FB

FB


Ads

Sabtu, 25 April 2015

Jodoh Rajawali Jilid 019

“Demikianlah,”

Cui Lan menyambung hati-hati dan mengerling ke arah “pamannya” sambil tersenyum dengan penuh rasa syukur dan dibalas oleh gubernur yang kini selain menjadi tukang kebun juga menjadi paman itu,

“Dalam kesempatan itulah pendekar itu memperkenalkan namanya sebagai Siluman Kecil dan berpesan bahwa apabila aku tertimpa bahaya, aku boleh minta bantuan kalian yang disebutnya sebagai pemburu-pemburu gagah yang tinggal di pinggir hutan itu.”

Tiga orang pemburu itu tersenyum girang dan bangga bukan main karena mereka disebut “pemburu gagah” oleh Siluman Kecil! Tentu saja sebutan itu adalah tambahan Cui Lan sendiri!

“Kami girang sekali telah dapat membantu Nona yang ternyata menjadi sahabat baik beliau,” kata si ayah bocah itu.

“Karena kami telah memperkenalkan diri, yaitu namaku Phang Cui Lan dan Pamanku ini....“

“Aku bernama Hok An, kakak dari Ibu Cui Lan,” sambung sang gubernur.

“Maka kami harap kalian suka menceritakan pula kepada kami siapakah kalian ini dan bagaimana pula kalian dapat berhubungan dengan beliau.”

Kini Cui Lan juga menyebut beliau kepada Siluman Kecil, karena dia merasa ngeri juga menyaksikan sikap yang begitu takut kepada pendekar pencuri hatinya itu.

“Maaf, aku dan adikku ini tidak pandai bicara, hanya adikku paling kecil itu yang agak bisa bicara. Kun-te, kau berceritalah!”

Pemburu berewok itu menyuruh adiknya yang termuda, dan berceritalah laki-laki yang usianya kurang lebih dua puluh delapan tahun, berwajah cukup tampan dan bertubuh gagah itu sungguhpun tidak sebesar kakaknya yang tertua.

Mereka itu adalah kakak beradik. Yang tertua, yang berewok dan ayah dari bocah itu bernama Sim Hoat dan seperti telah diceritakan oleh puteranya yang bernama Sim Hong Bu tadi, isteri Sim Hoat yang tersiksa batinnya oleh suaminya yang pencemburu itu minggat dan meninggalkannya.

Adapun orang ke dua itu adalah adiknya yang bernama Sim Tek. Kalau Sim Hoat berusia kurang lebih tiga puluh lima tahun, Sim Tek berusia tiga puluh tahun sedangkan adik terkecil yang tidak pendiam seperti dua orang kakaknya, yaitu yang bercerita itu adalah Sim Kun, berusia dua puluh delapan tahun. Semenjak kecil mereka itu telah menjadi pemburu-pemburu yang ulung karena mereka memang keturunan pemburu.

Mereka mulai mengenal Siluman Kecil kira-kira dua tahun yang lalu.
“Memang munculnya nama beliau sekitar dua tahun yang lalu.” Sim Kun melanjutkan ceritanya. “Tadinya tidak ada nama julukan itu di dunia kang-ouw. Pada waktu itu, terjadi pertikaian dan perebutan wilayah perburuan di antara para pemburu di sekitar perbatasan tiga Propinsi Ho-nan, Ho-pei, dan Shen-si. Ratusan orang pemburu terpecah menjadi tiga kelompok dan saling berebutan, sehingga sering kali terjadi pertumpahan darah untuk memperebutkan wilayah perburuan itu. Kemudian, pada suatu hari, muncullah beliau dan dengan kesaktian yang luar biasa beliau mengalahkan dan menundukkan semua untuk menghentikan permusuhan dan membagi-bagi wilayah perburuan secara adil menurut wilayah propinsi masing-masing.

Semenjak saat itulah kami semua mentaati perintah itu karena setiap kali ada pelanggaran, si pelanggar tentu akan menerima hukuman hebat dari beliau dan sampai sekarang kami saling menghormati wilayah masing-masing dan dapat bekerja sama dengan baik. Itulah sebabnya, ketika mendengar bahwa Nona adalah sahabat beliau, kami sangat girang dan kami bersedia membela Nona sampai titik darah terakhir!”

Cui Lan merasa terharu bercampur kagum terhadap kehebatan pendekar yang dipujanya itu. Juga diam-diam Gubernur Ho-pei menyesalkan mengapa dia sebagai gubernur tidak tahu akan adanya hal itu, dan tidak mengenal pula pendekar yang demikian besar jasanya mendamaikan pertikaian antara para pemburu kasar itu.

“Pertolongan kalian bertiga cukup berharga bagi kami dan kami berdua menghaturkan terima kasih,” kata Cui Lan. “Akan tetapi kalau kalian memang suka menolongku, aku minta dengan sangat sukalah kalian menyelidiki tentang seorang penolong kami pula yang dikeroyok di taman istana gubernuran.”

“Tentu saja, kami siap melakukan segala permintaan Nona!”

Kata Sim Hoat karena dia dan adik-adiknya yakin bahwa kelak mereka tentu akan dipuji oleh Siluman Kecil atas pertolongan mereka terhadap nona cantik ini.

Siapa tahu kalau-kalau nona cantik ini selain pernah ditolong, juga menjadi kekasih pendekar ajaib itu! Dan memang sudah sepatutnya karena nona ini cantik sekali!

“Begini, Sim-twako,” Cui Lan yang pandai itu segera menyebut twako sehingga si pemburu yang kasar merasa makin girang dan akrab. “Di taman gubernuran ada seorang pemuda yang terlibat dalam pertempuran. Ketika kami berdua melarikan diri memang sedang terjadi keributan dan hal itu menolong kami, akan tetapi ada seorang pemuda yang baik kepada kami, yang terlibat dalam pertempuran dan dikeroyok oleh para pengawal gubernuran. Harap Samwi (Kalian Bertiga) sudi membantuku menyelidiki bagaimana kabarnya dengan pemuda itu.”

“Ah, mudah saja itu! Siapa namanya?” tanya Sim Hoat.

“Namanya Suma Kian Lee.”

“Suma....?” Tiga orang kasar itu saling pandang.

“Mengapa?” Cui Lan bertanya heran.

“Tidak apa-apa, hanya pernah dahulu beliau bertanya kepada kami semua apakah kami bertemu atau mendengar adanya seorang she Suma. Ah, mungkin hanya kebetulan saja dan pertanyaan itu sudah hampir dua tahun. Baiklah, Nona Phang, kami akan segera menyelidikinya dan harap Nona dan Hok-lopek suka menanti saja di sini dan jangan pergi ke mana-mana. Daerah ini aman dan tidak mungkin para pengawal dapat mencari sampai ke sini. Hong Bu akan melayani semua keperluan kalian selama kami pergi.”






Mereka bertiga segera pergi dengan cepat dan menjelang malam mereka telah kembali membawa berita yang membuat wajah Cui Lan menjadi pucat sekali dan juga Gubernur Hok yang mendengar dari Cui Lan betapa pemuda itu membantunya melawan para pengawal lihai dari Ho-nan merasa khawatir sekali.

Berita itu adalah bahwa Suma Kian Lee dan komandan pasukan Kuku Garuda dari istana terjebak di dalam terowongan saluran air dan bahwa kini kedua mulut saluran air dari kolam di taman istana sampai ke jalan keluar itu telah ditutup dan di jaga oleh banyak pasukan pengawal.

“Padahal menurut pendengaran kami, di dalam terowongan itu terdapat banyak ular-ular beracun.” Sim Hoat melanjutkan ceritanya.

“Aihhhhh....!”

Cui Lan mendekap mukanya dengan kedua tangannya dan memejamkan mata, ditahannya tangisnya. Dia ngeri membayangkan betapa pemuda yang amat tampan, amat baik dan yang sikap dan gerak-geriknya mengingatkan dia akan pendekar yang dipujanya itu kini terbenam di air saluran dan dikeroyok ular-ular beracun!

“Apakah kalian tidak dapat menolongnya?” Tiba-tiba Gubernur Hok berkata, suaranya lantang dan penuh semangat. “Percayalah, kalau kalian dapat membantunya kelak aku akan memberi ganjaran yang amat besar kepada kalian!”

“Ganjaran? Lopek memberi ganjaran?”

Sim Hoat bertanya dan gubernur itu terkejut dan menyadari kesalahan bicaranya. Akan tetapi kembali Cui Lan yang cekatan dan cerdik itu sudah cepat menolongnya.

“Sim-twako, yang dimaksudkan oleh Pamanku adalah ganjaran dari beliau. Karena tentu kami kelak akan menceritakan kepada beliau betapa hebatnya kalian, betapa gagahnya kalian dan mati-matian telah membantu kami. Tentu beliau tidak akan melupakan jasa kalian dan akan memberi ganjaran....“

“Bagus! Kami tentu saja dapat membantunya kalau mengerahkan teman-teman kami!” Sim Hoat sudah terlampau girang mendengar ucapan Cui Lan itu.

“Tek-te (Adik Tek) hayo cepat kau lepaskan tanda rahasia!”

Sim Tek mengangguk dan dengan gendewa di tangan dia lalu keluar dari dalam pondok, melepaskan anak panah berapi dan tak lama kemudian, berturut-turut dari empat penjuru nampak sinar-sinar kuning melayang di udara sebagai sambutan atas anak panah berapi kuning yang dilepaskan oleh Sim Tek tadi.

Malam itu juga, datanglah dari empat penjuru orang-orang yang bersikap kasar-kasar menakutkan, para pemburu yang sudah biasa hidup di hutan dan hidup dengan liar. Sampai menjelang pagi, di tempat itu sudah berkumpul dua puluh orang yang terdiri dari macam-macam orang, akan tetapi yang rata-rata berperawakan tinggi besar, kuat dan kasar sehingga Cui Lan merasa ngeri juga.

Akan tetapi, biarpun tadinya banyak di antara mereka yang meringis memperlihatkan gigi seperti seekor harimau bertemu domba ketika melihat Cui Lan yang cantik, begitu mendengar dari tiga saudara Sim bahwa dara itu adalah sahabat “beliau”, otomatis sikap mereka berubah menjadi lunak dan menghormat biarpun sikap hormat ini kasar pula!

Maka berundinglah mereka dan Cui Lan juga menghadiri perundingan itu dengan hati tabah. Diam-diam Gubernur Hok makin kagum melihat sepak terjang Cui Lan. Gadis ini memang mempunyai sifat-sifat yang mengejutkan dan luar biasa.

Seorang pelayan saja kini ternyata dapat bersikap sedemikian hebat, bukan hanya suka menolong dia yang tidak dikenalnya sama sekali dengan taruhan nyawa, akan tetapi juga kini memperlihatkan kesetiaan yang luar biasa kepada seorang yang dianggapnya baik, yaitu kepada Suma Kian Lee.

Mulai terbukalah mata pembesar ini betapa selama usianya yang enam puluh lima tahun ini, dia tadinya seperti orang buta saja yang memandang kepada orang-orang yang berkedudukan rendah seperti pelayan dan lain-lain, yang dianggapnya adalah manusia-manusia yang berderajat rendah, berpengetahuan dangkal, berpribudi tipis dan lebih mendekati binatang daripada seorang manusia yang luhur dan mengenal apa artinya hidup dan apa artinya perikemanusiaan dan sebagainya!

Sekarang, terbukalah matanya bahwa di dunia ini banyak terdapat orang-orang yang tadinya dikira rendah, hina dan bodoh, yang ternyata bahkan lebih manusiawi daripada orang-orang besar, lebih memiliki kejujuran, kesetiaan, kewajaran daripada orang-orang besar yang merasa dirinya penuh pengetahuan dan kepandaian!

Bahkan di dalam diri orang-orang kasar seperti para pemburu itu dia menemukan sifat-sifat yang jauh lebih agung daripada sifat para pembesar, bangsawan, cendekiawan yang biasanya menjilat ke atas dan menginjak atau merendahkan ke bawah!

Orang-orang kasar dan liar itu bukan seluruhnya pemburu, bahkan ada yang tadinya menjadi kepala perampok, bajak sungai dan lain-lain. Akan tetapi mereka semua adalah kepala-kepala dan pemimpin-pemimpin rombongan mereka, dan mereka semua telah tunduk kepada Siluman Kecil, maka begitu melihat tanda anak panah berapi kuning sebagai tanda bahwa seorang “sahabat” Siluman Kecil minta bantuan, mereka cepat datang!

Di antara mereka, banyak yang belum pernah berjumpa dan belum kenal, akan tetapi mereka kelihatan rukun karena semua merasa berada di bawah pengaruh Siluman Kecil yang mereka anggap sebagai manusia dewa itu!

Cui Lan tentu saja serem melihat muka-muka liar dan kasar itu mengelilinginya. Diantara mereka itu, dua orang adik Sim Hoat kelihatan tampan dan ganteng, setidaknya bersih dan umum! Kini dara itu yang diperkenalkan oleh Sim Hoat sebagai sahabat Siluman Kecil yang mohon bantuan mereka, segera menceritakan niatnya untuk menyelamatkan Suma Kian Lee yang terjebak ke dalam terowongan saluran air dan terancam nyawanya itu.

Tidak ada seorang pun diantara mereka yang menanyakan siapa adanya Suma Kian Lee itu, sungguhpun mereka juga tercengang karena teringat bahwa dulu Siluman Kecil pernah menanyakan she Suma, seperti juga yang dialami oleh ketiga orang saudara Sim.

Mereka datang untuk membantu nona yang menjadi sahabat Siluman Kecil dan mereka tidak perlu tahu urusan apa itu. Demikianlah kesetiaan mereka terhadap sahabat-sahabat Siluman Kecil, dan andaikata seorang diantara mereka juga mengalami malapetaka, tentu teman-teman ini semua juga akan membelanya mati-matian seperti kalau mereka akan membela Siluman Kecil. Demikian dalam Siluman Kecil menanam rasa setia kawan kepada orang-orang kasar ini.

“Tidak mungkin kita akan menang melawan pasukan-pasukan pengawal Gubernur Ho-nan,” Sim Hoat menyatakan pendapatnya.

“Menang kalah sih bukan soal dan kami pun bukannya takut, hanya amat tidak baik kalau golongan kami nanti dicap sebagai pemberontak-pemberontak!” kata seorang yang matanya lebar sekali.

“Beliau tentu akan marah kepada kami kalau kami memberontak terhadap kerajaan, memberontak terhadap Gubernur Ho-nan tiada bedanya dengan memberontak terhadap pemerintah!” sambung seorang yang mukanya seperti monyet besar dan berbulu!

Cui Lan mengangkat tangannya dan mereka semua terdiam! Gubernur Hok makin kagum, kagum kepada pendekar yang berjuluk Siluman Kecil yang ternyata memiliki pengaruh hebat itu, dan juga kagum terhadap Cui Lan yang tadinya hanya seorang pelayan akan tetapi kini memiliki sifat seperti seorang pemimpin!

“Saya tidak mengharapkan saudara-saudara untuk membunuh diri, apalagi untuk memberontak. Saya hanya minta bantuan saudara sekalian untuk menyelamatkan pemuda itu yang terjebak di dalam terowongan yang kedua pintunya telah ditutup itu. Dengan membobol terowongan, kalau dia masih hidup tentu dia akan dapat keluar dari situ.”

“Bagus! Nona cerdik bukan main!”

“Akal yang baik sekali!”

“Aku setuju!”

Mereka bicara lagi tidak karuan seperti sekawanan burung tidur dikejutkan sesuatu.
“Akan tetapi mana mungkin membobol terowongan tanpa diketahui oleh para pasukan pengawas.”

Pertanyaan dari seorang diantara mereka ini membungkam mulut mereka semua dan dua puluh pasang mata yang menyeramkan itu semua ditujukan kepada Cui Lan. Bahkan Gubernur Hok sendiri pun menujukan pandang matanya kepada dara itu karena terus terang saja, biarpun dia seorang gubernur, jadi seorang besar yang memiliki kepandaian dan kecerdikan tentunya, kini sama sekali merasa tidak berdaya!

“Saya sudah mengenal jalan terowongan itu. Tempat yang terbaik untuk digali adalah di kebun belakang sebuah kuil. Tempat itu tertutup dan mana ada pengawal akan memeriksa sebuah kuil? Hanya saya khawatir kalau-kalau penjaga kuil tidak setuju!”

“Kita paksa kepala gundul itu!”

“Kita serbu saja kuil itu!”

Kembali Cui Lan mengangkat tangannya.
“Saya harap saudara sekalian tidak berbuat ceroboh. Melakukan perbuatan menolong ini di dalam ibu kota amatlah berbahaya dan harus menggunakan kecerdikan. Tidak boleh bertindak sendiri-sendiri dan saya mengangkat Saudara Sim Kun untuk memimpin kalian. Kalian, biarpun lebih pandai daripada Saudara Sim Kun, harus menurut perintah dan petunjuknya.”

Tentu saja Sim Kun girang bukan main dan memang tepatlah pilihan Cui Lan. Dara ini melihat bahwa diantara mereka, hanya Sim Kun yang tidak begitu liar dan memiliki kecerdikan, maka dia memilih pemuda ini.

“Sekarang kita rundingkan bagaimana kita akan dapat menguasai kuil itu untuk sehari saja,” kata pula Cui Lan.

“Kita serbu!”

“Kita bunuh hwesio-hwesionya!”

Sim Kun mengangkat tangan ke atas dan mereka semua membungkam. Jelas bahwa mereka telah mentaati perintah Cui Lan tadi dan telah menganggap Sim Kun sebagai pemimpin mereka, yaitu dalam urusan menolong pemuda dalam terowongan itu saja tentunya, bukan pemimpin seterusnya!

“Harap kalian jangan mempunyai pendapat sendiri-sendiri dan dengarlah siasat kita bersama yang baik dan tidak ngawur,” kata Sim Kun.

“Tentu Kun-twako sudah mempunyai akal, bukan?”

Cui Lan bertanya dengan cerdik melihat sikap pemuda itu yang dia sebut “twako” pula sehingga wajah pemuda itu berseri gembira.

“Begini,” katanya. “Kita harus menyelundup ke dalam ibu kota dan kita menyamar sebagai orang-orang dusun yang hendak bersembahyang di kuil itu. Kemudian, dengan hati-hati dan tanpa menimbulkan suara, kita tangkap semua hwesio dan membuat mereka tidak berdaya, lalu....”

Dengan suara bisik-bisik Sim Kun melanjutkan penuturannya tentang rencana siasatnya. Sampai lama semua orang mendengarkan dengan serius, kemudian meledaklah suara ketawa mereka. Gubernur Hok diam-diam menarik napas. Siasat mereka ini tidak kalah oleh siasat kelompok perwira-perwira perang yang mengatur siasat!

“Aku percaya kalian tidak akan gagal, hanya pintaku agar kalian tidak sampai melakukan pembunuhan, apalagi terhadap hwesio-hwesio itu. Saya dan Paman Hok akan menanti di sini bersama Hong Bu,” kata Cui Lan akhirnya.

Siang hari itu juga, berangkatlah serombongan petani dengan berpencar ke kota dan memasuki ibu kota tanpa dicurigai karena mereka itu adalah petani-petani biasa. Seperti yang telah direncanakan, petani-petani yang masuknya berpencar secara berpencar pula memasuki sebuah kuil di pinggir kota, sebuah kuil besar dan karena biasanya orang pergi ke kuil di waktu pagi dan malam, maka siang hari itu agak sunyi.

Orang-orang kota yang datang bersembahyang hanya beberapa orang. Mereka ini pun segera pergi meninggalkan kuil, enggan berdesakan dengan orang-orang dusun kasar dan berbau apek yang baru saja memasuki kuil untuk bersembahyang.

Diantara dua puluh orang dusun yang memasuki kuil itu, ada sepuluh orang yang kepalanya tertutup ikat kepala sehingga tidak nampak rambutnya sama sekali. Para hwesio pengurus kuil yang jumlahnya dua belas orang itu sibuk melayani orang-orang dusun ini yang bertanya ini itu dan minta ini itu sehingga mereka sibuk melayani dengan pisah-pisah.

Tidak ada suara terdengar ketika hwesio-hwesio itu dirobohkan dengan totokan-totokan, diikat dan sepuluh orang yang kepalanya ditutupi tadi kini menanggalkan ikat kepala dan ternyata bahwa kepala mereka sudah digunduli licin seperti kepala para hwesio!

Cepat mereka lalu menanggalkan jubah hwesio-hwesio itu dan muncullah kini sepuluh orang hwesio baru menjaga dan melayani kuil, sedangkan dua belas orang hwesio itu setelah diikat kaki tangannya dan disumpel mulutnya lalu dilempar ke dalam gudang di belakang dan dikunci dari luar!

Hwesio-hwesio baru itu tentu saja canggung dan kaku ketika ada tamu datang bersembahyang, akan tetapi dengan cerdiknya mereka itu menceritakan bahwa mereka memang hwesio-hwesio baru yang dilatih melayani tamu dan kalau ada pelayanan yang kurang memuaskan mereka mohon maaf!

Selagi mereka ini sibuk melayani tamu-tamu yang mulai berdatangan karena hari mulai senja, yang lain-lain sibuk menggali lubang di kebun belakang kuil dipimpin oleh Sim Hoat, karena Sim Kun yang cerdik itu pun termasuk seorang di antara “hwesio-hwesio” baru itu!

Sementara itu, keadaan Suma Kian Lee dan komandan Pasukan Kuku Garuda itu benar-benar amat sengsara. Karena di dekat pintu air dekat sungai itu jalan keluarnya telah ditutup dan air makin lama makin naik tinggi, terpaksa Kian Lee lalu kembali ke hilir sambil meraba-raba karena keadaannya sangat gelap.

Berbeda dengan tadi ketika berjalan mengikuti aliran air, kini perjalanan kembali amatlah sukarnya. Selain air naik makin tinggi, juga Kian Lee harus memapah komandan yang lumpuh separuh badannya itu.

Akhirnya sampai juga dia di pintu air yang dihancurkan oleh senjata peledak tadi, di taman istana gubernuran. Akan tetapi betapa kaget hatinya melihat bahwa lubang di tempat ini pun telah ditutup!

Dia dan komandan itu sekarang benar-benar seperti tikus terjebak, tidak bisa keluar lagi dan air di saluran dalam terowongan itu makin lama makin tinggi! Biarpun air dari kolam sudah habis, namun karena saluran itu menampung air pembuangan dari semua bagian istana, tentu saja makin lama makin bertambah, dan yang bertambah jauh lebih banyak daripada yang dapat mengalir keluar melalui celah-celah batu yang menutup mulut terowongan. Maka dengan sendirinya air naik makin tinggi!

Tadi ketika air masih setinggi lutut, bahkan ketika mencapai pinggang, Kian Lee masih dapat ke sana-sini untuk mencari-cari, kalau-kalau terdapat jalan keluar lain di samping dua mulut terowongan depan dan belakang yang sudah ditutup itu.

Akan tetapi, yang ada hanya lubang-lubang kecil yang merupakan cabang terowongan dari mana mengalir air dari segala jurusan. Akan tetapi sekarang air sudah sampai di bawah leher! Sukar sekali untuk maju dan dengan setengah berenang, sambil menggandeng tangan komandan itu,

Kian Lee tidak mau menyerah begitu saja dan selalu mencari bagian yang dangkal. Dia maklum bahwa kalau air sudah memenuhi saluran itu mereka berdua akan tewas, akan tetapi sebelum mereka mati dia harus berdaya dan mencari jalan keluar.

Mereka tidak mengenal waktu karena di dalam terowongan itu cuaca selalu gelap. Dan melihat betapa pemuda itu tiada hentinya hilir-mudik sambil menggandeng lengannya dengan susah payah, komandan pasukan Kuku Garuda itu berkata lemah,

“Taihiap.... tidak ada gunanya lagi.... daripada menghabiskan tenagamu yang tinggal sedikit itu.... lebih baik.... mari kita hadapi maut dengan, tenang....“

“Aku tidak takut mati, Ciangkun. Akan tetapi sebelum hayat meninggalkan badan kita pantang menyerah begitu saja!”

Komandan itu menarik napas panjang, kagum akan semangat pemuda ini yang tak kunjung pandam.

“Akan tetapi mati hidup di tangan Tuhan, Taihiap.”

“Mungkin engkau benar, Ciangkun, akan tetapi kita pun diberi perlengkapan untuk berusaha sekuat tenaga mempertahankan hidup dan itu harus kita pergunakan, apalagi menghadapi ancaman maut seperti sekarang ini.”

Terpaksa komandan itu tidak mampu membantah dan dia pun memaksa tubuhnya yang hampir tidak kuat lagi mengikuti kemana pun pemuda itu bergerak. Mereka tidak menyangka sama sekali bahwa sudah dua hari mereka berada di dalam terowongan itu bergulat dengan maut! Tidak tahu bahwa saat itu sudah menjelang malam yang ke tiga!

“Taihiap.... sebelum kita mati.... aku ingin mati sebagai seorang sahabatmu. Perkenalkanlah, saya bernama Souw Kee An.... dan siapakah nama Taihiap?”

Panglima Pasukan Kuku Garuda yang sudah bertahun-tahun menjadi komandan pasukan pengawal di istana itu, bahkan dia adalah adik dari pengawal kaisar yang bernama Souw Kee It yang muncul dalam cerita Kisah Sepasang Rajawali.

Tentu saja Suma Kian Lee tidak merasa keberatan, maka dengan sejujurnya dia menjawab,
“Namaku adalah Suma Kian Lee, Ciangkun.”

Panglima itu terkejut dan memandang ke arah Suma Kian Lee sungguhpun dia tidak melihat apa-apa kecuali kehitaman yang padat.

“Suma....? Suma Kian Lee....? Ahhh.... Keluarga Suma dari Pulau Es ?”

Kian Lee menghela napas. Tidak perlu menyembunyikan diri lagi, apalagi terhadap seorang panglima pengawal istana. Pula, apa sih bedanya keluarga Pulau Es dengan orang biasa dalam menghadapi kematian secara tidak berdaya itu?

“Kau benar, Ciangkun.”

“Ahhh....! Mataku seperti buta tidak mengenal orang pandai! Ah, Suma-taihiap, kau maafkan saya....“

“Sudahlah, Ciangkun. Dengar.... aku seperti mendengar sesuatu....!”

Tiba-tiba Kian Lee tidak bergerak dan mengerahkan tenaga pendengarannya untuk menangkap suara itu. Komandan Souw Kee An juga tidak bergerak dan memasang telinga mendengarkan dengan penuh perhatian.

“Dukkk! Dukkk! Dukkk!”

Suara ini terus-menerus terdengar, makin lama makin keras seolah-olah ada sesuatu yang memukul-mukul di atas mereka. Kian Lee belum dapat menduga suara apa yang terdengar itu, akan tetapi dalam keadaan seperti itu, apa pun menarik perhatian dan lalu bergerak mencari-cari sambil memapah Souw-ciangkun, menuju ke arah suara sampai dia tiba tepat di bawah suara itu. Suara itu makin terdengar keras dan karena bergema di seluruh terowongan maka terdengar menyeramkan sekali.

Tiba-tiba tangan Panglima Souw mencengkeram lengan Kian Lee di dalam air yang sudah mencapai leher mereka itu.

“Suara orang menggali di atas kita!” teriaknya dengan suara serak dan tergetar penuh harapan.

“Kita lihat saja apa yang akan terjadi, Ciangkun. Tidak perlu terlalu mengharap karena yang mengharapkan mungkin akan kecewa. Kita tidak tahu siapa yang menggali itu, kawan ataukah lawan. Oleh karena itu kita bersiap-siap saja dan kalau nanti sudah terbuka lubang dan ternyata mereka adalah lawan, kuharap Ciangkun suka bersembunyi di sini saja dulu, dan biarkan aku yang meloncat keluar menghadapi mereka.”

“Baik, Suma-taihiap.”

Suara itu makin keras saja dan akhirnya nampaklah sebuah lubang! Dan terdengarlah suara orang-orang di atas, lalu lubang itu makin lebar. Hawa segar memasuki terowongan itu dan dua orang itu menarik napas dalam-dalam. Di atas lubang itu pun hitam, akan tetapi tidak segelap di bawah, dan setelah lubang itu cukup besar, mulailah nampak bayang-bayang muka orang di atas lubang dan jauh tinggi sekali nampak berkelap-kelipnya bintang-bintang!

Pemandangan ini sungguh amat menyedapkan mata kedua orang itu. Akan tetapi mereka tetap tidak bergerak, sungguhpun seluruh urat syaraf mereka menegang. Setiap ada kesempatan harus dia pergunakan sebaiknya, pikir Suma Kian Lee. Kalau yang di atas itu fihak musuh, dia harus menyergap dan menyerbu keluar dan sekarang dia akan melawan mati-matian!

Sebuah kepala nampak di lubang yang besar itu, lalu terdengar suara parau kasar,
“Apakah ada yang bernama Suma Kian Lee di bawah sana?”

Suara ini bergema dengan aneh, seperti suara iblis dari neraka saja layaknya. Kian Lee tidak menjawab, menanti perkembangan selanjutnya karena dia tidak tahu siapakah mereka itu dan mendengar suaranya di atas itu terdapat banyak sekali orang!