FB

FB


Ads

Jumat, 26 Juni 2015

Suling Emas & Naga Siluman Jilid 013

Kita tinggalkan dulu dua orang anak manusia yang terpencil di tempat sunyi dan dingin itu dan mari kita mengikuti perjalanan Sim Hong Bu dan pamannya Sim Tek. Seperti telah kita ketahui, dua orang paman dan keponakan yang merupakan pemburu-pemburu yang gagah perkasa ini telah menolong Ci Sian akan tetapi sebaliknya mereka malah terancam bahaya maut dan baru selamat setelah Kam Hong turun tangan.

Mereka berdua kagum bukan main menyaksikan kelihaian pendekar yang memegang kipas dan suling emas itu, dan diam-diam Sim Hong Bu merasa kecewa dan bahwa dia tidak dapat berkenalan lebih jauh dengan gadis cilik yang pemberani dan dengan pendekar yang demikian perkasa.

Dua orang pemburu ini melanjutkan perjalanan dan ketika mereka melihat adanya banyak mayat berserakan di mana-mana dalam keadaan terluka parah dan mengerikan, timbul keraguan dalam hati Sim Hong Bu yang biasanya tabah itu.

“Paman, di mana-mana terdapat bekas amukan binatang buas seperti yang belum pernah kita lihat sebelumnya. Kalau benar ini semua perbuatan Yeti seperti yang dikabarkan orang selama ini, sungguh amat berbahaya sekali kalau kita bertemu dengan dia. Perlukah perjalanan ini dilanjutkan?” tanyanya sambil membantu pamannya mengubur setiap mayat yang mereka temukan di jalan.

“Hong Bu, engkau tentu mengerti dan dapat merasakan desir darah dan tuntutan hati seorang pemburu! Setelah melihat seekor binatang yang begini buasnya, yang bukan hanya amat menarik akan tetapi juga telah membunuh banyak manusia, bagaimana mungkin kita dapat kembali sebelum berusaha menangkap atau membunuhnya!”

“Aku mengerti, Paman, akan tetapi yang kita buru sekali ini adalah mahluk yang luar biasa kuat dan kejamnya melebihi setan! Mana mungkin kita akan mampu menangkapnya apalagi membunuhnya kalau sekian banyaknya orang kang-ouw saja juga tidak mampu, bahkan menjadi korban dan mati konyol di bawah kebuasannya?”

“Kalau tidak mungkin menangkap atau membunuh, baru melihatnya saja pun sudah merupakan suatu kebanggaan besar bagi seorang pemburu sejati! Pemburu manakah didunia ini yang sudah dapat melihat, bertemu dan berhadapan muka dengan Yeti? Belum ada, dan aku mengharapkan untuk menjadi pemburu pertama yang mengalaminya!”

Hong Bu tidak membantah lagi. Dia dapat merasakan hasrat itu di dalam hatinya, hasrat seorang pemburu yang seperti juga setiap orang pemburu atau penangkap ikan, selalu rindu akan kebanggaan bercerita tentang keanehan binatang yang diburunya. Makin ganas binatang itu, makin buas dan makin berbahaya, akan makin banggalah untuk menceritakan pengalamannya! Dia pun terus mengikuti pamannya tanpa membantah lagi, bertekad untuk menghadapi segala kemungkinan bersama pamannya tanpa mengenal takut.

Paman dan keponakan ini tidak tahu bahwa di balik puncak yang menjulang di depan mereka, yang akan mereka lewati siang hari itu, terjadi hal yang lebih hebat dan mengerikan lagi. Di antara para orang kang-ouw yang ramai-ramai mendatangi Himalaya, tertarik akan berita tentang pedang pusaka yang diperebutkan itu, terdapat lima orang murid-murid Kun-lun-pai.

Mereka berlima ini tidak ada hubungannya dengan tiga orang tokoh Kun-lun yang pernah diceritakan dalam awal cerita ini, yaitu Hok Keng Cu dan Hok Ya Cu yang sudah tewas oleh Yeti, dan Hui-siang-kiam Ciok Kam yang terluka, biarpun tiga orang tosu itu pun datang dari Pegunungan Kun-lun-san. Sama sekali tidak ada hubungannya, karena lima orang ini adalah murid dari partai persilatan besar Kun-lun-pai yang berpusat di pegunungan Kun-lun-san.

Mereka adalah murid-murid kelas atau tingkat dua, yang bagi dunia kang-ouw sudah merupakan tingkat yang lumayan dan mereka telah memiliki ilmu silat yang cukup kuat. Mereka terdiri dua orang pemuda dan tiga orang gadis yang kesemuanya memiliki sikap yang gagah perkasa.

Yang pertama bernama Tan Coan, merupakan orang pertama dan tertua, usianya dua puluh lima tahun dan merupakan pemimpin rombongan mereka itu. Orang ke dua adalah seorang pria pula, bernama Lim Sun berusia dua puluh tiga tahun. Orang ke tiga adalah adiknya yang bernama Lim Siang, seorang gadis berusia dua puluh tahun. Yang ke empat dan ke lima juga wanita, kakak beradik bernama Tio Gin Bwee berusia delapan belas tahun dan Tio Ang Bwee berusia enam belas tahun.

Lima orang murid Kun-lun-pai ini pun tertarik oleh berita tentang pedang pusaka yang dilarikan pencuri dari istana dan kabarnya dibawa ke daerah Himalaya. Kebetulan mereka berada di Pegunungan Kun-lun-san, maka mereka minta perkenan dari para pimpinan Kun-lun-pai untuk pergi ke Himalaya, sekedar untuk meluaskan pandangan, menambah pengetahuan dan kalau mungkin mendapatkan kembali pedang pusaka kerajaan itu untuk berbakti kepada negara.

Para pimpinan Kun-lun-pai merasa khawatir, akan tetapi karena lima orang muda itu mendesak, akhirnya para tosu Kun-lun-pai memberi ijin dengan pesan agar mereka tidak melayani orang-orang kang-ouw dan tidak menimbulkan perkelahian dan permusuhan, melainkan hanya sekedar menambah pengalaman belaka.

Demikianlah, ketika lima orang murid Kun-lun-pai ini tiba di daerah bersalju, tiba-tiba mereka bertemu dengan tiga orang tua aneh yang memandang kepada tiga orang gadis muda itu sambil tertawa-tawa. Lima orang murid Kun-lunpai itu tidak mengenal mereka ini, tidak tahu bahwa mereka itu adalah tiga orang tokoh kaum sesat yang amat terkenal dan lihai sekali.

Mereka itu adalah bekas para pembantu dari tokoh sesat Hwai-kongcu Tang Hun Ketua Liong-sim-pang yang kemudian bergabung dengan pemberontak Pangeran Nepal dan kemudian tewas di tangan pendekar yang terkenal Suma Kian Bu atau lebih terkenal lagi dengan julukan Pendekar Siluman Kecil (baca kisah JODOH SEPASANG RAJAWALI ).

Tiga orang aneh ini adalah orang-orang yang sudah biasa berkecimpung dalam dunia kejahatan. Yang pertama berpakaian seperti seorang tosu, usianya kurang lebih enam puluh lima tahun, bertubuh tinggi kurus berwajah bengis. Orang ke dua adalah Ban-kin-kwi Kwan Kok, usianya sebaya dengan tosu tadi, tubuhnya tinggi besar dan mukanya hitam. Kalau Hak Im Cu terkenal dengan gin-kangnya yang hebat, orang ke dua ini, sesuai dengan julukannya, yaitu Ban-kin-kwi (Setan Selaksa Kati), tenaganya sebesar gajah dan dia adalah seorang yang memiliki sin-kang kuat sekali dan kedua kepalan tangannya merupakan senjata ampuh. Orang ke tiga adalah Hai-liong-ong Ciok Gu To, usianya juga sebaya, kepalanya gundul akan tetapi dia bukanlah seorang hwesio. Tubuhnya pendek gemuk, tidak sesuai dengan keahliannya, yaitu ahli bermain dalam air dan memiliki tenaga dalam yang kuat pula. Orang ke tiga ini suka tertawa-tawa, dan tangannya memegang sebatang dayung yang kini dipergunakan sebagai tongkat.

Sesungguhnya, sebelum mereka bertiga ini menghambakan diri kepada ketua Liong-sim-pang, biarpun mereka itu termasuk tokoh-tokoh kaum sesat, namun mereka bertiga tidak atau jarang sekali menggoda wanita. Akan tetapi, semenjak mereka menjadi pembantu-pembantu Hwa-i-kongcu yang selalu menghibur mereka dengan wanita-wanita cantik, ketiga kakek ini berubah menjadi orang-orang yang haus akan pemuasan nafsu berahi mereka yang bangkit karena kebiasaan di Liong-sim-pang itu.

Maka, kini ketika mereka melihat ada tiga orang gadis muda yang manis-manis, bertemu dengan mereka di tempat sunyi, tentu saja mereka menjadi tertarik karena pikiran mereka sudah membayangkan pengalaman pengalaman lalu dengan wanita-wanita muda dan membayangkan betapa akan senangnya kalau mereka mendapatkan teman seorang satu di tempat yang sunyi dan berhawa dingin itu!






Demikianlah timbulnya nafsu berahi atau nafsu apapun juga yang menguasai hati dan pikiran, menguasai batin kita setiap saat dan yang kemudian menjadi pendorong dari setiap perbuatan kita dalam hidup ini. Pikiranlah sumbernya. Pikiran yang bekerja mengenangkan segala kesenangan yang pernah dialami. Pikiran yang merupakan gudang dari pengalaman dan ingatan.

Kalau mata kita tertarik dan suka melihat segala sesuatu yang indah setangkai bunga yang indah warnanya, awan berarak di langit, tamasya alam terbentang luas di depan kita, matahari senja yang mentakjubkan, wajah seorang wanita yang cantik manis, semua rasa suka memandang itu adalah wajar, karena mata kita sudah dibentuk sejak kecil untuk menilai apa yang dinamakan indah dan apa yang buruk itu. Kalau yang ada hanya memandang saja, maka hal itu wajar dan tidak terjadi konflik.

Akan tetapi sayang, setiap kali kita memandang, pikiran yang penuh dengan ingatan ini selalu campur tangan. Pikiran yang mendambakan kesenangan ini lalu membayangkan kembali segala kesenangan yang pernah dialami atau pernah didengarnya, lalu membayangkan hal-hal yang menimbulkan nafsu.

Mata melihat wanita cantik jelita dan terjadi daya tarik, timbul semacam dorongan untuk memandang keindahan yang terdapat pada wajah itu. Kalau yang ada hanya memandang saja, maka setelah wanita itu lewat dan lenyap, habislah saja sampai di situ. Akan tetapi, kalau pikiran memasukinya, lalu membayangkan betapa akan senangnya kalau dapat bercinta dengannya dan sebagainya, maka timbullah nafsu berahi!

Pikiran adalah sumber segala konflik. Pikiran menjadi tempat bertumpuknya kenangan akan hal-hal yang telah lalu, yang pernah kita alami dan selalu pikiran mengejar kesenangan atau lebih tepat lagi, mengejar pengulangan kesenangan yang lalu dengan menciptakan kesenangan yang ingin dialami di masa mendatang, dan selalu karenanya menolak dan menghindarkan ketidaksenangan.

Karena keinginan mengejar kesenangan inilah maka timbul perbuatan-perbuatan yang menyeleweng dari pada kebenaran, perbuatan-perbuatan jahat yang merugikan orang lain dan diri sendiri. Setelah melihat semua ini, dapatkah kita membebaskan diri dari pencampurtanganan pikiran? Dapatkah kita memandang atau mendengar saja penuh perhatian, tanpa adanya pikiran yang membandingkan, mempertimbangkan lalu memutuskan baik buruknya senang susahnya? Dapatkah pikiran berhenti mengoceh dan menghidupkan kembali hal-hal yang telah lalu?

Tentu saja bukan berarti bahwa kita hidup tanpa pikiran! Hal itu sama sekali tidaklah mungkin! Pikiran adalah alat yang amat dibutuhkan untuk hidup, atau untuk melengkapi hidup ini. Tanpa pikiran, tanpa ingatan tentu saja kita tidak akan dapat pulang ke rumah, takkan dapat melakukan pekerjaan, takkan dapat menghitung, membaca dan sebagainya lagi. Pikiran amatlah penting bagi kita, yaitu dalam soal-soal teknis saja.

Dalam soal-soal keperluan lahiriah saja. Akan tetapi begitu pikiran penuh ingatan memasuki batin, mengusik hubungan antara kita dengan manusia lain, akan terjadilah konflik. Dalam komunikasi antara kita dengan manusia lain, dengan benda, dengan batin, tidak dibutuhkan pikiran yang menilai berdasarkan ingatan masa lalu.

Melihat sikap tiga orang kakek yang jelas membayangkan bahwa mereka itu adalah tokoh-tokoh berilmu, sebagai orang-orang muda yang tahu aturan kang-ouw, lima orang murid Kun-lun-pai itu lalu berhenti melangkah, dan menjura kepada tiga orang kakek itu dengan sikap hormat. Tan Coan sebagai yang tertua dan pemimpin rombongan, lalu melangkah maju.

“Sam-wi Locianpwe (Tiga Orang Gagah), selamat berjumpa dan persilakan Sam-wi lewat.” Mereka lalu berdiri di tepi jalan untuk membiarkan mereka lewat lebih dulu.

Tiga orang kakek itu saling pandang dan Hai-liong-ong Ciok Gu To yang biasanya terus menyeringai dan tertawa-tawa itu berkata.

“Aha, kalian adalah orang-orang muda yang tahu aturan dan menyenangkan sekali. Siapakah kalian?”

“Kami berlima adalah murid-murid Kun-lun-pai....“

“Wah-wah-wah, murid-murid Kun-lun-pai juga berkeliaran sampai ke sini? Apakah kalian juga ingin pula memperebutkan pedang keramat Koai-liong-po-kiam?” Hak Im Cu berkata dengan nada suara mengejek.

Diam-diam Tan Coan terkejut dan tidak senang melihat sikap mereka dan mendengar ucapan-ucapan yang nadanya mengejek itu. Sikap mereka tidak menghormat Kun-lun-pai itu saja sudah dapat menimbulkan dugaan bahwa mereka ini adalah orang-orang dari golongan hitam! Kaum bersih, di mana juga dia berada, tentu akan menghormat Kun-lun-pai yang merupakan sebuah di antara partai-partai persilatan besar. Akan tetapi dia menahan kesabaran dan menjura sambil berkata, suaranya tetap tenang dan halus.

“Kami mendengar tentang pokiam itu, akan tetapi kami hanya datang untuk melihat dan mendengar, meluaskan pengalaman kami yang dangkal. Harap Sam-wi Locianpwe tidak mentertawakan kami yang bodoh.”

“Huh, orang-orang Kun-lun-pai selamanya sombong dan tinggi hati!”

Tiba-tiba Ban-kin-kwi Kwan Ok mencela, suaranya berat dan memang dia pernah menaruh dendam karena pernah dia dikalahkan oleh seorang tosu Kun-lun-pai beberapa tahun yang lalu. Akan tetapi Hai-liong-ong Ciok Gu To yang masih tersenyum sambil memandangi tiga orang gadis itu, masih bicara dengan ramah.

“Orang-orang muda, ketahuilah bahwa tempat ini amat berbahaya! Ada Yeti mengamuk dan sudah banyak sekali orang kang-ouw yang tewas.”

“Oleh karena itu.” sambung Hak Im Cu, “tidak baik bagi nona-nona ini untuk melakukan perjalanan sendiri! Kalian dua orang pemuda boleh saja berjalan sendiri, akan tetapi biarlah tiga orang nona ini melanjutkan perjalanan bersama dengan kami. Kami akan menjaga dan melindungi keselamatan kalian, Nona-nona manis!”

“Bagus! Seorang satu, itu baru adil namanya.” kata pula Ciok Gu Tosu sambil tertawa bergelak. “Marilah, Nona-nona, kalian akan melakukan perjalanan yang menyenangkan, selain akan aman juga tidak akan kedinginan lagi, ha-ha-ha!”

Lima orang murid Kun-lun-pai itu terkejut bukan main. Muka mereka sudah berobah merah sekali dan sinar mata mereka bernyala karena marah. Mereka telah diperingatkan oleh guru mereka agar tidak bermusuhan dan agar jangan berkelahi, akan tetapi kalau berhadapan dengan tiga orang kurang ajar semacam tiga orang kakek ini, apakah mereka juga harus bersahabat?

Bagaimanapun juga, mereka adalah orang-orang muda gemblengan, maka Tan Coan dapat menyabarkan adik-adik seperguruannya dengan pandang matanya, kemudian dia menjura lagi dan berkata kepada tiga orang kakek itu, nada suaranya masih halus namun penuh ketegasan.

“Kiranya Sam-wi adalah orang-orang yang merupakan tokoh besar di dunia kang-ouw, maka agaknya sengaja Sam-wi hendak menggoda kami orang-orang muda dari Kun-lun-pai! Akan tetapi para pemimpin dan guru-guru kami telah berpesan kepada kami agar kami tidak berlaku kurang ajar dan tidak mencari permusuhan dengan siapapun juga. Oleh karena itu, harap Sam-wi menaruh kasihan kepada kami dan membiarkan kami pergi melanjutkan perjalanan kami.”

“Heh, bocah yang bermulut manis! Kalau engkau mau pergi bersama temanmu pemuda yang satunya lagi itu, lekaslah minggat dan menggelinding pergi! Akan tetapi tinggalkan tiga orang gadis manis itu untuk menemani kami!” bentak Ban-kin-kwi Kwan Ok dengan bentakan keras.

Tak mungkin kini mereka berlima dapat menahan kemarahan mereka yang memuncak oleh ucapan yang amat menghina ini. Jelaslah kini bagi mereka bahwa mereka berhadapan dengan tokoh-tokoh golongan hitam yang jahat sekali. Lim Sun yang lebih muda dan lebih berdarah panas itu lalu maju membentak.

“Siapakah kalian bertiga yang bersikap seperti memusuhi Kun-lun-pai?” bentaknya dengan melotot.

Hak Im Cu tertawa menyambut pertanyaan ini.
“Ha-ha-ha, memang sebaiknya kami memperkenalkan diri, agar kalian berdua tidak mati penasaran dan agar ketiga orang gadis itu akan merasa lebih senang karena telah kami pilih sebagai teman-teman seperjalanan di tempat dingin ini. Dengarlah baik-baik, Pinto adalah Hak Im Cu, dia itu adalah Ban-kin-kwi Kwan Kok, sedangkan Si Gundul itu adalah Hai-liong-ong Ciok Gu To! Nah, sudah jelaskah?”

Lima orang muda Kun-lun-pai itu memang belum banyak pengalaman di dunia kang-ouw, apalagi dunia penjahat, maka tentu saja nama-nama itu asing bagi mereka.

“Sekali lagi kami harap Sam-wi tidak menanam permusuhan dengan kami orang-orang muda yang tidak ingin berkelahi dengan siapapun juga dan membiarkan kami pergi.”

Tan Coan berkata lagi, sungguhpun nada suaranya tidak sehormat tadi, akan tetapi juga tidak kasar dan dia memberi tanda Kepada adik-adik seperguruannya untuk meninggalkan tempat itu.

“Haiiiit, tahan dulu!” bentak Hai-liong-ong Ciok Gu To yang biarpun tubuhnya pendek gemuk akan tetapi dapat bergerak gesit sekali karena tahu-tahu dia sudah berkelebat dan menghadang di depan mereka berlima. “Tulikah kalian? Yang dua laki-laki boleh minggat, akan tetapi yang tiga wanita harus tinggal!”

“Manusia jahat!” bentak Tio Ang Bwee, murid perempuan Kun-lun-pai yang baru berusia enam belas tahun itu dan dia sudah menyerang dengan pedangnya yang dicabut secepatnya.

“Ha-ha-ha, engkau memilih aku sayang? Aha, engkau tidak salah pilih!”

Si Pendek Gendut yang berkepala gundul ini tertawa dan dengan tenang saja dia mengelak dari sambaran pedang Tio Ang Bwee. Sementara itu, empat orang murid Kun-lun-pai yang lain sudah mencabut pedang dan mereka pun menerjang maju. Hak Im Cu dan Ban-kin-kwi Kwan Ok menyambut mereka dengan tertawa mengejek.

Dan memang sesungguhnya tingkat kepandaian murid-murid kelas dua dari Kun-lun-pai ini masih kalah jauh kalau dibandingkan dengan tingkat kepandaian tiga orang tokoh sesat itu. Tanpa mengerahkan banyak tenaga, lewat belasan jurus saja lima orang muda itu sudah terdesak hebat dan akhirnya Tan Coan dan Lim Sun roboh oleh pedang Hak Im Cu dan senjata dayung di tangan Hai-liong-ong Ciok Gu To, sedangkan tiga orang gadis itu telah roboh tertotok!

Sambil tertawa-tawa tiga orang kakek yang kejam seperti binatang buas itu telah memilih masing-masing seorang gadis, mengangkat dan memondong mereka itu sambil terkekeh dan hendak membawa mereka pergi. Akan tetapi pada saat itu berkelebat bayangan yang cepat sekali dan tahu-tahu di situ telah berdiri dua orang lain. Melihat dua orang ini, tiga orang kakek itu terkejut bukan main dan wajah mereka berobah pucat.

Yang baru muncul ini adalah dua orang kakek lain yang amat luar biasa. Yang seorang amat pendek, jauh lebih pendek gendut dibandingkan dengan Hai-liong-ong Ciok Gu To, karena Si Pendek yang berkepala gundul dan berpakaian seperti hwesio ini tingginya tidak lebih dari satu seperempat meter! Dia berdiri di situ sambil tertawa ha-ha-ha-ha seperti orang gendeng akan tetapi sepasang matanya mencorong menyeramkan. Orang ke dua tidak kalah anehnya. Sebagai kebalikan dari Si Gendut Pendek, orang ke dua ini berpakaian tosu, kurus sekali dan tingginya sampai dua setengah meter, dua kali lebih tinggi daripada Si Pendek.

Kalau Si Gendut Pendek itu berwajah riang gembira, Si Tinggi Kurus ini mukanya sedih seperti orang menangis, sepasang matanya sipit seperti terpejam. Tentu saja tiga orang kakek jahat itu terkejut seperti melihat setan, karena memang dua orang di depan mereka itu seperti manusia-manusia setan yang terkenal sebagai manusia-manusia yang paling jahat di kolong langit!

Mereka itu adalah orang ke empat dan ke lima dari sekelompok orang-orang sakti jahat yang terkenal dengan julukan Im-kan Ngo-ok (Lima Jahat Dari Akhirat). Si Pendek itu adalah Su-ok (Jahat ke Empat) Siauw-siang-cu, sedangkan Si Jangkung itu adalah Ngo-ok (Jahat ke Lima) Toat-beng Sian-su!

Para pembaca cerita JODOH SEPASANG RAJAWALI tentu sudah mengenal mereka ini karena mereka adalah tokoh-tokoh utama yang memimpin pemberontakan Pangeran Nepal terhadap Kerajaan Ceng beberapa tahun yang lampau. Dan karena tiga orang kakek jahat itu tadinya menjadi pembantu-pembantu Hwai-kongcu yang juga bersekutu dengan pemberontak tentu saja mereka bertiga mengenal siapa adanya dua orang aneh ini.

Hak Im Cu dan dua orang kawannya cepat melepaskan tubuh tiga orang gadis Kun-lun-pai itu dan menjura dengan sikap hormat sekali kepada Su-ok dan Ngo-ok.

“Sungguh tidak mengira akan bertemu dengan Ji-wi Locianpwe di sini!” kata Hak Im Cu.

Orang seperti Hak Im Cu sampai menyebut Locianpwe terhadap mereka berdua, sungguh merupakan penghormatan yang amat besar.

“Selamat berjumpa, apakah selama ini Ji-wi Locianpwe baik-baik saja?” Ban-kin-kwi Kwan Ok juga menyapa dengan ramah.

“Kami menghaturkan hormat kepada Ji-wi Locianpwe!” kata pula Hai-liong-ong Ciok Gu To.

Akan tetapi Su-ok dan Ngo-ok tidak menjawab. Su-ok hanya tetap ha-ha-he-he menyeramkan, sedangkan Ngo-ok yang cemberut itu memandang kepada tubuh tiga orang gadis muda yang tak dapat bergerak karena tertotok itu.

Akhirnya Su-ok menoleh kepada Ngo-ok dan melihat betapa mata yang sipit itu ditujukan ke arah tiga orang gadis Kun-lun-pai itu, Su-ok tertawa bergelak.

“Ha-ha-ha, kalau engkau menghendaki mereka, tiga ekor anjing tua ini harus dibunuh dulu.”

Ngo-ok mengangguk.
“Untuk apa kalau tidak dibunuh!” katanya.

Hak Im Cu dan dua orang kawannya terkejut bukan main.
“Ji-wi Locianpwe mengapa berkata demikian? Kalau Locianpwe menghendaki mereka, biarlah kami mengalah dan menghaturkan mereka kepada Locianpwe dengan senang hati”.

“Ha-ha, anjing-anjing tua pengecut. Sudah berani naik ke sini mengapa takut mati? Hayo majulah, bagaimanapun juga kami harus membunuh kalian.”

Tiga orang tokoh sesat itu makin ketakutan sampai wajah mereka berobah pucat.
“Locianpwe sungguh tidak adil!” Ban-kim-kwi Kwan Ok berkata. “Kami bertiga adalah sahabat-sahabat yang tidak pernah mengganggu Locianpwe, bahkan dengan hormat kami mempersembahkan tiga orang gadis ini kalau Locianpwe menghendaki. Mengapa hendak membunuh kami?”

“Siapa bilang kita bersahabat?” Ngo-ok mendengus dan matanya terbuka sedikit, sikapnya sungguh mengerikan.

“Locianpwe, bukankah kita pernah bersama-sama membantu Pangeran Nepal? Bukankah kita adalah orang-orang sendiri dan karena itu bersahabat?” Hak Im Cu berkata.

“Ha-ha-ha!”

Si Pendek Gendut Suok tertawa mengejek.
“Memang ketika itu kalian menguntungkan, maka bersahabat. Sekarang, kalian merupakan saingan kami dalam mencari dan memperebutkan Koai-liong-pokiam, maka kalian adalah saingan kami atau musuh dan harus dibunuh. Lain dulu lain sekarang! Dulu menguntungkan maka sahabat, sekarang merugikah maka musuh!”

Sungguh pendapat yang sama sekali mau enak sendiri saja! Akan tetapi, benarkah sikap Su-ok dan Ngo-ok itu aneh dan jahat? Lupakah kita bahwa kita sendiri pun dengan diselubungi oleh segala sopan santun dan kebudayaan, pada hakekatnya mempunyai perhitungan dan pandangan yang tidak jauh bedanya dengan sikap dua orang manusia iblis itu? Sebaiknya kalau kita meneliti dan memandang diri sendiri, mengenal diri sendiri. Coba kita renungkan dan pandang dengan sejujurnya, mengapa kita mempunyai sahabat-sahabat dan mengapa pula kita mempunyai musuh-musuh? Bukankah orang yang kita anggap sahabat itu adalah orang yang kita pandang menguntungkan kita, baik keuntungan lahir maupun batin? Dan sebaliknya bukankah orang yang kita anggap musuh itu adalah orang yang kita pandang merugikan lahir maupun batin? Dan orang yang sekarang kita anggap sahabat, kalau pada suatu hari dia itu merugikan kita lahir atau batin, apakah dia masih kita anggap sahabat, ataukah lalu kita anggap sebagai musuh?

Berapa banyaknya orang yang kini kita anggap musuh itu dahulu pernah menjadi sahabat kita? Ah, kehidupan kita penuh dengan penilaian yang didasarkan untung rugi bagi kita sendiri, oleh karena itulah maka kita memisah-misahkan orang-orang lain sebagai yang disuka dan yang tidak disuka, sebagai sahabat atau musuh. Bukankah pada dasarnya kita, yang masih mempunyai sahabat dan musuh, tidak jauh beda pandangan kita dengan Su-ok dan Ngo-ok?

Tiga orang kakek itu sendiri adalah tokoh-tokoh jahat dan kejam. Baru saja mereka sudah memperlihatkan watak mereka yang kejam, dengan membunuh dua orang pemuda Kun-lun-pai yang tidak berdosa dan hendak memaksa tiga orang gadis Kun-lun-pai untuk melayani mereka. Maka, kini melihat sikap Su-ok dan Ngo-ok, maklumlah mereka bahwa tidak ada jalan lain bagi mereka selain membela diri mati-matian. Dan karena mereka sudah tahu akan kelihaian Su-ok dan Ngo-ok, maka mereka pun tidak mau mengalah dan tidak segan melakukan kecurangan demi untuk menyelamatkan diri.

“Haiiittt....!”

Tiba-tiba Hai-liong-ong Ciok Gu To yang berdiri di sebelah agak kiri dari Su-ok, sudah menggerakkan dayungnya yang terbuat dari pada kuningan itu dan menghantam ke arah kepala Su-ok yang pendek gendut seperti dirinya, akan tetapi tetap saja dia masih lebih tinggi sehingga Su-ok itu hanya sampai di bawah telinganya saja tingginya.

Dayung itu menyambar dengan dahsyat sekali. Melihat ini, Hak Im Cu sudah menerjang maju lagi dengan pedangnya, sedangkan Ban-kin-kwi Kwan Ok sudah menggunakan kepalan tangannya untuk membantu Ciok Gu To mengeroyok Su-ok yang mereka tahu lebih lihai daripada Ngo-ok Si Jangkung itu.

Terjadilah perkelahian yang amat seru. Su-ok dengan enak saja menyelinap ke bawah dan dayung itu menyambar ke atas kepalanya. Ketika melihat berkelebatnya bayangan Ban-kin-kwi yang memukul sehingga menyambar angin pukulan dahsyat dari tokoh bertenaga gajah ini, Su-ok tertawa dan tubuhnya sudah bergulingan ke atas tanah sehingga pukulan itu pun luput. Dua orang lawannya terus mengepung dan mengirim serangan bertubi-tubi, namun Su-ok selalu dapat mengelak dengan ilmu silatnya yang aneh, tubuhnya kadang-kadang berloncatan, kadang-kadang menggelundung ke sana-sini seperti trenggiling dan kalau dia meloncat dari atas tanah, dia sudah mengirimkan pukulan yang amat kuat sehingga beberapa kali kedua orang lawan yang sudah mengelak itu tetap saja terhuyung, terbawa angin pukulan yang amat dahsyat!

Sementara itu, Ngo-ok juga dengan enaknya menghadapi pedang di tangan Hak Im Cu. Tubuhnya yang jangkung itu kalau mengelak hanya dengan lengkungan-lengkungan panjang dan pedang itu selalu mengenai angin, kemudian kedua tangan itu dari atas menyambar dengan lengan yang panjang seperti dua ekor burung menyambar-nyambar dari atas membuat Hak Im Cu sibuk sekali untuk melindungi tubuhnya dari sambaran dua buah tangan itu. Pedangnya terpaksa diputarnya secepat mungkin karena membentuk sinar bergulung-gulung merupakan benteng yang melindungi tubuhnya.

Tingkat ilmu silat dari tiga orang kakek itu sesungguhnya sudah mencapai tingkat tinggi dan nama mereka di dunia kang-ouw sudah terkenal sekali. Murid-murid Kun-lun-pai kelas dua tadi pun sama sekali bukan lawan mereka, dan di dunia kaum sesat mereka ini sudah merupakan tokoh-tokoh yang disegani. Akan tetapi sekali ini mereka bertemu dengan datuk-datuk kaum sesat yang jauh lebih lihai daripada mereka. Baru ada satu saja di antara Im-kan Ngo-ok, ada Su-ok atau Ngo-ok seorang saja, belum tentu mereka bertiga akan mampu mengalahkannya. Apalagi sekarang sekali muncul ada dua orang tentu saja mereka menjadi kewalahan sekali.

Yang pertama kali mengalami desakan hebat adalah Hak Im Cu. Hal ini tidak mengherankan karena biarpun tingkat kepandaian Ngo-ok masih kalah setingkat dibandingkan dengan tingkat kepandaian Su-ok, akan tetapi Hak Im Cu menghadapi tokoh ini seorang diri saja, dan watak Ngo-ok berbeda dengan Su-ok.

Su-ok adalah orang yang suka bergurau dan suka mempermainkan orang, maka kini menghadapi pengeroyokan dua orang lawan itu dia pun sengaja mempermainkan mereka, seperti dua ekor tikus dipermainkan seekor kucing yang sudah merasa yakin akan kekuatan dan kemenangannya. Oleh karena itulah maka kalau Ngo-ok sudah dapat mendesak lawannya. Su-ok masih belum mendesak dan membiarkan dua orang lawannya itu melakukan serangan bertubi-tubi yang dapat dihindarkannya dengan mudah saja.

Ngo-ok sudah mendesak hebat dan kedua tangannya makin gencar melakukan serangan ke arah kepala Hak Im Cu. Tosu ini sudah mandi keringat karena berkali-kali tangan yang berlengan panjang itu hampir saja berhasil menotoknya atau menghantam kepalanya dari arah yang tidak terduga-duga sebelumnya karena dia tidak mungkin dapat mengikuti gerakan dari atas itu.