FB

FB


Ads

Minggu, 26 Juli 2015

Suling Emas & Naga Siluman Jilid 084

Lui Shi menenangkan hatinya yang terguncang. Ia maklum bahwa menghadapi pendekar ini, ia harus hati-hati sekali dan tidak boleh sembrono. Kalau ia nekat menggunakan akal curang, tentu pendekar itu akan turun tangan dan agaknya akan sukarlah baginya untuk menyelamatkan diri. Akan tetapi ia masih percaya akan kemampuannya menunggang kuda. Jangankan kuda hitam itu yang sudah terbiasa dengannya, biar seekor kuda liar yang belum pernah dikenalnya sekalipun, tentu ia akan mampu menungganginya! Maka, dengan penuh kepercayaan akan kemampuannya sendiri, ia pun membalas senyuman itu, dengan senyum mengejek.

Dengan lagak yang genit Lui Shi menjalankan kudanya berputaran di depan panggung seperti yang dilakukan oleh Kian Bu tadi. Tiba-tiba terdengar suara Kian Bu, terdengar oleh semua orang, akan tetapi dengan khi-kangnya, Kian Bu dapat membuat suaranya itu langsung terdengar oleh Siauw-ma dengan jelas sekali.

Ketika kuda itu masih berada padanya, memang Kian Bu mengajarnya dengan aba-aba yang biasa saja sehingga kuda itu dapat mengenal baik suara dan maksud kata-kata Kian Bu, tentu saja kata-kata tertentu yang sudah biasa didengarnya ketika kuda itu dilatih.

“Siauw-ma, lemparkan penunggangmu dari punggungmu!”

Dan reaksi yang menjadi tanggapan kuda itu memang seketika. Binatang itu meringkik dan mula-mula ia mengangkat kedua kaki depan ke atas, kemudian berloncatan ke kanan kiri sambil menggoyang-goyang tubuhnya. Dan para penonton bersorak-sorak karena melihat pemandangan yang mendebarkan. Kuda itu membuat segala macam gerakan aneh dan kuat untuk melemparkan penunggangnya dari atas punggung.

Mula-mula Lui Shi berusaha menenangkan kuda itu dengan belaian-belaian tangan pada leher, dengan bisikan-bisikan, dengan bentakan-bentakan dan dengan tendangan-tendangan kakinya pada perut dan tubuh kuda. Namun, segera ia memperoleh kenyataan bahwa kuda itu sama sekali tidak mau mentaati semua perintah lawannya yang menyuruh binatang itu melemparkannya dari punggungnya.

“Setan hitam! Bagaimana pun engkau takkan mungkin dapat melemparkan aku!”

Akhirnya ia berseru marah dan menempel di punggung kudanya seperti seekor lintah menempel di perut kerbau! Kuda itu beriingkrak-jingkrak, menggoyang-goyang tubuhnya dan berusaha menggigit ke arah penunggangnya, namun dengan kemahirannya yang mengagumkan Lui Shi tetap dapat bertahan terus. Tubuh wanita itu terguncang-guncang, miring ke kanan kiri, depan belakang, namun ia tetap dapat bertahan di atas punggung Siauw-ma.

Diam-diam Suma Kian Bu, Teng Siang In dan Ci Sian harus mengakui bahwa memang wanita itu memiliki kemahiran menunggang kuda yang hebat! Sukar dicari orang lain yang akan mampu bertahan setelah kuda hitam itu membuat usaha mati-matian seperti itu, untuk melemparkan penunggangnya! Dan dupa itu pun terbakar perlahan-lahan, mendekat gagangnya. Sebentar lagi akan habis, namun Lui Shi tetap dapat bertahan di atas punggung Siauw-ma. Melihat ini, Pendekar Siluman Kecil mengangguk-angguk.

“Keras kepala!” gumamnya dan tiba-tiba terdengar lagi suaranya yang nyaring. “Siauw-ma, bergulinglah engkau!”

Lui Shi terkejut sekali. Tak disangkanya pendekar itu pernah mengajarkan Siauw-ma untuk bergulingan! Ketika kuda itu menjatuhkan diri, ia berusaha menahannya dan mengerahkan seluruh tenaganya. Namun, ia tidak dapat menahan dan ketika kuda itu akhirnya rebah miring dan hendak bergulingan, tentu saja Lui Shi tidak mau tubuhnya terhimpit oleh badan kuda itu. Akan remuk-remuk tulangnya kalau terjadi hal itu! Maka ia pun meloncat ke atas tanah sebelum kuda itu bergulingan dan dengan demikian ia pun kalah! Dupa itu belum habis terbakar dan ia sudah turun dari atas punggung kuda!

Sorak-sorak dan tepuk tangan yang riuh menyambut kemenangan pihak Thio-thicu ini dan wajah Bouw-thicu menjadi merah sekali. Habislah sudah dia! Balapan kuda kalah, dan untuk itu dia telah kalah taruhan yang amat banyak, lebih dari setengah hartanya. Dan sekarang, dalam lomba ketangkasan kuda yang sekaligus juga menentukan siapa pemilik kuda dan siapa pencurinya, dia pun kalah. Hal ini berarti bahwa namanya akan tercemar sebagai orang yang memelihara pencuri kuda! Kekecewaan demi kekecewaan membuat dia menjadi marah sekali dan diam-diam dia telah mempersiapkan para tukang pukulnya yang berkepandaian tinggi.

“Orang asing ini menggunakan ilmu siluman! Dia orang asing yang datang untuk mengacau di Sin-kiang. Bunuh dia!” teriaknya dan lebih dari dua puluh orang tukang pukulnya dengan senjata di tangan sudah menerjang kepada Suma Kian Bu!

Akan tetapi pada saat itu, Ci Sian dan Teng Siang In sudah berloncatan, demikian pula Suma Kian Bu sendiri sudah menyambut serangan orang-orang itu dengan tangkas sekali. Semua penonton yang tadinya menjadi panik dan ketakutan, kini berdiri melongo dan kagum sekali melihat betapa pendekar dan dua orang wanita cantik itu dengan mudahnya merobohkan semua pengeroyok!

Bagaikan tiga ekor naga sakti mengamuk, mereka itu bergerak ke sana-sini di antara kilatan senjata para pengeroyok dan ke mana pun tiga orang ini bergerak menyambar, tentu ada seorang pengeroyok yang roboh! Dalam waktu singkat saja, lebih dari dua puluh orang itu roboh semua Lui Shi yang tadinya juga ikut mengeroyok, hendak melarikan diri, demikian pun Bouw-thicu. Akan tetapi Siang In sudah meloncat dengan cepat menghadang Lui Shi.

“Engkau ini hanya tikus busuk, biasanya hanya merayap lari, sekarang hendak merayap ke manakah?”

Terjadilah keanehan yang luar biasa. Lui Shi sejenak terbelalak, kemudian.... wanita ini pun lalu menurunkan kedua lengannya dan.... merangkak-rangkak dan hendak melarikan diri dengan merangkak seperti seekor tikus besar!

Tentu saja semua orang terheran-heran melihat ini, bahkan ada yang tertawa geli. Di lain saat, Siang In yang tadinya menguasai wanita itu dengan kekuatan sihir, sudah menotok pundaknya, membuat Lui Shi roboh dan tak mampu bergerak lagi. Sementara itu, Bouw-thicu juga dihadang oleh Suma Kian Bu.

Tuan tanah yang tinggi besar itu ternyata bukanlah orang lemah. Melihat bahwa segala usahanya gagal, dia menjadi nekat. Sambil berteriak memberi aba-aba kepada semua orangnya untuk menyerang, dia sudah menyerang Kian Bu. Akan tetapi, sekali tangkis dan sekali totok saja Kian Bu membuatnya terjungkal dan ketika anak buah tuan tanah ini hendak bergerak maju, tiba-tiba pasukan pemerintah sudah bergerak dan mengepung mereka.

Pembesar kepala daerah yang sudah berdiri di tepi panggung lalu berkata dengan suara nyaring, dan karena keadaan amat menegangkan sedangkan baru sekarang Kepala Daerah mengeluarkan suara, maka suaranya terdengar dengan jelas dan menjadi perhatian semua orang.

“Perhatian para tamu dan penonton! Suami-isteri pendekar yang memiliki kuda hitam ini adalah adik kandung dari Panglima Puteri Milana! Sudah terbukti bahwa Thio-thicu memenangkan perlombaan balapan kuda, dan bahkan kuda hitam yang dikeluarkan Bouw-thicu ternyata adalah milik Suma-taihiap ini! Bouw-thicu sengaja membuat keributan dan dia akan diadili. Kalau ada yang berani berbuat keributan, mereka akan dianggap pemberontak dan akan ditumpas!”






Tentu saja semua orang terkejut sekali mendengar pengumuman pembesar ini. Bahkan Thio-thicu sendiri menjadi terkejut. Tak pernah disangkanya bahwa tamunya itu adalah adik kandung Panglima Puteri Milana yang amat terkenal itu.

Siang In dan Ci Sian sendiri juga terkejut dan mengertilah mereka bahwa semalam, ketika mereka pergi menyelidiki keadaan Bouw-thicu, diam-diam pendekar itu telah pergi menghubungi pembesar Kepala Daerah dan menceritakan segala hal tentang dirinya dan tentang Bouw-thicu.

Bouw-thicu dan Lui Shi ditangkap, demikian pula para pengawal Bouw-thicu yang tadi membikin ribut dengan menyerang Kian Bu dan akhirnya semua roboh oleh Kian Bu, Siang In, dan Ci Sian. Setelah pembesar Kepala Daerah membagi-bagi hadiah kejuaraan, pertemuan itu dibubarkan dan semua penonton pulang ke rumah masing-masing dengan hati puas karena banyak hal yang dapat mereka saling bicarakan dan ceritakan kepada orang lain, yang telah terjadi di padang rumput tempat perlombaan itu.

Malam hari itu, Kian Bu, Siang In, dan Ci Sian diundang dan dijamu makan oleh Pembesar Kepala Daerah! Dalam pesta ini, diundang pula Thio-thicu dan semua tuan tanah yang telah ikut perlombaan. Memang Pembesar Kepala Daerah Sin-kiang itu cukup cerdik. Setelah malam tadi Kian Bu menjumpainya dan memperkenalkan diri, diam-diam dia terkejut sekali dan khawatir kalau-kalau pendekar ini adalah utusan dari kerajaan untuk menyelidiki hasil pekerjaan atau tugasnya di Sin-kiang. Oleh karena itulah maka dia siang tadi bersikap keras terhadap Bouw-thicu, sungguhpun tuan tanah ini merupakan seorang di antara para sahabatnya, bahkan yang paling royal terhadap dirinya.

Dan malam ini, selain mengundang pendekar itu dan keluarganya sebagai penghormatan, juga sekalian memanggil atau mengundang semua tuan tanah karena kesempatan ini hendak dipergunakan untuk dua hal, pertama, agar pendekar itu, kalau benar utusan pemerintah pusat, dapat melihat betapa para tuan tanah sudah dapat dipersatukannya, dan kedua, kehadiran pendekar itu hendak dipergunakannya untuk mempengaruhi para tuan tanah agar mereka tidak lagi menimbulkan keributan satu sama lain.

Pesta itu berlangsung meriah dan dalam kesempatan ini Suma Kian Bu mencari keterangan tentang berita angin adanya ular naga hijau di daerah itu. Mendengar pertanyaan pendekar ini, Sang Kepala Daerah terbelalak dan berkata,

“Ah, memang ada ular raksasa itu, Suma-taihiap! Bukan hanya dongeng dan berita bohong belaka. Bahkan kami sendiri pernah mengirim pasukan untuk membasminya, akan tetapi sebaliknya kami malah kehilangan belasan orang yang tewas oleh amukan ular naga itu!”

Suma Kian Bu, Teng Siang In dan Ci Sian tertarik sekali. Apalagi suami isteri itu yang memiliki kepentingan pribadi dengan ular naga itu.

“Bagaimana ceritanya Taijin?” tanya Kian Bu.

“Dua tahun yang lalu, ketika baru-baru ini kami dipindahkan ke sini, kami mendengar akan adanya ular naga hijau yang seringkali makan manusia. Mula-mula kami tidak percaya akan adanya berita itu dan hanya mengira bahwa yang dikabarkan itu tentulah seekor ular besar biasa saja dan sangat boleh jadi kalau ada ular besar makan manusia yang kebetulan lewat di dekatnya. Akan tetapi karena makin banyak orang yang mengabarkan akan hal itu, sebagai seorang pembesar baru kami lalu mengirim pasukan untuk menyelidiki dan kalau memang benar, membasmi ular itu. Dan akibatnya, belasan orang anggauta pasukan kami tewas dalam keadaan mengerikan.” Pembesar itu berhenti sebentar dan menarik napas panjang.

“Apakah yang terjadi dengan mereka, Taijin?” tanya Siang In, tertarik sekali.

Ia dan suaminya datang dari tempat yang demikian jauh ke Sin-kiang ini, selain merantau juga terutama sekali tertarik oleh cerita atau dongeng tentang naga hijau itu, dan kini mendengar keterangan yang demikian jelas dari pembesar kepala daerah, tentu saja ia merasa amat tertarik. Kiranya dongeng itu memang ada sungguh-sungguh! Kembali pembesar itu menarik napas panjang dan untuk menenteramkan hatinya, dia minum arak dari cawannya.

“Mengerikan sekali dan sampai sekarang kami tidak lagi berani mengirim pasukan, hanya menganjurkan agar orang-orang di daerah itu jangan sekali-kali berani melewati daerah hutan itu, agar mengambil jalan memutar saja karena ular naga itu benar-benar amat berbahaya dan agaknya memang siluman yang bertapa. Bayangkan saja, semua senjata tajam dari pasukan kami tidak ada yang dapat melukainya sedikitpun juga! Dan semburan dari mulutnya, bahkan suaranya saja cukup membuat banyak perajurit kami pingsan! Dan yang lebih mengerikan, ular itu setiap kali memperoleh korban manusia, yang dimakan hanya kepalanya saja. Jadi belasan orang perajurit kami itu tewas dengan kepala lenyap dan badan masih utuh!”

Semua orang, juga para tuan tanah yang mendengar cerita ini bergidik. Mereka memang sudah mendengar akan semua hal itu, dan sudah lama tidak ada orang berani bercerita tentang ular naga itu, karena didesas-desuskan bahwa kalau disebut-sebut, malamnya siluman ular itu akan datang dan mencelakakan orang yang menyebut namanya.

Diam-diam Suma Kian Bu dan isterinya girang sekali mendengar bahwa dongeng tentang ular naga itu ternyata benar-benar terjadi dan ular naga itu memang benar ada!

“Taijin, kami ingin sekali melihat ular naga hijau itu dan perlu kami akan mencoba untuk menundukkannya agar ia tidak lagi mengganggu rakyat. Bagaimana kami dapat menemukannya?”

Semua orang merasa tegang dan juga gembira mendengar bahwa pendekar yang masih adik kandung Panglima Puteri Milana yang terkenal itu hendak membasmi ular naga siluman itu.

“Ular naga itu tempatnya di daerah Pegunungan Kun-lun-san, di bagian selatan yang jarang dilalui orang, sudah termasuk wilayah Tibet. Dan jalan menuju ke sana bukan mudah, dan kiranya tanpa penunjuk jalan, akan sukarlah Taihiap akan dapat menemukannya. Akan tetapi, siapakah yang akan berani menjadi penunjuk jalan?” kata pembesar itu.

“Tidak perlu penunjuk jalan, Taijin. Asal kami memdapatkan gambaran dan peta yang jelas menuju ke tempat itu, kami akan dapat mencarinya sendiri.” jawab Kian Bu penuh semangat.

“Itu mudah diatur. Komandan pasukan dua tahun yang lalu itu masih ada dan dia tentu dapat membuatkan gambaran dan peta menuju ke tempat itu. Ya, dialah satu-satunya orang yang akan dapat membuatkan peta itu untukmu.”

Dan memang demikianlah. Setelah komandan pasukan itu ditemui, komandan tua ini dapat bercerita banyak dan juga dapat membuatkan peta yang cukup jelas menuju ke tempat yang baginya amat mengerikan itu.

Kian Bu membuat gambar dan catatan-catatan, sementara itu Siang In mendengarkan penuh harapan dan Ci Sian juga mendengarkan penuh perhatian karena hatinya merasa amat tertarik. Setelah mereka bertiga berada di ruangan istirahat, Ci Sian berkata kepada Siang In,

“Enci In, biarlah aku ikut dengan kalian dan membantu kalian menaklukkan ular naga hijau itu!”

Suami isteri pendekar itu memandang kepadanya dan nampak kaget.
“Tapi, Nona.... perjalanan ini berbahaya sekali....” kata Suma Kian Bu sambil mengerutkan alisnya.

“Benar, Adik Sian. Engkau sudah mendengar sendiri betapa dahsyat dan berbahayanya ular itu. Sungguh kami akan merasa menyesal bukan main kalau sampai terjadi apa-apa denganmu....” sambung Siang In.

Ci Sian mengerutkan alisnya dan memandang kepada suami isteri itu bergantian. Kemudian ia berkata, suaranya tegas,

“Harap Tai-hiap dan Enci menenangkan hati. Aku hendak pergi ikut atas kehendakku sendiri dan bukan karena bujukan kalian, jadi kalau terjadi apa-apa denganku, tidak akan ada seorang pun di dunia ini yang akan menyalahkan kalian. Setelah melakukan perjalanan seorang diri dan bertemu dengan kalian dan setelah apa yang kita alami bersama di sini, bagaimana mungkin aku meninggalkan kalian begitu saja? Akan tetapi, kalau kalian tidak menghendaki aku ikut, kalau aku hanya merupakan gangguan bagi kalian berdua, biarlah aku pergi sendiri mencari ular itu, untuk mencoba menandinginya. Siapa tahu aku dapat melenyapkan suatu bahaya bagi rakyat....”

Mendengar ini dan melihat sikap Ci Sian yang mukanya merah seperti mau menangis itu, Siang In lalu merangkulnya. Ia tahu akan isi hati dara yang keras wataknya ini. Ia tahu bahwa Ci Sian merasa amat cocok dengan ia dan suaminya, maka dara itu masih ingin bekerja sama dengan mereka dan agaknya merasa enggan berpisah. Apalagi karena dara itu sedang kesepian dan menderita batinnya ditinggalkan suhengnya.

“Adikku yang baik, sama sekali bukan karena kami menolakmu. Kami sendiri pun sangat suka bersamamu akan tetapi.... engkau tahu bahwa kami pergi mencari ular itu untuk kepentingan kami pribadi.... jadi, kalau sampai.... terjadi apa-apa denganmu....”

Ci Sian balas merangkul.
“Enci Siang In, kau kira aku ini orang macam apa? Setelah lama mempelajari ilmu, apakah aku terlalu menyayangi nyawa? Mati hidup bukan urusan manusia, kenapa takut kalau sudah berani hidup? Aku ingin membantu kalian.... aku.... aku kesepian....”

“Baiklah, dan tentu saja, dengan bantuanmu, kami merasa lebih yakin akan dapat menaklukkan ular naga hijau itu!”

Ci Sian merasa girang sekali dan Suma Kian Bu hanya menarik napas panjang saja dan tidak membantah lagi. Dia mengerti bahwa antara dua orang wanita itu tentu ada ikatan yang lebih mendalam, dan kalau dia berkeras menolak, bukan hanya dara itu yang akan merasa sedih dan kecewa, akan tetapi juga dia akan menyinggung hati isterinya.

Pada keesokan harinya, berangkatlah tiga orang itu meninggalkan rumah Thio-thicu. Siang In menunggang Hek-liong-ma sedangkan Kian Bu menunggang seekor kuda yang baik pula, pemberian Thio-thicu. Biarpun Siang In menyuruh Ci Sian tetap menunggangi Hek-liong-ma dara ini menolak dengan halus dan mengatakan bahwa kuda itu adalah milik suami isteri pendekar ini dan kalau ia menunggangi, ia akan merasa seperti menunggang sesuatu yang bukan haknya.

Dengan diantar oleh Thio-thicu dan anak buahnya sampai keluar perkampungan mereka, tiga orang pendekar ini meninggalkan tempat itu dengan hati puas karena mereka telah melakukan sesuatu yang amat berguna untuk kesejahteraan rakyat setempat. Mereka percaya bahwa selanjutnya, para thicu itu tidak lagi akan menurutkan hati dendam untuk saling gempur.

Ular hijau yang besar itu dikabarkan orang yang suka tahyul, sebagai seekor ular siluman yang sudah bertapa ratusan tahun. Sudah lajim terjadi di antara manusia di dunia ini yang suka sekali akan hal yang aneh-aneh dan menambah sesuatu yang mereka tidak mengerti menjadi semakin aneh dengan dugaan-dugaan dan reka-rekaan mereka sendiri yang kemudian menjadi semacam tahyul.

Menurut dongeng atau berita angin itu, ular yang amat besar itu kabarnya memiliki mustika di dalam kepalanya yang kalau malam gelap mencorong. Bahkan ada orang berani bersumpah mengatakan bahwa pada suatu malam dia melihat ular itu terbang ke angkasa dan dari mulutnya keluar mustika yang bernyala-nyala. Tentu saja cerita orang ini mirip dengan dongeng tentang naga yang beterbangan di angkasa, seperti yang dimainkan orang pada hari-hari pesta, yaitu naga dengan mustikanya.

Tentu saja semua itu hanyalah khayalan orang-orang yang dihantui oleh rasa takut yang amat sangat. Ular itu memang ada, dan memang merupakan seekor ular yang amat besar. Jarang orang menjumpai ular sebesar itu. Perutnya melebihi besarnya paha manusia yang gemuk sekalipun, dan kalau binatang itu sudah menelan korban perutnya menggembung sebesar tubuh korban yang ditelannya. Panjangnya tidak lebih dari lima belas meter! Ular ini kulitnya kehijauan dan saking tuanya, kulitnya itu gelap menghitam dan amat keras.

Entah sudah berapa kali ular ini berganti kulit. Ular ini semenjak lama sekali, entah berapa tahun atau belas atau berapa ratus tahun tak seorang pun tahu, berdiam dari pohon besar ke pohon besar lainnya dalam sebuah hutan lebat di Pegunungan Kun-lun-san. Dan setiap kali berdiam di sebatang pohon besar, binatang ini seperti bertapa bertahun-tahun lamanya.

Akan tetapi ada sesuatu keanehan pada binatang yang sudah amat tua ini. Kalau ada binatang lain seperti kijang, kelinci atau bahkan harimau sekalipun, dan kebetulan perutnya lapar, tentu ia akan menyambar binatang itu dari atas pohon, dengan melibatkan ekornya pada cabang besar di atas, kepalanya bergantung di bawah, ular yang amat besar itu menyambar korbannya yang sama sekali tidak menduga karena tidak mendengar sesuatu dan tidak dapat mencium bau ular yang berada di atasnya itu.

Ada kalanya, kalau yang disambarnya itu binatang besar lain seperti harimau dan lain-lain yang lebih buas, maka korban itu tentu saja melakukan perlawanan. Dan kalau begini, ular itu akan melepaskan ekornya yang melilit cabang sehingga tubuhnya meluncur ke bawah, lalu ekornya melilit tubuh korbannya, melilit dengan tenaga raksasa dan binatang yang betapa kuatnya akan patah-patah tulangnya kalau dililit oleh ekor dan tubuh ular yang amat kuat ini.

Biasanya, perlawanan para korban itu tidak akan berjalan lama karena selain memiliki tenaga lilitan yang amat kuat, juga ular itu dapat menyemburkan uap yang membius dan beracun, juga gigitannya amat kuat dengan taring yang mengerikan dan mengandung racun pula.

Keanehan ular itu adalah, kalau korbannya binatang lain, maka setelah melilitnya dan membuat tulang-tulang tubuh korban itu patah-patah lalu korban itu ditelannya dan tubuh yang tulangnya sudah patah-patah itu menjadi lemas dan dapat melalui kerongkongannya yang tidak begitu besar. Akan tetapi, kalau korbannya manusia, maka ia hanya mencaplok kepala orang itu saja, menggigit putus lehernya dan menelan kepalanya, sedangkan badan para korban manusia itu dibiarkannya membusuk begitu saja!

Dengan adanya tulang-tulang manusia tanpa kepala di bawah pohon-pohon besar yang pernah dijadikan tempatnya bertapa, maka dapat diketahui bahwa banyak sudah manusia-manusia yang menjadi korban ular ini.

Jangan dikira bahwa hanya pasukan yang dikirim Pembesar Kepala Daerah Sin-kiang itu saja yang merupakan manusia-manusia yang menjadi korbannya. Banyak sudah manusia yang kepalanya telah masuk ke dalam perut ular ini. Para pemburu yang belum tahu akan adanya ular ini, juga orang-orang yang tidak tahu dan kebetulan lewat di hutan itu.

Selain mereka ini yang tidak tahu akan adanya ular itu dan menjadi setan penasaran, banyak pula, seperti para anggauta pasukan itu yang tewas ketika sengaja datang untuk melawan ular itu. Mereka ini adalah para pendekar yang sengaja datang di tempat itu untuk membasmi ular ini, akan tetapi akhirnya bahkan mereka sendiri yang tewas dalam keadaan mengerikan, yaitu kepala mereka lenyap ke dalam perut ular dan tubuh mereka membusuk sampai tinggal rangkanya saja di bawah pohon tanpa ada yang berani mengurusnya.

Bahkan ada beberapa orang pertapa di Kun-lun-san, ada pula beberapa orang pendekar Kun-lun-pai sendiri yang pernah mencoba untuk menaklukkan ular itu, namun akibatnya payah, ada yang tewas ada pula yang luka-luka dan masih untung bagi mereka yang dapat menyelamatkan dirinya dan hanya menderita luka-luka yang cukup parah.

Semenjak kegagalan para pendekar Kun-lun-pai, maka Ketua Kun-lun-pai lalu membuat pengumuman kepada rekan-rekan di dunia kang-ouw agar jangan mengganggu ular itu yang dianggap sebagai ular keramat tak terkalahkan, bahkan ada yang menyebutnya siluman ular yang bertapa.

Sebetulnya bukan karena ular itu sakti, ular dewa, atau ular siluman. Ular itu memang kuat sekali dan hal ini tidaklah mengherankan. Sedangkan ular sebesar lengan saja sudah amat kuat, apalagi sebesar dan sepanjang itu! Dan harus diingat bahwa ular ini sudah tua sekali, kulitnya sedemikian kerasnya sehingga kebal terhadap senjata tajam, melebihi kerasnya kulit buaya tua.

Dan karena kulit ular itu merupakan sisik yang bertumpuk, maka sukar ditembusi senjata tajam, orang-orang kang-ouw yang berkepandaian tinggi itu sudah berusaha membunuhnya namun tidak ada senjata yang mampu menembus kulitnya dan hal inilah yang membuat ular itu sukar dikalahkan. Selain itu, juga ular ini ternyata mempunyai racun sehingga dapat mengeluarkan hawa beracun melalui semburan dan juga gigitannya mengandung racun yang amat kuat.

Perjalanan menuju ke hutan di mana ular hijau itu berada merupakan sebuah perjalanan yang tidak mudah. Apalagi karena hutan yang dimaksudkan itu berada di dekat puncak, yang kini terkenal dengan nama Puncak Naga Hijau, sebuah di antara puncak-puncak yang tinggi dari Pegunungan Kun-lun-san yang terkenal itu.

Mereka bertiga melakukan perjalanan berpekan-pekan, dan akhirnya mereka tiba di dusun terakhir yang berada di lereng bawah puncak. Dari dusun itu ke atas, selain tidak ada dusun lagi karena orang-orang tidak berani tinggal terlalu dekat dengan hutan itu, perjalanan amatlah sukarnya melalui jalan setapak yang kadang-kadang harus melalui jurang dan bergantungan pada akar-akar pohon dan batu-batu, maka terpaksa tiga ekor kuda itu mereka titipkan pada kepala dusun.

Dusun itu kecil dan sederhana sekali, jauh daripada tempat ramai, bahkan jauh dari peradaban kota sehingga kepala daerahnya pun merupakan orang yang diangkat oleh kelompok dusun itu sendiri. Bukan merupakan seorang pejabat pemerintah. Dan dusun itu hanya dihuni oleh beberapa puluh keluarga yang miskin, yang hidup dengan jalan bertani dan berburu. Tentu saja kedatangan tiga orang yang berpakaian indah menurut mereka itu, merupakan hal yang luar biasa dan tiga orang pendekar ini disambut dengan gembira.

Kepala Dusun itu merupakan satu-satunya orang yang sudah pernah hidup di kota dan lebih beradab dibandingkan dengan yang iain-lainnya. Kepala Dusun inilah yang menyambut Kian Bu dan dua orang wanita itu.

“Sungguh luar biasa sekali menerima kunjungan Sam-wi.” katanya setelah mempersilakan mereka duduk di atas bangku-bangku kayu yang kasar buatannya, di ruangan depan yang terbuka dan keadaannya miskin sekali di mana para penduduk dusun itu berkerumun dan mendengarkan percakapan mereka.

“Bertahun-tahun sudah tidak ada orang asing yang datang ke dusun ini. Sam-wi hendak pergi ke manakah maka sampai di tempat terpencil ini?”

Suma Kian Bu maklum bahwa dia berhadapan dengan orang-orang dusun yang jauh dari dunia ramai, dan biasanya, orang-orang di dalam dusun yang terpencil seperti ini, jauh pula dari kebiasaan orang-orang kota yang suka berpalsu-palsu, dan biasanya orang-orang seperti ini adalah terbuka dan poios, jujur. Oleh karena itu, dia pun tidak merasa perlu untuk menyembunyikan maksud kunjungannya.

“Lopek, kami jauh-jauh datang dengan hanya satu tujuan, yaitu menuju ke Puncak Naga Hijau itu. Karena perjalanan ke atas puncak menurut keterangan yang kami peroleh amat sukar dan tidak bisa dilakukan dengan berkuda, maka kami bermaksud untuk selain beristirahat sehari di sini melewatkan malam, juga untuk menitipkan tiga ekor kuda kami di sini.”

Para penduduk dusun itu, yang mendengarkan kata terjemahan dari seorang laki-laki tua yang mengerti bahasa Han, satu-satunya orang yang tahu bahasa itu di samping kepala dusun, yang tadinya berisik, tiba-tiba berhenti bicara dan semua mata memandang kepada Suma Kian Bu dengan terbelalak dan wajah mereka berobah, kini penuh ketegangan!

Kepala Dusun itu sendiri pun mengerutkan alisnya dan pandang matanya kepada Kian Bu kehilangan keramahannya, namun mulutnya masih bicara dengan ramah,

“Tentu saja Sam-wi boleh menitipkan tiga ekor kuda itu di sini dan kami akan merawatnya dengan baik. Akan tetapi, belum pernah ada orang naik ke puncak itu. Apakah keperluan Sam-wi hendak mendaki puncak?”

“Kami bertiga bermaksud untuk mencari ular naga hijau dan membasminya.” kata Suma Kian Bu dengan terus terang karena dia merasa yakin bahwa penduduk dusun ini, yang berada di lereng puncak di mana terdapat hutan tempat tinggal ular itu, tentu sudah tahu akan ular besar itu.

Akan tetapi, akibatnya sungguh membuat tiga orang pendekar itu terkejut bukan main. Kepala Dusun itu mengeluarkan teriakan panjang, wajahnya pucat sekali, matanya terbelalak dan terdengar bentakan-bentakan keras ketika semua penduduk dusun yang mendengarkan terjemahan ucapan Suma Kian Bu itu serentak bangkit dan maju dengan senjata perburuan mereka siap di tangan, jelas hendak mengerayok Suma Kian Bu dan dua orang wanita pendekar itu!

Puluhan orang yang memenuhi tempat itu serentak maju menerjang dengan mengeluarkan teriakan-teriakan aneh. Melihat ini, Suma Kian Bu, Siang In dan Ci Sian terkejut sekali dan tentu saja mereka pun cepat meloncat dari bangku mereka.

“Jangan lukai orang!”

Kian Bu berseru cepat kepada isterinya dan dara itu, karena dia menduga bahwa tentu ada kesalah pahaman dalam hal ini.

Tiga orang pendekar ini menghadapi para penyerang dengan tangan kosong saja, akan tetapi para penyerang yang terdepan segera berteriak-teriak kaget, senjata mereka terampas dan tubuh mereka sendiri terlempar ke belakang menimpa teman-temannya yang berada di belakang.

Suma Kian Bu sendiri sudah menangkap lengan tangan kepala dusun itu, menjatuhkan golok yang dipegangnya, kemudian menekuk lengan kepala kampung itu ke belakang dan cepat dia berseru dengan suara nyaring sekali, menggetarkan seluruh tempat itu karena dia mengerahkan khikangnya,

“Tahan semua, atau pemimpin kalian akan mati?”

Biarpun ucapannya tidak diterjemahkan, namun mudah saja menangkap artinya, apalagi melihat betapa Kepala Dusun itu sudah ditekuk ke belakang lengannya sehingga tidak berdaya!

“Hayo, ceritakan, apa artinya semua ini?” bentak Suma Kian Bu kepada Kepala Dusun itu. “Mengapa engkau dan orangmu mendadak mengeroyok kami?”

Kepala Dusun itu menyeringai kesakitan, akan tetapi dengan suara tegas dia berkata,
“Kau bunuhlah aku, kau bunuhlah kami, karena kalau tidak kau bunuh sekalipun, kami semua akan mati! Dan lebih baik mati di tanganmu, seorang manusia, daripada mati di tangannya.“