Suma Hui merasa penasaran dan ia pun merubah-rubah ilmu silatnya, namun ilmu silat apa pun yang dikeluarkannya, dapat dihadapi dengan baik oleh Tek Ciang. Hanya kadang-kadang saja, kalau sudah terlampau terdesak, Tek Ciang terpaksa membalas serangan, hanya untuk membuyarkan desakan Suma Hui saja.
“Tek Ciang, jangan main-main! Balas serang!” Tiba-tiba Suma Kian Lee berseru, tidak sabar melihat ulah Tek Ciang yang banyak mengalah itu.
Tek Ciang terkejut dan dia pun tidak berani membantah. Kemudian mulailah dia balas menyerang. Suma Hui melindungi dirinya dan berusaha membalas, namun ternyata kini gerakan Tek Ciang cepat sekali sehingga ia tidak memperoleh waktu untuk membalas. Maka segera ia terdesak hebat oleh pemuda itu.
Agaknya Tek Ciang memang tidak mau mengalahkan Suma Hui, atau tidak ingin membuat malu gadis itu. Pemuda ini memang cerdik sekali. Dia tahu bahwa Suma Hui masih belum mau tunduk kepadanya, maka dia pun ingin menundukkan hati gadis itu dengan sikap baiknya. Kalau dia secara langsung mengalahkan gadis itu, mungkin gadis itu akan menjadi semakin penasaran dan bahkan mungkin akan membencinya.
Maka, dia bersikap cerdik dan tidak mau terlalu mendesak, membiarkan pertandingan itu berjalan seru dan seimbang. Padahal, kalau dia mau, tidak terlalu sukar baginya untuk mengalahkan Suma Hui karena selain telah mewarisi ilmu keluarga gadis ini, juga dia telah digembleng oleh gurunya yang lain, yaitu Jai-hwa Siauw-ok yang juga lihai sekali.
Memang Tek Ciang sangat cerdik. Sikapnya yang banyak mengalah itu setidaknya telah membuat Suma Kian Lee semakin suka kepadanya. Bahkan seorang wanita yang amat cerdas seperti Kim Hwee Li juga kena diakali dan kini wanita ini tidak lagi begitu tidak suka kepada Tek Ciang yang selalu bersikap baik, jujur dan halus. Apalagi menyaksikan pertandingan ini, diam-diam Kim Hwee Li harus mengakui bahwa Tek Ciang benar-benar mengalah dan hal ini dianggapnya sebagai tanda cinta pemuda itu kepada Suma Hui.
Ciang Bun sendiri menggigit bibir dan mengepal tinju. Dia maklum bahwa tingkat kepandaian Tek Ciang kini sudah amat hebat, lebih tinggi dari pada tingkat kepandaian enci-nya dan dia dapat menduga bahwa tentu enci-nya akan kalah dan akan terpaksa menjadi isteri Tek Ciang.
Tetapi, tiba-tiba terjadi perubahan dalam perkelahian itu dan Kim Hwee Li mengeluarkan seruan tertahan. Mendadak Suma Hui merubah gerakannya dan Tek Ciang nampak terkejut dan bingung, lalu berbalik terdesak!
Kiranya kini gadis itu memainkan Ilmu Cui-beng Pat-ciang (Delapan Pukulan Pengejar Roh)! Ilmu ini adalah ilmu silat istimewa terdiri dari delapan jurus yang dimiliki Kim Hwee Li dan telah diturunkan kepada puterinya. Tentu saja Tek Ciang belum pernah mempelajari ilmu ini dan tidak mengherankan kalau dia merasa bingung karena ilmu itu, biar pun hanya delapan jurus banyaknya, akan tetapi merupakan ilmu silat tinggi pilihan.
Kim Hwee Li memperoleh ilmu silat yang sakti itu dari mendiang Dewa Bongkok dari Gurun Pasir! Apalagi kini dimainkan oleh Suma Hui yang bersemangat penuh untuk merobohkan lawan.
Tek Ciang segera terdesak mundur dan hampir terkena pukulan sampai dia terhuyung. Melihat betapa lihainya ilmu silat yang dimainkan Suma Hui, Tek Ciang tidak ingin kalah dan tiba-tiba dia pun menggerakkan tubuh lebih cepat lagi, tangannya mencengkeram ke arah leher Suma Hui!
“Tek Ciang, jangan main-main! Balas serang!” Tiba-tiba Suma Kian Lee berseru, tidak sabar melihat ulah Tek Ciang yang banyak mengalah itu.
Tek Ciang terkejut dan dia pun tidak berani membantah. Kemudian mulailah dia balas menyerang. Suma Hui melindungi dirinya dan berusaha membalas, namun ternyata kini gerakan Tek Ciang cepat sekali sehingga ia tidak memperoleh waktu untuk membalas. Maka segera ia terdesak hebat oleh pemuda itu.
Agaknya Tek Ciang memang tidak mau mengalahkan Suma Hui, atau tidak ingin membuat malu gadis itu. Pemuda ini memang cerdik sekali. Dia tahu bahwa Suma Hui masih belum mau tunduk kepadanya, maka dia pun ingin menundukkan hati gadis itu dengan sikap baiknya. Kalau dia secara langsung mengalahkan gadis itu, mungkin gadis itu akan menjadi semakin penasaran dan bahkan mungkin akan membencinya.
Maka, dia bersikap cerdik dan tidak mau terlalu mendesak, membiarkan pertandingan itu berjalan seru dan seimbang. Padahal, kalau dia mau, tidak terlalu sukar baginya untuk mengalahkan Suma Hui karena selain telah mewarisi ilmu keluarga gadis ini, juga dia telah digembleng oleh gurunya yang lain, yaitu Jai-hwa Siauw-ok yang juga lihai sekali.
Memang Tek Ciang sangat cerdik. Sikapnya yang banyak mengalah itu setidaknya telah membuat Suma Kian Lee semakin suka kepadanya. Bahkan seorang wanita yang amat cerdas seperti Kim Hwee Li juga kena diakali dan kini wanita ini tidak lagi begitu tidak suka kepada Tek Ciang yang selalu bersikap baik, jujur dan halus. Apalagi menyaksikan pertandingan ini, diam-diam Kim Hwee Li harus mengakui bahwa Tek Ciang benar-benar mengalah dan hal ini dianggapnya sebagai tanda cinta pemuda itu kepada Suma Hui.
Ciang Bun sendiri menggigit bibir dan mengepal tinju. Dia maklum bahwa tingkat kepandaian Tek Ciang kini sudah amat hebat, lebih tinggi dari pada tingkat kepandaian enci-nya dan dia dapat menduga bahwa tentu enci-nya akan kalah dan akan terpaksa menjadi isteri Tek Ciang.
Tetapi, tiba-tiba terjadi perubahan dalam perkelahian itu dan Kim Hwee Li mengeluarkan seruan tertahan. Mendadak Suma Hui merubah gerakannya dan Tek Ciang nampak terkejut dan bingung, lalu berbalik terdesak!
Kiranya kini gadis itu memainkan Ilmu Cui-beng Pat-ciang (Delapan Pukulan Pengejar Roh)! Ilmu ini adalah ilmu silat istimewa terdiri dari delapan jurus yang dimiliki Kim Hwee Li dan telah diturunkan kepada puterinya. Tentu saja Tek Ciang belum pernah mempelajari ilmu ini dan tidak mengherankan kalau dia merasa bingung karena ilmu itu, biar pun hanya delapan jurus banyaknya, akan tetapi merupakan ilmu silat tinggi pilihan.
Kim Hwee Li memperoleh ilmu silat yang sakti itu dari mendiang Dewa Bongkok dari Gurun Pasir! Apalagi kini dimainkan oleh Suma Hui yang bersemangat penuh untuk merobohkan lawan.
Tek Ciang segera terdesak mundur dan hampir terkena pukulan sampai dia terhuyung. Melihat betapa lihainya ilmu silat yang dimainkan Suma Hui, Tek Ciang tidak ingin kalah dan tiba-tiba dia pun menggerakkan tubuh lebih cepat lagi, tangannya mencengkeram ke arah leher Suma Hui!
Suma Kian Lee sendiri sampai mengerutkan alis. Jurus apa yang dimainkan muridnya itu? Demikian keji dan tak tahu malu kalau dipergunakan menyerang lawan wanita. Tangan kanan Tek Ciang mencengkeram ke arah leher sedangkan tangan kirinya mencengkeram ke arah dada! Juga Kim Hwee Li terkejut dan heran.
Akan tetapi, Tek Ciang yang tadi tanpa disadarinya memainkan jurus dari ilmu silat yang dipelajarinya dari Jai-hwa Siauw-ok, segera tersadar ketika Suma Hui mengeluarkan seruan kaget. Betapa bodohnya dia, pikirnya dan cepat dia merubah gerakannya, kini menggunakan jurus dari Ilmu Silat Hong-in Bun-hwat melanjutkan cengkeramannya menjadi totokan dan tangan kanan yang tadi mencengkeram ke arah leher digerakkan ke atas dan tahu-tahu tusuk konde Suma Hui telah dapat dicabutnya!
“Hyaaaattt....!”
Suma Hui marah sekali dan menendang. Tetapi sekali ini Tek Ciang memperlihatkan kelihaiannya. Dia tidak mengelak ke belakang menghadapi tendangan itu, sebaliknya dia malah maju dan memiringkan tubuh, tusuk kondenya dipakai menotok atau menusuk ke arah lutut yang menendang.
Melihat ini, Suma Hui menahan tendangannya dan inilah yang dikehendaki Tek Ciang karena secepat kilat tangan kirinya menyambar ke depan dan.... sepatu kaki yang menendang itu pun copot, terampas oleh tangan kiri Tek Ciang.
Suma Hui terbelalak dan menubruk ke depan, tangan kirinya dikepal menghantam dada lawan. Tek Ciang yang sudah berhasil merampas tusuk konde dan sepatu, yang berarti menang mutlak, menyambut pukulan ke dadanya itu sambil tersenyum. Dia sama sekali tidak mengelak atau menangkis.
“Dukkk....!”
Tubuh Tek Ciang terjengkang. Ketika dia bangkit kembali, bibirnya berdarah. Agaknya, biar pun dia telah menggunakan sinkang untuk menahan pukulan itu, tetap saja getaran pukulan membuat dia menderita sedikit luka di dalam tubuhnya. Akan tetapi dia tetap tersenyum dan menghampiri Suma Hui sambil berkata,
“Engkau semakin lihai saja, sumoi. Maafkan aku!” Dan dia menyerahkan kembali sepatu dan tusuk konde.
Suma Hui menerimanya dengan renggutan, lalu mengenakan sepatunya.
“Hui-ji, apakah engkau masih tidak mau mengaku kalah?” Suma Kian Lee menegur puterinya.
Suma Hui bukan anak kecil, bukan pula bodoh. Sepatu dan tusuk kondenya terampas lawan, itu berarti kalah mutlak. Ia pun tahu bahwa pukulannya yang mengenai dada Tek Ciang tadi adalah pukulan yang sengaja diterima pemuda itu untuk ‘memberi muka’ kepadanya.
“Sudahlah, aku mengaku kalah!” katanya dengan suara lirih.
“Dan engkau tidak mengingkari janji, mau berjodoh dengannya?” ayahnya mendesak.
“Terserah kepada ayah sajalah, aku hanya mentaati ayah.”
Setelah berkata demikian, tanpa menoleh kepada Tek Ciang, Suma Hui kemudian lari meninggalkan ruangan itu, langsung masuk ke kamarnya dan membanting tubuhnya di atas pembaringannya lalu menangis terisak-isak, menutupi muka dengan bantal untuk menyembunyikan tangisnya.
“Enci....”
Suara halus Ciang Bun dan sentuhan lembut pada pundaknya membuat Suma Hui semakin terharu dan tangisnya semakin mengguguk. Ciang Bun duduk dengan muka pucat dan alis berkerut, membiarkan enci-nya menangis sepuasnya. Setelah enci-nya dapat menenangkan hatinya, dia pun berbisik.
“Enci Hui, kalau engkau tidak suka menjadi jodohnya, jangan memaksa diri. Tolak saja, jangan mau!” Ciang Bun berkata dengan penasaran dan merasa kasihan sekali kepada enci-nya.
Suma Hui bangkit duduk dan menarik napas panjang. Setelah isaknya terhenti dan ia dapat menguasai kembali hatinya, ia berkata,
“Adikku, sekali ini tidak mungkin aku mengelak. Mau tidak mau aku harus mentaati perintah ayah dan rela menjadi isteri Louw Tek Ciang.”
“Hemm, mengapa begitu, enci? Apakah alasanmu?”
“Pertama, sudah banyak aku membikin susah hati ayah dan ibu dan aku tidak mau lagi mengulanginya. Ke dua, aku tidak mau kalau sampai orang tuaku melanggar janji kepada keluarga Tek Ciang. Ke tiga, aku sendiri mana sudi menjilat ludah, aku harus berani mempertanggung jawabkan semuanya dan memenuhi janjiku. Ke empat, aku sudah tidak mempunyai ikatan hati dengan siapa pun. Engkau tahu betapa benciku sekarang kepada orang yang pernah kucinta. Ke lima, aku bisa minta bantuan Tek Ciang dalam menghadapi si keparat Cin Liong karena sekarang ilmu kepandaiannya sudah memperoleh kemajuan hebat. Dan ke enam, melihat sikapnya tadi, betapa dia mengalah, harus diakui bahwa sesungguhnya Tek Ciang berhati baik.”
Ciang Bun mengangguk-angguk.
“Terlalu baik, dia itu.... terlalu baik....!”
Akan tetapi, Tek Ciang yang tadi tanpa disadarinya memainkan jurus dari ilmu silat yang dipelajarinya dari Jai-hwa Siauw-ok, segera tersadar ketika Suma Hui mengeluarkan seruan kaget. Betapa bodohnya dia, pikirnya dan cepat dia merubah gerakannya, kini menggunakan jurus dari Ilmu Silat Hong-in Bun-hwat melanjutkan cengkeramannya menjadi totokan dan tangan kanan yang tadi mencengkeram ke arah leher digerakkan ke atas dan tahu-tahu tusuk konde Suma Hui telah dapat dicabutnya!
“Hyaaaattt....!”
Suma Hui marah sekali dan menendang. Tetapi sekali ini Tek Ciang memperlihatkan kelihaiannya. Dia tidak mengelak ke belakang menghadapi tendangan itu, sebaliknya dia malah maju dan memiringkan tubuh, tusuk kondenya dipakai menotok atau menusuk ke arah lutut yang menendang.
Melihat ini, Suma Hui menahan tendangannya dan inilah yang dikehendaki Tek Ciang karena secepat kilat tangan kirinya menyambar ke depan dan.... sepatu kaki yang menendang itu pun copot, terampas oleh tangan kiri Tek Ciang.
Suma Hui terbelalak dan menubruk ke depan, tangan kirinya dikepal menghantam dada lawan. Tek Ciang yang sudah berhasil merampas tusuk konde dan sepatu, yang berarti menang mutlak, menyambut pukulan ke dadanya itu sambil tersenyum. Dia sama sekali tidak mengelak atau menangkis.
“Dukkk....!”
Tubuh Tek Ciang terjengkang. Ketika dia bangkit kembali, bibirnya berdarah. Agaknya, biar pun dia telah menggunakan sinkang untuk menahan pukulan itu, tetap saja getaran pukulan membuat dia menderita sedikit luka di dalam tubuhnya. Akan tetapi dia tetap tersenyum dan menghampiri Suma Hui sambil berkata,
“Engkau semakin lihai saja, sumoi. Maafkan aku!” Dan dia menyerahkan kembali sepatu dan tusuk konde.
Suma Hui menerimanya dengan renggutan, lalu mengenakan sepatunya.
“Hui-ji, apakah engkau masih tidak mau mengaku kalah?” Suma Kian Lee menegur puterinya.
Suma Hui bukan anak kecil, bukan pula bodoh. Sepatu dan tusuk kondenya terampas lawan, itu berarti kalah mutlak. Ia pun tahu bahwa pukulannya yang mengenai dada Tek Ciang tadi adalah pukulan yang sengaja diterima pemuda itu untuk ‘memberi muka’ kepadanya.
“Sudahlah, aku mengaku kalah!” katanya dengan suara lirih.
“Dan engkau tidak mengingkari janji, mau berjodoh dengannya?” ayahnya mendesak.
“Terserah kepada ayah sajalah, aku hanya mentaati ayah.”
Setelah berkata demikian, tanpa menoleh kepada Tek Ciang, Suma Hui kemudian lari meninggalkan ruangan itu, langsung masuk ke kamarnya dan membanting tubuhnya di atas pembaringannya lalu menangis terisak-isak, menutupi muka dengan bantal untuk menyembunyikan tangisnya.
“Enci....”
Suara halus Ciang Bun dan sentuhan lembut pada pundaknya membuat Suma Hui semakin terharu dan tangisnya semakin mengguguk. Ciang Bun duduk dengan muka pucat dan alis berkerut, membiarkan enci-nya menangis sepuasnya. Setelah enci-nya dapat menenangkan hatinya, dia pun berbisik.
“Enci Hui, kalau engkau tidak suka menjadi jodohnya, jangan memaksa diri. Tolak saja, jangan mau!” Ciang Bun berkata dengan penasaran dan merasa kasihan sekali kepada enci-nya.
Suma Hui bangkit duduk dan menarik napas panjang. Setelah isaknya terhenti dan ia dapat menguasai kembali hatinya, ia berkata,
“Adikku, sekali ini tidak mungkin aku mengelak. Mau tidak mau aku harus mentaati perintah ayah dan rela menjadi isteri Louw Tek Ciang.”
“Hemm, mengapa begitu, enci? Apakah alasanmu?”
“Pertama, sudah banyak aku membikin susah hati ayah dan ibu dan aku tidak mau lagi mengulanginya. Ke dua, aku tidak mau kalau sampai orang tuaku melanggar janji kepada keluarga Tek Ciang. Ke tiga, aku sendiri mana sudi menjilat ludah, aku harus berani mempertanggung jawabkan semuanya dan memenuhi janjiku. Ke empat, aku sudah tidak mempunyai ikatan hati dengan siapa pun. Engkau tahu betapa benciku sekarang kepada orang yang pernah kucinta. Ke lima, aku bisa minta bantuan Tek Ciang dalam menghadapi si keparat Cin Liong karena sekarang ilmu kepandaiannya sudah memperoleh kemajuan hebat. Dan ke enam, melihat sikapnya tadi, betapa dia mengalah, harus diakui bahwa sesungguhnya Tek Ciang berhati baik.”
Ciang Bun mengangguk-angguk.
“Terlalu baik, dia itu.... terlalu baik....!”
**** 055 ****
TEMPAT WISATA MANCA NEGARA
Istana Kekaisaran Tokyo | Jembatan Gerbang Emas | Air Terjun Niagara |
---|---|---|
Grand Canyon | Pasar Terbesar di Bangkok | Taman Nasional Yellowstone |
Budj Khalifa - Dubai | Taj Mahal | Taman Nasional Yellowstone |
===============================
Tidak ada komentar:
Posting Komentar