FB

FB


Ads

Selasa, 23 Juni 2015

Suling Emas & Naga Siluman Jilid 006

Lhagat adalah sebuah dusun yang besar, mirip sebuah kota yang dikitari gunung-gunung besar. Lhagat merupakan sebuah tempat di perbatasan yang selalu ramai karena tempat ini merupakan tempat pemberhentian dari mereka yang melakukan perjalanan dari Tibet ke Nepal atau India, atau sebaliknya.

Juga merupakan tempat di mana orang-orang memperdagangkan barang-barang dagangan mereka dari negara masing-masing, pendeknya merupakan pasar bagi para pedagang dari berbagai negeri yang bertetangga. Tempat perbatasan Lhagat ini dikepalai oleh seorang Kepala Daerah. Menurut pengakuannya, secara resmi. Lhagat termasuk wilayah atau daerah dari Negara Tibet.

Akan tetapi, karena tempat ini amat jauh dari kota-kota lain, juga amat terpencil dan berada di antara gunung-gunung yang amat luas dan liar, sedangkan tetangganya hanya dusun-dusun kecil terpencil di sana-sini, maka Kepala Daerah itu memerintah tempat ini seperti seorang raja kecil saja! Semua hal termasuk keamanan, pajak, dan peraturan-peratuan menjadi wewenangnya, bahkan Kepala Daerah ini mempunyai pasukan sendiri.

Akan tetapi dia terkenal sebagai seorang pembesar atau kepala daerah yang bijaksana, karena Kepala Daerah ini maklum bahwa tempatnya merupakan sumber penghasilan yang besar dengan adanya pusat perdagangan jual beli antara pedagang-pedagang berbagai negeri itu. Dari mereka ini dia memperoleh bantuan berupa pungutan derma semacam pajak yang diberikan secara suka rela oleh para pedagang yang tentu saja mendapatkan banyak keuntungan dari perdagangan mereka.

Pada hari-hari biasa yang lalu, Lhagat merupakan tempat yang tenang dan tenteram, keramaian yang ada hanya keramaian dagang yang tidak segan-segan membuang sebagian dari pada keuntungan mereka untuk bersenang-senang. Akan tetapi pada waktu itu, ada semacam ketegangan yang hebat mencekam hati penduduk Lhagat, membuat semua wajah nampak muram dan ketakutan.

Ada dua peristiwa terjadi dan inilah yang membuat para penghuni kehilangan kegembiraannya. Yang pertama adalah orang-orang asing yang membanjiri Lhagat. Orang-orang asing dengan pakaian dan sikap aneh-aneh dan biarpun sebagian besar mereka itu mengaku pelancong dan pedagang, namun sikap mereka amat mencurigakan karena yang mengaku pelancong lebih mirip jago-jago silat sedangkan yang mengaku pedagang tidak membawa barang dagangan melainkan membawa-bawa segala macam senjata tajam dan aneh-aneh! Jelaslah bahwa mereka itu adalah petualang-petualang, orang-orang kang-ouw dan berkumpulnya mereka pada suatu saat di tempat itu tentu telah terjadi hal-hal yang amat hebat.

Hal ini saja belum meninggalkan kecemasan bagi para penduduk Lhagat. Yang membuat mereka ketakutan adalah peristiwa ke dua, yaitu banyaknya mayat-mayat ditemukan di sekitar Lhagat, di lembah-lembah, di gunung-gunung, di rawa-rawa dan di hutan-hutan. Hampir setiap hari datang laporan kepada Kepala Daerah tentang adanya mayat-mayat yang ditemukan oleh para pelancong itu atau oleh para pemburu, pedagang dan juga para penggembala setempat. Dan selalu mayat-mayat itu ditemukan dalam keadaan mengerikan, tubuh mereka koyak-koyak.

Biarpun peristiwa ini dihubungkan dengan dongeng tentang manusia salju yang mengamuk, namun para penghuni Lhagat tetap saja menyalahkan para pendatang asing itu, dan memandang mereka dengan sinar mata tidak senang.

“Yeti tidak pernah mengamuk dan membunuhi manusia.” kata seorang kakek penghuni asli Lhagat. “Selama hidupku belum pernah mendengar ada Yeti mengamuk karena mahluk itu bukan sebangsa binatang buas pemakan bangkai. Kalau ada Yeti mengamuk, kalau memang benar Yeti yang melakukan pembunuhan-pembunuhan itu, maka tentu ada sebabnya, tentu dia dibikin marah dan siapa lagi yang berani membikin marah Yeti kecuali orang-orang asing itu?”

Inilah sebabnya mengapa kota atau dusun yang biasanya ramai meriah itu kini nampak muram dan sunyi, wajah para penghuni membayangkan kegelisahan. Dalam suasana seperti itulah rombongan Lauw-piauwsu memasuki Lhagat. Rombongan Pek-i-piauw-kiok tentu saja sudah dikenal oleh penghuni Lhagat, bahkan Kepala Daerah sendiri memiliki hubungan baik dengan Lauw-piauwsu, maka kedatangan rombongan ini tentu saja disambut dengan gembira karena biasanya rombongan ini membawa saudagar-saudagar dan siapa pun yang datang bersama rombongan ini tentu saja tidak dicurigai.

Maka, biarpun hotel-hotel sudah penuh, tempat yang disebut dusun itu banyak mempunyai hotel karena banyaknya pedagang dari luar daerah yang berdatangan, tidaklah sukar bagi rombongan Lauw-piauwsu untuk memperoleh tempat penginapan.

Banyak penghuni yang menawarkan tempatnya untuk Lauw-piauwsu, akan tetapi Lauw-piauwsu yang membawa dua orang teman yang terluka itu lebih suka tinggal menumpang di rumah samping milik Kepala Daerah yang dengan senang hati menerima kedatangan Lauw-piauwsu dan rombongannya.

Lauw-piauwsu menyuruh anak buahnya yang tinggal sembilan orang itu untuk melanjutkan perjalanan ke perbatasan Nepal yang tidak berapa jauh lagi dari Lhagat dan melalui jalan yang sudah aman dan baik, dan dari perbatasan ini nanti barang-barang kawalan milik pedagang Katmandu itu akan dioper oleh kafilah atau rombongan penyambut dari pedagang itu sendiri, Lauw-piauwsu sendiri bersama Siauw Goat dan dua orang anak buahnya yang terluka tinggal di rumah samping gedung kepala daerah sambil merawat dan mengobatkan dua orang yang terluka itu.

Tiga orang saudagar gendut yang ikut dalam rombongan, sudah memisahkan diri setelah membayar biaya pengawalan kepada Lauw-piauwsu dan mereka sudah melupakan kesengsaraan dan ketakutan yang mereka derita dalam perjalanan itu. Kini dengan muka penuh senyum mereka mulai memperdagangkan barang-barang berharga mereka di pasar dengan keuntungan yang berlipat ganda.

Juga sastrawan muda itu sudah tidak nampak lagi, tanpa mengucapkan terima kasih kepada Lauw-piauwsu, karena memang dia tidak merasa menumpang, hanya “kebetulan” saja melakukan perjalanan bersama rombongan itu.

Lauw-piauwsu mendengar dari para perajurit penjaga gedung kepala daerah bahwa para pelancong asing itu tertunda keberangkatan mereka di Lhagat. Semua orang tidak dapat melanjutkan perjalanan karena pada waktu itu terdapat badai salju mengamuk, dan biasanya badai seperti ini makan waktu dua tiga pekan. Siapa yang berani melanjutkan perjalanan ke daerah Himalaya pada waktu badai mengamuk berarti ingin mati konyol.

Karena hambatan inilah maka Lhagat menjadi semakin penuh saja, karena orang-orang kang-ouw makin banyak membanjir datang, sedangkan yang sudah berada di situ tidak dapat pergi karena adanya badai salju itu. Maka kini hampir semua rumah menerima tamu! Keadaan ini ditambah dengan laporan-laporan tentang ditemukannya mayat-mayat disekitar daerah Lhagat, cukup membuat penghuni dusun atau kota itu menjadi panik.

Apalagi ketika mereka mendengar kabar bahwa Kepala Daerah yang tentu saja amat mengkhawatirkan adanya kematian-kematian aneh itu, sudah mengutus sepasukan perajurit untuk melakukan penyelidikan dan telah tiga hari lamanya pasukan itu berangkat, sampai kini belum ada kabar beritanya! Mereka semua kini menanti-nanti dengan gelisah.

Karena Lauw-piauwsu sibuk merawat dua orang anak buahnya, maka Siauw Goat memperoleh banyak kesempatan untuk menyendiri. Akan tetapi dara cilik ini agaknya telah reda kedukaannya karena kematian kakeknya dan dia bahkan mendapatkan kembali kelincahan dan kegembiraannya.






“Lauw-pek, kapan kita melanjutkan perjalanan?” berkali-kali dia bertanya.

“Sabarlah, Siauw Goat. Dua orang paman yang luka itu sudah hampir sembuh dan nanti kalau para pamanmu piauwsu itu sudah kembali, kita akan melanjutkan perjalanan memenuhi pesan kakekmu. Pula, sekarang terdapat badai salju, tak seorang pun yang akan mampu melakukan perjalanan karena badai itu berbahaya sekali.”

Siauw Goat tidak banyak membantah karena dia yang banyak berkeliaran keluar sudah mendengar jelas tentang hal itu, bahkan dia sudah mempunyai banyak sekali kenalan dan sudah banyak mengobrol dengan para penghuni dusun Lhagat. Dia dikenal sebagai Goat-siocia (Nona Goat) dan sebagai puteri angkat Lauw-piauwsu!

“Lauw-pek, aku ingin mempunyai busur dan anak panah, ada kulihat dijual orang busur dan anak panahnya yang baik di ujung dusun.”

Lauw Sek memandang dengan alis berkerut dan penuh keheranan.
“Busur dan anak panah? Untuk apa?”

“Untuk mempersenjatai diri! Bukankah perjalanan yang akan kita tempuh penuh bahaya? Aku dapat melindungi diri sendiri dengan senjata itu.”

“Ah, apakah engkau bisa mempergunakan busur dan anak panah, Siauw Goat?”

“Engkau lihat saja nanti, Lauw-pek. Mari kita membeli sebuah busur dan beberapa batang anak panah untukku!”

Lauw Sek tersenyum mengangguk dan mereka lalu pergi ke tempat orang menjual senjata yang banyak diperjual-belikan di situ karena para pemburu sering kehilangan anak panah dan selalu membutuhkan cadangan baru. Lauw Sek lalu memilihkan sebatang busur yang tidak terlalu besar dan berat, dan segebung anak panah yang belasan batang jumlahnya.

Giranglah hati Siauw Goat. Dia segera mengalungkan tempat anak panah itu di pundaknya.
“Mari kita coba anak panahku, Lauw-pek.” katanya gembira dan mereka lalu pergi ke tempat sunyi. “Lihat, aku akan memanah batang pohon itu!”

Siauw Goat berkata lagi sambil menuding ke arah sebatang pohon yang tidak lebih besar dari tubuhnya sendiri.

Cepat sekali dia sudah mengambil dua batang anak panah, tahu-tahu sudah dipasang di busurnya dan terdengar tali gendewa menjepret dan dua batang anak panah itu meluncur cepat dan menancap tepat di tengah-tengah batang pohon, berjajar dengan rapinya!

Diam-diam Lauw Sek kagum juga. Memang anak ini bukan pembual, pikirnya. Ilmunya memanah memang boleh juga dan dapat diandalkan sebagai pelindung dirinya kalau bertemu dengan orang jahat. Pantaslah kalau diingat bahwa anak ini adalah cucu dari seorang kakek lihai seperti mendiang Kakek Kun.

“Bagus!” Lauw Sek memuji sambil tertawa. “Kiranya engkau ahli memanah, Siauw Goat. Aku girang melihat ini, dan hatiku merasa lebih aman karena engkau pandai menjaga diri. Akan tetapi jangan engkau sembarangan mempergunakan anak panah untuk melukai orang.”
Siauw Goat menghampiri pohon itu dan mencabut dua batang anak panahnya lalu disimpannya kembali ke tempat anak panah yang tergantung di punggungnya.

“Aku tahu, Lauw-pek. Dan pula, anak panah ini pun hanya kupergunakan apabila perlu dan terdesak saja. Sebelum mempergunakan itu busur ini pun sudah cukup baik untuk kupakai menjaga diri.”

Ucapan ini makin menggirangkan hati Lauw Sek karena dia tahu bahwa selain pandai memanah, gadis cilik ini tentu pandai bermain silat menggunakan busur itu sebagai senjata, dan hal ini pun tidak mengherankan mengingat akan kepandaian kakeknya. Dia kagum karena menggunakan busur sebagai senjata bukankah hal yang mudah dan harus dipelajari secara khusus, berbeda dengan senjata-senjata lain seperti pedang, golok, tombak atau toya misalnya.

Akan tetapi pada keesokan harinya Lauw-piauwsu menjadi bingung sekali ketika dia tidak melihat anak perempuan itu di kamarnya. Bahkan para pelayan mengatakan bahwa pagi-pagi sekali anak perempuan itu telah pergi meninggalkan tempat itu membawa busur dan anak panah.

Lauw-piauwsu segera mencarinya, akan tetapi biarpun dia bertanya-tanya dan berputar-putar di daerah dusun, tetap saja dia tidak dapat menemukan Siauw Goat. Tentu saja hatinya merasa khawatir sekali. Apalagi keadaan makin gawat saja dengan berita-berita tentang adanya banyak orang yang kedapatan mati dalam keadaan mengerikan.

Akhirnya Lauw-piauwsu bertemu dengan seorang penduduk yang melihat Siauw Goat.
“Dia pagi tadi ikut bersama pasukan keluar dari pintu gerbang!”

Mendengar ini Lauw-piauwsu mengerutkan alisnya. Pasukan itu adalah pasukan yang diutus oleh Kepala Daerah untuk menyusul pasukan pertama yang sudah tiga hari tidak ada kabar beritanya! Mau apa anak itu ikut dengan rombongan pasukan, yang bertugas menyusul pasukan pertama itu? Teringat akan janjinya kepada Kakek Kun, Lauw Sek merasa tidak enak sekali dan karena keadaan kedua orang temannya yang terluka kini sudah mendingan, dia lalu pergi pula untuk menyusul dan mencari Siauw Goat.

Ke mana perginya anak perempuan itu? Memang benar seperti apa yang didengar oleh Lauw Sek dari penghuni Lhagat itu. Siauw Goat yang banyak kenalan itu. mendengar bahwa Kepala Daerah mengirim pasukan untuk mencari pasukan pertama yang sudah tiga hari pergi untuk menyelidiki tentang kematian-kematian aneh yang terjadi di sekitar Lhagat.

Mendengar ini, hati Siauw Goat tertarik sekali dan diam-diam dia lalu membujuk komandan pasukan itu untuk diperkenankan ikut! Sang Komandan, seperti juga orang-orang lain, suka kepada gadis cilik yang lincah ini, apalagi dia tahu bahwa gadis cilik ini adalah “puteri angkat” dari Lauw-piauwsu yang telah dikenalnya, bahkan yang kini tinggal di rumah samping dari gedung Kepala Daerah. Oleh karena itu dengan senang hati komandan itu menerima permintaan Siauw Goat dan demikianlah, pagi-pagi benar Siauw Goat sudah bangun, membawa gendewa dan anak panahnya lalu ikut dengan rombongan pasukan itu keluar dari Lhagat untuk menyusul dan mencari pasukan pertama.

Biarpun hati Lauw Sek sudah tidak begitu khawatir lagi setelah mendengar bahwa Siauw Goat ikut bersama pasukan, namun dia tetap keluar dari dusun itu untuk mencarinya.

Adalah menjadi kewajibannya seperti dijanjikan kepada mendiang Kakek Kun untuk menjaga Siauw Goat. Kalau sampai terjadi sesuatu dengan anak itu, dia akan merasa menyesal selama hidupnya! Lauw Sek berlari cepat mengejar rombongan pasukan yang menuju ke barat. Dia telah ketinggalan beberapa jam lamanya.

Menjelang tengah hari, ketika dia tiba di puncak sebuah bukit, dan memandang ke bawah ke arah barat, nampaklah olehnya serombongan orang. Hatinya berdebar tegang karena dia mengenal orang yang berpakaian seragam. Yang membuatnya tegang dan khawatir adalah ketika dia melihat mereka itu menggotong mayat beberapa orang! Larilah Lauw Sek dan baru hatinya merasa lapang ketika dia mengenal Siauw Goat berada di antara mereka. Dara cilik ini masih memegang busur dan dia berjalan dengan langkah tegap di samping komandan pasukan, sedangkan anak buah pasukan itu ternyata menggotong mayat-mayat sebanyak tujuh orang!

“Siauw Goat....!” Lauw Sek memanggil girang sambil berlari menghampiri.

“Lauw-pek, engkau mau ke mana?” tanya gadis cilik itu.

Lauw Sek memandang dengan mata terbelalak, menahan kemarahannya.
“Ke mana lagi kalau tidak mencarimu, anak nakal? Kenapa engkau pergi tanpa pamit?”

Siauw Goat tersenyum.
“Habis, kalau pamit tentu Lauw-pek tidak akan menyetujui.”

Komandan itu cepat menghampiri Lauw Sek.
“Ah, Lauw-piauwsu, jadi puterimu ini tidak memberitahu bahwa dia ikut bersama kami? Ah, maafkan kami, kami kira dia sudah memberi tahu dan....”

“Sudahlah, syukur tidak terjadi sesuatu dengan dia. Dan mayat-mayat ini....“ dia tidak melanjutkan karena pandang matanya mengenal sepatu dan pakaian seragam pada mayat-mayat itu maka mengertilah dia bahwa mayat-mayat itu adalah mayat-mayat para perajurit pasukan pertama yang tiada kabar beritanya itu! Ternyata mereka juga telah menjadi korban, entah korban Yeti seperti yang dikabarkan orang, entah korban apa.

“Kami menemukan mereka di lereng bukit di sana, hanya ada tujuh orang yang telah tewas, sedangkan sisanya semua berada di dalam jurang yang amat curam, tak mungkin diambil lagi mayat-mayat mereka yang berada di dasar jurang itu.” kata komandan pasukan sambil menarik napas panjang.

“Siapa.... yang melakukan itu!” tanya Lauw Sek, pertanyaannya yang sia-sia karena sebetulnya semua orang, juga dia, menduga keras bahwa tentulah semua pembunuhan itu dilakukan oleh Yeti!

Komandan itu mengangkat pundak, lalu berkata lirih.
“Kami tidak menemukan siapa-siapa di sana, hanya melihat jejak kaki yang besar dan dalam....“

“Jejak....”

“Yeti, Pek-pek! Sudah pasti jejak mahluk kejam itu! Aku sudah minta kepada paman-paman ini untuk melanjutkan perjalanan mencari mahluk itu, akan tetapi mereka tidak mau dan lebih dulu hendak membawa pulang mayat-mayat itu. Aku ingin bertemu dengan dia, dan akan kuhabiskan panahku untuk membunuhnya!”

“Hushh, Siauw Goat, jangan lancang bicara kau!” Lauw-piauwsu berkata dan dia merasa serem, memandang ke kanan kiri.

“Apakah Pek-pek juga takut terhadap Yeti yang jahat itu? Hemm…, kalau Kong-kong masih hidup, tentu kong-kong akan mencarinya dan membunuhnya agar dia tidak lagi membunuhi banyak orang.”

Diam-diam Lauw Sek kagum sekali kepada anak perempuan ini dan mengertilah dia mengapa anak ini minta dibelikan busur dan anak panah. Kiranya diam-diam anak itu marah kepada Yeti yang membunuh banyak orang dan ketika terbuka kesempatan, dia ikut bersama pasukan itu dengan harapan untuk dapat membunuh Yeti!

Akan tetapi, keberanian yang nekat dari anak ini kelak dapat membuat repot kalau dia mengantar anak ini mencari orang tuanya, pikirnya. Maka di sepanjang perjalanan kembali ke Lhagat, Lauw Sek mengomeli Siauw Goat dan memesan dengan keras bahwa anak itu selanjutnya tidak boleh pergi tanpa pamit.

“Siauw Goat, engkau tahu bahwa akulah yang bertanggung jawab atas keselamatanmu, maka engkau tidak boleh pergi begitu saja tanpa sepengetahuanku. Mengerti?”

Melihat wajah yang marah dan suara yang kaku itu, mulut kecil mungil itu merengut dan dia tidak menjawab, hanya mengangguk kaku. Selanjutnya, Siauw Goat tak pernah mau bicara lagi dalam perjalanan itu sampai mereka memasuki dusun Lhagat, disambut dengan wajah pucat oleh semua orang yang melihat mayat-mayat para perajurit keamanan itu dan mendengar tentang kematian seluruh pasukan pertama secara mengerikan dan juga aneh.

Makin paniklah orang-orang di situ, dan kini mereka membicarakan Yeti dengan suara berbisik-bisik, seolah-olah takut kalau-kalau mahluk iblis itu akan muncul kalau namanya disebut-sebut dengan keras.

Ratap tangis terdengar di Lhagat hari itu ketika keluarga para perajurit yang tewas itu menangisi kematian mereka. Penduduk merasa prihatin dan juga diam-diam marah sekali.

Kaum tua di Lhagat masih tetap berpendapat bahwa semua ini adalah gara-gara para orang kang-ouw yang berdatangan di Lhagat. Tentu di antara mereka itu ada yang mengusik Yeti sehingga mahluk yang oleh para penghuni Lhagat dianggap dewa penjaga gunung salju itu kini mengamuk dan membunuh orang tanpa pilih bulu lagi. Maka kaum tua ini lalu mendesak kepala daerah untuk melakukan upacara sembahyang agar dewa itu berhenti mengamuk.

Akan tetapi di kalangan orang kang-ouw yang berada di Lhagat, diam-diam merasa curiga. Mungkinkah Yeti yang mengamuk? Seorang atau seekor Yeti saja? Ataukah ada rahasia tersembunyi di balik pembunuhan-pembunuhan itu? Mereka semua tahu bahwa kini banyak tokoh-tokoh besar kaum sesat juga berada di daerah itu untuk mencari dan memperebutkan pedang pusaka yang dicuri orang dari dalam istana. Dan pembunuh-pembunuhan seperti itu hanya dapat dilakukan oleh golongan sesat, tentu saja kalau bukan Yeti pelakunya.

Siauw Goat yang agak marah karena terus diomeli oleh Lauw-piauwsu, tidak mau ikut pulang melainkan memasuki sebuah warung yang pemiliknya telah menjadi kenalan baiknya. Melihat gadis cilik itu kelihatan marah, Lauw-piauwsu hanya menarik napas panjang saja dan maklum bahwa dia sungguh memperoleh tugas yang amat berat dari mendiang Kakek Kun. Gadis cilik ini sukar sekali dikendalikan!

Masuknya Siauw Goat ke dalam restoran kecil itu disambut oleh pemilik warung dan para pelayannya dengan senyum gembira.

“Heii, Goat-siocia! Kami dengar engkau ikut bersama rombongan pasukan yang menemukan mayat-mayat itu! Ceritakanlah kepada kami!” teriak Si Pemilik Warung.

“Ceritakan apa lagi!” kata Siauw Goat dengan nada tak senang. “Mereka semua telah mati oleh iblis terkutuk Yeti itu!”

“Siocia....!”

Semua orang terkejut dan memandang kepada dara cilik itu dengan mata terbelalak dan muka pucat. Yeti dianggap dewa penunggu Gunung Salju oleh mereka, merupakan mahluk yang sakti dan dapat memberkahi atau mengutuk mereka. Dan kini gadis cilik itu seenaknya saja menamakan dewa itu iblis terkutuk!

Melihat sikap ini, Siauw Goat menjadi makin mendongkol. Betapa semua orang takut kepada Yeti, bahkan Lauw-piauwsu juga ketakutan! Dia lalu membusungkan dadanya yang masih belum penuh betul itu, lalu berkata,

“Tunggu saja, kalau aku bertemu dengan Yeti si iblis terkutuk, aku akan menghabiskan semua anak panahku untuk membunuhnya!”

Semua orang menjadi semakin kaget, dan pada saat itu terdengar suara ketawa seorang laki-laki di sudut warung. Laki-laki ini sedang minum arak dari sebuah cawan, agaknya dia setengah mabok. Kepalanya bergoyang-goyang ketika dia tertawa dan berkata,

“Ha-ha, omongan bau kentut busuk, bau kentut busuk....!”

Semua orang menahan ketawanya. Tentu saja yang dimaksudkan oleh Si Pemabok itu adalah omongan Siauw Goat yang dianggap kentut busuk alias omong kosong. Dan memang semua orang menganggapnya omong kosong. Gadis cilik seperti ini menantang Yeti dan bersumbar akan membunuhnya?

Akan tetapi Siauw Goat menjadi marah bukan main mendengar ejekan itu. Secepat kilat dia telah memasang sebatang anak panah pada busurnya dan sekali busurnya menjepret, anak panah itu menyambar ke arah Si Pemabok.

“Tringgg!”

Cawan di tangan Si Pemabok itu tepat terkena anak panah dan terlepas dari tangannya. Arak muncrat dan menyiram mukanya.

“Ehhh....?” Si Pemabok bangun dan memandang kepada Siauw Goat dengan marah. “Berani engkau....?” .

Akan tetapi beberapa orang pelayan memegang pundaknya dan berkata,
“Ssttt.... kau sudah mabok rupanya. Pulanglah, A-kauw, kau lupa bahwa dia ini adalah Goat-siocia puteri Lauw-piauwsu. Pergilah....!”

Ternyata nama Lauw-piauwsu sudah amat terkenal di Lhagat dan akhirnya Si Pemabok dapat dibujuk-bujuk meninggalkan warung itu, sedangkan Siauw Goat masih berdiri tegak sambil tangan kirinya bertolak pinggang dan tangan kanan memegang busurnya.

“Hemm, engkau makin angkuh saja....!”

Tiba-tiba terdengar suara halus. Siauw Goat cepat memutar tubuhnya menengok ke arah suara itu dan ternyata di sudut yang lain duduk seorang sastrawan muda yang pernah dikenalnya. Hatinya sedang kesal, maka bertemu dengan orang yang pernah dikenalnya, bahkan yang diketahuinya merupakan seorang yang berilmu tinggi, maka gembiralah hatinya, lupa bahwa dahulu dia juga sering kali mendongkol kepada sastrawan muda itu.

“Eh, kau di sini?” tegurnya seperti menegur seorang kawan sebaya saja, dan Siauw Goat dengan wajah yang manis berseri lalu berloncatan menghampiri.

Sikap yang demikian lincah, senyum yang demikian manis dan wajah yang berseri-seri itu tidak mungkin membuat hati orang tinggal beku. Sastrawan muda itu pun menahan senyumnya dan setelah mereka saling berpandangan, sastrawan muda itu lalu bangkit berdiri dan berkata.

“Duduklah, dan kalau engkau suka, mari makan dan minum denganku.”

“Kalau suka? Tentu saja! Aku haus sekali dan.... wah, perutku lapar bukan main, agaknya....“ dia menengok ke arah pemilik warung dan pelayannya, lalu melanjutkan dengan kesengajaan yang nakal. “agaknya aku bisa menghabiskan seekor Yeti panggang saus tomat sekarang ini!”

Tentu saja wajah pemilik warung dan para pelayannya amat lucu untuk dipandang, dan sastrawan muda itu pun hampir tak kuat menahan senyumnya.

“Lopek, tambahkan lagi bakminya, daging panggang dan.... eh, Siauw Goat, apa engkau suka minum arak?”

Gadis cilik itu menggeleng kepala.
“Untuku teh panas saja!”

Dia pun lalu duduk dan tak lama kemudian gadis cilik ini sudah makan minum sambil mengobrol dengan asyiknya bersama sastrawan itu. Kalau tadi dia tidak mempedulikan permintaan pemilik warung dan para pelayan, kini dengan sukarela tanpa diminta dia menceritakan pengalamannya ketika dia mengikuti rombongan pasukan dan menemukan mayat-mayat dari pasukan pertama di bukit itu.

“Wah, jejak kaki itu besar dan dalam sekali, Paman! Agaknya itulah jejak kaki Yeti. Apakah dulu Paman juga pernah melihatnya?”

Cara gadis cilik ini bicara amat ramah dan seolah-olah dia bicara dengan seorang pamannya sendiri, membuat sastrawan itu pun merasa gembira dan sebutan paman yang demikian akrab itu membuatnya tersenyum. Selama dalam perjalanan, belum pernah Siauw Goat melihat orang ini tersenyum maka ketika melihat wajah tampan itu tersenyum, dia kagum dan memandang dengan bengong.

“Hei, apa yang kau pandang?” sastrawan itu berseru.

“Wajahmu! Engkau.... tampan sekali kalau tersenyum, Paman! Kenapa engkau tidak mau sering tersenyum atau tertawa, sebaliknya selalu muram saja yang menyelimuti ketampananmu?”

Sepasang mata yang biasanya muram dan mencorong aneh itu kini terbelalak. Kejujuran dan kepolosan watak gadis cilik ini amat menarik hatinya, juga mengejutkan. Perlahan-lahan wajah yang muram itu berseri.

“Engkau pun manis sekali, Siauw Goat.”

Gadis cilik itu mengangguk! Agaknya dia pun sudah yakin akan kemanisan wajahnya, yakin akan dirinya sendiri seperti sudah diperlihatkan tadi ketika dia memanah cawan dari tangan Si Pemabok tadi. Kalau tidak yakin kepada diri sendiri tentu dia akan merasa ragu dan takut kalau-kalau panahnya meleset dan mengenai tubuh orang itu!