FB

FB


Ads

Selasa, 23 Juni 2015

Suling Emas & Naga Siluman Jilid 009

Kiranya sinar putih lebar tadi adalah gerakan sebuah kipas putih yang kini dipegang oleh tangan kiri Kam Hong dan dibeberkan lalu dipakai untuk mengipasi lehernya seolah-olah pemuda sastrawan ini merasa kegerahan! Padahal, berdiri tegak dengan kipas terpentang lalu dikipas-kipaskan di leher itu merupakan pasangan pembukaan dari ilmu silat kipas Lo-hai San-hoat (Ilmu Kipas Pengacau Lautan)!

Ilmu ini merupakan satu di antara ilmu-ilmu warisan keluarga Suling Emas, satu di antara ilmu-ilmu yang amat diandalkan dan yang dahulu pernah mengangkat tinggi nama Pendekar Sakti Suling Emas! Ketika sejenak kipas itu berhenti mengebut, empat orang wanita yang kini bergerak melangkah perlahan mengelilinginya itu dapat membaca huruf-huruf indah yang tertulis di permukaan kipas putih itu.

Hanya yang kosong dapat menerima tanpa meluap hanya yang lembut mampu menerobos yang kasar Yang merasa cukup adalah yang sesungguhnya kaya raya!

Huruf-huruf indah yang membentuk kata-kata itu ditulis oleh Kam Hong dan kalimat-kalimat itu adalah kalimat yang sering dipergunakan oleh gurunya, yaitu Sai-cu Kai-ong, keturunan dari para tokoh Khong-sim Kai-pang (Perkumpulan Pengemis Hati Kosong). Isinya membayangkan sifat dari perkumpulan pengemis itu dan mengandung pelajaran atau pesan bahwa untuk dapat belajar dan menerima pengertian-pengertian baru hati dan pikiran haruslah kosong.

Mata dan telinga yang memandang atau mendengar secara kosong, yaitu tanpa adanya pendapat yang muncul dari pengetahuan-pengetahuan yang bertumpuk dalam pikiran, dapat melakukan penelitian dan penyelidikan, dapat waspada dan mempelajari sampai sedalam-dalamnya segala persoalan yang dihadapinya.

Orang yang merasa dirinya penuh dengan pengetahuan dan kepintaran adalah seperti katak dalam tempurung, seperti gentong kosong yang hanya nyaring suaranya saja. Demikian pula, kekasaran dan ketakutan mudah bertemu lawan, mudah patah dan menimbulkan kekerasan, sebaliknya kelembutan mampu menerobos segala sesuatu.

Kalimat terakhir menggambarkan keadaan pengemis Khong-sim Kai-pang. Biarpun dinamakan pengemis, orang yang semiskin-miskinnya di antara semua tingkat kehidupan, namun karena tidak pernah mengeluh, tidak pernah membandingkan, tidak pernah merasa kurang maka tidak menimbulkan iri hati dan karena merasa cukup itulah maka dia tidak menginginkan apa-apa lagi dan orang beginilah yang patut disebut kaya raya. Sebaliknya, betapa pun kaya-rayanya seseorang, kalau dia itu masih selalu merasa tidak cukup, maka dia akan berusaha memperbesar kekayaannya itu tanpa mempedulikan jalan kotor apa yang ditempuhnya!

A-hui mengeluarkan bentakan nyaring secara tiba-tiba dan empat orang wanita yang tadinya berjalan mengelilingi Kam Hong itu tiba-tiba melakukan penyerangan. Serangan mereka cukup dahsyat dan teratur rapi, karena memang mereka mempergunakan Barisan Segi empat yang amat teratur. Pedang mereka gemerlapan dan menyambar-nyambar seperti halilintar, mengeluarkan suara berdesing dan angin serangan yang membuat rambut dan ujung pita rambut Kam Hong dan ujung kuncir Kam Hong berkibar itu membuktikan betapa kuatnya sin-kang dari empat orang wanita itu.

Namun Kam Hong menghadapi mereka dengan tenang. Tubuhnya tidak banyak berloncatan, hanya berputaran ke sana-sini dengan langkah-langkah kaki yang amat tegap, kipasnya bergerak cepat, kadang-kadang menjadi sinar yang membentuk perisai atau benteng melindungi tubuhnya sehingga semua serangan pedang itu gagal tertangkis dan membalik.

Kadang-kadang kipas itu tertutup dan dipergunakan untuk membalas serangan lawan, dengan totokan-totokan ujung kipas ke arah jalan darah yang penting, kadang-kadang dibuka dan dalam keadaan terbuka ini pun dapat dipergunakan untuk mengebut ke arah muka lawan sehingga beberapa kali empat orang wanita itu gelagapan sukar bernapas karena tiupan angin keras dari kipas itu ke arah muka mereka!

Pertempuran itu berlangsung dengan amat serunya dan gerakan empat orang wanita itu makin lama makin cepat, mereka bertukar-tukar tempat dan posisi sehingga seolah-olah mereka itu beterbangan mengelilingi Kam Hong yang masih bergerak dengan tenang.

Menyaksikan pertandingan yang amat hebat ini, berkali-kali Sim Tek menarik napas panjang saking kagumnya.

“Paman, sastrawan itu hebat sekali, ya?”

Pamannya mengangguk tanpa melepaskan pandang matanya dari pertarungan itu.
“Bukan main lihainya, hanya dengan kipas.... dan empat orang wanita itu amat tangguhnya....”

“Mana lebih lihai antara dia dan Pendekar Siluman Kecil, Paman?”

Pamannya menggeleng-geleng kepala.
“Tidak tahu.... tidak tahu....“ katanya penuh kagum karena kini gerakan kipas makin menghebat dan membuat empat orang wanita itu terdesak dan gerakan mereka terpaksa makin melebar.

“Siapa Siluman Kecil itu? Apa sih kehebatannya?”

Tiba-tiba Siauw Goat yang berdiri tidak jauh dari Hong Bu, bertanya sambil mendekat, akan tetapi seperti yang lain, dia juga masih terus menonton pertempuran itu.

Sejenak Hong Bu menoleh kepada Siauw Goat, alisnya berkerut seperti orang marah mendengar betapa Siluman Kecil, pendekar yang dijunjung tinggi dan dikaguminya sejak kecil itu kini dipandang rendah orang.

”Pendekar Siluman Kecil adalah pendekar nomor satu di kolong langit, kepandaiannya tidak ada yang mampu melawannya!” demikian dia berkata dan kembali dia memandang ke arah pertempuran yang menjadi semakin seru itu.

“Tidak mungkin!” Siauw Goat membantah. “Pendekar nomor satu di kolong langit adalah mendiang Kong-kongku, kemudian nomor dua adalah dia itu!” Dia menunjuk kepada bayangan Kam Hong, kemudian tiba-tiba dia mendapatkan suatu pikiran yang dianggapnya amat baik dan berteriaklah gadis cilik itu, “Heii, Paman Kam, lekas selesaikan pertandingan itu agar engkau dapat diadu dengan Pendekar Siluman Kecil!”

Bukan hanya Kam Hong yang terkejut sekali mendengar kata-kata dan disebutnya nama Pendekar Siluman Kecil itu, bahkan empat orang lawannya yang sudah terdesak juga amat terkejut dan mereka itu berloncatan mundur.

“Tahan!” seru A-hui sambil melintangkan pedangnya di depan dada.

Keringatnya bercucuran membasahi seluruh tubuhnya, demikian pula dengan tiga orang temannya. Kam Hong berhenti bergerak dan pemuda sastrawan ini tidak kelihatan lelah sama sekali.






“Pernah apakah engkau dengan Pendekar Siluman Kecil?”

Kam Hong tersenyum dan menggeleng kepala.
“Bukan apa-apa.”

“Tapi setan cilik itu tadi hendak mengadumu dengan Siluman Kecil. Apakah engkau musuhnya?”

“Hemm, perempuan kejam, jangan kau bicara sembarangan! Pendekar Siluman Kecil adalah seorang pendekar kenamaan yang budiman, mana mungkin aku memusuhinya? Sudahlah, kalian lekas pergi dan jangan mengganggu siapa pun. Kalau tidak, mengingat bahwa engkau telah membunuh banyak orang dalam rombongan piauwsu itu, kalian harus dihukum....“

“Paman Kam, bunuh saja mereka iblis-iblis betina itu!”

Siauw Goat berteriak lagi. Empat orang wanita itu menjadi marah dan serentak mereka menyerang lagi.

“Katakan siapa engkau baru kami mau sudah!” teriak A-hui sambil menggerakkan pedang diikuti oleh tiga orang temannya.

“Pergilah....!”

Tiba-tiba Kam Hong membentak dan nampak sinar kuning keemasan yang berkeredepan menyilaukan mata, disusul bunyi nyaring empat kali dan empat orang wanita itu terjengkang ke belakang, pedang mereka terlepas dan terjatuh ke atas salju! Mereka terbelalak memandang kepada pemuda sastrawan itu yang kini berdiri dengan gagahnya, tangan kiri masih memegang sebatang kipas yang dikembangkan, dan tangan kanan tahu-tahu telah memegang sebatang suling terbuat daripada emas yang berkilauan.

“Suling Emas....?”

A-hui merangkak bangun dan memandang kepada suling di tangan sastrawan muda itu dengan mata terbelalak. Nama Pendekar Suling Emas pada waktu itu hanya sebagai dongeng pahlawan kuno belaka, dan biarpun pernah dihebohkan oleh dunia kang-ouw bahwa Pendekar Suling Emas meninggalkan pusaka-pusaka, namun karena tidak ada yang berhasil mencarinya maka lambat laun berita itu lenyap ditelan waktu.

Dan kini muncul seorang sastrawan muda yang bersenjata suling dan kipas secara lihai sekali, mirip dengan tokoh pendekar kuno itu! Empat orang wanita itu kini sudah bangkit, menyeringai kesakitan dan mengambll pedang masing-masing, tidak berani banyak lagak lagi dan A-hui lalu menjura ke arah Kam Hong.

“Kepandaian Tai-hiap sungguh hebat, kami mengaku kalah. Kami adalah utusan-utusan dari Sam-thai-houw, kami dikenal sebagai Su Bi Mo-li (Empat Iblis Cantik). Agar kami dapat menyampaikan pelaporan kami kepada Sam-thai-houw (Ibu Suri ke Tiga), maka harap Tai-hiap sudi memberitahukan nama dan....“

“Kalian sudah melihat suling emas, nah, cukup dan pergilah!” kata Kam Hong dan sekali menggerakkan kedua tangannya, suling emas dan kipas sudah lenyap di balik bajunya.

“Suling Emas....?”

Kembali A-hui tergagap dan dia lalu memberi isarat, mengajak teman-temannya pergi dari situ setelah menjura ke arah Kam Hong.

“Enaknya pergi begitu saja!”

Siauw Goat berteriak dan dia sudah mengepal salju dan dilontarkannya bola salju itu ke arah A-hui. A-hui menoleh, kebetulan dia bertemu pandang mata dengan Kam Hong dan dia tidak berani mengelak.

“Plokk!”

Bola salju mengenai mukanya sehingga berlepotan salju. Dia hanya mengusap salju itu dan membalikkan tubuh, pergi bersama teman-temannya dengan muka menunduk.

“Paman, kenapa engkau tidak membunuh mereka?” Siauw Goat menegur Kam Hong. Akan tetapi Kam Hong tidak menjawab, melainkan balas bertanya,

“Apa maksudmu dengan menyebut-nyebut Pendekar Siluman Kecil tadi?”

“Aku tidak mengenalnya! Dia itulah yang menyombong, mengatakan bahwa di dunia ini Pendekar Siluman Kecil merupakan jagoan nomor satu! Panas perutku mendengarnya maka aku menantang Pendekar Siluman Kecil untuk diadu denganmu!”

Kam Hong memandang kepada Sim Hong Bu, pemuda cilik yang bermata tajam dan bertubuh kekar kuat itu. Melihat sinar mata yang demikian tajam penuh kejujuran dan keterbukaan, diam-diam Kam Hong merasa kagum dan suka.

“Saudara cilik, apakah engkau mengenal Pendekar Siluman Kecil?”

Sim Hong Bu mengangguk bangga.
“Dia adalah bintang penolong kami semua di daerah perbatasan Ho-nam.”

Sim Tek yang maklum bahwa dia berhadapan dengan seorang pendekar besar, lalu melangkah maju dan memberi hormat.

“Harap Tai-hiap sudi memaafkan kami. Saya adalah Sim Tek dan ini keponakan saya Sim Hong Bu. Kalau dia memuji-muji Pendekar Siluman Kecil, bukan maksudnya untuk merendahkan Tai-hiap. Kalau tidak ada Tai-hiap datang menolong, tentu kami dan Nona cilik ini sudah mati di tangan mereka, oleh karena itu, terimalah hormat dan terima kasih kami, Tai-hiap.”

Kam Hong menggerakkan tangan seperti menangkis sesuatu, seolah-olah pernyataan terima kasih orang membuat dia merasa terpukul dan tidak enak sekali,

“Sudahlah! Siauw Goat, mari kita memeriksa para piauwsu itu.”

Mendengar ini, Siauw Goat teringat akan nasib para piauwsu, maka dia lalu mengangguk dan cepat Kam Hong menyambar dan memondongnya karena Siauw Goat sudah merasa lelah sekali dan sukar untuk menggerakkan tubuh saking lelah dan dingin dan juga laparnya. Dengan beberapa lompatan saja lenyaplah Kam Hong dari depan kedua orang pemburu itu yang memandang dengan melongo penuh kagum.

“Paman, dia itu lihai sekali. Entah siapa lebih lihai antara dia dan Pendekar Siluman Kecil.” kata pula Sim Hong Bu penuh kagum.

Pamannya menghela napas panjang.
“Hong Bu, lain kali harap jangan engkau lancang menyebutkan nama Pendekar Siluman Kecil. Untung bahwa pendekar sastrawan itu agaknya mengenal baik Pendekar Siluman Kecil. Kalau kita bertemu dengan seorang diantara musuh-musuhnya, tentu kita akan mendapatkan kesusahan.”

Akan tetapi Hong Bu yang selalu merasa kagum kepada orang-orang yang berilmu tinggi, seperti tidak mendengar teguran pamannya, dan dia berkata dengan pandang mata melamun,

“Sayang kita tidak mengetahui nama dan julukannya.”

“Melihat senjata suling yang luar biasa itu, sepatutnya dia dikenal dengan julukan Suling Emas. Buktinya wanita-wanita lihai itu pun terkejut melihat suling emas dari tangannya, sungguhpun kipasnya itu juga luar biasa sekali. Sudahlah, mari kita pergi dari tempat berbahaya ini. Kita pergi untuk menyelidiki tentang Yeti, bukan untuk mencari permusuhan dengan siapa pun.”

Keduanya lalu pergi, melangkah lebar-lebar dan meninggalkan tapak kaki di atas tanah yang tertutup salju tebal. Sementara itu, Siauw Goat berdiri memandang dengan wajah pucat kepada mayat-mayat yang berserakan di tempat itu. Mayat-mayat para piauwsu. Akan tetapi dia dan Kam Hong tidak dapat menemukan mayat Lauw Sek sehingga mereka merasa heran sekali.

“Kemana perginya Lauw-pek?” Siauw Goat bertanya dengan suara khawatir.

“Aneh sekali.... tak mungkin dia dapat terhindar dari tangan maut iblis-iblis betina itu. Akan tetapi, jelas dia tidak terdapat di antara mayat-mayat ini. Biar kukubur mereka ini....“

Kam Hong lalu menggali lubang dan mengubur semua mayat itu dalam beberapa buah lubang yang dibuatnya di tempat itu. Setelah selesai, hari pun sudah menjelang senja dan dia mengajak Siauw Goat pergi dari situ.

“Kemana kita hendak pergi, Paman Kam?”

“Hemm, aku sendiri tidak tahu. Aku pergi tanpa tujuan tertentu dan engkau kemanakah rombongan piauwsu itu hendak membawamu?”

“Menurut kata Lauw-pek, aku akan diantarkannya ke puncak Gunung Kongmaa La....”

“Hemm, ada keperluan apa pergi ke gunung itu?”

Gadis cilik itu memandang tajam, lalu menarik napas panjang.
“Lauw-pek tadinya memesan kepadaku agar tidak membicarakan hal ini kepada siapapun juga, akan tetapi aku percaya kepadamu, Paman. Aku hendak diajaknya ke sana untuk mencari orang tuaku, sesuai dengan pesanan mendiang Kong-kong kepada Lauw-piauwsu.”

Diam-diam Kam Hong terkejut. Sungguh mengherankan mendengar bahwa orang tua gadis cilik ini berada di tempat seperti itu, di sebuah gunung yang amat sunyi dan berbahaya! Dan sikap mendiang Kakek Kun sungguh penuh rahasia.

“Siapakah nama orang tuamu, Siauw Goat?”

Kembali sepasang mata yang bening itu menatap tajam, seperti orang yang meragu, akan tetapi akhirnya dia menjawab juga.

“Engkau sudah menceritakan nama dan rahasiamu kepadaku, Paman, biarlah aku menceritakan rahasiaku juga. Akan tetapi yang kuketahui hanya sedikit. Agaknya Lauw-piauwsu lebih tahu dari pada aku karena dialah yang menerima pesanan terakhir dari mendiang Kakekku. Semenjak aku dapat ingat, aku sudah hidup bersama Kong-kong, aku tidak ingat lagi bagaimana rupanya Ayah Bundaku. Kong-kong dan aku hidup di sebuah dusun kecil di Pegunungan Kao-li-kung-san sebagai petani. Kong-kong melatih ilmu baca tulis dan silat kepadaku. Pada suatu hari, datang dua orang kakek aneh yang kemudian berkelahi dengan kong-kong. Kong-kong berhasil mengusir mereka, akan tetapi ternyata Kong-kong menderita luka dalam yang hebat. Dengan tergesa-gesa Kong-kong pada hari itu juga mengajakku pergi, katanya hendak mencari orang tuaku di Gunung Kongmaa La di daerah Himalaya Aku tahu bahwa dia masih menderita luka hebat dan akhirnya....“

Gadis cilik itu berhenti, menunduk dan mengerutkan alisnya. Dua butir air mata berlinang turun, akan tetapi dia tidak terisak atau menangis sama sekali.

Kam Hong juga mengerti, maka dia tidak mau bertanya lagi tentang kakek itu.
“Jangan khawatir, Siauw Goat. Karena engkau sekarang sebatang kara, juga aku melakukan perjalanan sendirian saja, biarlah aku yang menggantikan Lauw-piauwsu mengantarmu sampai di Kongmaa La mencari orang tuamu. Akan tetapi siapakah nama orang tuamu?”

Gadis cilik itu menggeleng kepala.
“Kong-kong tidak memberitahukan kepadaku. Kalau aku mendesaknya, dia hanya bilang bahwa kalau aku sudah bertemu dengan mereka aku akan mengerti dan mendengar semua itu. Aku hanya tahu bahwa Ayahku seorang she Bu....”

Gadis cilik itu memejamkan mata dan nampak berduka karena betapapun juga hatinya merasa perih bahwa dia tidak mengenal orang tuanya, baik nama lengkapnya maupun wajahnya.

“Hemm, kalau begitu engkau she Bu?”

“Ya, namaku sebenarnya adalah Bu Ci Sian! Aku disebut Goat oleh Kong-kong hanya untuk menggunakan nama sebutan palsu saja, kata Kong-kong wajahku mengingatkan dia akan bulan purnama, maka aku disebutnya Goat (Bulan)....“

“Ah, Kong-kongmu sungguh seorang yang amat aneh, dan engkau.... memang wajahmu seperti bulan purnama.... akan tetapi Kakekmu menyebut dirinya Kakek Kun, siapakah namanya yang lengkap?”

“Namanya.... biarlah kulanggar pantangannya karena dia sudah meninggal adalah Bu Thai Kun....”

“Ahhh! Kau maksudkan Kiu-bwe Sin-eng (Garuda Sakti Ekor Sembilan) Bu Thai Kun?”

Kam Hong bertanya dengan kaget karena dia pernah mendengar nama besar ini yang pernah menggemparkan dunia selatan.

“Hemm, kau mengenal Kakekku!”

Siauw Goat atau lebih tepat mulai sekarang kita sebut nama aslinya saja, Ci Sian, berseru girang dan bangga.

“Hanya mengenal nama julukannya saja, pantas dia lihai.”

“Ayahku lebih lihai! Begitu kata mendiang Kong-kong. Biarpun dia tidak memberitahukan kepadaku, akan tetapi melihat betapa Kong-kong terluka oleh dua orang kakek aneh itu lalu mengajakku mencari Ayah Ibu, tentu agaknya Kong-kong hendak minta orang tuaku turun tangan menghajar dua orang kakek aneh itu.”

Kam Hong teringat bahwa kakek itu pernah mengatakan kepadanya bahwa dia hendak pergi mencari musuhnya! Dia tidak dapat menduga siapa gerangan ayah dari anak ini, dan karena Ci Sian sendiri pun tidak tahu, maka dia bertanya apakah Ci Sian mengenal nama dua orang kakek aneh yang melukai kong-kongnya.

“Namanya? Aku tidak diberitahu oleh Kong-kong, akan tetapi ketika Kong-kong bertengkar dengan mereka, kudengar Kong-kong menyebut mereka itu Sam-ok dan Ngo-ok.”

Bukan main kagetnya hati Kam Hong mendengar ini. Tentu saja dia tahu siapa itu Sam-ok dan Ngo-ok, dua orang di antara Im-kan Ngo-ok (Si Lima Jahat Dari Akhirat), lima orang yang terkenal sebagai datuk-datuk kaum sesat yang amat tinggi ilmu kepandaiannya! Kini dia dapat menduga bahwa tentu dua orang kakek jahat itu sengaja melukai kakek gadis cilik ini dan setelah dia merasa yakin bahwa Kiu-bwe Sin-eng telah menderita luka parah, mereka sengaja meninggalkannya agar kelak kakek itu pergi memanggil putera dan mantunya yang agaknya bersembunyi di Pegunungan Himalaya itu!

Ah, dia mulai dapat mengerti. Karena dia sendiri sudah melihat tingkat kepandaian Kiu-bwe Sin-eng dan agaknya kalau dibandingkan dengan Sam-ok dan Ngo-ok, apalagi kalau harus dikeroyok dua, betapa pun lihainya, Bu Thai Kun masih belum dapat menandingi mereka! Kalau dua orang datuk sesat itu menghendaki, tentu mereka dapat membunuhnya, tidak perlu pergi seperti yang dikatakan oleh Ci Sian tadi, yaitu terusir oleh kakeknya biarpun kakeknya menderita luka parah.

Memang sudah pasti ada rahasia terselubung di balik semua ini yang tidak diketahui oleh Ci Sian. Akan tetapi, mendengar bahwa keluarga anak ini dimusuhi oleh Sam-ok dan Ngo-ok saja sudah cukup bagi Kam Hong untuk berfihak kepadanya dan melindunginya.

“Baiklah, Siauw.... eh, Ci Sian. Setelah kita saling mengenal keadaan masing-masing, marilah engkau kuantar mencari orang tuamu, aku juga ingin mencari jejak isteriku, kalau-kalau dapat kutemukan di daerah ini. Sekarang malam hampir tiba, kita sebaiknya beristirahat dan makan. Engkau nampak lelah dan lapar.”

Ci Sian menurut saja dan mereka lalu menemukan sebuah guha di mana mereka melewatkan malam dan Ci Sian bersama Kam Hong makan roti kering yang mereka kumpulkan dari bekal para piauwsu yang banyak terdapat di tempat perkelahian itu dan yang mereka bawa sekadarnya untuk bekal.

Sudah tiga hari tiga malam Kam Hong dan Ci Sian melakukan perjalanan yang amat sukar, menempuh bukit-bukit salju dan jurang-jurang yang amat curam. Malam itu mereka telah tiba di dekat Kongmaa La, di Lembah Arun yang luas. Mereka melewatkan malam di dataran tinggi dan malam demikian indahnya sehingga Kam Hong terpesona, meninggalkan guha di mana dia membuat api unggun, keluar dan duduk di dataran tinggi sambil meniup suling.

Suara suling emas itu menembus kesunyian malam, melengking naik turun namun sama sekali tidak mengganggu keheningan. Bahkan sebaliknya, suara suling beralun naik turun itu bahkan membuat keheningan menjadi semakin syahdu, semakin terasa keheningan itu, semakin indah dan penuh rahasia.

Setelah berhenti menyuling, Kam Hong menoleh. Dia sudah mendengar langkah kaki ringan dari Ci Sian. Gadis cilik ini sudah semakin akrab dengannya. Selama dalam perjalanan, Kam Hong merasakan benar kehadiran gadis cilik itu dan mengertilah dia mengapa Kakek Bu Thai Kun menyebutnya Bulan! Memang dara cilik seperti bulan purnama selain cantik jelita juga mendatangkan kegembiraan dalam hati siapa pun karena dia lincah, gembira dan berseri-seri.

“Paman Kam, suara sulingmu indah sekali....” Ci Sian berkata sambil duduk di dekat Kam Hong, di atas rumput.

“Ah, hanya untuk iseng saja, Ci Sian.” kata Kam Hong sederhana, akan tetapi dia sendiri merasa heran mengapa pujian yang keluar dari mulut gadis cilik ini dapat membuat hatinya terasa begitu enak dan nyaman!

“Mainkan lagi, Paman....“

Ci Sian meminta dan gadis itu duduknya mendekat, bahkan bersandar ke bahu Kam Hong. Memang sudah biasa dia bersikap kadang-kadang manja seperti itu, dan tidak jarang pula Kam Hong menggandengnya kalau melewati tempat sukar, bahkan memondongnya kalau harus berloncatan lewat jurang-jurang yang curam. Oleh karena itu, gadis cilik ini seperti menganggap Kam Hong pamannya sendiri, dan dia tidak ragu-ragu untuk merangkul atau memegang lengan pemuda itu.

“Baik, kumainkan lagu yang paling kusukai, dengarlah baik-baik.” kata Kam Hong dan pemuda itu lalu meniup lagi sulingnya.

Ci Sian lalu merebahkan kepalanya di atas pangkuan Kam Hong yang duduk bersila. Suasana kembali menjadi penuh pesona yang mujijat dalam keheningan yang terisi suara suling yang merdu itu. Setelah Kam Hong akhirnya menghentikan tiupan sulingnya, seolah-olah suara suling itu masih bergema dan mengalun di udara.

“Paman, engkau pantas benar berjuluk Suling Emas, tidak hanya sulingmu merupakan senjata ampuh, akan tetapi juga dapat mengeluarkan bunyi yang demikian indahnya.”

Kam Hong tidak menjawab, jantungnya berdebar tidak karuan, seluruh tubuhnya seperti kemasukan kilat yang membuatnya gemetar. Terjadi perang hebat di dalam batinnya, terdapat dorongan aneh yang membuat dia ingin merangkul gadis cilik itu, ingin memeluk dan mendekapnya, akan tetapi kesadarannya melawan dan menolak.

“Paman.... kau.... kau kenapa....?”

Ci Sian bangkit duduk dan memandang wajah yang matanya dipejamkan itu. Di bawah sinar bulan remang-remang wajah itu nampak putih pucat.

Kam Hong sadar kembali, lalu memegang tangan Ci Sian dan menariknya bangkit berdiri.

“Tidak apa-apa, hayo kita mengaso, kembali ke guha.”

Malam itu Kam Hong gelisah dan tidak dapat memejamkan mata. Alisnya berkerut dan berkali-kali bibirnya bergerak memanggil nama yang selalu menjadi kenangannya,

“Hwi-moi.... Hwi-moi....”

Pada keesokan harinya, mereka melanjutkan perjalanan. Mereka kini mulai mendaki lereng Kongmaa La. Salju turun dengan cukup deras, membuat tanah penuh dengan salju tebal sehingga langkah-langkah kaki mereka amat berat dan meninggalkan tapak yang dalam.

Tiba-tiba Kam Hong memegang tangan Ci Sian dan berhenti. Gadis cilik itu memandang dan bergidik. Di depan mereka terdapat mayat seorang laki-laki dalam keadaan mengerikan. Kaki tangannya terpisah, dan tubuh itu seperti dicabik-cabik. Darah berceceran di atas salju yang putih.