FB

FB


Ads

Jumat, 26 Juni 2015

Suling Emas & Naga Siluman Jilid 018

Keluarga Suling Emas yang berada di lembah ini bukan lain adalah keturunan langsung dari kakek kuno yang ditemukan mayatnya oleh Kam Hong di bagian lain dari lembah itu! Memang aneh sekali. Keluarga ini sendiri tidak tahu bahwa masih ada mayat nenek moyang mereka yang masih utuh dan membawa-bawa rahasia terbesar dari ilmu keturunan mereka dan sama sekali tidak mengira bahwa mayat nenek moyang mereka itu akan ditemukan oleh Kam Hong dan bahkan pemuda ini yang akhirnya mewarisi semua ilmu nenek moyang mereka!

Mereka ini adalah keturunan dari kakek pembuat suling emas yang lihai itu, turun temurun tinggal di tempat itu. Karena mereka merupakan keluarga yang pandai, dan berhubungan dekat dengan keluarga Raja Nepal, maka mereka tidak kekurangan sesuatu.

Semenjak nenek moyang mereka, mereka itu merupakan sahabat keluarga Raja Nepal dan seringkali memberi nasihat dan petunjuk, dan sebaliknya Raja Nepal juga selalu mencukupi keperluan mereka, bahkan mendirikan istana itu untuk mereka setelah pada puluhan tahun yang lalu keluarga mereka berjasa mengusir musuh-musuh yang datang dari barat Kerajaan Nepal!

Jadi memang ada perbedaan besar antara keluarga Suling Emas yang berada di Himalaya ini dengan keluarga Suling Emas, yaitu keluarga Kam yang menjadi keturunan Pendekar Suling Emas Kam Bu Song. Keluarga Suling Emas di Himalaya ini adalah keturunan dari pembuat suling emas itu, sedangkan keluarga Kam adalah orang yang akhirnya mendapatkan Suling itu dan dipergunakan sebagai senjata dan akhirnya terkenal dengan julukan Pendekar Suling Emas.

Jadi terdapat perbedaan yang besar sekali, dan tidak ada hubungannya sama sekali, kecuali hubungan melalui suling emas yang kini dipegang Kam Hong itu, hubungan antara pembuat suling dan pemakai suling. Sungguhpun terdapat suatu keistimewaan yang sama, yaitu ahli mempergunakan suling sebagai senjata!

Keluarga Suling Emas di lembah ini adalah keluarga Cu, yaitu nama keturunan dari kakek pembuat suling emas, yang sesungguhnya masih seorang pangeran dari Kerajaan Cin yang suka merantau dan akhirnya menetap di Himalaya, yaitu di lembah itu. Menurut dongeng keluarga Cu, kakek ini setelah berkeluarga dengan puteri Nepal, menetap di situ dan hidup sampai beranak cucu. Akan tetapi pada suatu hari dia menghilang, katanya untuk pergi bertapa dan tidak ada lagi yang mendengar tentang dirinya.

Anak cucunya hidup terus di lembah itu, ada pula yang pergi merantau, akan tetapi lembah itu tetap dipelihara, bahkan sekarang, keturunan terakhir yang tinggal di situ terdapat tiga orang laki-kaki. Yang pertama bernama Cu Han Bu, pria sederhana berusia empat puluh tahun, ayah dari pemuda tampan yang menyambut para tamu tadi. Yang ke dua bernama Cu Seng Bu, pria berusia tiga puluh lima dan yang ke tiga bernama Cu Kang Bu, pria berusia tiga puluh tahun. Kedua orang ini belum menikah. Tiga orang inilah merupakan keturunan terakhir dari keluarga Suling Emas she Cu itu.

Cu Han Bu baru mempunyai seorang anak saja, yaitu “pemuda” yang menyambut para tamu tadi. Akan tetapi anak itu sebetulnya bukan seorang laki-laki, melainkan seorang anak perempuan. Karena ingin sekali mempunyai anak laki-laki, maka untuk menutupi kekecewaannya, Cu Han Bu dan isterinya memperlakukan anak mereka seperti anak laki-laki, bahkan sejak kecil anak itu memakai kain laki-laki, sungguhpun dia sadar sepenuhnya bahwa dia seorang perempuan.

Sebagai seorang anak yang berbakti Cu Pek In, demikian nama anak itu, dia ingin menyenangkan hati orang tuanya dan selalu berpakaian pria sehingga dia menjadi seorang pemuda cilik sekarang! Sebagai keturunan dari kakek sakti pembuat suling emas itu, sudah tentu saja keluarga Cu ini mewarisi ilmu-ilmu yang mujijat dan tinggi sekali.

Sudah belasan tahun semenjak ayah mereka meninggal, keluarga yang terdiri dari tiga orang pria perkasa ini tidak lagi berhubungan dengan Nepal. Mereka melihat betapa Nepal mulai melakukan penyelewengan, mulai mencampuri urusan kaisar di Tiongkok, maka mereka tidak mau mencampuri.

Apalagi ketika mereka mendengar bahwa Raja Nepal yang baru mempunyai seorang Koksu yang kabarnya merupakan orang ke tiga dari Im-kan Ngo-ok, keluarga Cu ini makin mengundurkan diri dan tidak pernah berhubungan. Oleh karena itu, maka mereka tidak mengenal Sam-ok Ban-hwa Seng-jin, sungguhpun mereka mendengar namanya, dan mungkin juga Koksu Nepal itu mendengar tentang nama mereka.

Dan memang demikianlah kenyataannya. Ketika pemuda tampan yang sesungguhnya adalah Cu Pek In itu bersama rombongan dayangnya menyambut dan menyebut nama Lembah Gunung Suling Emas, berdebar rasa jantung Sam-ok. Dia sudah mendengar tentang keluarga di Himalaya ini, yang menurut berita di Nepal merupakan keluarga yang turun temurun bersahabat dengan keluarga Raja Nepal, akan tetapi yang semenjak raja yang sekarang, yaitu raja yang mengangkat dirinya sebagai koksu, tidak pernah lagi terdengar beritanya dan agaknya putus hubungan antara keluarga Cu itu dengan keluarga Kerajaan Nepal.

Sam-ok tidak peduli akan hal itu ketika dia masih menjadi koksu, apalagi mendengar bahwa tempat tinggal keluarga itu merupakan rahasia besar dan tidak ada seorang pun tahu persis di mana letak tempat tinggal mereka. Yang diketahui umum hanyalah bahwa tempat itu berada di Pegunungan Himalaya. Dan kini, tanpa disangka-sangkanya, dia telah ikut rombongan orang kang-ouw memasuki daerah itu, tempat tinggal keluarga Cu yang menjadi sahabat keluarga raja sejak ratusan tahun yang lalu! Dengan demikian, maka ada dua orang dalam rombongan itu yang berdebar-debar hatinya, yaitu Sai-cu Kai-ong dan Sam-ok Ban-hwa Seng-jin.

Ketika para tamu yang mengikuti Cu Pek In dan rombongan dayang itu sudah tiba di ruangan depan yang luas dan terhias gambar-gambar dan tulisan-tulisan indah, Cu Pek In mempersilakan mereka menanti di situ dan para dayang lalu masuk ke dalam melalui pintu besar di depan dan di tengah ruangan itu. Tak lama kemudian, para tamu yang masih berdiri karena belum dipersilakan duduk itu melihat pintu itu terbuka dari dalam dan keluarlah tiga orang laki-laki.

Semua orang memandang dengan penuh perhatian. Akan tetapi tidak ada sesuatu yang mengesankan pada diri tiga orang pria itu. Mereka itu berpakaian biasa saja, dengan sikap yang sederhana pula, akan tetapi wajah dan pandang mata mereka serius dan penuh wibawa, sedangkan sinar mata mereka yang mencorong itu mengejutkan, orang karena hal itu menunjukkan bahwa mereka itu memiliki kekuatan dalam yang hebat!

“Ayah, inilah mereka yang membikin ribut di puncak datar. Semua, kecuali yang tewas dalam keributan antara mereka, telah kuundang datang sebagai tamu sesuai dengan perintah Ayah.” kata Cu Pek In sambil menyelipkan sulingnya di ikat pinggangnya.

Tentu saja Sai-cu Kai-ong dan Ban-hwa Seng-jin, lebih-lebih dari para tamu lainnya, memandang dengan penuh perhatian dan dengan hati tertarik sekali. Tiga pasang mata dari pihak tuan rumah itu dengan tajamnya memandang para tamunya seorang demi seorang, dan paling lama mereka memperhatikan Sam-ok Ban-hwa Seng-jin yang menjadi tidak enak hati, kemudian mereka juga memandang Yeti sampai lama, terutama ke arah pedang yang berada di tangan Yeti.






“Tidak salah lagi, itulah Koai-liong-pokiam keluarga kami!”

Tiba-tiba orang termuda di antara mereka, Cu Kang Bu berseru. Orang ke tiga ini bertubuh tinggi besar, bermata lebar dan selain sikapnya gagah, juga dia kasar dan jujur.

“Dan inilah Yeti seperti yang diceritakan Twa-so (Kakak Ipar Perempuan Tertua)!”

Tiba-tiba terdengar suara merdu,
“Tidak salah, dialah binatang itu!”

Semua orang menengok karena terkejut. Mereka adalah orang-orang kang-ouw yang berilmu tinggi, akan tetapi tidak ada yang mendengar datangnya seorang wanita di tempat itu, tahu-tahu wanita itu telah muncul saja di situ, entah sejak kapan.

Wanita itu usianya kurang lebih tiga puluh tahun, cantik sekali, dengan pinggang ramping dan gerak geriknya luwes dan lemah gemulai seperti gerakan seorang penari pandai atau gerakan tubuh seekor ular saja, dan pakaiannya juga mentereng dan mewah, rambutnya yang hitam gemuk digelung ke atas seperti gelung rambut puteri-puteri istana!

“Dialah binatang itu, dan itulah pedang kami! Kalian, harus merampasnya dari tangan Yeti keparat itu!” bentak lagi wanita ini.

Akan tetapi tiba-tiba Cu Pek In berkata,
“Pek-bo, Ayah, Yeti itu adalah milik pemuda itu. Sebaiknya pedang itu diminta kepadanya.”

Mendengar ini, Cu Han Bu memandang kepada Hong Bu dengan penuh perhatian, seolah-olah tidak percaya kepada omongan puterinya. Mana mungkin Yeti, mahluk yang selama ini menjadi dongeng dan ditakuti semua orang, yang amat sakti sehingga Twa-sonya sendiri kewalahan menghadapinya, menjadi milik bocah ini?

“Siapakah namamu, orang muda?” tanyanya hati-hati. Memang, tokoh ini selalu bersikap hati-hati, tidak seperti Kang Bu.

Sim Hong Bu maklum bahwa dia berhadapan dengan keluarga yang berilmu tinggi, dan juga mereka adalah tuan rumah, maka sebagai tamu yang tahu diri dan mengenal kesopanan, dia lalu melangkah maju, memberi hormat dan menjawab,

“Nama saya Sim Hong Bu, Locianpwe.”

Sikap dan ucapan Hong Bu ini menyenangkan hati Han Bu yang mengangguk-angguk. Bocah ini sungguh mengagumkan dan jarang pada jaman itu menemukan bocah yang begini matang, begini tabah dan berani berdiri di atas kakinya sendiri seperti orang yang sudah dewasa benar. Juga, sekali pandang saja dia dapat mengukur bahwa bocah ini memiliki bakat yang baik sekali, sinar matanya begitu tajam, gerak-geriknya begitu tenang.

“Benarkah bahwa Yeti ini adalah milikmu, peliharaanmu?”

Hong Bu melirik ke arah pemuda tampan itu, lalu menjawab lantang.
“Harap jangan ada yang menghina Yeti! Dia ini sama sekali bukan binatang peliharaan, bukan binatang liar yang jahat, harap semua mengetahui betul hal ini!”

“Huh, omongan apa itu! Kami sudah merasakan kebuasannya!”

Tiba-tiba Ngo-ok mendengus marah, tangannya meraba daun telinganya yang pecah-pecah ketika dia berkelahi melawan Yeti itu.

“Benar!” Su-ok berteriak, “Yeti itu mahluk buas seperti iblis!”

Sepasang alis tuan rumah ini berkerut dan sinar matanya seperti kilat menyambar ke arah dua orang itu.

“Tuan-tuan berada di tempat sopan, harap Tuan-tuan menjaga kesopanan dan bicara menanti giliran!” kata Cu Han Bu, suaranya berwibawa. Su-ok dan Ngo-ok berdiam diri dan wajah mereka agak merah.

“Bagaimana jawabanmu, Sim Hong Bu? Banyak orang kang-ouw mengabarkan bahwa Yeti ini jahat, kejam dan telah membunuh dan melukai banyak orang.” kata pula Cu Han Bu. Mereka semua masih berdiri dan semua orang kini memandang kepada Hong Bu.

“Yang mengatakan bahwa Yeti jahat dan kejam, suka menyerang atau membunuh orang adalah bohong, Locianpwe!” kata Hong Bu. “Yeti ini bukan binatang buas, bukan peliharaan saya, melainkan sahabat saya yang paling baik. Manusialah yang jahat, yang mengganggunya, menyerangnya sehingga dia membela diri dan untuk membela diri, tentu saja dia harus mengalahkan lawannya, kalau perlu mungkin membunuhnya. Pahanya dilukai orang ditusuk pedang, tentu saja dia menjadi marah. Semua orang agaknya hendak membunuhnya untuk merampas pedang yang ditusukkan di pahanya. Siapa yang tidak akan menjadi marah dan membela diri?”

“Toa-so.” tiba-tiba Cu Han Bu menoleh kepada wanita cantik tadi, “Apakah dia tidak menyerangmu dan apakah Toaso yang mendahului menyerangnya?”

Wanita cantik itu berjebi, bibirnya yang penuh dan merah itu bermain sebentar, kemudian dia berkata,

“Memang aku yang menyerangnya lebih dulu, akan tetapi siapa yang tidak menjadi kaget melihat dia tiba-tiba muncul dan kelihatan begitu buas? Aku menyerangnya dan dia melawan, ternyata dia lihai sekali dan biarpun aku berhasil menusuk pahanya, pedang itu tertinggal di pahanya, dia menjadi buas dan aku terpaksa melarikan diri. Lalu dia menghilang....“

Cu Han Bu mengangguk-angguk, lalu menghadapi semua orang kang-ouw yang berdiri di hadapannya.

“Apakah Cu-wi sengaja berdatangan ke Himalaya untuk mencari pedang Koai-liong-pokiam itu?” Dia menuding ke arah pedang yang masih dipegang oleh Yeti.

“Hemm, terus terang saja, siapakah yang tidak ingin mendapatkan pedang itu?” jawab Toa-ok dengan suara halus.

“Ketahuilah, Cu-wi. Pedang pusaka itu adalah milik keluarga kami sejak turun menurun. Nenek moyang kami yang membuatnya dan menciptakannya. Pada suatu hari pedang itu hilang dan setelah kami mendengar pedang itu berada di istana kaisar, Toa-soku ini pergi ke sana dan mengambilnya kembali. Akan tetapi malang baginya, di tengah jalan bertemu dengan Yeti dan pedang itu tertinggal di paha Yeti. Pedang itu adalah hak kami dan hendaknya Cu-wi tidak memperebutkan lagi. Untuk itu kami dapat menjelaskannya, dan untuk jerih payah Cu-wi kami bersedia mengganti sekedar ongkos perjalanan yang telah dikeluarkan.”

“Ah, mana ada aturan seperti itu?”

Tiba-tiba terdengar suara melengking nyaring, suara Si Ulat Seribu. Wajahnya yang buruk menjadi semakin buruk karena marahnya. Dialah yang merasa paling dirugikan dalam perebutan pedang itu, karena selain empat orang pemikul tandu yang menjadi pembantu-pembantunya itu tewas oleh ulat-ulatnya sendiri, juga sebagian ulatnya telah mati dan lenyap pula.

“Bagaimana bisa enak saja mengakui pedang tanpa bukti-bukti yang jelas? Kalau hanya penjelasan saja, setiap orang pun mampu mengisap jempol!”

Wanita cantik kakak ipar keluarga Cu itu melangkah maju dan suaranya lantang ketika dia berseru,

“Perempuan buruk! Apakah Si Ulat Seribu sudah mempunyai nyawa rangkap berani berkata seperti itu di sini?”

Dia sudah melangkah maju, akan tetapi Cu Han Bu lalu melerai dan berkata dengan suara berwibawa.

“Harap Toa-so suka memaafkan bicaranya. Ingat, siapa dia dan sudah patutlah kalau orang seperti dia bicara demikian.”

Agaknya Sang Toa-so itu cukup segan terhadap adik iparnya ini maka dia mundur lagi dengan mulut cemberut. Cu Han Bu lalu berkata kepada Sim Hong Bu, suaranya ramah dan halus.

“Orang muda, apakah engkau percaya kepada kami keluarga dari Lembah Gunung Suling Emas? Kalau percaya, serahkan pedang itu kepadaku untuk dipergunakan sebagai bukti bahwa memang kami yang berhak atas pedang itu.”

Sim Hong Bu cepat berkata.
“Tentu saja, Locianpwe. Saya kira, Yeti pun tidak akan serakah mengukuhi pedang bukan miliknya, apalagi saya. Hanya kami mohon agar pedang benar-benar dikembalikan kepada yang berhak.” Setelah berkata demikian, dia menoleh kepada Yeti dan berkata halus. “Sahabatku Yeti, tolong pinjamkan sebentar pedang itu.”

Aneh sekali, sejak tadi Yeti diam saja seperti termenung, dan mendengar ucapan Hong Bu itu dia segera menurunkan tangannya yang memegang pedang dan menyerahkan pedang itu kepada Sim Hong Bu. Hong Bu mengambil pedang itu dan menyerahkannya dengan sikap hormat kepada Cu Han Bu.

Tuan rumah ini mengangkat pedang tinggi-tinggi di atas kepalanya.
“Pedang Koai-liong-pokiam ini adalah pedang pusaka buatan nenek moyang kami, oleh karena itu kami tahu segala hal-ihwalnya, riwayatnya dan rahasia-rahasianya. Ada rahasia pada pedang ini. Cu-wi sekalian boleh mencoba dan mencarinya. Kalau tidak ada yang tahu, barulah kami akan menunjukkan rahasianya sebagai bukti bahwa pedang itu adalah milik dan pusaka keluarga kami.”

Kemudian tanpa ragu-ragu lagi, Cu Han Bu menyerahkan pedang pusaka itu kepada orang yang berdiri paling dekat dengannya, yaitu Si Ulat Seribu tadi. Wanita bermuka buruk itu menerima pedang itu. Semua mata memandang dan tidak ada seorang pun yang mempunyai pikiran untuk melarikan pedang itu, bahkan Im-kan Ngo-ok pun tidak berani. Karena siapa yang melarikan pedang itu tentu akan berhadapan dengan mereka semua, ditambah lagi pihak tuan rumah! Dan jalan keluar dari tempat itu hanya melalui tambang. Tidak mungkin melarikan diri dengan pedang itu!

Maka kini Si Ulat Seribu meneliti pedang itu, digerak-gerakkan, ditekan sana-sini, akan tetapi karena dia memang tidak tahu rahasianya, dia tidak menemukan sesuatu yang aneh pada pedang itu, kecuali bahwa pedang itu benar-benar amat hebat, sebatang pedang yang terbuat daripada logam yang aneh sekali, agak kemerahan dan ada sinar-sinar kehijauan, amat ringannya namun membayangkan kekerasan yang tak terlawan oleh apa pun!

“Sebatang pedang yang luar biasa!” katanya kemudian dan dia pun mengembalikannya kepada tuan rumah. “Akan tetapi aku tidak melihat apa-apa yang aneh padanya.”

“Nah, jelas bahwa Si Ulat Seribu tidak dapat menunjukkan rahasianya, maka sekarang giliran orang berikutnya.”

Dan dia lalu menyerahkan pedang itu kepada tokoh lain. Pedang itu terus berpindah tangan setelah setiap orang meneliti dengan penuh kecermatan, namun biar Im-kan Ngo-ok sendiri yang terkenal sebagai orang-orang licik dan cerdik, tidak dapat menemukan rahasia itu. Orang terakhir adalah Sam-ok Ban-hwa Seng-jin yang memegang pedang itu, menerimanya dari Cu Han Bu sambil berkata.

“Telah lama sekali kami mengenal nama penghuni Lembah Gunung Suling Emas sebagai orang-orang terhormat dan gagah perkasa, maka kini kami percaya bahwa dalam urusan pedang ini penghuni Lembah Gunung Suling Emas tidak akan berlaku curang.”

Cu Han Bu tersenyum tenang,
“Sam-ok Ban-hwa Seng-jin, kami pun mendengar akan namamu sebagai bekas Koksu Nepal yang pandai. Cobalah pergunakan kepandaianmu untuk mengetahui rahasia pedang yang menjadi milik nenek moyang kami ini. Bahkan Kaisar Ceng sendiri yang menyimpan pedang ini sejak dua keturunan, tidak tahu akan rahasianya. Hanya kami, pemilik sah dari pedang ini yang akan dapat menunjukkan rahasianya.”

Sam-ok memeriksa dengan teliti sekali, dari ujung pedang sampai ke gagangnya. Akan tetapi dia pun tidak dapat menemukan rahasia pedang itu. Akhirnya dia mengembalikan kepada tuan rumah sambil berkata,

“Kami tidak melihat ada rahasia apa pun pada pedang ini.”

Cu Han Bu menarik napas panjang, lalu berkata.
“Nah, Cu-wi sekalian melihat sendiri bahwa tidak ada seorang pun yang tahu akan rahasia pedang ini. Sekarang hendak kami perlihatkan.”

Tuan rumah memegang batang pedang itu dan mengacungkan pedang ke atas, ke arah udara.
“Cu-wi, lihatlah baik-baik!”

Tiba-tiba pedang itu mengeluarkan bunyi dan tergetar, lalu nampaklah sinar berkilat keluar dari gagang pedang, melalui dua bagian meruncing yang mengapit pedang dan tak lama kemudian, jatuhlah dua ekor burung yang tadi beterbangan di atas, menggelepar-gelepar sekarat! Semua orang terkejut dan kagum. Kiranya pedang itu mengandung rahasia, dapat mengeluarkan senjata rahasia seperti itu!

“Bagus sekali!” Hong Bu berteriak memuji. “Locianpwe, bagaimana hal itu dapat terjadi?”

Tuan rumah tersenyum, menjawab pertanyaan itu akan tetapi ditujukan kepada semua tamunya,
“Cu-wi lihat, tanpa mengenal rahasia pedang ini mana mungkin melakukan hal tadi? Nenek moyang kami membuat pedang ini dengan menyimpan rahasia itu. Gagang pedang menyimpan jarum-jarum halus yang digerakkan oleh alat rahasia di dalam gagang, dan untuk menggerakkan alat rahasia itu kita harus mengerahkan tenaga sin-kang yang mengandung hawa panas sampai suhu tertentu, barulah alat itu bergerak dan jarum-jarum itu dapat keluar dengan kecepatan yang mematikan.”

Semua orang merasa kagum sekali. Akan tetapi dengan terheran-heran mereka melihat betapa tuan rumah itu menyerahkan pedang itu kembali kepada Sim Hong Bu sambil berkata,

“Nah, terimalah kembali pedang yang kami pinjam tadi. Pedang ini telah terjatuh ke tangan Yeti dan hal ini terus terang saja terjadi karena kelengahan pihak kami sendiri.”

Dia tidak terang-terangan menyalahkan Toa-sonya sungguhpun semua tamu maklum wanita itulah yang lengah sehingga pedang menancap di paha Yeti.

“Oleh karena itu, kalau Yeti tidak ingin mengembalikan, kami tidak menyalahkan dia dan kelak kami akan mempergunakan kepandaian untuk merampasnya kembali dari tangannya.”

Sim Hong Bu juga terkejut sekali melihat pedang dikembalikan kepadanya. Akan tetapi dia mengerti dan makin kagumlah hatinya terhadap tuan rumah yang ternyata selain gagah perkasa, juga jujur dan budiman. Maka dia lalu menerima pedang itu, menyerahkan kepada Yeti sambil berkata,

“Yeti, kalau engkau menganggap aku sahabatmu, aku minta keikhlasanmu agar engkau mengembalikan pedang ini kepada yang berhak, yaitu kepada Locianpwe majikan dari Lembah Suling Emas ini. Akan tetapi kalau engkau tidak rela, aku pun tidak berani memaksa, hanya aku akan kecewa.”

Yeti itu mengeluarkan suara aneh, nampak ragu-ragu, sebentar memandang kepada pedang itu, kepada wajah Hong Bu, kemudian menoleh ke arah wanita cantik yang telah melukai pahanya, dan akhirnya pedang yang telah diterimanya itu dikembalikannya kepada Hong Bu dan dia menunduk, sikapnya tak acuh!

“Yeti, engkau merelakan pedang ini dikembalikan kepada pemiliknya yang sah?” tanya Hong Bu dengan suara girang sekali. Yeti itu tidak menjawab, hanya mengangguk dan tetap diam saja.

Girang dan legalah hati Hong Bu.
“Bagus, engkau sahabatku yang sejati, Yeti, jauh lebih budiman daripada manusia-manusia yang jahat di dunia ini!”

Maka Hong Bu tidak ragu-ragu lagi menyerahkan pedang itu dengan kedua tangannya kepada Cu Han Bu sambil berkata,

“Inilah pedang itu, Locianpwe. Yeti mengembalikannya kepada Locianpwe sebagai pemilik yang sah. Seorang gagah tidak akan menginginkan barang orang lain, dan Yeti, biarpun bukan termasuk manusia, namun berjiwa tidak kalah gagahnya dengan para pendekar.”

Cu Han Bu memandang dengan kagum kepada Hong Bu, lalu menarik napas panjang,
“Amat sukar menemukan mahluk seperti Yeti, dan lebih sukar lagi menemukan seorang anak seperti engkau, Sim Hong Bu.”

Kemudian dia menerima pedang itu dan menyerahkannya kepada Cu Kang Bu untuk disimpan. Cu Kang Bu menerima pedang itu dengan sikap hormat, lalu membawanya masuk ke dalam.

Dengan wajah cerah kini Cu Han Bu mempersilakan semua tamunya duduk.
“Silakan Cu-wi sekalian duduk untuk menerima hidangan penghormatan kami dan untuk mendengarkan kisah tentang pedang itu sekadarnya dari kami.”

Semua orang diam-diam merasa kecewa sekali karena pedang itu telah kembali kepada majikan Lembah Suling Emas ini dan akan sukarlah bagi mereka untuk mengharapkan memperoleh pedang keramat itu.

Akan tetapi terdapat hiburan bahwa mereka berhasil memasuki daerah terlarang dan rahasia ini. Hal ini sudah merupakan pengalaman yang luar biasa bagi mereka. Maka mereka pun tanpa malu-malu lagi lalu mengambil tempat duduk dan berkelompok memilih teman masing-masing. Sim Hong Bu mengambil tempat duduk di sudut bersama Yeti yang tidak mau duduk di atas kursi, melainkan mendeprok di atas lantai. Sejak tadi, Yeti nampak seperti orang yang lemas dan kesal, lebih banyak menunduk seperti orang termenung.

Hidangan pun dikeluarkan oleh para dayang yang muda dan cantik dan berbau harum itu. Dan semua orang semakin kagum karena arak yang dihidangkan adalah arak yang amat baik dan masakan-masakan mengepulkan uap itu pun bukan masakan sembarangan dan terbuat dari bahan dan bumbu yang mahal-mahal! Tentu saja di tempat itu terdapat ruangan es yang dingin dan yang dapat dipakai menyimpan daging atau apa saja sehingga berbulan-bulan dalam keadaan masih segar!

Setelah semua tamu dipersilakan makan minum, semua orang merasa puas kecuali Yeti yang tidak mau makan apa-apa sehingga Hong Bu pun merasa tidak begitu lezat makan sendirian saja, dan dayang-dayang sudah menyingkirkan mangkok piring meninggalkan cawan dan guci arak berikut penganan, tuan rumah lalu bercerita tentang pedang keramat itu. Semua orang mendengarkan dengan asyik karena memang cerita itu agak aneh.