FB

FB


Ads

Sabtu, 20 Juni 2015

Jodoh Rajawali Jilid 156 (TAMAT)

Pantai laut itu sunyi sekali sungguhpun keramaian orang-orang nampak dari situ, agak jauh di selatan, yaitu keramaian para nelayan yang baru datang dari mencari ikan dan pantai di selatan itu menjadi semacam pasar pula, pasar ikan yang cukup ramai karena dikunjungi pula oleh pedagang-pedagang ikan dari kota-kota di pedalaman. Akan tetapi di pantai agak ke utara itu, amat sunyi dan tidak nampak seorang pun manusia.

Pantai ini amat indah dan bersih karena penuh dengan pasir yang berwarna putih, pagi itu nampak lebih putih dari biasanya karena sinar matahari pagi yang amat cerah. Akan tetapi, di tempat sunyi itu kini nampak seorang dara yang berdiri termenung, berdiri seorang diri sejak tadi dan matanya merenung jauh menyeberangi lautan menuju ke utara. Jauh di sana, sebelah utara, tidak nampak dari situ, terdapat sekumpulan pulau-pulau dan di antara pulau-pulau itu terdapat dua buah pulau yang kini terbayang di depan mata dara itu. Pulau Neraka dan Pulau Es!

Dia telah meyakinkan hati Ceng Ceng, bekas subonya yang kini tidak lagi mau disebut subo (ibu guru), melainkan dia harus menyebutnya enci, bahwa dia dapat menjadi penunjuk jalan dan bahwa perahu yang cukup kuat dapat dia layarkan menuju ke Pulau Es. Memang dia sendiri belum pernah mendarat di Pulau Es, akan tetapi dia semenjak kecil hidup di Pulau Neraka dan dia bukan hanya dapat mengetahui di mana letaknya Pulau Es, bahkan sering kali dia dahulu naik perahu dan melihat Pulau Es dari jauh, karena ayah angkatnya, Hek-tiauw Lo-mo, dulu selalu melarang dia untuk mendekati Pulau Es yang dianggap amat berbahaya dan menjadi tempat larangan bagi semua orang dari Pulau Neraka.

Ceng Ceng pergi mencari nelayan yang mau menyewakan perahunya atau yang mau menjual perahunya, dan Hwee Li, dara yang kini berdiri termenung di tepi laut itu, mempergunakan waktu luang itu untuk berdiri termenung dan memandang ke utara. Menurut pendapat Ceng Ceng, sebaiknya mereka langsung saja menuju ke Pulau Es untuk menemui keluarga Suma, daripada susah payah mencari Kian Lee yang belum jelas ke mana perginya itu. Ceng Ceng menenangkan hati Hwee Li yang gelisah bahwa bekas subonya itulah yang akan sanggup menjadi “juru bicara” nanti di Pulau Es! Dan Hwee Li tidak membantah lagi.

“Hwee Li....!”

Gadis itu memutar tubuh demikian cepatnya seperti disengat kelabang, karena dia memang terkejut bukan main mendengar suara itu. Suara Kian Lee! Dan memang benarlah. Di depannya telah berdiri Kian Lee! Agak kurus dan agak pucat, akan tetapi sepasang matanya bersinar-sinar membayangkan kebahagiaan karena pertemuan itu.

Memang hati Kian Lee merasa bahagia sekali. Dia telah berhasil menemukan jejak Hwee Li dan keterangan-keterangan yang didapatnya membawa dia ke dusun kecil di tepi pantai itu. Dan betapa girang hatinya ketika akhirnya dia melihat dara itu seorang diri saja di tepi pantai yang sunyi ini. Dan betapa cantiknya Hwee Li. Wajahnya segar kemerahan, rambutnya yang dia tahu amat halus dan harum itu agak kusut karena dibelai angin laut. Pakaiannya yang berwarna serba hitam menempel ketat di tubuhnya karena tertiup angin pula, mencetak bentuk tubuhnya yang indah.

“Hwee Li....!”

Dia berseru kembali, dan di dalam suaranya terdengar bayangan khawatir dan duka melihat betapa sepasang mata yang amat tajam itu kini mencorong penuh kemarahan.

“Ah, engkau....?” Suara itu tetap merdu seperti biasa, suara yang selalu dirindukan Kian Lee sejak mereka saling berpisah, akan tetapi kini terdengar demikian dingin dan kaku. “Kebetulan sekali, aku tidak perlu mencarimu ke Pulau Es!”

“Kau.... kau tadinya hendak mencariku ke Pulau Es?” Kian Lee berseru girang.

“Benar, akan tetapi kini tak perlu lagi, di sini pun sama saja. Bersiaplah!”

“Apa?” Mata Kian Lee terbelalak, tidak mengerti. “Apa maksudmu, Hwee Li?”

“Bersiaplah, kita selesaikan perhitungan di tempat sunyi ini, dengan perkelahian!”

“Ah, Hwee Li, mengapa begitu? Bukankah kita.... sahabat-sahabat baik? Aku.... aku cinta padamu, Hwee Li....”

“Diam! Lupakah kau bahwa aku keturunan pemberontak! Dan engkau ini putera Majikan Pulau Es, putera Pendekar Super Sakti, keluarga langit? Sedangkan aku ini apa? Hayo, jangan bilang bahwa engkau takut menghadapi anak pemberontak macam aku!”

“Hwee Li, jangan.... aku.... aku....”

Akan tetapi Hwee Li sudah menerjang maju dan memukul ke arah dada Kian Lee. Pukulan itu keras sekali dan Kian Lee hanya mempergunakan sedikit tenaga untuk menangkis. Dia tahu sampai di mana tingkat kepandaian dan tenaga dara ini, maka tentu saja dia tidak mau menyakitinya dan hanya menangkis dengan tenaga terbatas saja.

“Desssss....!”

Dan tubuh Kian Lee terlempar sampai empat meter dan terbanting ke atas tanah. Untung tanah di situ berpasir sehingga dia tidak menderita nyeri, hanya terkejut setengah mati karena tenaga Hwee Li sama sekali tidak seperti biasa, amat kuatnya.

“Hayo bangunlah dan lawanlah aku, kalau engkau bukan pengecut rendah!” bentak Hwee Li yang sudah menghampiri dengan dua tangan dikepal.

“Hwee Li.... jangan.... aku merasa bersalah kepadamu, kau ampunkanlah aku.... ah, aku telah gila, aku seperti buta ketika aku merendahkanmu. Aku.... semenjak kita berpisah, aku menderita, Hwee Li, baru aku tahu bahwa aku mencinta engkau, dan engkau adalah Hwee Li, tanpa tambahan lagi, entah anak siapapun juga, tidak ada sangkut-pautnya dengan pribadimu.”

“Cerewet! Kau bangkit dan lawanlah seperti jantan!” bentak Hwee Li dan ketika Kian Lee bangkit berdiri, dia sudah menyerang lagi.

Kian Lee cepat mengelak karena serangan Hwee Li itu cepat dan kuat bukan main, angin pukulannya sampai mengeluarkan suara bersuitan. Dia terkejut sekali dan ketika Hwee Li menyusulkan serangan lain secara bertubi-tubi, dia terus mengelak. Tentu saja dia ingin mengalah terhadap dara ini. Akan tetapi, makin lama, serangan Hwee Li makin kuat dan cepat saja.

Kian Lee merasa terkejut dan heran bukan main. Mengapa dalam waktu singkat saja kini dara itu telah memiliki kepandaian yang demikian hebatnya? Jangankan mengalah, biar dia bersungguh-sungguh sekalipun, belum tentu dia akan menang menghadapi serangan-serangan yang demikian cepat dan ampuhnya, terutama sekali tenaga gadis itu kini benar-benar amat mengejutkan.

“Hwee Li, dengarlah, tunggu dulu....”






Akan tetapi begitu dia bicara, kewaspadaannya berkurang dan sebuah pukulan keras menyerempet pundaknya, membuat dia terpelanting lagi, ke atas pasir. Akan tetapi Hwee Li tidak menyusulkan serangan, hanya membentak,

“Hayo bangun! Bangun....! Ahhh, bangun engkau, pengecut!”

Kian Lee mengguncang-guncang kepalanya yang berkunang-kunang, kemudian dia meloncat bangun, terus meloncat ke belakang.

“Hwee Li, hebat kau! Dari mana engkau memperoleh kepandaian seperti ini? Dengar.... aku mengaku kalah, aku mengaku salah.”

“Sambut ini!” Kembali Hwee Li sudah menerjang dengan hebat.

Kian Lee merasa penasaran juga. Tidak mungkin dia mengalah terus karena tingkat kepandaian Hwee Li benar-benar sudah hebat sekali. Akan tetapi, dia tidak tega untuk mempergunakan pukulan-pukulan berbahaya terhadap dara yang dicintanya ini, maka dia hanya mengelak dan menangkis sedapat mungkin terhadap hujan serangan itu.

Kini dia harus mengerahkan seluruh perhatiannya karena ilmu silat yang dimainkan oleh dara itu amat aneh, gerakan-gerakannya masih kaku tanda bahwa kurang latihan, namun benar-benar hebat gerakan itu dan terutama sekali tenaga yang terkandung dalam setiap pukulan itu benar-benar amat kuat!

Terjadilah perkelahian yang amat seru di tepi pantai yang sunyi itu. Tubuh mereka berputar-putar, berkelebatan ke sana-sini dengan cepatnya sampai sukar diikuti dengan pandang mata. Kian Lee tidak berani bicara lagi karena sekali bicara, dia terancam oleh pukulan yang membutuhkan seluruh perhatiannya untuk menjaga diri jangan sampai kena terpukul. Dan untuk mematahkan serangan bertubi-tubi itu, dia pun kadang-kadang terpaksa membalas dengan pukulan yang tidak berbahaya, namun yang cukup membuat dara itu membatalkan serangannya untuk balas menangkis atau mengelak.

Saking serunya mereka bertanding, mereka sampai tidak sadar bahwa sejak tadi, muncul dua orang di tempat itu. Pertama-tama yang muncul adalah Ceng Ceng dan wanita ini tadinya terkejut menyaksikan Hwee Li sudah menyerang Kian Lee dengan mati-matian seperti itu dan Kian Lee selalu bersikap mengalah. Akan tetapi Ceng Ceng membiarkan saja mereka berkelahi karena dia pun ingin memberi hajaran kepada Kian Lee yang telah menyakitkan hati Hwee Li.

Kemudian muncul pula Pendekar Super Sakti yang tersenyum dan mengelus jenggotnya menyaksikan perkelahian itu. Pendekar ini sudah mengenal pukulan-pukulan aneh dari Hwee Li, dan sekarang, melihat betapa Kian Lee terus mengalah dan dara itu sebaliknya tidak pernah mengeluarkan pukulan-pukulan yang luar biasa dan mematikan itu, tahulah dia bahwa gadis itu menyerang hanya karena dorongan kemarahan saja, akan tetapi sedikit pun tidak mempunyai niat membunuh atau merobohkan Kian Lee dengan luka parah. Dia mengangguk-angguk dan menyaksikan dengan wajah berseri. Dia merasa geli, akan tetapi juga siap dan waspada untuk mencegah kalau sampai timbul bahaya bagi kedua fihak dalam perkelahian itu.

Sudah lebih dari seratus jurus mereka berkelahi dan beberapa kali Kian Lee terkena pukulan walaupun tidak telak dan hanya membuat dia terpelanting atau terhuyung saja. Namun selalu Hwee Li menyuruh dia bangkit lagi dan menyerang lagi. Kian Lee menjadi bingung. Melawan, hatinya tidak tega, tidak melawan, ternyata dara itu terus menyerangnya dengan hebat. Akhirnya dia mendapatkan akal. Ketika Hwee Li menyerang lagi, dia mengerahkan Swat-im Sin-kang, akan tetapi membuat dadanya menjadi lunak dan dia menerima pukulan itu langsung dengan dadanya.

“Bukkk!” Tubuh Kian Lee terpelanting dan roboh terlentang, tak bergerak lagi!

“Hayo bangun! Bangun dan lawanlah aku!” bentak Hwee Li sambil menghampiri.

Akan tetapi sekali ini pemuda itu tidak bangkit lagi, melainkan rebah terlentang dengan muka pucat kebiruan dan sedikit pun tidak bergerak, kedua matanya terpejam dan napasnya terhenti.

“Hayo bangun....!”

Hwee Li membentak akan tetapi suaranya bercampur keraguan dan kekhawatiran. Lalu dia membungkuk, wajahnya berubah pucat, matanya terbelalak, kedua tangan yang terkepal itu kini terbuka jari-jarinya dan dia meraba sana raba sini, meraba dada dan pergelangan tangan lalu dia menjerit.

“Kian Lee....!” Dan dia sudah mengguncang-guncang tubuh itu, sambil menangis sejadi-jadinya.

“Kian Lee....! Kian Lee....! Bangunlah.... ah, jangan kau mati.... uh-huuuuu, Kian Lee....! Kau.... kau.... ah, aku telah membunuhmu.... telah membunuhmu.... huuu-huuu-huuuhhh....!”

Dia memeluki tubuh itu, membasahi muka itu dengan air matanya, mengguncang-guncang dan akhirnya dia menangis mengguguk di atas dada Kian Lee.

Dengan langkah lebar Ceng Ceng sudah menghampiri tempat itu.
“Hwee Li, apa yang telah kau lakukan ini?” bentaknya dengan kaget bukan main.

Sekali pandang saja tahulah dia bahwa Kian Lee telah mati! Muka pemuda itu pucat kebiruan, napasnya terhenti dan sama sekali tidak lagi membayangkan kehidupan.

“Hwee Li, dia.... dia.... mati....?”

Hwee Li menoleh dan menubruk Ceng Ceng.
“Subo....! Enci Ceng...., kau bunuh saja aku.... ah, kau bunuh saja aku.... huuu-hu-huuuuuh, aku.... aku telah memukulnya mati.... tidak sengaja, Enci.... ah, sungguh celaka.... bagaimana, Enci, bagaimana....?”

Dara itu menangis lagi, menubruk tubuh Kian Lee, lalu menubruk lagi Ceng Ceng, bingung dan menangis seperti anak kecil. Ceng Ceng juga merasa bingung sekali, tak disangkanya perkelahian itu akan berakibat seperti itu. Dia merasa betapa Hwee Li terlalu ganas dan kejam.

“Hwee Li, mengapa kau lakukan ini? Mengapa kau sampai memukulnya mati? Bukankah engkau.... cinta padanya?”

Ceng Ceng tak dapat menahan lagi tangisnya melihat pemuda yang pernah mencintanya itu kini rebah terlentang tak bernyawa lagi.

“Aku tidak sengaja.... sungguh, aku tidak sengaja.... dia biasanya demikian kuat.... ah, Enci biar aku mati saja, biar aku mati saja! Kau pukullah aku Enci, kau bunuhlah aku....!”

Akan tetapi tentu saja Ceng Ceng tidak mau melakukan hal itu dan sebaliknya dia malah memeriksa Kian Lee. Hwee Li menangis tersedu-sedu dan menutupi kedua matanya, mengeluh panjang pendek dan bersambat minta mati. Ketika Ceng Ceng memeriksa detak nadi di pergelangan tangan Kian Lee, dia tidak merasakan denyutan sedikit pun juga, dan ketika dia meraba dada pemuda itu, juga dia tidak merasakan apa-apa.

Akan tetapi ketika dia memandang wajah yang pucat kebiruan itu, tiba-tiba saja sepasang mata itu terbuka, lalu yang sebelah kiri berkedip kepadanya dan mulut pemuda itu tersenyum, lalu kedua matanya terpejam lagi! Hampir saja Ceng Ceng menjerit, kemudian dia hampir tak dapat menahan ketawanya. Kiranya pemuda ini tidak mati! Sama sekali tidak, hanya entah dengan ilmu apa pemuda itu dapat bersikap seperti benar-benar mati itu, tanpa detak nadi dan denyut jantung! Bukan main lapang rasa dadanya dan kini dia ingin menggoda Hwee Li.

“Nah, bagaimana sekarang? Engkau selalu keras kepala sih! Sudah jelas bahwa engkau dan dia saling mencinta, akan tetapi engkau memaksa dia untuk berkelahi!” dia mengomeli Hwee Li yang masih menangis.

Tiba-tiba Hwee Li meloncat berdiri dan tahu-tahu dia telah memegang pedang. Ceng Ceng terkejut bukan main. Dara itu telah dapat mencuri pedangnya tanpa dia merasa sama sekali!

“Hwee Li, jangan....!”

“Lebih baik mati menyusul Kian Lee!” Hwee Li berseru dan menggerakkan pedang untuk menggorok leher sendiri.

“Plakkk!”

Pedangnya terlepas dari pegangan dan Pendekar Super Sakti Suma Han telah berdiri di situ, memandang Hwee Li dengan sinar mata penuh teguran.

“Membunuh diri hanya tindakan seorang yang rendah dan pengecut!” bentaknya.

Melihat kakek ini, Hwee Li menjerit dan menangis, menubruk kaki Suma Han dan mengguguk, kemudian di antara tangisnya dia merintih,

“Paman.... tolonglah.... tolonglah.... atau bunuhlah aku.”

“Tenanglah, Hwee Li. Apakah engkau benar-benar mencinta Kian Lee sehingga engkau mau mati untuknya?”

“Aku cinta padanya, Paman, aku cinta padanya melebihi nyawaku sendiri!”

“Aku dapat menolongnya, dia belum mati dan aku dapat menyembuhkannya. Akan tetapi....”

“Ah, Paman, sembuhkanlah dia.... hidupkanlah dia.... aku berjanji akan melakukan apa pun juga untukmu.!”

Suma Han tersenyum.
“Dia itu puteraku, tentu saja sudah semestinya aku menolongnya. Akan tetapi dia dan aku sendiri pernah bersalah kepadamu, maka tidak semestinya dia kuhidupkan. Bukankah dia telah menghinamu, seperti juga aku?”

“Tidak.... tidak...., aku sudah memaafkan dia, Paman.”

“Aku hanya mau menghidupkannya, akan tetapi hanya dengan satu syarat.”

“.... ya? Apa syaratnya....?” Hwee Li memohon.

“Syaratnya, engkau harus mau menjadi isterinya! Bagaimana?”

“Aku mau! Aku mau....!” Hwee Li menangis. “Ohhh, aku mau....!”

Suma Han tidak tega menggoda terus. Dia lalu menghampiri Kian Lee, pura-pura menotok sana-sini, dan meraba sana-sini. Padahal, tidak diapa-apakan pun pemuda itu akan dapat bangkit sendiri! Karena dia “mati” hanya sebagai akal dengan mempergunakan sinkang Swat-im Sin-kang yang sudah mencapai puncaknya sehingga seorang yang lihai seperti Ceng Ceng sendiri pun dapat dikelabui.

Terdengar pemuda itu mengeluh, bergerak dan bangkit duduk. Tanpa mempedulikan orang lain, Hwee Li menubruk dan memeluk pemuda itu.

“Kian Lee, kau.... kau maafkan aku....”

“Kian Lee, kau.... kaumaafkan aku....”

Kian Lee tersenyum dan balas memeluk.
“Hwee Li, akulah yang bersalah. Kaulah yang harus memaafkan aku, aku pernah mencaci maki padamu.”

Mendengar ini, Hwee Li melepaskan rangkulannya, menjauhkan diri dan cemberut.
“Engkau memang terlalu....” katanya dengan muka membayangkan kemarahan. Akan tetapi ketika Kian Lee merangkulnya lagi, dia menangis dan membenamkan muka ke dada pemuda itu!

Mereka berempat lalu mencari sebuah perahu besar yang dibeli oleh Suma Han. Perahu itu cukup besar dan mempunyai layar yang kuat. Mereka bertiga, Suma Han, Suma Kian Lee, dan Kim Hwee Li adalah orang-orang yang berasal dari Pulau Es dan Pulau Neraka, tentu saja mereka itu ahli berlayar, dan mereka bertiga sudah cukuplah untuk melayarkan perahu itu ke Pulau Es. Setelah mengisi perahu dengan perbekalan, mereka lalu naik ke perahu, diantar oleh Ceng Ceng.

Hwee Li merangkul bekas gurunya dan mencium pipi Ceng Ceng.
“Banyak terima kasih atas segala kebaikanmu dan pertolonganmu, Subo.”

“Hushhh!” Ceng Ceng mencubit dagu dara yang cantik jelita itu. “Aku bukan subomu! Kelak aku malah ingin mempelajari satu dua macam pukulan darimu. Malu ah mempunyai murid yang lebih pandai daripada gurunya.”

“Kalau begitu, selamat berpisah, Enci Ceng....”

“Ihhh! Bagaimana sih ini? Hai, Paman Kian Lee, dengar nih calon isterimu menyebutku enci! Aku sendiri harus menyebutnya bibi, bagaimana dia boleh menyebutku enci?”

Kini Hwee Li yang mencubit lengan Ceng Ceng dan mukanya menjadi merah. Memang menyulitkan sekali sebut-menyebut itu. Ceng Ceng sebaya dengan Kian Lee, namun pemuda itu masih terhitung pamannya! Dan biarpun usianya sendiri tidak begitu banyak selisihnya dengan Ceng Ceng, hanya selisih kurang lebih tujuh tahun saja, namun nyonya muda itu pernah menjadi gurunya! Dan kini dia akan menjadi isteri dari paman gurunya itu! Lebih dari itu lagi, dia malah masih terhitung sumoi dari suami gurunya, setelah dia mewarisi ilmu-ilmu dari Dewa Bongkok!

“Enci, kelak engkau harus datang, bersama suamimu dan Cin Liong, kalau aku.... aku menikah. Harus lho!”

Hwee Li berkata dan agaknya berat baginya untuk berpisah dengan wanita yang selama ini amat dikasihinya, sebagai pengganti ibu baginya itu.

“Baik, asal aku dijemput perahu karena untuk pergi ke sana sendiri aku tidak berani!” kata Ceng Ceng.

“Jangan khawatir, Ceng Ceng. Aku akan mengirim perahu untuk menjemputmu,” kata Kian Lee memandang wanita yang pernah dicintanya itu.

Ceng Ceng memberi hormat kepada Suma Han dan menghaturkan selamat jalan. Dia masih berdiri di pantai dengan tangan melambai ketika perahu mulai bergerak ke tengah.

Akan tetapi tiba-tiba terdengar teriakan dari jauh,
“Haiii, tungguuuuu! Kami ikut....!”

“Bu-te....!”

Kian Lee berteriak dan mendayung perahu itu ke pinggir lagi, wajahnya berseri penuh kegembiraan melihat dua orang yang berlari cepat seperti terbang menuju ke tempat itu. Dari jauh saja dia sudah mengenal pemuda yang berlari cepat dengan rambut putih panjang berkibar-kibar itu.

“Siang In....!” Hwee Li juga berseru girang mengenal dara cantik yang berlari di samping Kian Bu.

“Kian Bu....?”

Suma Han berdiri bengong memandang pemuda rambut putih panjang itu, hatinya seperti diremas rasanya bertemu dengan puteranya yang sudah enam tujuh tahun tak pernah dijumpainya ini dan yang tahu-tahu telah menjadi Siluman Kecil, julukan yang sama diberikan orang kepadanya, karena rambut puteranya itu putih panjang seperti rambutnya pula.

“Ayah....! Lee-ko....!”

Suma Han, Kian Lee, dan Hwee Li berloncatan ke darat kembali dan Kian Bu sudah berlutut di depan kaki ayahnya sedangkan Kian Lee memeluknya. Kemudian Suma Han menarik Kian Bu bangun, dipandangnya puteranya itu dari kepala ke kaki dengan mata basah, lalu dirangkulnya.

Setelah agak reda keharuan yang timbul karena pertemuan itu, dengan girang dan bangga Kian Bu lalu memperkenalkan Siang In yang tadi bercakap-cakap dengan Hwee Li, kepada ayahnya,

“Ayah, inilah calon mantu Ayah, calon isteriku, namanya....”

“Teng Siang In! Aku sudah mendengar dari kakakmu, Bu-ji,” kata Suma Han sambil tersenyum memandang dara cantik jelita itu.

Dengan muka berubah merah sekali, Siang In lalu maju dan memberi hormat kepada Suma Han, tanpa berani mengangkat mukanya.

“Ah, tidak kusangka bahwa kakek yang menolongku itu adalah suhumu, Siang In, dan gurumu itu telah....”

“Aku sudah menceritakan hal itu kepadanya, Paman,” kata Hwee Li dan Siang In hanya menunduk saja, dengan kuat dara ini dapat menahan kedukaannya mendengar bahwa gurunya, See-thian Hoat-su, telah tewas sampyuh ketika mengadu sihir dengan Durganini dalam usahanya mencegah Durganini menyerang Suma Han. Gurunya itu sudah tahu akan hubungan cintanya dengan Siluman Kecil, maka gurunya tentu melarang bekas isteri yang pikun itu menyerang calon besannya.

“Mendiang suhu sudah sangat tua dan banyak menderita dari bekas isterinya itu. Sekarang beliau telah tenang dan terima kasih banyak saya haturkan atas budi kebaikan Locianpwe yang telah menyempurnakan jenazahnya,” katanya kepada Suma Han.

Pendekar ini mengangguk-angguk dengan girang. Dara ini juga lincah jenaka seperti Hwee Li, akan tetapi memiliki kekuatan batin yang menonjol, agaknya karena telah mempelajari ilmu sihir dari gurunya yang ahli sihir itu. Diam-diam pendekar Pulau Es ini merasa bahagia sekali. Dua orang calon mantunya bukan dara-dara sembarangan!

“Ah, kami akan beramai-ramai pergi ke Pulau Es! Enci Ceng, kenapa kau tidak ikut sekalian?” Hwee Li yang gembira itu berkata.

Ceng Ceng tersenyum dan menggeleng kepala.
“Tempatku di daratan sini, bersama suami dan anakku. Kelak aku pasti datang menghadiri pesta pernikahan kalian semua.”

Suma Han tertawa dan menghampiri Ceng Ceng.
“Sampaikan kepada suamimu bahwa aku sekeluarga minta bantuannya untuk mengedarkan undangan-undangan kepada handai-taulan kalau sudah tiba saatnya nanti.”

“Tentu saja, Locianpwe,” kata Ceng Ceng, tidak berani menyebut “kakek” walaupun pendekar itu adalah suami dari Lulu, nenek kandungnya!

Tak lama kemudian berangkatlah perahu itu, kini dikemudikan oleh kakak beradik Suma Kian Lee dan Suma Kian Bu, dua orang pemuda dari Pulau Es yang tadinya meninggalkan Pulau Es dalam usia sekitar enam belas tahun, dan seperti sepasang rajawali perkasa mereka mengarungi daratan besar mengalami banyak sekali hal-hal yang hebat dalam Kisah Sepasang Rajawali dan Jodoh Rajawali!

Dan kini mereka berlayar kembali ke Pulau Es bersama calon isteri masing-masing. Sepasang Rajawali itu telah menemukan jodoh masing-masing! Ceng Ceng memandang dari pantai laut sampai akhirnya perahu itu makin menghilang.

Beberapa bulan kemudian, lima buah perahu besar menjemput para tamu yang berkumpul di dusun tepi laut itu untuk menghadiri pesta pernikahan dua pasang pengantin di Pulau Es! Tentu saja berbondong orang-orang kang-ouw berdatangan ke tempat itu. Seperti sebuah dongeng saja. Mengunjungi Pulau Es yang tadinya hanya mereka kenal dalam dongeng saja!

Di antara mereka yang ikut hadir dan ikut dalam perahu-perahu besar itu tentu saja terdapat keluarga dari Pulau Es sendiri, dan orang-orang terdekat seperti Milana, Gak Bun Beng dan dua orang anak kembar mereka, Gak Jit Kong dan Gak Goat Kong, kemudian Ceng Ceng dan Kao Kok Cu bersama anak mereka Kao Cin Liong. Nampak pula Pangeran Yung Hwa yang mewakili pemerintah atau keluarga istana, dan juga hadir Hek-sin Touw-ong, Sai-cu Kai-ong, Sin-siauw Seng-jin, dan masih banyak tokoh besar lain, termasuk wakil-wakil partai persilatan besar yang tentu saja ingin sekali melihat Pulau Es!

Pesta pernikahan itu cukup meriah, apalagi karena disaksikan oleh banyak tokoh besar di dunia kang-ouw. Muka-muka lama saling jumpa di situ dan suasana menjadi gembira sekali. Ketika dua pasang pengantin itu dipertemukan, suasana menjadi cerah dan penuh khidmat, diikuti oleh semua mata para tamu.

Sungguh mengagumkan sekali dua pasang pengantin itu. Kedua mempelai pria tampan dan gagah, Siluman Kecil nampak garang dan aneh dengan rambutnya yang putih mengkilap dan panjang, sedangkan dua orang mempelai wanita amatlah cantiknya, sukar dikatakan yang mana lebih cantik karena masing-masing memiliki kelebihan dan kecantikan yang khas.

Ketika dua pasang mempelai melakukan upacara pai-ciu, yaitu menyuguhkan arak kepada sang mertua dan orang tua, maka dua pasang mempelai itu berlutut di depan Pendekar Super Sakti Suma Han yang duduk diapit oleh kedua isterinya, yaitu Nirahai di sebelah kanan dan Lulu di sebelah kirinya.

Dua orang wanita tua itu tak dapat menahan keharuan hati mereka dan mereka menerima suguhan arak dalam cawan sambil bercucuran air mata. Suasana menjadi khidmat dan penuh keharuan, bahkan para tamu wanita banyak pula yang berlinangan air mata, termasuk Ceng Ceng, Milana dan yang lain-lain.

Malamnya indah bukan main. Kebetulan bulan bersinar terang, bulan purnama yang memuntahkan cahaya keemasan di atas pulau itu. Indah sekali! Para tamu menikmati dan mengagumi keindahan Istana Pulau Es, lalu beramai-ramai mengelilingi pulau itu diantar oleh Milana dan Gak Bun Beng sebagai penunjuk jalan mewakili fihak tuan rumah. Sedangkan dua pasang pengantin sudah memasuki kamar masing-masing, tenggelam ke dalam lautan kemesraan yang hanya dapat dirasakan oleh sepasang pengantin pada malam pertama!

Akan tetapi, diam-diam Ceng Ceng yang ikut pula menikmati keadaan di Pulau Es itu merasa kehilangan dan kadang-kadang dia menarik napas panjang kalau teringat kepada kakak angkatnya, yaitu sang puteri dari Bhutan, Syanti Dewi dan Ang Tek Hoat. Apa jadinya dengan dua orang muda itu? Suaminya telah berusaha keras mencari mereka untuk menyampaikan undangan, namun usaha suaminya gagal! Diam-diam Ceng Ceng merasa kasihan sekali kepada Syanti Dewi! Apakah yang terjadi dengan puteri itu? Apakah puteri itu akan dapat bertemu kembali dengan Ang Tek Hoat dan dapat berlangsung perjodohan mereka?

Kiranya pertanyaan itu pun terkandung dalam hati para pembaca semua. Juga pertanyaan yang sama tentang Siauw Hong atau Kam Hong, keturunan Pendekar Suling Emas itu, dengan Yu Hwi atau yang dikenal sebagai Kang Swi Hwa atau Ang-siocia, si gadis pencopet dan tukang menyamar itu. Apa yang terjadi dengan mereka?

Cerita ini sudah terlampau panjang, oleh karena itu terpaksa pengarang menutupnya, apalagi karena Sepasang Rajawali Sakti, yaitu yang diumpamakan bagi diri Suma Kian Lee dan Suma Kian Bu, kini telah menemukan jodohnya, bahkan telah menjadi pengantin. Maka selesailah sudah kisah ini. Adapun mengenai nasib Syanti Dewi dan Ang Tek Hoat, juga Kam Hong dan Yu Hwi, dapat anda baca dalam cerita selanjutnya yang sedang disusun oleh pengarang, yaitu yang berjudul SULING EMAS & NAGA SILUMAN.

Seperti biasa, harapan pengarang semoga cerita ini selain dapat merupakan hiburan bagi pembaca, juga mengandung manfaat yang menggugah kesadaran. Sampai jumpa pula di lain karangan! Terima kasih!

T A M A T