FB

FB


Ads

Jumat, 29 Mei 2015

Jodoh Rajawali Jilid 098

Tiba-tiba Kian Lee merasa kasihan sekali kepada dara itu dan tak disadarinya dia menggenggam tangan dara itu lebih erat lagi. Dia tahu nasib apa yang menanti Siang In. Kalau dipotong hidung dan telinganya, dara itu akan menjadi seorang yang berubah menakutkan, dan itu lebih hebat daripada mati.

Kalau dihukum bunuh, tentu akan dihina dan diperkosa lebih dulu oleh si jangkung tanpa dia mampu menolongnya. Maka dia sudah mengambil keputusan, sebelum dijatuhkan hukuman kepada dia dan Siang In, dia akan menggunakan tenaga terakhir untuk membunuh dara itu! Lebih baik dia membunuh dara itu daripada dara itu mengalami penghinaan yang hebat!.

Siang In menoleh dan memandang kepada Kian Lee karena merasa tangannya digenggam erat, dia tersenyum dan mengedipkan sebelah matanya kepada pemuda itu! Bukan main! Dalam keadaan seperti itu, dara ini masih pandai bergurau! Lalu dara itu mengangkat mukanya dan berdiri tegak, lalu berkata dengan suara lantang sehingga terdengar oleh semua orang yang berada di situ.

“Koksu, dengarlah baik-baik kata-kata terakhir kami berdua yang tidak boleh diubah oleh siapapun juga, yaitu begini: Kami berdua akan dihukum mati!”

Suasana masih hening dan ketika dara itu telah mengucapkan kata-katanya yang amat singkat dan lantang itu dan semua orang saling pandang. Mengapa dara itu, hanya meninggalkan kata-kata terakhir seperti itu? Kami berdua akan dihukum mati! Cuma sebegitu, apa artinya?

“Ha-ha-ha! Jadi hanya itu yang menjadi pendapat atau pesan terakhir kalian? Bagus, memang sebaiknya begitu karena kami masih banyak urusan. Nah, Ngo-ok, engkau kuserahi tugas untuk menghukum mati mereka berdua!”

Tiba-tiba Siang In berseru.
“Ah, jadi ternyata Koksu dari Nepal adalah seorang yang biasa makan tahi?”

Semua orang terkejut sekali dan Ban Hwa Sengjin terkejut dan marah.
“Kau sudah mau mampus masih berani menghina orang! Dasar anak perempuan setan....!”

Sementara itu, Ngo-ok sudah meloncat ke depan, tangannya yang panjang sudah digerakkan dan pada saat itu, Kian Lee juga mengerahkan tenaganya untuk turun tangan membunuh Siang In agar jangan mengalami penghinaan.

“Dukkk!”

Tiba-tiba Ji-ok Kui-bo Nio-nio menangkis lengan Ngo-ok sampai Ngo-ok menyeringai dan meloncat mundur.

“Tahan dulu!”

Ji-ok Kui-bin Nio-nio berkata,
“Sam-te, aku tidak ingin melihat engkau menjadi seorang pemakan tahi!”

“Eh, apa ini? Apa maksudmu?”

Ban Hwa Sengjin memandang terlongong, menyangka bahwa Ji-ok itu agaknya tentu kena sihir sehingga mengulangi kata-kata Siang In. Akan tetapi Ji-ok menggeleng-geleng kepalanya.

“Sam-te, engkau sudah menjadi koksu, mengapa masih begitu kurang luas pikiranmu? Bagaimana bunyi janji tadi? Kau bilang bahwa kalau kata-kata terakhir mereka itu benar, mereka akan dihukum potong hidung dan telinga, tidak dihukum mati. Nah, dara itu bilang bahwa mereka berdua akan dihukum mati! Kalau sekarang engkau menjatuhkan hukuman mati, berarti kata-katanya itu benar! Dan kalau kata-katanya benar, dia tidak boleh dihukum mati, melainkan dihukum potong hidung dan telinga seperti janjimu. Mengapa kau hendak melanggar janjimu?”

“Ohhh....!” Koksu Nepal menjadi merah sekali mukanya dan mengangguk. “Ah, benar juga. Kalau mereka dihukum mati, ucapan gadis ini jadi benar dan mereka tidak boleh dihukum mati. Untung engkau mengingatkan aku, Ji-ci. Terima kasih! Heh, Ngo-ok, terpaksa membikin kecewa hatimu. Hayo kau laksanakan hukuman ke dua, yaitu potong hidung dan telinga!”

Ngo-ok tentu saja kecewa sekali karena kini setelah ada puluhan orang perajurit di situ, ingin dia memperkosa gadis ini agar namanya makin tersohor, sebagai seorang paling kejam! Akan tetapi dia tidak berani membangkang perintah.

“Huh, kiranya Koksu Nepal hanya seorang yang biasa makan tahi busuk!” kembali terdengar Siang In berseru.

Ngo-ok sudah bergerak ke depan, tangannya menyambar.
“Desss....!”






Kini lengannya ditangkis oleh lengan Twa-ok dan karena tenaga Twa-ok lebih hebat maka Ngo-ok yang sial itu kini terlempar dan terhuyung.

“Eh, eh apa sih salahku?” teriak orang yang sial ini.

“Sam-te, sekarang aku yang tidak ingin melihat Sam-te menjadi seorang pemakan tahi!” kata Twa-ok, seperti mengulang kata-kata Siang In sehingga sang koksu dari Nepal makin bengong terlongong.

“Apa.... apa maksudmu, Twa-ko....?”

“Sam-te, kau tidak boleh menghukum mereka dengan potong hidung dan telinga atau hukuman ke dua....!” Kakek seperti gorila itu berkata dengan suaranya yang halus. “Kalau kau melakukan itu, berarti engkau melanggar janjimu tadi!”

“Eh, mana mungkin? Kalau menjatuhkan hukuman ke satu, hukuman mati, baru namanya melanggar janji karena kata-kata mereka itu benar dan mereka tidak boleh dihukum mati, harus dihukum potong telinga dan hidung, hukuman ke dua. Bukankah kata-kata mereka itu benar dan harus dihukum yang ke dua itu?”

“Mana bisa?” bantah Twa-ok. “Mereka berkata bahwa mereka akan dihukum mati. Nah, kalau sekarang kau menjatuhkan hukuman ke dua, yaitu potong hidung dan telinga, berarti bahwa kata-kata terakhir mereka itu tidak benar. Dan menurut janji, kata-kata yang tidak benar dijatuhi hukuman mati!”

Ban Hwa Sengjin menjadi pucat wajahnya dan matanya terbelalak.
“Kalau begitu hukum mati!”

“Tak mungkin! Kalau dihukum mati mereka berkata benar dan harus dihukum potong!” bantah Ji-ok.

“Kalau begitu hukum potong....!” kata pula Ban Hwa Sengjin.

“Tidak bisa! Kalau dihukum potong berarti kata-kata mereka bohong dan untuk itu mereka harus dihukum mati!”

Ban Hwa Sengjin menjatuhkan dirinya di atas batu dan memegangi kepala dengan kedua tangan, bingung sekali. Dihukum mati salah, dihukum potong pun salah! Sementara itu, Kian Lee memandang kepada Siang In dengan penuh kekaguman. Tak disangkanya bahwa dara ini benar-benar memiliki kecerdikan yang amat hebat! Dalam keadaan berbahaya seperti itu, dalam waktu sesingkat itu, dapat menemukan akal yang demikian luar biasa, agaknya tidak masuk di akal akan tetapi memang benar dan tepat!

Dengan akal itu, Ban Hwa Sengjin dibikin mati kutu, tidak berdaya karena hukuman apa pun yang dijatuhkannya, berarti dia melanggar janji dan.... makan tahi! Empat orang dari Im-kan Ngo-ok juga bengong dan penuh kagum, juga Hek-tiauw Lo-mo dan Hek-hwa Lo-kwi, demikian pula puluhan orang perajurit itu bengong, ikut memikirkan.

Siang In tersenyum.
“Boleh kau pikirkan lagi, Koksu. Kami kini bebas, kecuali kalau kau mau makan tahi lebih dulu!”

Setelah berkata demikian, Siang In menarik tangan Kian Lee dan diajak pergi dari tempat itu dengan sikap tenang sekali. Dan lima orang Im-kan Ngo-ok yang ditakuti oleh semua orang dunia hitam itu hanya memandang dengan bengong saja tanpa mampu berbuat sesuatu!

Bahkan Hek-tiauw Lo-mo dan Hek-hwa Lo-kwi juga tidak berani berkutik karena kalau mereka turun tangan mencegah, sama halnya dengan mendorong Koksu Nepal untuk “makan tahi” yang berarti menjadi anjing penjilat janjinya sendiri! Tentu saja pasukan yang mendengar semua itu pun tidak ada yang berani bergerak tanpa perintah koksu.

Setelah pemuda dan dara itu pergi jauh dan tidak nampak lagi, barulah terdengar Ngo-ok Toat-beng Sian-su mengomel,

“Inilah kalau Sam-ok berubah menjadi pembesar negeri yang menjaga nama dan kehormatan! Rugi kita! Rugi....!”

“Ha-ha-ha, gadis itu otaknya cerdas sekali! Ha-ha-ha, Sam-ko yang terkenal cerdik masih kena diakalinya! Ha-ha-ha!”

Si gendut pendek terpingkal-pingkal geli. Memang watak lima orang Ngo-ok ini luar biasa sekali. Girang kalau melihat orang lain menderita! Agaknya memang mereka itu sengaja melakukan hal-hal yang paling buruk di dunia ini agar sesuai dengan julukan mereka sebagai Si Jahat dari Akhirat!

Muka koksu sebentar pucat sebentar merah, kedua tangannya mengepal dan sepasang matanya beringas, akan tetapi di hadapan sekian banyaknya orang, tentu saja dia tidak sudi dianggap anjing penjilat janjinya kembali! Apalagi, dia adalah seorang yang amat cerdik. Mendengar bahwa pemuda itu adalah putera Pendekar Super Sakti, dia juga harus hati-hati dan biarlah dia mendapat malu sedikit karena diakali gadis itu, akan tetapi hitung-hitung dia membebaskan putera Pendekar Super Sakti dan mencegah munculnya seorang musuh yang menggiriskan hatinya.

“Sudahlah! Salahku sendiri, juga bocah-bocah itu dibunuh atau tidak pun apa sih artinya bagiku? Mari kita ke lembah, ada urusan lebih penting yang harus kita selesaikan!”

Maka pergilah tujuh orang kakek sakti itu diikuti oleh pasukan memasuki lembah kembali dengan hati mendongkol.

Sementara itu, Kian Lee yang hanya nanar dan lemas seketika, akan tetapi tidak sampai terluka parah, dalam waktu tidak lama pun sudah pulih kembali kesehatannya. Mereka berdua merasa lega bahwa para kakek sakti itu tidak melakukan pengejaran, dan Kian Lee seperti masih belum dapat mempercayai bahwa mereka dapat lolos dari bahaya sedemikian mudahnya.

Kian Lee berhenti dan berkata kepada Siang In sambil memandang penuh kagum,
“Adik Siang In yang hebat! Sungguh masih sukar aku untuk dapat percaya betapa dengan mudahnya kita dapat terlepas dari bahaya maut! Dan hampir aku tidak percaya bahwa engkau yang begini muda dapat mengakali orang-orang sakti seperti mereka itu. Dalam waktu sedemikian singkatnya engkau telah memperoleh akal yang demikian mengagumkan!”

Siang In tersenyum, senang hatinya dipuji seperti itu tentu saja! Akan tetapi dia seorang dara yang jujur, maka dia menahan ketawanya dan berkata,

“Ah, Lee-koko, siapa sih yang pintar? Aku sama sekali tidak pintar, hanya koksu itu yang tolol!”

“In-moi, akalmu itu benar-benar hebat dan menandakan bahwa engkau memang pintar sekali, mengapa merendahkan diri? Dengan akalmu itu, memang koksu menjadi tak berdaya dan mati kutu sama sekali, karena menjatuhkan hukuman kepada kita dengan cara apa pun, tetap saja berarti dia melanggar janji. Bukan main!”

“Hi-hik, memang demikianlah, Koko. Akan tetapi itu sama sekali bukanlah akalku, karena aku hanya menirunya dari dongeng kuno yang pernah kubaca! Jadi bukan akalku, melainkan akal kuno yang pernah dipergunakan orang untuk menyelamatkan diri dari hukuman seorang raja lalim yang menjatuhkan peraturan hukuman yang seperti itu.”

“Ah, begitukah?” Kian Lee terheran.

Siang In tertawa.
“Itulah hasilnya orang suka membaca, asalkan bukan sembarangan membaca, melainkan memperhatikan isinya dengan seksama. Dari bacaan itu kita dapat memperoleh banyak manfaatnya, Koko. Koksu itu saja yang tolol tidak mengenal akal kuno yang kupergunakan, hi-hik!”

Suma Kian Lee tertawa juga, mentertawakan kebodohan koksu, akan tetapi diam-diam makin kagum kepada dara ini yang sudah memperlihatkan ketabahan dan kecerdikan luar biasa, yang telah berhasil menyelamatkan nyawa mereka, akan tetapi tidak menjadi sombong, sebaliknya malah membuka rahasia kecerdikannya dengan jujur bahkan kecerdikannya itu hanyalah meniru dari akal dalam dongeng kuno belaka!

Akan tetapi kegembiraan segera mereda ketika dia teringat akan peristiwa tadi dan melihat betapa gawatnya keadaan. Agaknya Koksu Nepal itu telah mengumpulkan orang-orang pandai di lembah itu!

“In-moi, aku harus menyelidiki keadaan di lembah! Aku harus tahu apa yang sedang diiakukan oleh koksu itu....“

”Ah, hal itu berbahaya sekali, Lee-ko! Baru empat orang teman koksu tadi saja sudah memiliki kepandaian yang amat mengerikan, dan di sana terdapat banyak pula pasukan anak buah koksu. Mana mungkin engkau seorang diri akan dapat menghadapi mereka semua!”

Siang In memandang khawatir, tidak lagi bersendau-gurau mendengar niat pemuda itu yang hendak menyelidiki sarang dari koksu yang lihai dan dibantu oleh banyak orang pandai itu.

“Aku bukan bermaksud melawan mereka, In-moi, melainkan hendak menyelidiki keadaan mereka, kemudian aku harus segera melaporkan ke kota raja. Sudah menjadi kewajibanku untuk mencegah bahaya yang mengancam kota raja. Agaknya ada apa-apa di lembah itu, agaknya koksu sedang merencanakan gerakan besar yang berbahaya bagi kota raja.

“Kalau begitu memang baik sekali, Lee-ko, akan tetapi aku ikut!”

“Baru saia kau terlepas dari ancaman bahaya dahsyat, Siang In, moi-moi, lebih baik kau jangan ikut, terlalu berbahaya bagimu.”

Siang In mengerutkan alisnya.
“Biarpun aku bodoh, kiranya sedikit banyak aku akan dapat membantumu, Lee-ko, dan dengan pergi dua orang, kalau ada bahaya kita dapat saling membantu, bukan?”

Kian Lee tidak dapat membantah atau melarang lagi, apa pula kalau diingat bahwa andaikata tidak ada Siang In di waktu dia menghadapi para kakek sakti tadi, tentu dia telah tewas.

“Baiklah, In-moi. Kita pergi berdua, karena memang aku pun hanya hendak menyelidiki keadaan luarnya saja. Akan tetapi kita harus berhati-hati sekali karena sekali lagi kita bertemu dengan mereka, kiranya mereka tidak akan mau membiarkan kita lolos lagi.”

Siang In menjadi gembira sekali. Timbul kembali kenakalan dan kejenakaannya.
“Wah, kalau cuma menghadapi tua bangka-tua bangka tolol macam itu saja, aku menyimpan banyak macam akal untuk mengelabui mereka, Lee-ko!”

“Akal dari dongeng kuno?”

Siang In terkekeh dan menutupi mulutnya sehingga terpaksa Kian Lee juga tersenyum. Dekat dengan seorang dara seperti Siang In ini, tidak mungkin orang dapat berdiam diri saja tanpa ketularan kegembiraannya. Maka berangkatlah dua orang itu dengan hati-hati, menyelinap dan sembunyi-sembunyi, menuju ke benteng lembah untuk menyelidiki keadaan benteng itu.

**** 098 ****