang, akan tetapi tangan kirinya dengan membentuk cakar menyambar ke arah kepala Pouw Kui Lok. Pemuda ini terkejut setengah mati. Tak disangkanya bahwa kakek yang sudah ditembusi pedang dadanya itu masih mampu melakukan serangan sedemikian hebatnya!
Itulah ilmu mujijat Coan-kut-ci (Jari Penembus Tulang) dari Hek-i Mo-ong! Kalau tadi kakek itu tidak mengeluarkan ilmu ini adalah karena ilmu ini membutuhkan pengerahan sin-kang yang amat kuat dan untuk mengerahkan ini, sama saja dengan membunuh diri karena luka di dalam tubuhnya tentu akan makin menghebat. Maka baru sekarang, setelah pedang lawan menembus dadanya, dia mengeluarkan ilmu ini.
“Crokkk....!”
Betapapun lihainya Pouw Kwi Lok dan biarpun dia sudah berusaha untuk mengelak, dia hanya berhasil menyelamatkan kepalanya saja dan jari-jari tangan kakek itu tetap saja mencengkeram pundaknya sehingga kulit dan daging pundak itu menjadi hancur, dan ujung tulang pundak juga patah!
Pouw Kui Lok mengeluh kesakitan dan meloncat ke belakang. Pundak kirinya terluka parah dan lengan kirinya lumpuh sama sekali. Akan tetapi melihat kakek itu masih belum tewas, dia menjadi nekat dan maju lagi untuk memberi tusukan-tusukan lagi. Pada saat itu, terdengar bentakan nyaring dan sebatang ranting digerakkan secara istimewa menyerangnya dari samping! Pouw Kui Lok terkejut dan menangkis dengan pedangnya.
“Trakkk!”
Ranting itu tertangkis, akan tetapi melesat dengan gerakan menyerong dan tahu-tahu ujung ranting hampir menusuk matanya! Pouw Kui Lok berseru kaget dan melempar tubuhnya ke belakang, terus bergulingan. Dia selamat, akan tetapi keringat dingin membasahi lehernya karena nyaris matanya buta oleh tusukan ranting tadi.
Ketika dia meloncat dan menyeringai kesakitan karena pundak yang terluka tadi terasa nyeri sekali ketika dipakai bergulingan, dia melihat dengan heran bahwa yang menyerangnya dengan ranting hanyalah seorang gadis remaja yang wajahnya masih pucat, agaknya baru sembuh dari sakit.
“Suheng, pergi....!”
Pouw Kui Lok berseru. Dia sudah terluka parah, dan dia sudah berhasil menusuk tembus dada musuhnya sehingga dia merasa yakin bahwa musuh besarnya pasti akan mati, dan di situ selain ada murid Hek-i Mo-ong yang amat lihai, terdapat pula gadis remaja yang memiliki ilmu silat istimewa pula. Dua orang tosu yang memang kewalahan menghadapi Ceng Liong, meloncat jauh ke belakang dan mereka bertiga melarikan diri.
“Suhu....!”
Ceng Liong berseru ketika melihat kakek itu berdiri dengan mendekapkan tangan kiri ke dadanya, wajahnya berseri akan tetapi pucat sekali dan berdirinya terhuyung-huyung. Ketika Ceng Liong merangkul gurunya, kakek itu tertawa.
“Ha-ha-ha, dalam saat terakhir, muridku membelaku dan calon isterinya juga membantuku. Aku puas sudah.... ha-ha-ha, Hek-i Mo-ong.... hari akhirmu diantar oleh hati orang-orang muda yang sayang kepadamu.... ha-ha!”
Dan kakek itu tentu terguling kalau tidak cepat dipondong oleh Ceng Liong. Gurunya setengah pingsan dan ketika Ceng Liong memondongnya dan merebahkannya di atas rumput, terasa oleh Ceng Liong betapa kakek yang bertubuh tinggi besar seperti raksasa itu kini amatlah kurusnya dan amat ringannya.
Hatinya merasa terharu, apalagi ketika melihat bahwa gurunya telah menderita luka parah sekali. Dada dan punggungnya berlubang dan mengucurkan darah, napasnya tinggal satu-satu. Bi Eng juga berlutut di dekat tubuh kakek itu yang dengan lemah memandangi mereka berdua.
Pada saat itu ada angin menyambar dan berkelebat dua bayangan orang. Tahu-tahu di situ telah berdiri Kam Hong dan isterinya! Akhirnya, suami isteri ini dapat juga menyusul dan betapa kaget, heran dan juga girang rasa hati mereka melihat Bi Eng berada di tempat itu dalam keadaan selamat, akan tetapi gadis itu berlutut di dekat tubuh Hek-i Mo-ong yang terluka parah, bersama seorang pemuda yang tampaknya sedang berusaha menotok beberapa jalan darah di tubuh kakek itu untuk menghentikan darah yang bercucuran dan menghilangkan rasa nyeri.
Akan tetapi begitu melihat siapa yang datang, Hek-i Mo-ong mendorong tangan muridnya dengan halus dan diapun seperti memperoleh kekuatan baru, bangkit duduk lalu berdiri menghadapi Pendekar Suling Emas dan isterinya!
“Heh-heh-heh, orang she Kam! Engkau datang untuk melanjutkan perkelahian denganku? Baik, hayolah, aku sudah siap!” katanya menantang.
Tentu saja Kam Hong menjadi marah. Gara-gara kakek ini dan kaki tangannya, dia kehilangan nyawa beberapa orang murid, bahkan puteri merekapun terculik dan nyaris celaka.
“Hek-i Mo-ong, orang seperti engkau ini adalah iblis jahat yang sudah sepatutnya dienyahkan dari muka bumi!” bentak Kam Hong, siap untuk menyerang.
“Ha-ha-ha, biar jahat seperti aku atau baik seperti engkau, kita semuapun pada akhirnya akan lenyap dari muka bumi! Hayo, sudah lama aku menanti saat ini, dan aku tidak akan merasa penasaran kalau engkau yang mengantar kematianku, orang she Kam, karena engkaulah yang berhasil mengalahkan aku!”
Keadaan kakek itu sebetulnya sudah payah sekali, bicarapun sudah terengah-engah, sudah lebih mendekati mati daripada hidup. Akan tetapi dia kelihatan gembira menghadapi kematiannya dan dengan kedua tangannya membentuk cakar penuh pengerahan hawa sakti dari Ilmu Coan-kut-ci, dia berdiri menghadapi musuh besarnya.
Akan tetapi, Kam Hong adalah seorang pendekar besar yang pantang melakukan hal-hal yang rendah atau licik. Dia sudah melihat betapa payah keadaan musuhnya, maka biarpun dia marah sekali mengingat betapa kakek iblis ini telah menyebabkan tewasnya para pelayannya yang dianggap sebagai murid-murid pula, namun dia nampak ragu-ragu untuk menyerang orang yang sudah tidak mampu melawan lagi.
Tiba-tiba nampak bayangan berkelebat dan seorang pemuda remaja telah berdiri menghadang antara pendekar ini dan kakek iblis itu. Pemuda yang bertubuh tinggi tegap, wajahnya cerah dan gagah, sinar matanya mencorong aneh, akan tetapi belum dewasa benar sehingga nampak lucu bahwa seorang pemuda remaja yang masih hijau itu berani berdiri menghadapi dan menentang seorang pendekar seperti Kam Hong!
“Suhuku sudah terluka dan tidak dapat melawan, biarlah aku yang menggantikannya menghadapimu kalau engkau hendak menyerangnya.”
Kata Ceng Liong dengan sikap tenang sekali, menandakan bahwa nyalinya amat besar dan dia tidak takut menghadapi lawan yang berpakaian sasterawan sederhana ini. Diapun tahu dari ucapan gurunya tadi bahwa sasterawan inilah musuh besar gurunya yang dapat diduganya tentu lihai bukan main.
Kam Hong mengerutkan alisnya. Kini dia tahu bahwa tentu pemuda ini yang mengaku murid Hek-i Mo-ong yang telah menculik Bi Eng.
“Hemm, tidak patut aku menyerang seorang bocah, akan tetapi mengingat engkau murid iblis tua ini, sudah semestinya kalau aku mengenyahkan engkau pula yang tentu akan menjadi lebih jahat daripada gurunya kelak!”
Akan tetapi anak muda itu hanya berdiri memandangnya dan tidak juga bergerak menyerang.
“Majulah,” kata Kam Hong. “Engkau boleh mewakili gurumu menghadapiku!”
Akan tetapi Ceng Liong menggeleng kepala.
“Aku tidak ingin memusuhi siapapun juga, akan tetapi aku harus melindungi guruku dari serangan siapapun juga!”
Kerut di antara alis pendekar itu mendalam dan dia mengeluarkan dengus mengejek dari hidungnya.
“Hemm, seorang murid yang berbakti, ya? Murid iblis tua tentu menjadi calon iblis pula!”
“Heh-heh-heh, muridktu yang baik! Tidak percuma aku mendidikmu bertahun-tahun dan mewariskan semua ilmuku kepadamu. Lebih baik menjadi murid iblis akan tetapi berbakti daripada menjadi murid pendekar akan tetapi murtad, heh-heh!”
Hek-i Mo-ong terkekeh, akan tetapi terpaksa dia cepat duduk bersila dan mengatur pernapasan karena kata-katanya dan tawanya tadi membuat darah mengucur keluar dari luka di dadanya.
“Hahh!”
Kam Hong sudah menyerang dengan tamparan kilat ke arah leher Ceng Liong. Tamparan yang selain amat cepat, juga mengandung hawa pukulan yang amat kuat sehingga terdengar suara angin mendesis.
“Dukk! Dukk! Dukkk!”
Tiga kali Kam Hong melakukan tamparan bertubi yang amat hebat, akan tetapi semua serangan itu dapat ditangkis dengan baiknya oleh Ceng Liong. Barulah mata Kam Hong terbelalak ketika dia merasa betapa tangkisan-tangkisan itu selain cepat dan tepat, juga mengandung tenaga yang hebat, yang mampu menahan tenaganya sendiri! Tahulah dia bahwa ucapan Hek-i Mo-ong tadi tidaklah bualan belaka.
Anak ini, biarpun masih muda, telah mewarisi ilmu-ilmu yang hebat dari kakek iblis itu! Tentu saja dia tidak tahu bahwa sebetulnya, pada saat itu, andaikata diadukan antara Hek-i Mo-ong dan Ceng Liong, agaknya kakek itupun belum tentu akan mampu mengalahkan muridnya, terutama sekali dalam hal tenaga sakti. Seperti kita ketahui, Suma Ceng Liong telah mewarisi tenaga sakti dari kakeknya, yaitu Pendekar Super Sakti Suma Han. Selain itu, juga semua ilmu yang dimiliki Hek-i Mo-ong telah diwarisinya.
Setelah merasa yakin akan kelihaian lawan yang amat muda ini, Kam Hong tidak mau membuang waktu lagi dan diapun mencabut suling emasnya. Sinar emas berkilat menyilaukan mata ketika suling tercabut dan melihat ini, tiba-tiba saja Bi Eng melompat ke depan. Gadis ini sejak tadi dirangkul oleh ibunya yang merasa lega dan girang sekali melihat bahwa puterinya dalam keadaan sehat dan selamat.
Tadinya, Bi Eng juga diam saja tidak mau mencampuri urusan antara Hek-i Mo-ong dan ayahnya karena iapun tahu bahwa Hek-i Mo-ong dan kawan-kawannya datang untuk memusuhi dan menyerbu keluarga ayahnya sehingga mengakibatkan tewasnya para pelayan.
Akan tetapi ketika ia melihat ayahnya menyerang Ceng Liong, kemudian ayahnya mencabnt suling emas, hatinya merasa ngeri. Ia tahu akan kehebatan suling emas di tangan ayahnya dan ia tidak ingin ayahnya membunuh Ceng Liong yang telah begitu baik terhadap dirinya.
“Ayah....! Jangan....!” teriaknya sambil melompat.
Kam Hong terkejut, juga heran sekali melihat puterinya mencegahnya menyerang murid musuh besar yang berbahaya itu. Dia menunda gerakannya, berdiri dan memandang puterinya dengan mata tajam dan alis berkerut tak senang.
“Bi Eng! Kau kenapakah?” bentak ayah ini.
Tentu saja dia marah. Bukankah para pelayannya telah terbunuh oleh musuh, bahkan Bi Eng sendiri diculik. Sekarang, anaknya itu malah melarangnya membunuh musuh yang jahat ini! Bi Eng maklum apa yang dipikirkan ayahnya, maka ia dengan cepat maju dan berdiri di dekat Ceng Liong dengan sikap seperti hendak melindungi pemuda itu dari kemarahan ayahnya.
“Ayah, jangan serang dia! Ceng Liong tidak bersalah apa-apa.!”
“Hemm, bukankah dia murid iblis tua itu?” tanya Kam Hong meragu.
“Benar, akan tetapi dialah yang menyelamatkan aku, ayah. Aku roboh oleh penjahat cabul dan tentu akan celaka kalau tidak dibawa lari dan diobati oleh Ceng Liong ini. Ayah, dia telah menyelamatkan puterimu, apakah sekarang, sebagai imbalannya ayah hendak membunuhnya?”
Kam Hong menjadi bingung. Tentu saja dia merasa heran. Pemuda yang lihai ini adalah murid Hek-i Mo-ong, lalu bagaimana dia harus bersikap kalau murid musuh besarnya itu menolong puterinya.
“Tapi.... tapi mereka membunuh para pelayan kita....!”
“Bukan Ceng Liong yang membunuh, melainkan penjahat cabul itu dan gurunya!” Bi Eng membela.
Kam Hong mengangguk-angguk. Dia tahu siapa yang dimaksudkan puterinya dengan penjahat cabul itu. Tentu pemuda lihai yang menjadi murid Jai-hwa Siauw-ok itu. Kalau memang pemuda remaja ini tidak ikut melakukan pembunuhan, dan sudah menyelamatkan Bi Eng, memang tidak layak kalau dia membunuhnya.
“Baik,” katanya, “akan tetapi suruh dia minggir agar aku dapat membunuh raja iblis jahat Hek-i Mo-ong itu.” Diapun melangkah maju dengan suling di tangannya.
“Siapapun hanya dapat menyerang suhu dengan melangkahi mayatku!”
Kata Ceng Liong, sikapnya tenang akan tetapi suaranya terdengar tegas. Sikap pemuda ini kembali membangkitkan kemarahan di hati Kam Hong. Siapa orangnya tidak akan marah kalau menghalangi dia menghukum iblis yang telah menyebar maut di tempat tinggalnya?
“Ayah, Hek-i Mo-ong juga telah menyelamatkan nyawaku. Bahkan.... dia berkorban nyawa untuk membelaku....”
“Apa....?” Ayahnya bertanya, terkejut juga kini karena pernyataan puterinya itu sungguh tak disangkanya.
“Aku dirobohkan oleh penjahat cabul lalu ditolong oleh Ceng Liong. Akan tetapi aku terluka parah karena pukulan beracun penjahat itu. Ketika penjahat-penjahat guru dan murid itu hendak merampasku, kakek ini mempertahankan dan dia membunuh guru penjahat itu akan tetapi dia sendiri terluka. Dan luka beracun di tubuhku juga diobati oleh Hek-i Mo-ong.”
Kembali Kam Hong menjadi bingung, tak tahu harus berbuat apa. Dia tahu benar bahwa Hek-i Mo-ong adalah seorang datuk kaum sesat, seorang penjahat besar yang kejam dan ganas. Entah berapa banyak orang yang celaka atau tewas di tangannya.
Akan tetapi, kakek itu telah menyelamatkan puterinya. Kalau kini dia menyerang dan membunuhnya, apakah dia tidak akan merasa menyesal selama hidupnya? Akan tetapi, kalau dia tidak turun tangan, berarti pula bahwa dia membiarkan saja penjahat keji berkeliaran dan ini bertentangan dengan watak seorang pendekar.
Hek-i Mo-ong yang duduk bersila itu kini membuka matanya memandang, mulutnya menyeringai dalam usahanya untuk tersenyum mengejek, akan tetapi dia tidak berani tertawa karena luka di dalam tubuhnya amat parah. Dengan mengerahkan kekuatan terakhir yang masih bersisa, dia berkata,
“Orang she Kam, lihat bagaimana seorang jahat dan sesat seperti aku dibela oleh dua orang muda yang gagah! Dan yang seorang puterimu sendiri malah. Hati siapa takkan bangga dan senang? Jangan khawatir, tanpa kau turun tanganpun aku takkan hidup lama lagi. Akan tetapi sebelum mati aku ingin memberitahu kepadamu bahwa puterimu ini akan menjadi isteri muridku.”
“Apa? Tidak mungkin! Hek-i Mo-ong, aku tidak akan membunuhmu karena engkau pernah menolong puteriku, akan tetapi jangan harap lebih daripada itu. Sampai mati kami tidak sudi berbesan denganmu!”
“Tapi.... tapi.... puterimu telah berjanji untuk menjadi isteri Ceng Liong muridku ini!”
Kam Hong dan isterinya terkejut dan Bu Ci Sian yang sejak tadi hanya menonton saja, tiba-tiba menjadi marah.
“Bi Eng! Apa artinya ini? Benarkah engkau berjanji seperti itu?”
“Tidak, ibu. Aku tidak pernah berjanji!” jawab Bi Eng dengan sungguh-sungguh.
Akan tetapi Bu Ci Sian yang biasanya berwatak keras, hanya setelah menjadi isteri Kam Hong saja ia dapat merobah kekerasannya di bawah pimpinan suaminya, masih belum puas dengan jawaban itu. Hati ibu ini sungguh merasa khawatir membayangkan puterinya akan menjadi isteri murid seorang datuk seperti Hek-i Mo-ong, walaupun ia harus mengakui bahwa pemuda remaja itu gagah, tampan dan juga berilmu tinggi seperti yang dilihatnya tadi ketika pemuda itu mampu menahan serangan suaminya.
“Bi Eng, katakanlah, apakah engkau mau menjadi mantu seorang penjahat terkutuk seperti Hek-i Mo-ong itu? Apakah engkau mau menjadi calon isteri murid orang sesat ini?”
Didesak oleh ibunya seperti itu, Bi Eng menggeleng kepalanya. Ia sendiri sebetulnya tidak pernah mempertimbangkan hal itu. Ketika Hek-i Mo-ong mengajukan syarat agar ia berjanji mau menjadi calon isteri Ceng Liong untuk diobati, ia menolak keras, bukan karena ia membenci Ceng Liong melainkan karena ia tidak sudi ditekan dan ia tidak mau tunduk.
Akan tetapi, mengenai perjodohannya, sama sekali ia tidak pernah memikirkan. Biarpun demikian, ketika didesak ibunya, dalam keadaan seperti itu, tentu saja ia merasa tidak enak dan jalan satu-satunya bagi Bi Eng hanyalah dengan menolak.
“Tidak, ibu, aku tidak mau.”
Hening sejenak setelah dara itu memberikan jawabannya dan diam-diam Ceng Liong merasa sesuatu yang amat tidak enak dalam hatinya. Dia sendiri sama sekali belum pernah memikirkan tentang perjodohan dan perasaannya terhadap Bi Eng hanyalah perasaan suka biasa saja. Kalau dia bersikeras menolong dara itu adalah karena terdorong rasa iba dan karena pada dasarnya dia memang tidak senang melihat kejahatan dilakukan orang di depan matanya.
Biarpun demikian, melihat dan mendengar betapa dara itu dan ayah bundanya jelas memperlihatkan sikap tidak suka kepadanya merupakan suatu hal yang amat tidak enak. Akan tetapi tentu saja dia tidak mau membuka mulut dan hanya memandang kepada suhunya dengan hati kasihan. Dia sudah berjanji kepada gurunya untuk kelak menjadi suami dara ini, bukan karena memang dia sudah mengambil keputusan itu, melainkan hanya untuk menyenangkan hati gurunya dan agar kakek itu mau mengobati Bi Eng.
“Hemm, kakek iblis! Engkau mendengar sendiri bahwa puteriku tidak sudi menjadi isteri muridmu!” kata nyonya itu dengan hati lega.
Hati Ceng Liong diliputi rasa iba melihat betapa gurunya yang sudah tua itu kini memandang dengan mata sayu dan wajah kakek yang biasanya keras itu kini nampak begitu kecewa sehingga mewek-mewek seperti anak kecil yang mau menangis. Sepasang mata kakek itu yang sudah kehilangan sinarnya memandang kepada Ceng Liong, kemudian kepada Bi Eng dengan penuh duka, kemudian kepada suami isteri pendekar itu.
“Tapi.... tapi.... muridku sudah berjanji akan menjadi suaminya.... dan aku.... ah, aku tidak akan dapat mati dengan tenang kalan mereka belum terikat jodoh.”
Seluruh sikap dan kata-kata, terutama pandang mata kakek itu penuh diliputi kekecewaan dan penyesalan yang amat menyedihkan. Akan tetapi, tentu saja hal ini hanya terasa oleh Ceng Liong. Bagi Kam Hong dan Bu Ci Sian, sikap itu tentu saja malah menjengkelkan.
Puteri tunggal mereka hendak dijodohkan dengan murid datuk sesat itu? Sungguh merupakan suatu penghinaan besar! Kalau saja tidak ingat bahwa kakek itu pernah menyelamatkan Bi Eng dan kini berada dalam keadaan luka parah sekali, tentu Kam Hong atau Bu Ci Sian sudah menyerangnya.
“Hek-i Mo-ong,” kata Kam Hong dengan sikap tenang, mendahului isterinya yang dikhawatirkannya akan mengeluarkan kata-kata keras. “Engkau tentu tahu bahwa kami sekeluarga tidak sudi mengikat pertalian keluarga denganmu. Puteri kami tidak suka menjadi calon isteri muridmu, juga kami berdua sebagai ayah bundanya tidak sudi. Maka, tidak perlu kau melanjutkan mimpi kosongmu itu. Bi Eng, mari kita pulang!” kata Kam Hong mengajak puterinya dan isterinya untuk meninggalkan tempat itu.
“Kam Hong, kau.... kau....!”
Hek-i Mo-ong meloncat bangun berdiri dan menerjang ke depan, maksudnya untuk menyerang pendekar itu yang sudah melangkah pergi. Akan tetapi tiba-tiba dia mengeluh dan roboh terguling.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar