Sudah lama kita meninggalkan Ceng Liong. Selama beberapa tahun ini, Ceng Liong yang digembleng oleh Hek-i Mo-ong telah dapat mewarisi ilmu kepandaian kakek sakti itu. Dia memang berbakat baik sekali dan juga amat suka belajar ilmu silat. Otaknya cerdas dan dengan mudah dia dapat menangkap semua pelajaran yang bagaimana sukar pun. Kekuatan ingatannya mengagumkan. Setiap ilmu yang diajarkan kepadanya, baru berulang dua kali saja sudah dapat dihafalnya dengan baik, dari awal sampai akhir dan tinggal mematangkannya dalam latihan saja!
Bukan main girang hati Hek-i Mo-ong dengan murid tunggalnya ini. Dia merasa bangga memiliki murid ini dan akhirnya kakek ini amat mencinta Ceng Liong. Dia mencinta dengan penuh kasih sayang, dan dia bukan hanya menganggap Ceng Liong sebagai murid, bahkan menganggapnya sebagai anak atau cucunya sendiri.
Hek-i Mo-ong telah gagal dalam pengejaran ambisinya. Sudah terlalu sering dia gagal dan kegagalan terakhir kalinya ini membuat dia menjadi jemu untuk mengulangnya. Dia merasa sudah terlalu tua untuk mengejar kesenangan berupa kedudukan tinggi. Maka dia pun mengajak Ceng Liong untuk hidup menyendiri di tempat sunyi, di lembah Sungai Ceng-ho di Propinsi Shen-si.
Lembah itu sunyi sekali, dan penuh dengan hutan liar sehingga jarang didatangi manusia. Di sini mereka berdua hidup dari hasil tanah dan sungai. Setiap hari pekerjaan Hek-i Mo-ong hanya mencurahkan seluruh perhatiannya untuk menggembleng Ceng Liong.
Perasaan cinta mengandung getaran yang amat kuat. Pada lahirnya, Ceng Liong bersikap tidak acuh terhadap kakek itu, dan tidak memperlihatkan sikap hormat, bahkan menyebutnya Mo-ong begitu saja. Dia menganggap Hek-i Mo-ong sebagai seorang datuk sesat, sedangkan dia menganggap diri sendiri sebagai keturunan para pendekar.
Akan tetapi, agaknya rasa cinta dari kakek itu terhadap dirinya terasa olehnya sehingga Ceng Liong juga merasa sayang dan kasihan kepadanya. Melihat kakek yang sudah tua renta ini bersusah-payah mengajarnya, bahkan tanpa ragu-ragu menurunkan segala ilmunya kepadanya, membuat Ceng Liong kadang-kadang merasa terharu juga.
Dia tahu bahwa kakek itu amat sayang kepadanya. Maka, tanpa diminta, Ceng Liong juga giat bekerja di ladang, juga tiap hari mencari ikan untuk dimasak dan dihidangkan kepada kakek itu. Waktu kosong mereka selalu diisi dengan latihan-latihan ilmu silat sehingga dalam waktu lima enam tahun semenjak dia ikut kakek itu, Ceng Liong telah memperoleh kemajuan yang amat pesat. Pemuda remaja ini memiliki tubuh tinggi besar, dengan wajah yang ganteng dan gagah, akan tetapi pandang mata dan senyumnya mengandung kebengalan kanak-kanak.
Demikian sayangnya Hek-i Mo-ong kepada Ceng Liong sehingga dia bukan hanya mengajarkan ilmu ciptaannya yang terakhir dan mukjijat, yaitu Coan-kut-ci (Jari Penusuk Tulang) dan Tok-hwe-ji (Hawa Api Beracun), akan tetapi juga membantu pemuda remaja itu berlatih, menuntunnya sehingga akhirnya dalam hal penggunaan kedua ilmu ini, Ceng Liong telah menyamai tingkat gurunya, bahkan lebih cekatan karena dia masih muda dan Hek-i Mo-ong telah berusia delapan puluh tahunan.
Ilmu silat kipas yang mengandung kekuatan sihir dari Hek-i Mo-ong juga dipelajarinya, akan tetapi dia tak mau mencontoh gurunya dalam memilih senjata. Kalau Hek-i Mo-ong biasa mempergunakan senjata tombak Long-ge-pang yang kelihatan mengerikan, Ceng Liong memilih senjata kipas dan pedang.
Di samping mempelajari ilmu-ilmu silat yang aneh dari Hek-i Mo-ong, juga Ceng Liong kadang-kadang suka berlatih ilmu silat dari keluarganya sendiri, akan tetapi karena tidak ada yang memberi petunjuk dalam ilmu-ilmu silat itu, maka dia pun hanya dapat memperdalam beberapa ilmu silat yang pernah dipelajarinya saja, antara lain tendangan Soan-hong-twi dan Ilmu Silat Sin-coa-kun (Ular Sakti). Dia hanya tahu teorinya saja tentang ilmu-ilmu sakti Pulau Es seperti Hwi-yang Sin-ciang dan Swat-im Sin-ciang, akan tetapi tanpa petunjuk dari yang ahli, dia tidak berhasil menguasai kedua ilmu ini.
Ketika itu, usia Ceng Liong sudah hampir enam belas tahun, akan tetapi karena tubuhnya besar, dia kelihatan sudah dewasa benar. Dan tingkat kepandaiannya sudah hebat, bahkan Hek-i Mo-ong sendiri kadang-kadang merasa kewalahan kalau berlatih melayani muridnya ini. Pada suatu hari, pagi-pagi setelah sarapan, Hek-i Mo-ong bercakap-cakap dengan muridnya dan tidak seperti biasanya, wajah kakek tua renta ini nampak serius sekali.
“Ceng Liong, tahukah engkau, berapa lama engkau ikut bersamaku mempelajari ilmu silat?”
Ceng Liong memandang wajah keriputan itu dengan heran. Dia ingin tahu apa yang tersembunyi di balik pertanyaan itu. Akan tetapi dia menjawab juga,
“Mungkin antara lima dan enam tahun. Ada apakah engkau menanyakan hal itu, Mo-ong?”
“Engkau menjadi muridku sejak engkau masih kecil sampai kini menjelang dewasa. Dan tanpa kusadari, usiaku telah menggerogoti tubuhku. Aku menjadi semakin lemah dan aku khawatir sekali kelak aku akan mati dengan mata tak dapat terpejam sebelum aku dapat menebus kekalahanku terhadap seorang musuh besarku. Sekarang pun aku mulai merasa betapa tenagaku sudah banyak berkurang, terutama sekali pernapasanku menjadi pendek, sedangkan musuh besarku itu memiliki kepandaian yang hebat bukan main.”
Ceng Liong adalah seorang yang cerdik. Dia sudah dapat menduga ke mana arah perkataan gurunya itu. Dan dia sendiri pun sudah beberapa lamanya, sejak berbulan-bulan, ingin meninggalkan tempat sunyi itu dan melanjutkan perantauannya seorang diri, terutama lebih dahulu pulang ke rumah orang tuanya. Akan tetapi dia selalu merasa ragu betapa Hek-i Mo-ong sudah semakin tua dan lemah dan amat memerlukan bantuannya. Kini terbuka kesempatan baginya untuk membalas budi kebaikan Hek-i Mo-ong dengan bantuan terakhir, yaitu menghadapi musuh besar ini.
“Mo-ong, apakah engkau menghendaki agar aku menghadapi musuhmu itu?” Tanyanya langsung saja.
Hek-i Mo-ong tertawa.
“Heh-heh-heh, engkau memang anak baik dan cerdik. Benar, Ceng Liong, hanya dengan bantuanmu sajalah kiranya aku dapat menebus kekalahanku terhadap musuh besar itu. Saat aku mulai menciptakan Ilmu Coan-kut-ci dan Tok-hwe-ji, aku merasa yakin bahwa kalau kedua ilmu itu sudah kulatih sampai mendalam, pasti aku akan dapat melawan dan mengalahkan musuh besar itu. Akan tetapi, waktuku telah kuhabiskan untuk menggemblengmu siang malam tanpa mengenal waktu sehingga kini aku merasa kesehatanku sangat mundur.”
“Mengapa engkau bermusuh dengan orang itu, Mo-ong?”
Bukan main girang hati Hek-i Mo-ong dengan murid tunggalnya ini. Dia merasa bangga memiliki murid ini dan akhirnya kakek ini amat mencinta Ceng Liong. Dia mencinta dengan penuh kasih sayang, dan dia bukan hanya menganggap Ceng Liong sebagai murid, bahkan menganggapnya sebagai anak atau cucunya sendiri.
Hek-i Mo-ong telah gagal dalam pengejaran ambisinya. Sudah terlalu sering dia gagal dan kegagalan terakhir kalinya ini membuat dia menjadi jemu untuk mengulangnya. Dia merasa sudah terlalu tua untuk mengejar kesenangan berupa kedudukan tinggi. Maka dia pun mengajak Ceng Liong untuk hidup menyendiri di tempat sunyi, di lembah Sungai Ceng-ho di Propinsi Shen-si.
Lembah itu sunyi sekali, dan penuh dengan hutan liar sehingga jarang didatangi manusia. Di sini mereka berdua hidup dari hasil tanah dan sungai. Setiap hari pekerjaan Hek-i Mo-ong hanya mencurahkan seluruh perhatiannya untuk menggembleng Ceng Liong.
Perasaan cinta mengandung getaran yang amat kuat. Pada lahirnya, Ceng Liong bersikap tidak acuh terhadap kakek itu, dan tidak memperlihatkan sikap hormat, bahkan menyebutnya Mo-ong begitu saja. Dia menganggap Hek-i Mo-ong sebagai seorang datuk sesat, sedangkan dia menganggap diri sendiri sebagai keturunan para pendekar.
Akan tetapi, agaknya rasa cinta dari kakek itu terhadap dirinya terasa olehnya sehingga Ceng Liong juga merasa sayang dan kasihan kepadanya. Melihat kakek yang sudah tua renta ini bersusah-payah mengajarnya, bahkan tanpa ragu-ragu menurunkan segala ilmunya kepadanya, membuat Ceng Liong kadang-kadang merasa terharu juga.
Dia tahu bahwa kakek itu amat sayang kepadanya. Maka, tanpa diminta, Ceng Liong juga giat bekerja di ladang, juga tiap hari mencari ikan untuk dimasak dan dihidangkan kepada kakek itu. Waktu kosong mereka selalu diisi dengan latihan-latihan ilmu silat sehingga dalam waktu lima enam tahun semenjak dia ikut kakek itu, Ceng Liong telah memperoleh kemajuan yang amat pesat. Pemuda remaja ini memiliki tubuh tinggi besar, dengan wajah yang ganteng dan gagah, akan tetapi pandang mata dan senyumnya mengandung kebengalan kanak-kanak.
Demikian sayangnya Hek-i Mo-ong kepada Ceng Liong sehingga dia bukan hanya mengajarkan ilmu ciptaannya yang terakhir dan mukjijat, yaitu Coan-kut-ci (Jari Penusuk Tulang) dan Tok-hwe-ji (Hawa Api Beracun), akan tetapi juga membantu pemuda remaja itu berlatih, menuntunnya sehingga akhirnya dalam hal penggunaan kedua ilmu ini, Ceng Liong telah menyamai tingkat gurunya, bahkan lebih cekatan karena dia masih muda dan Hek-i Mo-ong telah berusia delapan puluh tahunan.
Ilmu silat kipas yang mengandung kekuatan sihir dari Hek-i Mo-ong juga dipelajarinya, akan tetapi dia tak mau mencontoh gurunya dalam memilih senjata. Kalau Hek-i Mo-ong biasa mempergunakan senjata tombak Long-ge-pang yang kelihatan mengerikan, Ceng Liong memilih senjata kipas dan pedang.
Di samping mempelajari ilmu-ilmu silat yang aneh dari Hek-i Mo-ong, juga Ceng Liong kadang-kadang suka berlatih ilmu silat dari keluarganya sendiri, akan tetapi karena tidak ada yang memberi petunjuk dalam ilmu-ilmu silat itu, maka dia pun hanya dapat memperdalam beberapa ilmu silat yang pernah dipelajarinya saja, antara lain tendangan Soan-hong-twi dan Ilmu Silat Sin-coa-kun (Ular Sakti). Dia hanya tahu teorinya saja tentang ilmu-ilmu sakti Pulau Es seperti Hwi-yang Sin-ciang dan Swat-im Sin-ciang, akan tetapi tanpa petunjuk dari yang ahli, dia tidak berhasil menguasai kedua ilmu ini.
Ketika itu, usia Ceng Liong sudah hampir enam belas tahun, akan tetapi karena tubuhnya besar, dia kelihatan sudah dewasa benar. Dan tingkat kepandaiannya sudah hebat, bahkan Hek-i Mo-ong sendiri kadang-kadang merasa kewalahan kalau berlatih melayani muridnya ini. Pada suatu hari, pagi-pagi setelah sarapan, Hek-i Mo-ong bercakap-cakap dengan muridnya dan tidak seperti biasanya, wajah kakek tua renta ini nampak serius sekali.
“Ceng Liong, tahukah engkau, berapa lama engkau ikut bersamaku mempelajari ilmu silat?”
Ceng Liong memandang wajah keriputan itu dengan heran. Dia ingin tahu apa yang tersembunyi di balik pertanyaan itu. Akan tetapi dia menjawab juga,
“Mungkin antara lima dan enam tahun. Ada apakah engkau menanyakan hal itu, Mo-ong?”
“Engkau menjadi muridku sejak engkau masih kecil sampai kini menjelang dewasa. Dan tanpa kusadari, usiaku telah menggerogoti tubuhku. Aku menjadi semakin lemah dan aku khawatir sekali kelak aku akan mati dengan mata tak dapat terpejam sebelum aku dapat menebus kekalahanku terhadap seorang musuh besarku. Sekarang pun aku mulai merasa betapa tenagaku sudah banyak berkurang, terutama sekali pernapasanku menjadi pendek, sedangkan musuh besarku itu memiliki kepandaian yang hebat bukan main.”
Ceng Liong adalah seorang yang cerdik. Dia sudah dapat menduga ke mana arah perkataan gurunya itu. Dan dia sendiri pun sudah beberapa lamanya, sejak berbulan-bulan, ingin meninggalkan tempat sunyi itu dan melanjutkan perantauannya seorang diri, terutama lebih dahulu pulang ke rumah orang tuanya. Akan tetapi dia selalu merasa ragu betapa Hek-i Mo-ong sudah semakin tua dan lemah dan amat memerlukan bantuannya. Kini terbuka kesempatan baginya untuk membalas budi kebaikan Hek-i Mo-ong dengan bantuan terakhir, yaitu menghadapi musuh besar ini.
“Mo-ong, apakah engkau menghendaki agar aku menghadapi musuhmu itu?” Tanyanya langsung saja.
Hek-i Mo-ong tertawa.
“Heh-heh-heh, engkau memang anak baik dan cerdik. Benar, Ceng Liong, hanya dengan bantuanmu sajalah kiranya aku dapat menebus kekalahanku terhadap musuh besar itu. Saat aku mulai menciptakan Ilmu Coan-kut-ci dan Tok-hwe-ji, aku merasa yakin bahwa kalau kedua ilmu itu sudah kulatih sampai mendalam, pasti aku akan dapat melawan dan mengalahkan musuh besar itu. Akan tetapi, waktuku telah kuhabiskan untuk menggemblengmu siang malam tanpa mengenal waktu sehingga kini aku merasa kesehatanku sangat mundur.”
“Mengapa engkau bermusuh dengan orang itu, Mo-ong?”
“Tak ada persoalan pribadi, hanya bentrokan yang mengakibatkan perkelahian dan aku telah dikalahkannya! Nah, kekalahan itulah yang membuat aku menderita, dan hatiku takkan merasa tenteram sebelum aku dapat menebus kekalahan itu.”
Diam-diam Ceng Liong mengeluh. Kakek ini memang amat suka berkelahi dan dahulu terlalu mengugulkan diri, mengira bahwa di dunia ini tidak ada orang yang lebih pandai dari padanya. Karena pendirian itulah maka kalau dikalahkan orang kakek ini merasa penasaran setengah mati dan kekalahan itu cukup menumbuhkan dendam di dalam hatinya.
“Hemm, kalau begitu, persoalannya hanyalah dikalahkan dalam pertandingan. Baik, aku akan membantumu mengalahkan kembali orang itu sebagai tebusan kekalahanmu dahulu. Aku tidak mau kalau harus membunuh orang tanpa sebab tertentu.”
“Heh-heh-heh, Ceng Liong. Orang itu lihai bukan main. Dia telah menjadi ahli waris dari Pendekar Suling Emas! Maka, kalau engkau bisa mengalahkan dia saja, hatiku sudah akan merasa puas sekali, dan mata dunia akan terbuka bahwa aku dan muridku telah membuktikan bahwa kita tidak kalah oleh keturunan Pendekar Suling Emas. Ha-ha-ha!”
Ceng Liong terkejut. Pendekar Suling Emas! Pernah dia mendengar nama ini dari ayah ibunya dahulu, nama seorang pendekar sakti di jaman dahulu. Akan tetapi, dia tidak peduli. Siapa pun adanya musuh besar gurunya itu, bukankah dia menyanggupi hanya untuk membantu gurunya menebus kekalahan saja? Itu pun kalau dia dan gurunya akan sanggup mengalahkan musuh yang tentu amat lihai itu!
Dan dia tidak mewarisi pendirian gurunya bahwa dia adalah orang yang paling lihai di dunia ini. Tidak, dia tidak gila dan dia mengerti bahwa di dunia ini banyak terdapat orang-orang yang memiliki ilmu kepandaian amat tinggi. Dia sudah banyak bertemu dengan orang-orang sakti di Pegunungan Himalaya, maka dari itu dia tidak lagi berani memandang diri sendiri terlalu tinggi.
“Siapakah nama musuh itu, Mo-ong? Dan di mana tinggalnya?”
“Namanya Kam Hong dan dia tinggal di sebuah bangunan tua di puncak Bukit Nelayan di Pegunungan Tai-hang-san, tidak sangat jauh dari tempat kita ini. Kalau engkau sudah siap membantuku, mari kita berangkat hari ini juga.”
“Baiklah, Mo-ong. Aku akan berkemas dan kita berangkat.”
Setelah berkemas dan membawa buntalan pakaian, berangkatlah Ceng Liong bersama kakek itu naik perahu mengikuti arus Sungai Ceng-ho menuju ke timur. Hati Ceng Liong merasa gembira sekali karena memperoleh kesempatan meninggalkan tempat sunyi itu dan melihat dunia ramai. Dia mengenakan pakaian sederhana seperti seorang petani biasa, dengan sebuah caping lebar, dan buntalan pakaian berada di punggungnya. Pedangnya, sebatang pedang pemberian Mo-ong, pedang pendek terbuat dari baja yang murni, terselip di pinggang dan ditutupi jubah luarnya sehingga tidak nampak menyolok.
Ada pun Hek-i Mo-ong sendiri, seperti biasa, mengenakan pakaian serba hitam yang juga sederhana berpotongan petani. Tubuhnya yang tinggi besar itu amat kurus dan agak bongkok, dan rambutnya yang sudah putih semua itu nampak kontras sekali dengan bajunya yang hitam.
Orang-orang yang melihat kakek dan pemuda remaja ini tentu tidak akan ada yang menyangka bahwa mereka adalah dua orang yang memiliki kepandaian hebat, apalagi menyangka bahwa kakek itu adalah Hek-i Mo-ong yang namanya saja sudah membuat orang-orang kang-ouw bergidik. Mereka berdua tentu akan disangka dua orang petani biasa saja.
Siapakah orang bernama Kam Hong yang oleh Hek-i Mo-ong disebut sebagai musuh besarnya itu? Hek-i Mo-ong memang orang yang amat aneh. Dalam urusan-urusan besar seperti kegagalannya dalam usaha pemberontakan yang lalu, yang akhirnya menghancurkan seluruh harapan dan ambisinya, dia sama sekali tidak merasa sakit hati dan tidak mendendam kepada siapa pun juga. Akan tetapi rupa-rupanya ada suatu pantangan bagi kakek ini, yakni kekalahan.
Dia tidak pernah dapat melupakan kekalahan dalam adu ilmu silat. Selama hidupnya sebagai seorang datuk sesat, jarang dia menderita kekalahan. Satu-satunya kekalahan mutlak harus diakuinya adalah kekalahannya ketika dia berhadapan dengan Pendekar Super Sakti di Pulau Es.
Akan tetapi pendekar itu telah tiada dan dia tidak menaruh hati dendam kepada siapa pun. Akan tetapi, di antara kekalahan-kekalahannya yang hanya dapat dihitung dengan jari tangan itu, dia sukar untuk dapat melupakan kekalahannya terhadap seorang pendekar yang pada waktu itu baru saja muncul di dania persilatan. Pendekar itu adalah Kam Hong.
Para pembaca kisah ’Suling Emas dan Naga Siluman’ tentu masih mengenal siapa pendekar Kam Hong ini. Pendekar Kam Hong adalah keturunan terakhir dari Pendekar Suling Emas dan pendekar ini menjadi pewaris pula dari semua ilmu keluarga Suling Emas. Bahkan secara kebetulan sekali, di daerah Himalaya, pendekar ini menemukan dan mewarisi suling emas berikut Ilmu Kim-siauw Kiam-sut dan ilmu meniup suling emas yang amat hebat.
Pendekar ini akhirnya berjodoh dengan seorang gadis yang masih terhitung sumoi-nya sendiri karena gadis itu yang bernama Bu Ci Sian adalah kawan sependeritaan di Himalaya ketika mereka berdua menemukan benda pusaka berupa suling emas dan ilmunya itu, sehingga keduanya berhak untuk mempelajarinya. Kisah mereka yang amat menarik dapat diikuti dalam seri kisah ’Suling Emas Naga Siluman’.
Setelah menikah, Kam Hong dan Bu Ci Sian lalu tinggal di sebuah bangunan tua di puncak Bukit Nelayan. Bangunan ini sudah kuno akan tetapi kokoh dan besar, sedangkan di sebelah dalamnya menyerupai istana tua yang kuno. Letaknya di puncak Bukit Nelayan, di tepi sungai di Pegunungan Tai-hang-san. Istana ini dahulu menjadi pusat dari perkumpulan Khong-sim Kai-pang (Perkumpulan Pengemis Hati Kosong) yang dipimpin sejak turun-menurun oleh keluarga Yu.
Keturunan terakhir bernama Yu Kong Tek yang berjuluk Sai-cu Kai-ong (Raja Pengemis Bermuka Singa). Akan tetapi perkumpulan itu sendiri sudah lama bubar. Sai-cu Kai-ong inilah yang menjadi guru pertama dari pendekar Kam Hong, menggemblengnya dengan ilmu-ilmu keluarga ketua Khong-sim Kai-pang.
Kam Hong sudah dianggap sebagai anak atau cucu sendiri oleh Sai-cu Kai-ong. Maka, setelah kakek bermuka singa yang gagah perkasa ini meninggal dan bangunan itu kosong, Kam Hong lalu mengajak isterinya untuk tinggal di situ dan hidup sebagai petani dan nelayan di tempat yang indah dan sunyi itu, di antara dusun-dusun di sekitarnya yang ditinggali oleh petani-petani miskin dan sederhana.
Pada waktu itu, suami isteri pendekar ini telah mempunyai seorang anak perempuan yang mereka beri nama Kam Bi Eng. Anak ini mirip sekali dengan ibunya di waktu muda, baik wajahnya yang bulat manis itu, mau pun kelincahannya, kejenakaannya dan keberanian atau kebengalannya. Akan tetapi, dalam hal berpakaian, ia meniru ayahnya, sederhana dan seadanya.
Juga anak ini berbakat sekali dalam ilmu silat sehingga dalam usia hampir lima belas tahun, ia telah menguasai ilmu-ilmu silat tinggi dari kedua orang tuanya, dan juga ayahnya yang memperoleh pendidikan sastera telah mendidiknya dalam ilmu baca tulis sehingga dalam usia lima belas tahun Bi Eng telah pandai menulis sajak dan beberapa kepandaian lain seperti menyulam, menabuh yang-kim, menyuling, bahkan menyanyi dan menari! Di antara para penghuni dusun di sekitar tempat itu, ia dikenal sekali dan orang-orang menyebutnya Kam-siocia.
Kam Hong sendiri telah menjadi seorang laki-laki berusia hampir lima puluh tahun. Dia selalu bersikap tenang dan halus, pakaiannya sederhana berpotongan sasterawan, akan tetapi biar sederhana dia selalu bersih dan rapi. Wajahnya tampan, belum nampak tua dalam usia hampir setengah abad itu, bahkan rambutnya belum bercampur uban. Hanya garis-garis di sekitar bibir dan matanya menunjukkan bahwa dia tidaklah muda lagi.
Sepasang matanya mencorong seperti mata naga dan ini mendatangkan kewibawaan yang kuat pada dirinya. Banyaklah ilmu-ilmu silat tingkat tinggi yang dikuasai pendekar ini karena dia mewarisi ilmu-ilmu dari keluarga Suling Emas, nenek moyangnya, melalui Sin-siauw Seng-jin yang dahulu menjadi pembantu keluarga Suling Emas yang dipercaya menyimpan ilmu-ilmu itu untuk kemudian disampaikan kepada keturunan terakhir keluarga Suling Emas. Dari kakek bekas pembantu ini dia mempelajari ilmu-ilmu keluarganya, yaitu antara lain Hong-in Bun-hoat, Pat-sian Kiam-hoat, Lo-hai San-hoat, dan Kim-kong Sim-in.
Selain ini, dia pernah pula digembleng oleh Sai-cu Kai-ong keturunan ketua Khong-sim Kai-pang dan mewarisi ilmu-ilmu Khong-sim Sin-ciang dan Sai-cu Ho-kang. Semua ilmu yang termasuk ilmu silat tingkat tinggi ini masih ditambah lagi dengan ilmu yang diperolehnya bersama isterinya di Pegunungan Himalaya, yaitu Kim-siauw Kiam-sut dan ilmu meniup suling dengan pengerahan khikang tingkat tinggi. Kalau sudah memegang suling dan kipasnya, pendekar ini tiada ubahnya seperti mendiang Pendekar Suling Emas yang menjadi nenek moyangnya, gagah perkasa dan sukar ditandingi!
Isterinya, Bu Ci Sian, juga bukan seorang sembarangan. Ketika masih gadis remaja ia pernah digembleng oleh seorang tokoh aneh dari Himalaya yang berjuluk See-thian Coa-ong (Raja Ular Dari Barat). Dari si raja ular ini dia lalu memperoleh Ilmu Sin-coa Thian-te-ciang dan ilmu pawang ular.
Kemudian, dia pernah memperoleh hadiah dari Pendekar Suma Kian Bu yang melatih penggabungan sinkang Im dan Yang kepadanya. Selain itu semua, Bu Ci Sian ini adalah puteri dari Bu-taihiap, pendekar yang sangat terkenal beberapa puluh tahun yang lalu sebagai seorang pendekar besar yang banyak isterinya.
Memiliki ayah dan ibu seperti itu, tentu saja Bi Eng mewarisi ilmu-ilmu yang tinggi. Apalagi ilmu memainkan suling sebagai senjata. Dahulu ibunya juga mempelajari Ilmu Kim-siauw Kiam-sut (Ilmu Pedang Suling Emas) dan ilmu meniup suling, bahkan ibunya juga memiliki senjata suling emas yang persis milik ayahnya, hanya lebih kecil.
Dan ia sendiri pun telah dibuatkan sebuah suling emas seperti milik ibunya dan gadis ini sudah pandai pula menggunakan sulingnya sebagai senjata, baik dimainkan sebagai pedang, atau dipergunakan suaranya untuk mengalahkan lawan, atau dipakai untuk menghibur diri memainkan nyanyian-nyanyian merdu.
Demikianlah serba singkat tentang keadaan keluarga Kam yang tinggal di istana tua bekas milik Raja Pengemis itu. Selama tinggal di situ, keluarga ini tak pernah mendapat gangguan, juga mereka tidak mau mencari perkara, bahkan boleh dibilang mereka telah menjauhkan diri dari dunia kang-ouw dan tidak mau melibatkan diri dengan urusan dunia ramai. Mereka sudah merasa berbahagia hidup tenteram di antara orang-orang dusun di sekeliling tempat itu, hidup sederhana namun sehat dan tenteram.
Oleh karena itu, mereka sama sekali tidak pernah mimpi bahwa pada waktu itu, ada bahaya besar mengancam mereka, seperti awan mendung hitam gelap yang terbawa angin perlahan-lahan menuju ke tempat sunyi itu.
Siapakah yang datang menuju ke istana kuno pada siang hari itu? Bukan hanya Hek-i Mo-ong dan Ceng Liong dua orang saja, melainkan empat orang yang amat lihai karena selain dua orang ini, kini ada pula dua orang lain yang menemani guru dan murid ini. Mereka itu bukan lain adalah Jai-hwa Siauw-ok dan Louw Tek Ciang! Bagaimanakah dua orang jahat ini dapat bergabung dengan Hek-i Mo-ong?
Seperti kita ketahui, Hek-i Mo-ong berhasil membujuk Ceng Liong untuk membantunya menghadapi musuh besarnya, yaitu Kam Hong. Berdua guru dan murid itu melakukan perjalanan naik perahu menuju ke arah timur. Arus air yang deras itu mempercepat perjalanan mereka dan beberapa hari kemudian, mereka mendarat dan meninggalkan sungai yang terus mengalir masuk ke Sungai Huang-ho, menjadi aliran besar menuju ke laut timur. Mereka sendiri melanjutkan perjalanan dengan melalui darat, menuju utara, ke arah Pegunungan Tai-hang-san yang dari situ sudah nampak puncak-puncaknya menjulang tinggi di angkasa.
Siang itu matahari yang terik tidak dapat mengurangi kesejukan hutan di kaki Gunung Tai-hang-san. Hek-i Mo-ong dan Ceng Liong berjalan perlahan memasuki hutan dan dari luar hutan sudah nampak dinding sebuah kuil kuno yang agaknya terlantar dan tidak dipergunakan lagi oleh orang sebagai tempat pemujaan.
Akan tetapi, ketika guru dan murid itu lewat di depan kuil, mendadak Ceng Liong menahan langkahnya dan memandang ke arah kuil dengan alis berkerut. Dia mendengar isak tangis wanita dari dalam kuil itu. Tentu saja Hek-i Mo-ong juga mendengarnya.
Di antara isak tangis itu, terdengar suara wanita yang berkata dengan suara memohon.
“....aku ingin pulang.... ahhh, aku ingin pulang....”
Ceng Liong makin penasaran, namun Hek-i Mo-ong tersenyum lebar sambil berkata,
“Ceng Liong, perlu apa kita mencampuri urusan orang dan mengganggu kesenangan orang? Hayo kita lanjutkan perjalanan kita.”
Ceng Liong mengerutkan alisnya dan menggeleng kepala.
“Aku tidak ingin mencampuri urusan orang, apalagi mengganggu kesenangan orang. Akan tetapi wanita itu menangis dan suaranya berduka. Siapa tahu aku akan dapat menolongnya.” Dan pemuda ini pun melangkah mendekati kuil.
“He-he-heh, engkau cari perkara saja!”
Kata Hek-i Mo-ong, akan tetapi kakek ini tidak mencegah, hanya berdiri memandang sambil tersenyum lebar saat muridnya memasuki kuil tua itu.
Ruangan depan kuil itu kotor karena gentengnya telah banyak yang berlubang sehingga ruangan itu kemasukan air bocor dan kotoran. Ruangan itu kosong, akan tetapi isak tangis itu datang dari arah belakang. Ceng Liong terus memasuki kuil dengan perlahan-lahan karena dia tidak mau mengagetkan wanita yang sedang menangis itu.
Tiba-tiba dia berhenti melangkah ketika mendengar suara laki-laki tertawa mengejek, agaknya tertawa kepada wanita itu.
“Kau ingin pulang? Pulang ke akhirat? Ha-ha-ha, jangan khawatir. Aku akan memulangkanmu ke akhirat jika aku sudah bosan padamu!”
“Cici....!” Suara wanita yang tadi menjerit dan menangis.
“Siauw-moi, bersabarlah....!”
Terdengar suara wanita ke dua, akan tetapi wanita ini pun menangis sehingga kini terdengar suara dua orang wanita sesenggukan.
Ceng Liong makin penasaran dan kini dia mempercepat langkahnya memasuki ruangan belakang kuil itu yang gentengnya masih utuh sehingga lantainya pun agak bersih. Ketika dia masuk melangkahi pintu tanpa daun itu, dia melihat ke atas lantai dan mukanya seketika berubah merah karena malu.
Di lantai itu terdapat dua orang laki-laki, seorang laki-laki tua yang pakaiannya mewah dan wajahnya pesolek, usianya lima puluh tahun lebih, dan laki-laki ke dua masih muda, paling banyak dua puluh lima tahun, juga pakaiannya mewah dan wajahnya tampan. Akan tetapi, dua orang laki-laki ini masing-masing memangku seorang gadis muda yang pakaiannya hampir telanjang, dan dua orang laki-laki itu sedang mempermainkan gadis masing-masing, meraba dan menciuminya.
Dua orang gadis itu menangis, akan tetapi tidak melawan. Wajah mereka pucat dan melihat mata mereka yang merah dan agak bengkak, mudah diduga bahwa mereka itu banyak menangis.
Melihat betapa dua orang pria itu sedang bermesraan dengan wanita, tentu saja Ceng Liong menjadi malu dan kikuk, akan tetapi hatinya juga merasa penasaran karena keadaan dua orang wanita itu sama sekali tidak dapat dibilang gembira dengan kemesraan yang diperlihatkan dua orang pria itu. Kalau saja dia tahu bahwa dia akan menemukan pemandangan seperti ini, tentu dia tidak akan sudi masuk. Akan tetapi dia sudah terlanjur masuk dan hatinya pun menjadi penasaran. Hanya, apa yang harus dikatakan atau dilakukan setelah dia masuk?
Biar pun usianya sudah hampir enam belas tahun dan dia menjadi murid seorang datuk sesat, rajanya kaum penjahat, namun selama ini gurunya tidak pernah mengajaknya bergaul dengan para penjahat sehingga Ceng Liong tidak dapat menduga apa yang sedang terjadi di depan matanya itu. Akan tetapi, dia adalah seorang yang mempunyai kecerdikan, maka dalam keadaan malu dan kikuk itu dia masih saja dapat bicara dengan tenang.
“Apakah yang sedang terjadi di sini?”
Pertanyaan ini seperti ditujukan kepada diri sendiri, bukan pada seorang tertentu di antara empat orang yang berada di dalam ruangan itu.
Dua orang pria itu sudah sejak tadi tahu akan munculnya pemuda remaja itu, namun agaknya mereka tetap asyik dengan kesibukan mereka sendiri yang menyenangkan dan sama sekali tidak mempedulikan adanya Ceng Liong. Ketika Ceng Liong mengeluarkan pertanyaan itu, pria muda itu mengangkat mukanya dari dada wanita yang dipangkunya, menoleh dan memandang kepada Ceng Liong sambil tersenyum!
Akan tetapi senyum pada wajah yang tampan itu amat tidak menyenangkan hati Ceng Liong. Senyum yang licik, pikirnya, maka dia pun menentang pandang mata pria itu dengan tajam penuh selidik. Agaknya pria itu pun tercengang melihat penegurnya seorang pemuda remaja yang demikian tampan walau pun pakaiannya menunjukkan bahwa dia seorang petani muda.
“Ehh, bocah ingusan! Apakah engkau tidak dapat menduga apa yang sedang terjadi di sini? Apakah engkau belum pernah melihat orang bermain cinta? Setidaknya ayah ibumu sendiri? Kami berdua sedang bersenang-senang dengan kekasih kami, apa kau tidak lihat?”
Biar pun dia sama sekali belum berpengalaman, akan tetapi Ceng Liong sudah cukup dewasa untuk dapat menduga apa yang terjadi. Dia tadi mengeluarkan pertanyaan itu hanya untuk menutupi rasa malu dan kikuknya.
Akan tetapi kini, setelah dia melihat benar keadaan dua orang gadis itu, gadis-gadis muda yang mungkin baru lima belas tahun usianya, yang tengah memandang kepadanya dengan mata terbelalak merah dan ketakutan seperti mata kelinci dalam cengkeraman harimau, rasa malu dan kikuknya pun lenyap. Ada sesuatu yang tidak wajar di sini, pikirnya. Orang yang bercintaan dan bercumbuan tidak memperlihatkan wajah takut dan duka seperti itu!
“Aku tadi mendengar suara tangisan dan orang minta pulang....,”
Katanya lagi sambil menatap wajah kedua orang gadis itu bergantian. Dua orang gadis yang masih amat muda dan berwajah manis, akan tetapi amat pucat dan seperti orang kurang makan, nampak lemas.
“Kamu hendak mencampuri urusan kami?” bentak orang muda itu, kini senyumnya menghilang dan matanya mengeluarkan sinar berapi.
“Tidak, tapi kalau ada orang menangis dan perlu kutolong....”
“Ha-ha-ha!”
Tiba-tiba orang muda itu tertawa, sedangkan orang yang tua sama sekali tidak peduli, hanya melanjutkan perbuatannya yang tidak tahu malu, seolah-olah di situ tidak terdapat orang lain.
Gadis yang dipangkunya menggeliat-geliat, kemudian menangis dan berkata, ditujukan kepada Ceng Liong.
“Tolonglah kami.... tolonglah kami, kami diculik....”
Barulah Ceng Liong mengerti dan dia pun tahu bahwa dua orang itu adalah penculik dan pemerkosa wanita, yang di kalangan penjahat dinamakan jai-hwa-cat (Penjahat Pemetik Bunga). Maka seketika mukanya menjadi merah dan matanya mengeluarkan sinar mencorong. Agaknya, penculik yang muda itu dapat mengerti bahwa pemuda remaja itu menjadi marah, maka dia pun tertawa lagi.
“Ha-ha-ha, memang engkau dapat menolong mereka berdua ini, bocah lancang. Kau antarkan mereka ke akhirat. Nah, kau berangkatlah lebih dulu!” Tangannya bergerak ke depan, ke arah Ceng Liong.
“Singgg....!”
Sinar perak menyilaukan mata menyambar ke arah leher Ceng Liong dan ternyata yang disambitkan oleh penjahat muda itu adalah sebatang pisau terbang yang amat tajam dan runcing. Kalau bukan Ceng Liong yang diserang seperti itu, tentu di lain saat dia sudah menggeletak tak bernyawa dengan leher putus terbabat pisau itu! Akan tetapi, melihat serangan ini, Ceng Liong mendengus.
“Huhhh!”
Tangan kirinya bergerak ke depan, jari tangannya dibuka dan tiba-tiba saja jari telunjuk dan ibu jarinya telah menjepit pisau terbang itu dengan gerakan yang demikian tenang, seolah-olah apa yang dilakukannya tadi merupakan pekerjaan yang teramat mudah! Kemudian, jari-jari kedua tangannya menekuk.
“Krekkk!” terdengar suara, lalu pisau yang sudah menjadi empat potong itu dilemparkan Ceng Liong ke atas lantai!
Pemerkosa muda itu adalah Louw Tek Ciang sedangkan yang tua adalah Jai-hwa Siauw-ok. Dapat dibayangkan betapa kaget dan herannya hati Louw Tek Ciang ketika dia melihat betapa pemuda remaja yang disangkanya tentu akan roboh dengan leher putus sehingga dia dapat menikmati pemandangan ketika darah muncrat-muncrat dari leher pemuda itu ternyata dengan amat mudahnya dapat menangkap hui-to (pisau terbang) dengan jepitan dua buah jari, bahkan kemudian mematah-matahkan pisaunya itu bagai orang mematah-matahkan sebatang ranting belaka!
Dia bangkit berdiri setelah melemparkan gadis yang dipermainkannya tadi ke samping, seperti orang membuang kain kotor yang tidak terpakai lagi, memandang kepada Ceng Liong seperti hendak menelan pemuda remaja itu bulat-bulat. Kemudian, dengan suara lantang dia berseru,
“Bocah setan, siapakah engkau? Berani engkau mencampuri urusan pribadi kami?”
Ceng Liong tersenyum mengejek dan menggerakkan pundaknya.
“Siapa mencampuri urusan pribadi kalian? Aku hanya mendengar wanita menangis dan minta pulang, dan aku bertanya. Tapi engkau menyambutku dengan lemparan pisau dan ini bukan urusan pribadimu lagi.”
Louw Tek Ciang tentu saja tidak memandang kepada pemuda remaja itu. Kalau hanya sedikit kepandaian menangkap dan mematahkan pisau sedemikian saja, tentu tidak akan membuat dia menjadi gentar. Permainan kanak-kanak itu!
“Setan cilik! Kau mau apa?”
Diam-diam Ceng Liong mengeluh. Kakek ini memang amat suka berkelahi dan dahulu terlalu mengugulkan diri, mengira bahwa di dunia ini tidak ada orang yang lebih pandai dari padanya. Karena pendirian itulah maka kalau dikalahkan orang kakek ini merasa penasaran setengah mati dan kekalahan itu cukup menumbuhkan dendam di dalam hatinya.
“Hemm, kalau begitu, persoalannya hanyalah dikalahkan dalam pertandingan. Baik, aku akan membantumu mengalahkan kembali orang itu sebagai tebusan kekalahanmu dahulu. Aku tidak mau kalau harus membunuh orang tanpa sebab tertentu.”
“Heh-heh-heh, Ceng Liong. Orang itu lihai bukan main. Dia telah menjadi ahli waris dari Pendekar Suling Emas! Maka, kalau engkau bisa mengalahkan dia saja, hatiku sudah akan merasa puas sekali, dan mata dunia akan terbuka bahwa aku dan muridku telah membuktikan bahwa kita tidak kalah oleh keturunan Pendekar Suling Emas. Ha-ha-ha!”
Ceng Liong terkejut. Pendekar Suling Emas! Pernah dia mendengar nama ini dari ayah ibunya dahulu, nama seorang pendekar sakti di jaman dahulu. Akan tetapi, dia tidak peduli. Siapa pun adanya musuh besar gurunya itu, bukankah dia menyanggupi hanya untuk membantu gurunya menebus kekalahan saja? Itu pun kalau dia dan gurunya akan sanggup mengalahkan musuh yang tentu amat lihai itu!
Dan dia tidak mewarisi pendirian gurunya bahwa dia adalah orang yang paling lihai di dunia ini. Tidak, dia tidak gila dan dia mengerti bahwa di dunia ini banyak terdapat orang-orang yang memiliki ilmu kepandaian amat tinggi. Dia sudah banyak bertemu dengan orang-orang sakti di Pegunungan Himalaya, maka dari itu dia tidak lagi berani memandang diri sendiri terlalu tinggi.
“Siapakah nama musuh itu, Mo-ong? Dan di mana tinggalnya?”
“Namanya Kam Hong dan dia tinggal di sebuah bangunan tua di puncak Bukit Nelayan di Pegunungan Tai-hang-san, tidak sangat jauh dari tempat kita ini. Kalau engkau sudah siap membantuku, mari kita berangkat hari ini juga.”
“Baiklah, Mo-ong. Aku akan berkemas dan kita berangkat.”
Setelah berkemas dan membawa buntalan pakaian, berangkatlah Ceng Liong bersama kakek itu naik perahu mengikuti arus Sungai Ceng-ho menuju ke timur. Hati Ceng Liong merasa gembira sekali karena memperoleh kesempatan meninggalkan tempat sunyi itu dan melihat dunia ramai. Dia mengenakan pakaian sederhana seperti seorang petani biasa, dengan sebuah caping lebar, dan buntalan pakaian berada di punggungnya. Pedangnya, sebatang pedang pemberian Mo-ong, pedang pendek terbuat dari baja yang murni, terselip di pinggang dan ditutupi jubah luarnya sehingga tidak nampak menyolok.
Ada pun Hek-i Mo-ong sendiri, seperti biasa, mengenakan pakaian serba hitam yang juga sederhana berpotongan petani. Tubuhnya yang tinggi besar itu amat kurus dan agak bongkok, dan rambutnya yang sudah putih semua itu nampak kontras sekali dengan bajunya yang hitam.
Orang-orang yang melihat kakek dan pemuda remaja ini tentu tidak akan ada yang menyangka bahwa mereka adalah dua orang yang memiliki kepandaian hebat, apalagi menyangka bahwa kakek itu adalah Hek-i Mo-ong yang namanya saja sudah membuat orang-orang kang-ouw bergidik. Mereka berdua tentu akan disangka dua orang petani biasa saja.
Siapakah orang bernama Kam Hong yang oleh Hek-i Mo-ong disebut sebagai musuh besarnya itu? Hek-i Mo-ong memang orang yang amat aneh. Dalam urusan-urusan besar seperti kegagalannya dalam usaha pemberontakan yang lalu, yang akhirnya menghancurkan seluruh harapan dan ambisinya, dia sama sekali tidak merasa sakit hati dan tidak mendendam kepada siapa pun juga. Akan tetapi rupa-rupanya ada suatu pantangan bagi kakek ini, yakni kekalahan.
Dia tidak pernah dapat melupakan kekalahan dalam adu ilmu silat. Selama hidupnya sebagai seorang datuk sesat, jarang dia menderita kekalahan. Satu-satunya kekalahan mutlak harus diakuinya adalah kekalahannya ketika dia berhadapan dengan Pendekar Super Sakti di Pulau Es.
Akan tetapi pendekar itu telah tiada dan dia tidak menaruh hati dendam kepada siapa pun. Akan tetapi, di antara kekalahan-kekalahannya yang hanya dapat dihitung dengan jari tangan itu, dia sukar untuk dapat melupakan kekalahannya terhadap seorang pendekar yang pada waktu itu baru saja muncul di dania persilatan. Pendekar itu adalah Kam Hong.
Para pembaca kisah ’Suling Emas dan Naga Siluman’ tentu masih mengenal siapa pendekar Kam Hong ini. Pendekar Kam Hong adalah keturunan terakhir dari Pendekar Suling Emas dan pendekar ini menjadi pewaris pula dari semua ilmu keluarga Suling Emas. Bahkan secara kebetulan sekali, di daerah Himalaya, pendekar ini menemukan dan mewarisi suling emas berikut Ilmu Kim-siauw Kiam-sut dan ilmu meniup suling emas yang amat hebat.
Pendekar ini akhirnya berjodoh dengan seorang gadis yang masih terhitung sumoi-nya sendiri karena gadis itu yang bernama Bu Ci Sian adalah kawan sependeritaan di Himalaya ketika mereka berdua menemukan benda pusaka berupa suling emas dan ilmunya itu, sehingga keduanya berhak untuk mempelajarinya. Kisah mereka yang amat menarik dapat diikuti dalam seri kisah ’Suling Emas Naga Siluman’.
Setelah menikah, Kam Hong dan Bu Ci Sian lalu tinggal di sebuah bangunan tua di puncak Bukit Nelayan. Bangunan ini sudah kuno akan tetapi kokoh dan besar, sedangkan di sebelah dalamnya menyerupai istana tua yang kuno. Letaknya di puncak Bukit Nelayan, di tepi sungai di Pegunungan Tai-hang-san. Istana ini dahulu menjadi pusat dari perkumpulan Khong-sim Kai-pang (Perkumpulan Pengemis Hati Kosong) yang dipimpin sejak turun-menurun oleh keluarga Yu.
Keturunan terakhir bernama Yu Kong Tek yang berjuluk Sai-cu Kai-ong (Raja Pengemis Bermuka Singa). Akan tetapi perkumpulan itu sendiri sudah lama bubar. Sai-cu Kai-ong inilah yang menjadi guru pertama dari pendekar Kam Hong, menggemblengnya dengan ilmu-ilmu keluarga ketua Khong-sim Kai-pang.
Kam Hong sudah dianggap sebagai anak atau cucu sendiri oleh Sai-cu Kai-ong. Maka, setelah kakek bermuka singa yang gagah perkasa ini meninggal dan bangunan itu kosong, Kam Hong lalu mengajak isterinya untuk tinggal di situ dan hidup sebagai petani dan nelayan di tempat yang indah dan sunyi itu, di antara dusun-dusun di sekitarnya yang ditinggali oleh petani-petani miskin dan sederhana.
Pada waktu itu, suami isteri pendekar ini telah mempunyai seorang anak perempuan yang mereka beri nama Kam Bi Eng. Anak ini mirip sekali dengan ibunya di waktu muda, baik wajahnya yang bulat manis itu, mau pun kelincahannya, kejenakaannya dan keberanian atau kebengalannya. Akan tetapi, dalam hal berpakaian, ia meniru ayahnya, sederhana dan seadanya.
Juga anak ini berbakat sekali dalam ilmu silat sehingga dalam usia hampir lima belas tahun, ia telah menguasai ilmu-ilmu silat tinggi dari kedua orang tuanya, dan juga ayahnya yang memperoleh pendidikan sastera telah mendidiknya dalam ilmu baca tulis sehingga dalam usia lima belas tahun Bi Eng telah pandai menulis sajak dan beberapa kepandaian lain seperti menyulam, menabuh yang-kim, menyuling, bahkan menyanyi dan menari! Di antara para penghuni dusun di sekitar tempat itu, ia dikenal sekali dan orang-orang menyebutnya Kam-siocia.
Kam Hong sendiri telah menjadi seorang laki-laki berusia hampir lima puluh tahun. Dia selalu bersikap tenang dan halus, pakaiannya sederhana berpotongan sasterawan, akan tetapi biar sederhana dia selalu bersih dan rapi. Wajahnya tampan, belum nampak tua dalam usia hampir setengah abad itu, bahkan rambutnya belum bercampur uban. Hanya garis-garis di sekitar bibir dan matanya menunjukkan bahwa dia tidaklah muda lagi.
Sepasang matanya mencorong seperti mata naga dan ini mendatangkan kewibawaan yang kuat pada dirinya. Banyaklah ilmu-ilmu silat tingkat tinggi yang dikuasai pendekar ini karena dia mewarisi ilmu-ilmu dari keluarga Suling Emas, nenek moyangnya, melalui Sin-siauw Seng-jin yang dahulu menjadi pembantu keluarga Suling Emas yang dipercaya menyimpan ilmu-ilmu itu untuk kemudian disampaikan kepada keturunan terakhir keluarga Suling Emas. Dari kakek bekas pembantu ini dia mempelajari ilmu-ilmu keluarganya, yaitu antara lain Hong-in Bun-hoat, Pat-sian Kiam-hoat, Lo-hai San-hoat, dan Kim-kong Sim-in.
Selain ini, dia pernah pula digembleng oleh Sai-cu Kai-ong keturunan ketua Khong-sim Kai-pang dan mewarisi ilmu-ilmu Khong-sim Sin-ciang dan Sai-cu Ho-kang. Semua ilmu yang termasuk ilmu silat tingkat tinggi ini masih ditambah lagi dengan ilmu yang diperolehnya bersama isterinya di Pegunungan Himalaya, yaitu Kim-siauw Kiam-sut dan ilmu meniup suling dengan pengerahan khikang tingkat tinggi. Kalau sudah memegang suling dan kipasnya, pendekar ini tiada ubahnya seperti mendiang Pendekar Suling Emas yang menjadi nenek moyangnya, gagah perkasa dan sukar ditandingi!
Isterinya, Bu Ci Sian, juga bukan seorang sembarangan. Ketika masih gadis remaja ia pernah digembleng oleh seorang tokoh aneh dari Himalaya yang berjuluk See-thian Coa-ong (Raja Ular Dari Barat). Dari si raja ular ini dia lalu memperoleh Ilmu Sin-coa Thian-te-ciang dan ilmu pawang ular.
Kemudian, dia pernah memperoleh hadiah dari Pendekar Suma Kian Bu yang melatih penggabungan sinkang Im dan Yang kepadanya. Selain itu semua, Bu Ci Sian ini adalah puteri dari Bu-taihiap, pendekar yang sangat terkenal beberapa puluh tahun yang lalu sebagai seorang pendekar besar yang banyak isterinya.
Memiliki ayah dan ibu seperti itu, tentu saja Bi Eng mewarisi ilmu-ilmu yang tinggi. Apalagi ilmu memainkan suling sebagai senjata. Dahulu ibunya juga mempelajari Ilmu Kim-siauw Kiam-sut (Ilmu Pedang Suling Emas) dan ilmu meniup suling, bahkan ibunya juga memiliki senjata suling emas yang persis milik ayahnya, hanya lebih kecil.
Dan ia sendiri pun telah dibuatkan sebuah suling emas seperti milik ibunya dan gadis ini sudah pandai pula menggunakan sulingnya sebagai senjata, baik dimainkan sebagai pedang, atau dipergunakan suaranya untuk mengalahkan lawan, atau dipakai untuk menghibur diri memainkan nyanyian-nyanyian merdu.
Demikianlah serba singkat tentang keadaan keluarga Kam yang tinggal di istana tua bekas milik Raja Pengemis itu. Selama tinggal di situ, keluarga ini tak pernah mendapat gangguan, juga mereka tidak mau mencari perkara, bahkan boleh dibilang mereka telah menjauhkan diri dari dunia kang-ouw dan tidak mau melibatkan diri dengan urusan dunia ramai. Mereka sudah merasa berbahagia hidup tenteram di antara orang-orang dusun di sekeliling tempat itu, hidup sederhana namun sehat dan tenteram.
Oleh karena itu, mereka sama sekali tidak pernah mimpi bahwa pada waktu itu, ada bahaya besar mengancam mereka, seperti awan mendung hitam gelap yang terbawa angin perlahan-lahan menuju ke tempat sunyi itu.
Siapakah yang datang menuju ke istana kuno pada siang hari itu? Bukan hanya Hek-i Mo-ong dan Ceng Liong dua orang saja, melainkan empat orang yang amat lihai karena selain dua orang ini, kini ada pula dua orang lain yang menemani guru dan murid ini. Mereka itu bukan lain adalah Jai-hwa Siauw-ok dan Louw Tek Ciang! Bagaimanakah dua orang jahat ini dapat bergabung dengan Hek-i Mo-ong?
Seperti kita ketahui, Hek-i Mo-ong berhasil membujuk Ceng Liong untuk membantunya menghadapi musuh besarnya, yaitu Kam Hong. Berdua guru dan murid itu melakukan perjalanan naik perahu menuju ke arah timur. Arus air yang deras itu mempercepat perjalanan mereka dan beberapa hari kemudian, mereka mendarat dan meninggalkan sungai yang terus mengalir masuk ke Sungai Huang-ho, menjadi aliran besar menuju ke laut timur. Mereka sendiri melanjutkan perjalanan dengan melalui darat, menuju utara, ke arah Pegunungan Tai-hang-san yang dari situ sudah nampak puncak-puncaknya menjulang tinggi di angkasa.
Siang itu matahari yang terik tidak dapat mengurangi kesejukan hutan di kaki Gunung Tai-hang-san. Hek-i Mo-ong dan Ceng Liong berjalan perlahan memasuki hutan dan dari luar hutan sudah nampak dinding sebuah kuil kuno yang agaknya terlantar dan tidak dipergunakan lagi oleh orang sebagai tempat pemujaan.
Akan tetapi, ketika guru dan murid itu lewat di depan kuil, mendadak Ceng Liong menahan langkahnya dan memandang ke arah kuil dengan alis berkerut. Dia mendengar isak tangis wanita dari dalam kuil itu. Tentu saja Hek-i Mo-ong juga mendengarnya.
Di antara isak tangis itu, terdengar suara wanita yang berkata dengan suara memohon.
“....aku ingin pulang.... ahhh, aku ingin pulang....”
Ceng Liong makin penasaran, namun Hek-i Mo-ong tersenyum lebar sambil berkata,
“Ceng Liong, perlu apa kita mencampuri urusan orang dan mengganggu kesenangan orang? Hayo kita lanjutkan perjalanan kita.”
Ceng Liong mengerutkan alisnya dan menggeleng kepala.
“Aku tidak ingin mencampuri urusan orang, apalagi mengganggu kesenangan orang. Akan tetapi wanita itu menangis dan suaranya berduka. Siapa tahu aku akan dapat menolongnya.” Dan pemuda ini pun melangkah mendekati kuil.
“He-he-heh, engkau cari perkara saja!”
Kata Hek-i Mo-ong, akan tetapi kakek ini tidak mencegah, hanya berdiri memandang sambil tersenyum lebar saat muridnya memasuki kuil tua itu.
Ruangan depan kuil itu kotor karena gentengnya telah banyak yang berlubang sehingga ruangan itu kemasukan air bocor dan kotoran. Ruangan itu kosong, akan tetapi isak tangis itu datang dari arah belakang. Ceng Liong terus memasuki kuil dengan perlahan-lahan karena dia tidak mau mengagetkan wanita yang sedang menangis itu.
Tiba-tiba dia berhenti melangkah ketika mendengar suara laki-laki tertawa mengejek, agaknya tertawa kepada wanita itu.
“Kau ingin pulang? Pulang ke akhirat? Ha-ha-ha, jangan khawatir. Aku akan memulangkanmu ke akhirat jika aku sudah bosan padamu!”
“Cici....!” Suara wanita yang tadi menjerit dan menangis.
“Siauw-moi, bersabarlah....!”
Terdengar suara wanita ke dua, akan tetapi wanita ini pun menangis sehingga kini terdengar suara dua orang wanita sesenggukan.
Ceng Liong makin penasaran dan kini dia mempercepat langkahnya memasuki ruangan belakang kuil itu yang gentengnya masih utuh sehingga lantainya pun agak bersih. Ketika dia masuk melangkahi pintu tanpa daun itu, dia melihat ke atas lantai dan mukanya seketika berubah merah karena malu.
Di lantai itu terdapat dua orang laki-laki, seorang laki-laki tua yang pakaiannya mewah dan wajahnya pesolek, usianya lima puluh tahun lebih, dan laki-laki ke dua masih muda, paling banyak dua puluh lima tahun, juga pakaiannya mewah dan wajahnya tampan. Akan tetapi, dua orang laki-laki ini masing-masing memangku seorang gadis muda yang pakaiannya hampir telanjang, dan dua orang laki-laki itu sedang mempermainkan gadis masing-masing, meraba dan menciuminya.
Dua orang gadis itu menangis, akan tetapi tidak melawan. Wajah mereka pucat dan melihat mata mereka yang merah dan agak bengkak, mudah diduga bahwa mereka itu banyak menangis.
Melihat betapa dua orang pria itu sedang bermesraan dengan wanita, tentu saja Ceng Liong menjadi malu dan kikuk, akan tetapi hatinya juga merasa penasaran karena keadaan dua orang wanita itu sama sekali tidak dapat dibilang gembira dengan kemesraan yang diperlihatkan dua orang pria itu. Kalau saja dia tahu bahwa dia akan menemukan pemandangan seperti ini, tentu dia tidak akan sudi masuk. Akan tetapi dia sudah terlanjur masuk dan hatinya pun menjadi penasaran. Hanya, apa yang harus dikatakan atau dilakukan setelah dia masuk?
Biar pun usianya sudah hampir enam belas tahun dan dia menjadi murid seorang datuk sesat, rajanya kaum penjahat, namun selama ini gurunya tidak pernah mengajaknya bergaul dengan para penjahat sehingga Ceng Liong tidak dapat menduga apa yang sedang terjadi di depan matanya itu. Akan tetapi, dia adalah seorang yang mempunyai kecerdikan, maka dalam keadaan malu dan kikuk itu dia masih saja dapat bicara dengan tenang.
“Apakah yang sedang terjadi di sini?”
Pertanyaan ini seperti ditujukan kepada diri sendiri, bukan pada seorang tertentu di antara empat orang yang berada di dalam ruangan itu.
Dua orang pria itu sudah sejak tadi tahu akan munculnya pemuda remaja itu, namun agaknya mereka tetap asyik dengan kesibukan mereka sendiri yang menyenangkan dan sama sekali tidak mempedulikan adanya Ceng Liong. Ketika Ceng Liong mengeluarkan pertanyaan itu, pria muda itu mengangkat mukanya dari dada wanita yang dipangkunya, menoleh dan memandang kepada Ceng Liong sambil tersenyum!
Akan tetapi senyum pada wajah yang tampan itu amat tidak menyenangkan hati Ceng Liong. Senyum yang licik, pikirnya, maka dia pun menentang pandang mata pria itu dengan tajam penuh selidik. Agaknya pria itu pun tercengang melihat penegurnya seorang pemuda remaja yang demikian tampan walau pun pakaiannya menunjukkan bahwa dia seorang petani muda.
“Ehh, bocah ingusan! Apakah engkau tidak dapat menduga apa yang sedang terjadi di sini? Apakah engkau belum pernah melihat orang bermain cinta? Setidaknya ayah ibumu sendiri? Kami berdua sedang bersenang-senang dengan kekasih kami, apa kau tidak lihat?”
Biar pun dia sama sekali belum berpengalaman, akan tetapi Ceng Liong sudah cukup dewasa untuk dapat menduga apa yang terjadi. Dia tadi mengeluarkan pertanyaan itu hanya untuk menutupi rasa malu dan kikuknya.
Akan tetapi kini, setelah dia melihat benar keadaan dua orang gadis itu, gadis-gadis muda yang mungkin baru lima belas tahun usianya, yang tengah memandang kepadanya dengan mata terbelalak merah dan ketakutan seperti mata kelinci dalam cengkeraman harimau, rasa malu dan kikuknya pun lenyap. Ada sesuatu yang tidak wajar di sini, pikirnya. Orang yang bercintaan dan bercumbuan tidak memperlihatkan wajah takut dan duka seperti itu!
“Aku tadi mendengar suara tangisan dan orang minta pulang....,”
Katanya lagi sambil menatap wajah kedua orang gadis itu bergantian. Dua orang gadis yang masih amat muda dan berwajah manis, akan tetapi amat pucat dan seperti orang kurang makan, nampak lemas.
“Kamu hendak mencampuri urusan kami?” bentak orang muda itu, kini senyumnya menghilang dan matanya mengeluarkan sinar berapi.
“Tidak, tapi kalau ada orang menangis dan perlu kutolong....”
“Ha-ha-ha!”
Tiba-tiba orang muda itu tertawa, sedangkan orang yang tua sama sekali tidak peduli, hanya melanjutkan perbuatannya yang tidak tahu malu, seolah-olah di situ tidak terdapat orang lain.
Gadis yang dipangkunya menggeliat-geliat, kemudian menangis dan berkata, ditujukan kepada Ceng Liong.
“Tolonglah kami.... tolonglah kami, kami diculik....”
Barulah Ceng Liong mengerti dan dia pun tahu bahwa dua orang itu adalah penculik dan pemerkosa wanita, yang di kalangan penjahat dinamakan jai-hwa-cat (Penjahat Pemetik Bunga). Maka seketika mukanya menjadi merah dan matanya mengeluarkan sinar mencorong. Agaknya, penculik yang muda itu dapat mengerti bahwa pemuda remaja itu menjadi marah, maka dia pun tertawa lagi.
“Ha-ha-ha, memang engkau dapat menolong mereka berdua ini, bocah lancang. Kau antarkan mereka ke akhirat. Nah, kau berangkatlah lebih dulu!” Tangannya bergerak ke depan, ke arah Ceng Liong.
“Singgg....!”
Sinar perak menyilaukan mata menyambar ke arah leher Ceng Liong dan ternyata yang disambitkan oleh penjahat muda itu adalah sebatang pisau terbang yang amat tajam dan runcing. Kalau bukan Ceng Liong yang diserang seperti itu, tentu di lain saat dia sudah menggeletak tak bernyawa dengan leher putus terbabat pisau itu! Akan tetapi, melihat serangan ini, Ceng Liong mendengus.
“Huhhh!”
Tangan kirinya bergerak ke depan, jari tangannya dibuka dan tiba-tiba saja jari telunjuk dan ibu jarinya telah menjepit pisau terbang itu dengan gerakan yang demikian tenang, seolah-olah apa yang dilakukannya tadi merupakan pekerjaan yang teramat mudah! Kemudian, jari-jari kedua tangannya menekuk.
“Krekkk!” terdengar suara, lalu pisau yang sudah menjadi empat potong itu dilemparkan Ceng Liong ke atas lantai!
Pemerkosa muda itu adalah Louw Tek Ciang sedangkan yang tua adalah Jai-hwa Siauw-ok. Dapat dibayangkan betapa kaget dan herannya hati Louw Tek Ciang ketika dia melihat betapa pemuda remaja yang disangkanya tentu akan roboh dengan leher putus sehingga dia dapat menikmati pemandangan ketika darah muncrat-muncrat dari leher pemuda itu ternyata dengan amat mudahnya dapat menangkap hui-to (pisau terbang) dengan jepitan dua buah jari, bahkan kemudian mematah-matahkan pisaunya itu bagai orang mematah-matahkan sebatang ranting belaka!
Dia bangkit berdiri setelah melemparkan gadis yang dipermainkannya tadi ke samping, seperti orang membuang kain kotor yang tidak terpakai lagi, memandang kepada Ceng Liong seperti hendak menelan pemuda remaja itu bulat-bulat. Kemudian, dengan suara lantang dia berseru,
“Bocah setan, siapakah engkau? Berani engkau mencampuri urusan pribadi kami?”
Ceng Liong tersenyum mengejek dan menggerakkan pundaknya.
“Siapa mencampuri urusan pribadi kalian? Aku hanya mendengar wanita menangis dan minta pulang, dan aku bertanya. Tapi engkau menyambutku dengan lemparan pisau dan ini bukan urusan pribadimu lagi.”
Louw Tek Ciang tentu saja tidak memandang kepada pemuda remaja itu. Kalau hanya sedikit kepandaian menangkap dan mematahkan pisau sedemikian saja, tentu tidak akan membuat dia menjadi gentar. Permainan kanak-kanak itu!
“Setan cilik! Kau mau apa?”
Tidak ada komentar:
Posting Komentar