Tek Hoat membalik dan menjura.
“Harap paduka tenang saja.” Kemudian sekali berkelebat, pemuda itu sudah lenyap di balik pohon-pohon di hutan itu.
Demikianlah, malam hari itu Tek Hoat berhasil menyelundup ke dusun Nam-lim yang tentu saja dikenalnya dengan baik dan dia berhasil memasuki kamar Suma Kian Bu yang gelisah tak dapat tidur memikirkan keadaan Ceng Ceng yang menjadi tawanan itu. Dapat dibayangkan betapa heran dan kagetnya hati Kian Bu melihat munculnya Tek Hoat di tempat itu.
Setelah mereka berdiri berhadapan di dalam kamar, Tek Hoat sejenak menatap wajah Kian Bu dengan tajam, kemudian dia berdiri.
“Apakah dunia telah terbalik? Tidak salahkah penglihatanku bahwa putera Pendekar Super Sakti kini menjadi sekutu Hek-tiauw Lo-mo?”
Wajah Kian Bu menjadi merah bukan main.
“Tek Hoat, jangan engkau mengeluarkan ucapan yang bukan-bukan! Aku di sini menjadi tamu, bukan sekutu!”
“Bagus! Akan tetapi mengapa engkau enak-enak saja melihat Nona Lu Ceng dijadikan tawanan olehnya?”
Jantung Kian Bu berdebar penuh rasa malu dan ketegangan. Untung bahwa pemuda aneh ini agaknya belum tahu akan hubungannya dengan Hong Kui, kalau tahu, dia akan merasa makin canggung dan malu lagi.
“Enak saja kau bicara, apa kau kira aku diam-diam tidak memikirkan hal itu? Akan tetapi mereka itu kuat sekali, aku tidak berani bertindak sembrono dan mengalami kegagalan.”
“Aku datang untuk menyelamatkan Nona Lu Ceng. Dapatkah kau membantuku?”
“Dengan adanya engkau, tentu keadaan kita lebih kuat. Mari kita serbu dan....”
“Tidak begitu maksudku, Kian Bu. Aku hanya minta bantuanmu. Di mana Ceng Ceng ditahan?”
“Di dalam kamar.... Mauw Siauw Mo-li, di ujung lorong belakang. Topeng Setan dimasukkan ke gudang belakang....”
“Aku tidak peduli dengan Topeng Setan,” kata Tek Hoat. “Sekarang baiknya engkau mengacau dengan api. Bakarlah bagian depan bangunan untuk memancing mereka keluar, dan aku akan menyelinap ke belakang dan membebaskan Nona Lu Ceng.”
Kian Bu mengangguk dan setelah menerima bahan pembuat api dari Tek Hoat yang memang telah mempersiapkannya sebelumnya, dia lalu mengikuti Tek Hoat keluar dari kamar itu. Setelah memberi isyarat di mana letaknya kamar Mauw Siauw Mo-li, mereka lalu berpisah dan Kian Bu cepat menuju ke depan dan memilih tempat yang baik untuk dibakar.
Dia maklum bahwa perbuatannya ini tentu akan membuat dia dibenci oleh Mauw Siauw Mo-li, akan tetapi dia tidak peduli. Dia tidak mencinta wanita cantik itu, hanya menikmati pergaulan mereka, memuaskan nafsu belaka. Memang dia sudah gelisah dan mencari akal bagaimana dapat menyelamatkan Ceng Ceng dan kemunculan Tek Hoat memang amat kebetulan.
Tak lama kemudian, di malam yang sunyi itu, kegelapan di dusun yang menjadi sarang bekas perkumpulan Tiat-ciang-pang dipecahkan oleh sinar api yang bernyala tinggi dan kesunyian dipecahkan oleh teriakan-teriakan banyak orang,
“Api....! Api....! Kebakaran....!”
Seketika tempat itu menjadi geger. Para anggauta Pulau Neraka memimpin orang-orang memadamkan api dan Hek-tiauw Lo-mo sendiri dengan kaget dan marah mendatangi tempat kebakaran.
Tak lama kemudian muncul Mauw Siauw Mo-li dan Suma Kian Bu. Wanita ini tadi masih menjaga Ceng Ceng di dalam kamarnya. Ketika Suma Kian Bu datang mengetuk pintunya dan mengajaknya keluar untuk melihat kebakaran, Lauw Hong Kui yang tadi menotok Ceng Ceng, lebih dulu mengikat kaki tangan dara itu, baru dia pergi bersama Kian Bu keluar.
Ketika mereka tiba di luar, Hek-tiauw Lo-mo memandang tajam kepada Kian Bu dan sumoinya, lalu membentak marah,
“Sumoi, kenapa kau tinggalkan dia? Celaka, ini tentu perbuatan musuh yang menggunakan siasat memancing harimau keluar sarang!”
Mendengar ini, Hong Kui terkejut dan bersama suhengnya dia berlari kembali menuju ke kamarnya. Saking kaget dan khawatirnya dia sampai tidak melihat bahwa Kian Bu tidak ikut kembali ke dalam.
“Brakkk!”
Hek-tiauw Lo-mo menendang pecah daun pintu kamar itu dan keduanya berteriak marah dan kaget melihat pembaringan di mana tadi Ceng Ceng rebah terbelenggu telah kosong.
“Celaka....!” Lauw Hong Kui berteriak. “Dia sudah kubelenggu!”
“Kau tolol....!”
Hek-tiauw Lo-mo berseru dan meloncat kejuar lagi, mendorong sumoinya yang menghalangi jalan. Dia kembali ke tempat kebakaran dan mencari-cari, akan tetapi tidak melihat lagi bayangan Suma Kian Bu.
“Harap paduka tenang saja.” Kemudian sekali berkelebat, pemuda itu sudah lenyap di balik pohon-pohon di hutan itu.
Demikianlah, malam hari itu Tek Hoat berhasil menyelundup ke dusun Nam-lim yang tentu saja dikenalnya dengan baik dan dia berhasil memasuki kamar Suma Kian Bu yang gelisah tak dapat tidur memikirkan keadaan Ceng Ceng yang menjadi tawanan itu. Dapat dibayangkan betapa heran dan kagetnya hati Kian Bu melihat munculnya Tek Hoat di tempat itu.
Setelah mereka berdiri berhadapan di dalam kamar, Tek Hoat sejenak menatap wajah Kian Bu dengan tajam, kemudian dia berdiri.
“Apakah dunia telah terbalik? Tidak salahkah penglihatanku bahwa putera Pendekar Super Sakti kini menjadi sekutu Hek-tiauw Lo-mo?”
Wajah Kian Bu menjadi merah bukan main.
“Tek Hoat, jangan engkau mengeluarkan ucapan yang bukan-bukan! Aku di sini menjadi tamu, bukan sekutu!”
“Bagus! Akan tetapi mengapa engkau enak-enak saja melihat Nona Lu Ceng dijadikan tawanan olehnya?”
Jantung Kian Bu berdebar penuh rasa malu dan ketegangan. Untung bahwa pemuda aneh ini agaknya belum tahu akan hubungannya dengan Hong Kui, kalau tahu, dia akan merasa makin canggung dan malu lagi.
“Enak saja kau bicara, apa kau kira aku diam-diam tidak memikirkan hal itu? Akan tetapi mereka itu kuat sekali, aku tidak berani bertindak sembrono dan mengalami kegagalan.”
“Aku datang untuk menyelamatkan Nona Lu Ceng. Dapatkah kau membantuku?”
“Dengan adanya engkau, tentu keadaan kita lebih kuat. Mari kita serbu dan....”
“Tidak begitu maksudku, Kian Bu. Aku hanya minta bantuanmu. Di mana Ceng Ceng ditahan?”
“Di dalam kamar.... Mauw Siauw Mo-li, di ujung lorong belakang. Topeng Setan dimasukkan ke gudang belakang....”
“Aku tidak peduli dengan Topeng Setan,” kata Tek Hoat. “Sekarang baiknya engkau mengacau dengan api. Bakarlah bagian depan bangunan untuk memancing mereka keluar, dan aku akan menyelinap ke belakang dan membebaskan Nona Lu Ceng.”
Kian Bu mengangguk dan setelah menerima bahan pembuat api dari Tek Hoat yang memang telah mempersiapkannya sebelumnya, dia lalu mengikuti Tek Hoat keluar dari kamar itu. Setelah memberi isyarat di mana letaknya kamar Mauw Siauw Mo-li, mereka lalu berpisah dan Kian Bu cepat menuju ke depan dan memilih tempat yang baik untuk dibakar.
Dia maklum bahwa perbuatannya ini tentu akan membuat dia dibenci oleh Mauw Siauw Mo-li, akan tetapi dia tidak peduli. Dia tidak mencinta wanita cantik itu, hanya menikmati pergaulan mereka, memuaskan nafsu belaka. Memang dia sudah gelisah dan mencari akal bagaimana dapat menyelamatkan Ceng Ceng dan kemunculan Tek Hoat memang amat kebetulan.
Tak lama kemudian, di malam yang sunyi itu, kegelapan di dusun yang menjadi sarang bekas perkumpulan Tiat-ciang-pang dipecahkan oleh sinar api yang bernyala tinggi dan kesunyian dipecahkan oleh teriakan-teriakan banyak orang,
“Api....! Api....! Kebakaran....!”
Seketika tempat itu menjadi geger. Para anggauta Pulau Neraka memimpin orang-orang memadamkan api dan Hek-tiauw Lo-mo sendiri dengan kaget dan marah mendatangi tempat kebakaran.
Tak lama kemudian muncul Mauw Siauw Mo-li dan Suma Kian Bu. Wanita ini tadi masih menjaga Ceng Ceng di dalam kamarnya. Ketika Suma Kian Bu datang mengetuk pintunya dan mengajaknya keluar untuk melihat kebakaran, Lauw Hong Kui yang tadi menotok Ceng Ceng, lebih dulu mengikat kaki tangan dara itu, baru dia pergi bersama Kian Bu keluar.
Ketika mereka tiba di luar, Hek-tiauw Lo-mo memandang tajam kepada Kian Bu dan sumoinya, lalu membentak marah,
“Sumoi, kenapa kau tinggalkan dia? Celaka, ini tentu perbuatan musuh yang menggunakan siasat memancing harimau keluar sarang!”
Mendengar ini, Hong Kui terkejut dan bersama suhengnya dia berlari kembali menuju ke kamarnya. Saking kaget dan khawatirnya dia sampai tidak melihat bahwa Kian Bu tidak ikut kembali ke dalam.
“Brakkk!”
Hek-tiauw Lo-mo menendang pecah daun pintu kamar itu dan keduanya berteriak marah dan kaget melihat pembaringan di mana tadi Ceng Ceng rebah terbelenggu telah kosong.
“Celaka....!” Lauw Hong Kui berteriak. “Dia sudah kubelenggu!”
“Kau tolol....!”
Hek-tiauw Lo-mo berseru dan meloncat kejuar lagi, mendorong sumoinya yang menghalangi jalan. Dia kembali ke tempat kebakaran dan mencari-cari, akan tetapi tidak melihat lagi bayangan Suma Kian Bu.
Sambil memaki-maki penuh kemarahan, Hek-tiauw Lo-mo cepat berlari menuju ke tempat tahanan Topeng Setan dan dia masih melihat para penjaganya lengkap di situ karena mereka tidak berani meninggalkan tawanan penting ini. Dan Topeng Setan sendiri masih duduk bersila dalam keadaan terbelenggu di dalam kamar tahanan.
Kita tinggalkan dulu Hek-tiauw Lomo yang marah-marah melihat hilangnya Ceng Ceng dan mari kita ikuti pengalaman Ceng Ceng. Tadi ketika dia melihat Kian Bu muncul di depan kamar kemudian dia yang sudah tertotok itu dibelenggu oleh Mauw Siauw Mo-li, melihat betapa mereka berdua bicara dengan sikap mesra sekali, hati Ceng Ceng mendongkol bukan main.
Tak disangkanya bahwa putera Pendekar Super Sakti atau masih terhitung “paman” tirinya itu, kini menjadi sahabat baik dari Hek-tiauw Lo-mo dan sumoinya. Ketika dulu dia melihat Suma Kian Bu berdua dengan Lauw Hong Kui di Telaga Sungari, dia masih belum menduga jelek dan mengira bahwa mereka itu secara kebetulan saja bertemu di telaga karena keduanya sama memperebutkan anak naga.
Akan tetapi sekarang, dia menjadi tawanan Hek-tiauw Lo-mo dan Kian Bu berada di situ sebagai sahabat Mauw Siauw Mo-li! Hampir saja Ceng Ceng tidak dapat mempercayai pandangan matanya sendiri. Sungguh tidak mungkin kalau pemuda perkasa itu, yang dia tahu merupakan keturunan pahlawan dan pendekar besar, yang bersama dengan Gak Bun Beng dan Suma Kian Lee telah ikut berjuang membasmi pemberontak, kini tiba-tiba menjadi sahabat Hek-tiauw Lo-mo dan Mauw Siauw Mo-li, bekas kaki tangan pemberontak dan orang-orang yang pantas digolongkan dengan bangsa iblis jahat! Teringat dia akan teriakan Suma Kian Bu ketika dia memperebutkan anak naga dengan Mauw Siauw Mo-li di atas tiang layar patah itu. Pemuda itu berteriak,
“Enci, biarkan dia mendapatkan ular itu....!”
Teriakan ini ditujukan kepada Mauw Siauw Mo-li yang disebut “enci” oleh Kian Bu. Dan teriakan itu saja sudah membuktikan bahwa Kian Bu berpihak kepadanya, minta kepada iblis betina itu agar menyerahkan anak naga kepadanya. Akan tetapi Mauw Siauw Mo-li tidak mau sehingga akhirnya anak ular naga itu putus ekornya.
Akan tetapi mengapa sekarang Kian Bu seolah-olah diam saja melihat dia ditawan? Dan mengapa kelihatannya antara Kian Bu dan iblis betina itu begitu mesra? Iblis betina itu cantik sekali memang cantik, menarik dan genit penuh daya pikat.
Diam-diam Ceng Ceng mengeluh. Mungkinkah “paman” tirinya itu yang masih muda belia terjebak dalam pikatan si cantik genit? Ceng Ceng gelisah bukan main, gelisah memikirkan keselamatan Topeng Setan. Pamannya yang bertopeng buruk itu, yang telah berkorban sedemikian rupa untuk dia, sekarang kembali berada dalam ancaman maut.
Ceng Ceng memejamkan matanya mengusir kengerian hatinya yang penuh rasa iba kepada Topeng Setan. Luka di pundaknya karena lengannya buntung itu masih belum sembuh dan sekarang harus menjadi tawanan orang-orang sejahat iblis. Sudah matikah Topeng Setan?
Tak terasa lagi dua titik air mata meloncat keluar membasahi pipinya. Topeng Setan mati? Dunia tak ada artinya lagi baginya. Karena kalau orang itu mati dia sudah tidak mempunyai apa-apa lagi dan dia tidak akan dapat menahan derita hidup akan bosan dengan hidup ini.
Topeng Setan merupakan harapan satu-satunya, seolah-olah merupakan pegangan terakhir baginya dalam kehidupannya yang penuh derita itu. Dia sejak dahulu hanyut dalam gelombang kesengsaraan dan baru sekarang dia mendapat pegangan yang dapat menahan kehanyutannya, pegangan seorang yang dapat dipercayanya sepenuhnya, yang dia yakin amat mencintanya, mungkin menganggapnya sebagai anak sendiri. Kalau dia benar sudah mati, dia pun enggan menanggung derita hidup sendirian saja!
Tiba-tiba jendela kamar itu terbuka dari luar, dan sesosok bayangan yang cepat dan ringan sekali melayang masuk. Ang Tek Hoat! Ceng Ceng memandang dengan jantung berdebar ketika melihat betapa jari-jari tangan yang mengandung kekuatan sin-kang hebat itu mematah-matahkan belenggu kaki tangannya, kemudian dia ditotok bebas.
“Tek Hoat....”
“Sssssttt, mereka sedang sibuk dengan api, mari kita pergi!”
Tanpa menanti jawaban dia menyambar lengan Ceng Ceng dan mengajaknya melompat lari dan menyelinap di antara bayangan rumah-rumah di situ lalu langsung melarikan diri secepat mungkin keluar dari dusun Nam-lim.
“Tek Hoat, berhenti dulu!” Tiba-tiba Ceng Ceng berkata dan memegang lengan pemuda itu.
Tek Hoat berdiri dan memandang wajah gadis itu di bawah sinar bulan yang bersinar terang di malam itu.
“Kita harus kembali!” kata Ceng Ceng dengan suara tetap.
“Ehh....?” Tek Hoat menjadi terheran sekali. “Susah payah aku membebaskan engkau dan melarikan diri, sekarang engkau hendak kembali ke sana? Apa artinya ini?”
“Aku tidak boleh melarikan diri sendiri saja sedangkan Topeng Setan masih tertawan di sana. Kita harus menolong dan membebaskannya.”
Tek Hoat yang tidak tahu menahu akan segala pengalaman Ceng Ceng bersama Topeng Setan, tidak tahu betapa Topeng Setan telah kehilangan sebelah lengannya ketika membela Ceng Ceng, diam-diam menjadi kagum sekali, mengira bahwa gadis ini mempunyai rasa setia kawan yang amat besar.
“Ceng Ceng, kau kira mudah saja aku membebaskanmu tadi? Kalau tidak ada bantuan Suma Kian Bu yang membakar ruangan depan, kiranya belum tentu aku dapat membebaskanmu semudah itu dari tangan orang macam Hek-tiauw Lo-mo dan sumoinya serta kaki tangannya, orang-orang Pulau Neraka itu. Dan sekarang kalau kita kembali ke sana berarti kita akan memasuki guha naga yang amat berbahaya. Apalagi mereka tentu telah bersiap-siap....”
“Tidak peduli!” Ceng Ceng membentak dan mencari-cari saputangan dari balik bajunya. Saputangan milik Tek Hoat yang selama ini selalu dibawanya karena benda itu merupakan “jimat” baginya kalau berhadapan dengan pemuda ini. “Ang Tek Hoat, kau berani membantah perintahku? Kau.... kau....”
Dia bingung karena saputangan itu tidak berada lagi di kantongnya dan mendengar pemuda itu tertawa, dia memandang dan.... ternyata saputangannya itu telah berada di tangan pemuda itu! Agaknya ketika menolongnya tadi, Tek Hoat tidak menyia-nyiakan kesempatan itu untuk merampas kembali saputangannya!
“Ceng Ceng, kau tidak lagi dapat memaksaku melakukan sesuatu.”
“Keparat, kau jahat!” Ceng Ceng membentak. “Kalau begitu sudahlah, memang kau orang jahat dan tidak patut menjadi temanku. Biarlah aku akan menolongnya sendiri!” Ceng Ceng hendak membalikkan tubuhnya, akan tetapi Tek Hoat cepat menahannya.
“Nanti dulu....! Ceng Ceng, apa kau sudah melupakan kakak angkatmu, Puteri Bhutan?”
“Syanti Dewi....? Apa maksudmu?” Ceng Ceng terkejut dan memandang tajam.
“Dia ditawan oleh Raja Tambolon. Aku hendak menolongnya akan tetapi Tambolon menodong leher puteri itu dan mengatakan bahwa dia mau membebaskan Syanti Dewi asal engkau mau menyerahkan diri kepadanya sebagai tukarnya.”
“Lalu.... lalu bagaimana maksudmu? Mengapa dia hendak menangkap aku?”
“Hemm.... aku telah mendengar bahwa engkau berhasil memperoleh anak naga, maka tentu dia hendak minta mustika itu darimu. Maka, untuk dapat menyelamatkan Syanti Dewi, kita harus menggunakan akal. Engkau pura-pura menjadi tawananku dan kutukarkan dengan Syanti Dewi, setelah puteri yang lemah itu berada padaku, maka aku dapat membantumu untuk meloloskan dia dari Tambolon.”
Ceng Ceng menjadi girang sekali bahwa dia akan dapat menolong kakak angkatnya dan akan dapat bertemu dengan puteri yang telah lama sekali berpisah darinya itu, akan tetapi dia menjadi bimbang karena teringat kepada Topeng Setan yang masih menjadi tawanan Hek-tiauw Lo-mo.
“Akan tetapi.... bagaimana dengan Paman Topeng Setan....? Kita harus menyelamatkan dia lebih dulu....”
“Jangan khawatir, Ceng Ceng. Setelah membantuku membakar ruangan depan memancing perhatian musuh, dia tentu akan menolong Topeng Setan. Pula, aku yakin bahwa Hek-tiauw Lo-mo tidak akan membunuh Topeng Setan sebelum dapat menangkapmu kembali. Engkaulah yang dibutuhkan olehnya, bukan dia. Tentu dia dapat dipergunakan sebagai sandera. Marilah, aku khawatir kita akan terlambat menolong Syanti Dewi!”
Mendengar ini, terpaksa Ceng Ceng mengikuti pemuda itu menuju ke dusun di tepi Sungai Ta-cing di mana Syanti Dewi menjadi tawanan Raja Tambolon. Untung bahwa puteri ini dianggap orang penting sekali setelah gerombolan ini bertemu dan berjanji dengan Tek Hoat yang akan ditukar dengan Ceng Ceng sehingga Syanti Dewi memperoleh perlakuan yang baik dan sopan, karena kalau tidak, sukar dibayangkan bagaimana nasib puteri jelita ini di tangan seorang biadab seperti Tambolon!
Hari masih pagi sekali dan penduduk dusun itu masih belum bangun ketika Tek Hoat dan Ceng Ceng tiba di dusun itu.
“Engkau harus pura-pura menjadi tawananku, biar kutotok jalan darahmu. Kalau hanya pura-pura biasa, tentu tidak akan dapat mengelabui Tambolon dan pembantu-pembantunya yang lihai,” kata Tek Hoat.
Ceng Ceng mengangguk dan Tek Hoat lalu menotok pundak dara itu sehingga menjadi lemas dan dipanggulnya tubuh Ceng Ceng, dibawa berloncatan ke atas genteng menuju ke tempat Tambolon dan gerombolannya bermalam.
“Tambolon, aku sudah berhasil menangkap Nona Lu Ceng. Hayo kau keluarkan Puteri Syanti Dewi!” Tek Hoat berteriak ketika dia tiba di depan rumah yang ditinggali gerombolan itu.
Tambolon dan teman-temannya memang sudah siap menanti kedatangan pemuda ini sejak Tek Hoat pergi dengan janjinya untuk menangkap Ceng Ceng. Tambolon sendiri yang keluar, diantar oleh dua orang pengawalnya, mendorong Syanti Dewi yang memandang dengan mata terbelalak ketika mendengar nama Lu Ceng disebut-sebut. Ketika dia melihat Ang Tek Hoat memondong tubuh Ceng Ceng yang dikenalnya karena di depan rumah itu terdapat penerangan lampu yang cukup terang sehingga dia dapat melihat wajah Ceng Ceng, dia berteriak kaget dan girang,
“Adik Candra....!”
Akan tetapi Tambolon menangkap lengannya ketika puteri ini hendak lari menghampiri. Ceng Ceng sendiri merasa girang bukan main dan tak terasa lagi dua butir air mata menetes turun ketika dia melihat puteri itu bercucuran air mata memandang kepadanya. Dia mulai merasa curiga karena Tek Hoat belum juga membebaskan totokannya.
“Tambolon, kau lemparkan Sang Puteri kepadaku dan aku pun akan melemparkan Nona Lu Ceng kepadamu!”
Tek Hoat berseru karena dianggapnya bahwa cara inilah yang paling baik dan aman agar dia tidak dicurigai raja liar itu.
“Hemm, pemuda sombong. Kau kira aku ini orang macam apa? Seorang raja sekali mengeluarkan janji, tidak akan ditelannya kembali. Nah, terimalah!”
Tambolon yang tadi memegang lengan Syanti Dewi, kini mengangkat puteri itu dan melemparkannya ke arah Tek Hoat. Pemuda ini pun melemparkan tubuh Ceng Ceng yang masih lemas tertotok itu ke arah Tambolon.
“Adik Candra....!”
“Enci Syanti....!”
Dua orang gadis itu hanya mampu memanggil nama masing-masing ketika mereka terlempar saling berpapasan. Tek Hoat cepat menyambar tubuh Syanti Dewi dan didukungnya lalu dibawanya lari secepat mungkin dari tempat berbahaya itu.
“Ang Tek Hoat.... kau harus menolong Adik Candra....” Syanti Dewi berkata ketika melihat betapa dia dilarikan secepat itu meninggalkan Ceng Ceng.
“Harus satu demi satu, Sang Puteri. Menyelamatkan kalian berdua sekaligus tidak mungkin,” kata Tek Hoat yang tentu saja membohong karena baginya, yang terpenting adalah menyelamatkan puteri yang dicintanya ini.
Dia juga suka sekali kepada Ceng Ceng dan tidak pernah dia mempunyai pikiran jahat terhadap gadis itu, akan tetapi sekali ini dia dihadapkan kepada dua pilihan, yaitu Ceng Ceng atau Syanti Dewi dan tentu saja dia memberatkan Syanti Dewi yang dicintanya sepenuh hati itu.
“Habis, bagaimana dengan Candra Dewi....?” Syanti Dewi membantah.
“Jangan khawatir, Sang Puteri. Setelah saya menyelamatkan paduka, tentu saya akan berusaha untuk menolongnya.”
Agak lega rasa hati Syanti Dewi, sungguhpun dia masih mengkhawatirkan keselamatan adik angkatnya itu di tangan raja liar Tambolon yang dia tahu amat jahat dan kejam.
“Kemana aku hendak kau bawa....?” Kembali dia bertanya ketika melihat pemuda itu melakukan perjalanan cepat sekali, menuju ke utara.
“Ke kota raja,” jawab Tek Hoat pendek.
Tentu saja Syanti Dewi terkejut bukan main. Dia baru saja dilarikan oleh Puteri Milana dari istana kaisar. Dia adalah seorang pelarian. Bagaimana kini pemuda ini hendak membawanya kembali ke kota raja?
“Tek Hoat....! Apa.... apa yang hendak kau lakukan ini....?”
Melihat puteri itu memandangnya dengan pandang mata penuh kecurigaan, ketakutan dan ketidak percayaan, Tek Hoat yang menghentikan larinya itu lalu menurunkannya dan dia menarik napas panjang.
“Puteri Syanti Dewi, saya memang hanya seorang pemuda bodoh, kasar dan jahat akan tetapi.... harap paduka tenangkan hati karena saya.... saya yang sesungguhnya seorang jahat ini, pada saat ini sama sekali tidak mempunyai niat buruk terhadap paduka. Saya ingin membawa paduka berlindung pada Perdana Menteri Su yang saya tahu adalah satu-satunya orang yang dapat dipercaya di kota raja, di samping Jenderal Kao Liang dan Puteri Milana. Akan tetapi, Jenderal Kao Liang sibuk dengan urusan di luar kota raja, Puteri Milana telah pergi meninggalkan kota raja, satu-satunya jalan hanyalah berlindung kepada Perdana Menteri Su. Engkau akan aman di sana, Puteri. Setelah itu, barulah saya akan pergi menolong Ceng Ceng....”
Melihat sikap pemuda itu, melihat pandang matanya yang penuh kedukaan, jelas terbayang pada wajah yang tampan itu betapa sakit rasa hati pemuda itu karena dia telah mencurigainya. Syanti Dewi lalu menghela napas.
“Aku yakin bahwa engkau adalah seorang yang amat gagah perkasa dan dapat kupercaya sepenuhnya, Ang Tek Hoat. Baiklah, mari kita lanjutkan perjalanan ke kota raja, dan aku menyerahkan semua nasibku ke tanganmu, juga aku mengharapkan bantuanmu untuk keselamatan adik Candra Dewi.”
Tek Hoat menjadi lega dan girang hatinya. Tidak ada hal yang lebih menyakitkan hatinya daripada kehilangan kepercayaan puteri yang dicintanya ini. Dia tahu bahwa dia sama sekali tidak berharga bagi puteri jelita ini, akan tetapi setidaknya kalau dia sudah dapat melakukan sesuatu bagi puteri ini, apalagi menyelamatkan puteri ini dari bencana, hatinya sudah akan merasa bahagia.
Akan tetapi kalau dia teringat betapa puteri ini mencinta Suma Kian Bu, dan hal itu memang sudah sewajarnya mengingat bahwa Suma Kian Bu adalah putera Pendekar Super Sakti, hatinya seperti ditusuk rasanya. Dan dia akan menegur pemuda itu karena dia melihat pemuda itu bermain gila dengan seorang busuk seperti Mauw Siauw Mo-li, dan kalau perlu dia akan menggunakan kekerasan untuk memperingatkan pemuda itu agar menjadi orang berharga untuk dicintai seorang seperti Syanti Dewi!
“Agar dapat cepat, terpaksa saya harus memondong paduka....”
“Terserah kepadamu, Tek Hoat. Aku percaya sepenuhnya kepadamu,” jawab Syanti Dewi dan Tek Hoat lalu memondong puteri itu dengan hati-hati dan kembali melanjutkan perjalanan sambil berlari cepat.
Bukan main rasa bangga dan bahagia hatinya. Puteri yang dicintanya itu telah dipondongnya! Gemetar rasa seluruh tubuhnya ketika dadanya dan tangannya merasakan kehangatan dan kelembutan tubuh yang dipondongnya, hidungnya mencium keharuman yang membuat semangatnya melayang. Dia merasa terharu sekali! Keharuan pertama kali yang pernah dirasakan oleh pemuda yang digembleng oleh keadaan dan menjadi seorang yang keras ini.
Dengan mudah Tek Hoat dapat melompati pagar tembok di sekeliling istana Perdana Menteri Su setelah dia tiba di kota raja pada malam hari berikutnya. Ketika dia tiba di ruangan dalam, dua orang pengawal membentaknya dan menghadangnya dengan pedang di tangan.
“Aku bukan orang jahat...., kalian tentu mengenal puteri ini, lekas kalian laporkan kepada Perdana Menteri bahwa aku dan puteri ingin menghadap sekarang juga....!”
Dua orang pengawal itu adalah pengawal-pengawal setia dari Perdana Menteri Su. Mereka tentu saja mengenal keadaan dan tahu akan hal ihwal Puteri Syanti Dewi dari Bhutan ini. Melihat puteri itu yang kini menjadi pelarian muncul bersama seorang pemuda di tengah ruangan istana seperti iblis saja, mereka terkejut dan seorang dari mereka cepat berlari dan mengetuk pintu kamar Perdana Menteri Su setelah dia memanggil lima orang pengawal lain untuk mengurung pemuda itu.
Perdana Menteri Su terkejut sekali mendengar laporan bahwa Puteri Syanti Dewi muncul bersama seorang pemuda lihai dan hendak menghadapnya. Cepat dia berpakaian dan keluar dari kamarnya.
Ketika melihat perdana menteri itu datang, Tek Hoat dan Puteri Syanti Dewi yang tadinya beristirahat dan duduk di atas bangku, dijaga dari jauh oleh para pengawal, cepat berdiri dan Tek Hoat memberi hormat kepada perdana menteri tua itu.
Perdana Menteri Su mengangkat tangan kanannya, memandang Syanti Dewi lalu bertanya dengan suara serius dan pandang mata penuh selidik kepada Tek Hoat.
“Siapakah kau dan bagaimana kau dapat datang bersama Puteri Bhutan ini di waktu tengah malam di sini?”
“Saya adalah Ang Tek Hoat....”
“Hemm.... aku sudah pernah mendengar namamu dari Puteri Milana....”
Kakek bangsawan itu mengangguk-angguk dan memberi isyarat dengan tangannya agar para pengawal mundur dan menjaga dari jauh saja, jangan ikut mendengarkan percakapan mereka. Perdana Menteri Su adalah seorang yang bijaksana dan cerdas sekali. Begitu melihat Puteri Syanti Dewi dan sikap puteri ini, maka dia dapat yakin bahwa pemuda ini bukan orang berbahaya, apalagi setelah dia mendengar namanya, maka tidaklah perlu sekali para pengawal menjaga keselamatannya dan agaknya yang akan disampaikan oleh pemuda ini tentulah hal yang amat penting maka dia menyuruh para pengawal mundur.
“Ceritakan apa kepentingan kalian,” kemudian perdana menteri itu berkata setelah dia duduk di atas sebuah bangku di depan dua orang muda itu.
“Saya baru membebaskan Puteri Syanti Dewi dari tangan raja liar Tambolon....”
“Ahh....? Si keparat itu berani berada di dekat kota raja?”
Tek Hoat lalu menceritakan di mana adanya Tambolon dan para pembantunya, yaitu di desa dekat Sungai Ta-cin di selatan kota raja. Dia minta agar perdana menteri sudi melindungi Syanti Dewi, sedangkan dia sendiri hendak pergi menolong Ceng Ceng dan Topeng Setan pula yang masih berada di dalam tangan Hek-tiauw Lo-mo.
“Hemm, tentu saja aku akan membantu Sang Puteri ini. Kebetulan sekali siang tadi aku bertemu dengan rombongan utusan dari Kerajaan Bhutan. Aku akan menyerahkan Sang Puteri kepada mereka agar dapat dikawal kembali ke Bhutan, dan aku akan menghubungi Jenderal Kao agar raja liar Tambolon dan bekas para pembantu pemberontak itu dapat dibasmi!”
Tek Hoat menjadi girang sekali, juga Puteri Syanti Dewi girang bukan main mendengar bahwa rombongan utusan ayahnya yang dipimpin Panglima Pengawal Jayin sendiri sudah berada di kota raja! Tek Hoat lalu memberi hormat kepada Perdana Menteri Su dan menghaturkan terima kasihnya, kemudian dia memberi hormat kepada Syanti Dewi yang cepat dibalas oleh puteri itu. Sejenak mereka berpandangan, dan Tek Hoat berkata dengan suara gemetar,
“Selamat jalan, Sang Puteri. Semoga Thian selalu melindungi paduka dengan berkah yang berlimpah-limpah sehingga paduka akan hidup bahagia selalu.”
Kita tinggalkan dulu Hek-tiauw Lomo yang marah-marah melihat hilangnya Ceng Ceng dan mari kita ikuti pengalaman Ceng Ceng. Tadi ketika dia melihat Kian Bu muncul di depan kamar kemudian dia yang sudah tertotok itu dibelenggu oleh Mauw Siauw Mo-li, melihat betapa mereka berdua bicara dengan sikap mesra sekali, hati Ceng Ceng mendongkol bukan main.
Tak disangkanya bahwa putera Pendekar Super Sakti atau masih terhitung “paman” tirinya itu, kini menjadi sahabat baik dari Hek-tiauw Lo-mo dan sumoinya. Ketika dulu dia melihat Suma Kian Bu berdua dengan Lauw Hong Kui di Telaga Sungari, dia masih belum menduga jelek dan mengira bahwa mereka itu secara kebetulan saja bertemu di telaga karena keduanya sama memperebutkan anak naga.
Akan tetapi sekarang, dia menjadi tawanan Hek-tiauw Lo-mo dan Kian Bu berada di situ sebagai sahabat Mauw Siauw Mo-li! Hampir saja Ceng Ceng tidak dapat mempercayai pandangan matanya sendiri. Sungguh tidak mungkin kalau pemuda perkasa itu, yang dia tahu merupakan keturunan pahlawan dan pendekar besar, yang bersama dengan Gak Bun Beng dan Suma Kian Lee telah ikut berjuang membasmi pemberontak, kini tiba-tiba menjadi sahabat Hek-tiauw Lo-mo dan Mauw Siauw Mo-li, bekas kaki tangan pemberontak dan orang-orang yang pantas digolongkan dengan bangsa iblis jahat! Teringat dia akan teriakan Suma Kian Bu ketika dia memperebutkan anak naga dengan Mauw Siauw Mo-li di atas tiang layar patah itu. Pemuda itu berteriak,
“Enci, biarkan dia mendapatkan ular itu....!”
Teriakan ini ditujukan kepada Mauw Siauw Mo-li yang disebut “enci” oleh Kian Bu. Dan teriakan itu saja sudah membuktikan bahwa Kian Bu berpihak kepadanya, minta kepada iblis betina itu agar menyerahkan anak naga kepadanya. Akan tetapi Mauw Siauw Mo-li tidak mau sehingga akhirnya anak ular naga itu putus ekornya.
Akan tetapi mengapa sekarang Kian Bu seolah-olah diam saja melihat dia ditawan? Dan mengapa kelihatannya antara Kian Bu dan iblis betina itu begitu mesra? Iblis betina itu cantik sekali memang cantik, menarik dan genit penuh daya pikat.
Diam-diam Ceng Ceng mengeluh. Mungkinkah “paman” tirinya itu yang masih muda belia terjebak dalam pikatan si cantik genit? Ceng Ceng gelisah bukan main, gelisah memikirkan keselamatan Topeng Setan. Pamannya yang bertopeng buruk itu, yang telah berkorban sedemikian rupa untuk dia, sekarang kembali berada dalam ancaman maut.
Ceng Ceng memejamkan matanya mengusir kengerian hatinya yang penuh rasa iba kepada Topeng Setan. Luka di pundaknya karena lengannya buntung itu masih belum sembuh dan sekarang harus menjadi tawanan orang-orang sejahat iblis. Sudah matikah Topeng Setan?
Tak terasa lagi dua titik air mata meloncat keluar membasahi pipinya. Topeng Setan mati? Dunia tak ada artinya lagi baginya. Karena kalau orang itu mati dia sudah tidak mempunyai apa-apa lagi dan dia tidak akan dapat menahan derita hidup akan bosan dengan hidup ini.
Topeng Setan merupakan harapan satu-satunya, seolah-olah merupakan pegangan terakhir baginya dalam kehidupannya yang penuh derita itu. Dia sejak dahulu hanyut dalam gelombang kesengsaraan dan baru sekarang dia mendapat pegangan yang dapat menahan kehanyutannya, pegangan seorang yang dapat dipercayanya sepenuhnya, yang dia yakin amat mencintanya, mungkin menganggapnya sebagai anak sendiri. Kalau dia benar sudah mati, dia pun enggan menanggung derita hidup sendirian saja!
Tiba-tiba jendela kamar itu terbuka dari luar, dan sesosok bayangan yang cepat dan ringan sekali melayang masuk. Ang Tek Hoat! Ceng Ceng memandang dengan jantung berdebar ketika melihat betapa jari-jari tangan yang mengandung kekuatan sin-kang hebat itu mematah-matahkan belenggu kaki tangannya, kemudian dia ditotok bebas.
“Tek Hoat....”
“Sssssttt, mereka sedang sibuk dengan api, mari kita pergi!”
Tanpa menanti jawaban dia menyambar lengan Ceng Ceng dan mengajaknya melompat lari dan menyelinap di antara bayangan rumah-rumah di situ lalu langsung melarikan diri secepat mungkin keluar dari dusun Nam-lim.
“Tek Hoat, berhenti dulu!” Tiba-tiba Ceng Ceng berkata dan memegang lengan pemuda itu.
Tek Hoat berdiri dan memandang wajah gadis itu di bawah sinar bulan yang bersinar terang di malam itu.
“Kita harus kembali!” kata Ceng Ceng dengan suara tetap.
“Ehh....?” Tek Hoat menjadi terheran sekali. “Susah payah aku membebaskan engkau dan melarikan diri, sekarang engkau hendak kembali ke sana? Apa artinya ini?”
“Aku tidak boleh melarikan diri sendiri saja sedangkan Topeng Setan masih tertawan di sana. Kita harus menolong dan membebaskannya.”
Tek Hoat yang tidak tahu menahu akan segala pengalaman Ceng Ceng bersama Topeng Setan, tidak tahu betapa Topeng Setan telah kehilangan sebelah lengannya ketika membela Ceng Ceng, diam-diam menjadi kagum sekali, mengira bahwa gadis ini mempunyai rasa setia kawan yang amat besar.
“Ceng Ceng, kau kira mudah saja aku membebaskanmu tadi? Kalau tidak ada bantuan Suma Kian Bu yang membakar ruangan depan, kiranya belum tentu aku dapat membebaskanmu semudah itu dari tangan orang macam Hek-tiauw Lo-mo dan sumoinya serta kaki tangannya, orang-orang Pulau Neraka itu. Dan sekarang kalau kita kembali ke sana berarti kita akan memasuki guha naga yang amat berbahaya. Apalagi mereka tentu telah bersiap-siap....”
“Tidak peduli!” Ceng Ceng membentak dan mencari-cari saputangan dari balik bajunya. Saputangan milik Tek Hoat yang selama ini selalu dibawanya karena benda itu merupakan “jimat” baginya kalau berhadapan dengan pemuda ini. “Ang Tek Hoat, kau berani membantah perintahku? Kau.... kau....”
Dia bingung karena saputangan itu tidak berada lagi di kantongnya dan mendengar pemuda itu tertawa, dia memandang dan.... ternyata saputangannya itu telah berada di tangan pemuda itu! Agaknya ketika menolongnya tadi, Tek Hoat tidak menyia-nyiakan kesempatan itu untuk merampas kembali saputangannya!
“Ceng Ceng, kau tidak lagi dapat memaksaku melakukan sesuatu.”
“Keparat, kau jahat!” Ceng Ceng membentak. “Kalau begitu sudahlah, memang kau orang jahat dan tidak patut menjadi temanku. Biarlah aku akan menolongnya sendiri!” Ceng Ceng hendak membalikkan tubuhnya, akan tetapi Tek Hoat cepat menahannya.
“Nanti dulu....! Ceng Ceng, apa kau sudah melupakan kakak angkatmu, Puteri Bhutan?”
“Syanti Dewi....? Apa maksudmu?” Ceng Ceng terkejut dan memandang tajam.
“Dia ditawan oleh Raja Tambolon. Aku hendak menolongnya akan tetapi Tambolon menodong leher puteri itu dan mengatakan bahwa dia mau membebaskan Syanti Dewi asal engkau mau menyerahkan diri kepadanya sebagai tukarnya.”
“Lalu.... lalu bagaimana maksudmu? Mengapa dia hendak menangkap aku?”
“Hemm.... aku telah mendengar bahwa engkau berhasil memperoleh anak naga, maka tentu dia hendak minta mustika itu darimu. Maka, untuk dapat menyelamatkan Syanti Dewi, kita harus menggunakan akal. Engkau pura-pura menjadi tawananku dan kutukarkan dengan Syanti Dewi, setelah puteri yang lemah itu berada padaku, maka aku dapat membantumu untuk meloloskan dia dari Tambolon.”
Ceng Ceng menjadi girang sekali bahwa dia akan dapat menolong kakak angkatnya dan akan dapat bertemu dengan puteri yang telah lama sekali berpisah darinya itu, akan tetapi dia menjadi bimbang karena teringat kepada Topeng Setan yang masih menjadi tawanan Hek-tiauw Lo-mo.
“Akan tetapi.... bagaimana dengan Paman Topeng Setan....? Kita harus menyelamatkan dia lebih dulu....”
“Jangan khawatir, Ceng Ceng. Setelah membantuku membakar ruangan depan memancing perhatian musuh, dia tentu akan menolong Topeng Setan. Pula, aku yakin bahwa Hek-tiauw Lo-mo tidak akan membunuh Topeng Setan sebelum dapat menangkapmu kembali. Engkaulah yang dibutuhkan olehnya, bukan dia. Tentu dia dapat dipergunakan sebagai sandera. Marilah, aku khawatir kita akan terlambat menolong Syanti Dewi!”
Mendengar ini, terpaksa Ceng Ceng mengikuti pemuda itu menuju ke dusun di tepi Sungai Ta-cing di mana Syanti Dewi menjadi tawanan Raja Tambolon. Untung bahwa puteri ini dianggap orang penting sekali setelah gerombolan ini bertemu dan berjanji dengan Tek Hoat yang akan ditukar dengan Ceng Ceng sehingga Syanti Dewi memperoleh perlakuan yang baik dan sopan, karena kalau tidak, sukar dibayangkan bagaimana nasib puteri jelita ini di tangan seorang biadab seperti Tambolon!
Hari masih pagi sekali dan penduduk dusun itu masih belum bangun ketika Tek Hoat dan Ceng Ceng tiba di dusun itu.
“Engkau harus pura-pura menjadi tawananku, biar kutotok jalan darahmu. Kalau hanya pura-pura biasa, tentu tidak akan dapat mengelabui Tambolon dan pembantu-pembantunya yang lihai,” kata Tek Hoat.
Ceng Ceng mengangguk dan Tek Hoat lalu menotok pundak dara itu sehingga menjadi lemas dan dipanggulnya tubuh Ceng Ceng, dibawa berloncatan ke atas genteng menuju ke tempat Tambolon dan gerombolannya bermalam.
“Tambolon, aku sudah berhasil menangkap Nona Lu Ceng. Hayo kau keluarkan Puteri Syanti Dewi!” Tek Hoat berteriak ketika dia tiba di depan rumah yang ditinggali gerombolan itu.
Tambolon dan teman-temannya memang sudah siap menanti kedatangan pemuda ini sejak Tek Hoat pergi dengan janjinya untuk menangkap Ceng Ceng. Tambolon sendiri yang keluar, diantar oleh dua orang pengawalnya, mendorong Syanti Dewi yang memandang dengan mata terbelalak ketika mendengar nama Lu Ceng disebut-sebut. Ketika dia melihat Ang Tek Hoat memondong tubuh Ceng Ceng yang dikenalnya karena di depan rumah itu terdapat penerangan lampu yang cukup terang sehingga dia dapat melihat wajah Ceng Ceng, dia berteriak kaget dan girang,
“Adik Candra....!”
Akan tetapi Tambolon menangkap lengannya ketika puteri ini hendak lari menghampiri. Ceng Ceng sendiri merasa girang bukan main dan tak terasa lagi dua butir air mata menetes turun ketika dia melihat puteri itu bercucuran air mata memandang kepadanya. Dia mulai merasa curiga karena Tek Hoat belum juga membebaskan totokannya.
“Tambolon, kau lemparkan Sang Puteri kepadaku dan aku pun akan melemparkan Nona Lu Ceng kepadamu!”
Tek Hoat berseru karena dianggapnya bahwa cara inilah yang paling baik dan aman agar dia tidak dicurigai raja liar itu.
“Hemm, pemuda sombong. Kau kira aku ini orang macam apa? Seorang raja sekali mengeluarkan janji, tidak akan ditelannya kembali. Nah, terimalah!”
Tambolon yang tadi memegang lengan Syanti Dewi, kini mengangkat puteri itu dan melemparkannya ke arah Tek Hoat. Pemuda ini pun melemparkan tubuh Ceng Ceng yang masih lemas tertotok itu ke arah Tambolon.
“Adik Candra....!”
“Enci Syanti....!”
Dua orang gadis itu hanya mampu memanggil nama masing-masing ketika mereka terlempar saling berpapasan. Tek Hoat cepat menyambar tubuh Syanti Dewi dan didukungnya lalu dibawanya lari secepat mungkin dari tempat berbahaya itu.
“Ang Tek Hoat.... kau harus menolong Adik Candra....” Syanti Dewi berkata ketika melihat betapa dia dilarikan secepat itu meninggalkan Ceng Ceng.
“Harus satu demi satu, Sang Puteri. Menyelamatkan kalian berdua sekaligus tidak mungkin,” kata Tek Hoat yang tentu saja membohong karena baginya, yang terpenting adalah menyelamatkan puteri yang dicintanya ini.
Dia juga suka sekali kepada Ceng Ceng dan tidak pernah dia mempunyai pikiran jahat terhadap gadis itu, akan tetapi sekali ini dia dihadapkan kepada dua pilihan, yaitu Ceng Ceng atau Syanti Dewi dan tentu saja dia memberatkan Syanti Dewi yang dicintanya sepenuh hati itu.
“Habis, bagaimana dengan Candra Dewi....?” Syanti Dewi membantah.
“Jangan khawatir, Sang Puteri. Setelah saya menyelamatkan paduka, tentu saya akan berusaha untuk menolongnya.”
Agak lega rasa hati Syanti Dewi, sungguhpun dia masih mengkhawatirkan keselamatan adik angkatnya itu di tangan raja liar Tambolon yang dia tahu amat jahat dan kejam.
“Kemana aku hendak kau bawa....?” Kembali dia bertanya ketika melihat pemuda itu melakukan perjalanan cepat sekali, menuju ke utara.
“Ke kota raja,” jawab Tek Hoat pendek.
Tentu saja Syanti Dewi terkejut bukan main. Dia baru saja dilarikan oleh Puteri Milana dari istana kaisar. Dia adalah seorang pelarian. Bagaimana kini pemuda ini hendak membawanya kembali ke kota raja?
“Tek Hoat....! Apa.... apa yang hendak kau lakukan ini....?”
Melihat puteri itu memandangnya dengan pandang mata penuh kecurigaan, ketakutan dan ketidak percayaan, Tek Hoat yang menghentikan larinya itu lalu menurunkannya dan dia menarik napas panjang.
“Puteri Syanti Dewi, saya memang hanya seorang pemuda bodoh, kasar dan jahat akan tetapi.... harap paduka tenangkan hati karena saya.... saya yang sesungguhnya seorang jahat ini, pada saat ini sama sekali tidak mempunyai niat buruk terhadap paduka. Saya ingin membawa paduka berlindung pada Perdana Menteri Su yang saya tahu adalah satu-satunya orang yang dapat dipercaya di kota raja, di samping Jenderal Kao Liang dan Puteri Milana. Akan tetapi, Jenderal Kao Liang sibuk dengan urusan di luar kota raja, Puteri Milana telah pergi meninggalkan kota raja, satu-satunya jalan hanyalah berlindung kepada Perdana Menteri Su. Engkau akan aman di sana, Puteri. Setelah itu, barulah saya akan pergi menolong Ceng Ceng....”
Melihat sikap pemuda itu, melihat pandang matanya yang penuh kedukaan, jelas terbayang pada wajah yang tampan itu betapa sakit rasa hati pemuda itu karena dia telah mencurigainya. Syanti Dewi lalu menghela napas.
“Aku yakin bahwa engkau adalah seorang yang amat gagah perkasa dan dapat kupercaya sepenuhnya, Ang Tek Hoat. Baiklah, mari kita lanjutkan perjalanan ke kota raja, dan aku menyerahkan semua nasibku ke tanganmu, juga aku mengharapkan bantuanmu untuk keselamatan adik Candra Dewi.”
Tek Hoat menjadi lega dan girang hatinya. Tidak ada hal yang lebih menyakitkan hatinya daripada kehilangan kepercayaan puteri yang dicintanya ini. Dia tahu bahwa dia sama sekali tidak berharga bagi puteri jelita ini, akan tetapi setidaknya kalau dia sudah dapat melakukan sesuatu bagi puteri ini, apalagi menyelamatkan puteri ini dari bencana, hatinya sudah akan merasa bahagia.
Akan tetapi kalau dia teringat betapa puteri ini mencinta Suma Kian Bu, dan hal itu memang sudah sewajarnya mengingat bahwa Suma Kian Bu adalah putera Pendekar Super Sakti, hatinya seperti ditusuk rasanya. Dan dia akan menegur pemuda itu karena dia melihat pemuda itu bermain gila dengan seorang busuk seperti Mauw Siauw Mo-li, dan kalau perlu dia akan menggunakan kekerasan untuk memperingatkan pemuda itu agar menjadi orang berharga untuk dicintai seorang seperti Syanti Dewi!
“Agar dapat cepat, terpaksa saya harus memondong paduka....”
“Terserah kepadamu, Tek Hoat. Aku percaya sepenuhnya kepadamu,” jawab Syanti Dewi dan Tek Hoat lalu memondong puteri itu dengan hati-hati dan kembali melanjutkan perjalanan sambil berlari cepat.
Bukan main rasa bangga dan bahagia hatinya. Puteri yang dicintanya itu telah dipondongnya! Gemetar rasa seluruh tubuhnya ketika dadanya dan tangannya merasakan kehangatan dan kelembutan tubuh yang dipondongnya, hidungnya mencium keharuman yang membuat semangatnya melayang. Dia merasa terharu sekali! Keharuan pertama kali yang pernah dirasakan oleh pemuda yang digembleng oleh keadaan dan menjadi seorang yang keras ini.
Dengan mudah Tek Hoat dapat melompati pagar tembok di sekeliling istana Perdana Menteri Su setelah dia tiba di kota raja pada malam hari berikutnya. Ketika dia tiba di ruangan dalam, dua orang pengawal membentaknya dan menghadangnya dengan pedang di tangan.
“Aku bukan orang jahat...., kalian tentu mengenal puteri ini, lekas kalian laporkan kepada Perdana Menteri bahwa aku dan puteri ingin menghadap sekarang juga....!”
Dua orang pengawal itu adalah pengawal-pengawal setia dari Perdana Menteri Su. Mereka tentu saja mengenal keadaan dan tahu akan hal ihwal Puteri Syanti Dewi dari Bhutan ini. Melihat puteri itu yang kini menjadi pelarian muncul bersama seorang pemuda di tengah ruangan istana seperti iblis saja, mereka terkejut dan seorang dari mereka cepat berlari dan mengetuk pintu kamar Perdana Menteri Su setelah dia memanggil lima orang pengawal lain untuk mengurung pemuda itu.
Perdana Menteri Su terkejut sekali mendengar laporan bahwa Puteri Syanti Dewi muncul bersama seorang pemuda lihai dan hendak menghadapnya. Cepat dia berpakaian dan keluar dari kamarnya.
Ketika melihat perdana menteri itu datang, Tek Hoat dan Puteri Syanti Dewi yang tadinya beristirahat dan duduk di atas bangku, dijaga dari jauh oleh para pengawal, cepat berdiri dan Tek Hoat memberi hormat kepada perdana menteri tua itu.
Perdana Menteri Su mengangkat tangan kanannya, memandang Syanti Dewi lalu bertanya dengan suara serius dan pandang mata penuh selidik kepada Tek Hoat.
“Siapakah kau dan bagaimana kau dapat datang bersama Puteri Bhutan ini di waktu tengah malam di sini?”
“Saya adalah Ang Tek Hoat....”
“Hemm.... aku sudah pernah mendengar namamu dari Puteri Milana....”
Kakek bangsawan itu mengangguk-angguk dan memberi isyarat dengan tangannya agar para pengawal mundur dan menjaga dari jauh saja, jangan ikut mendengarkan percakapan mereka. Perdana Menteri Su adalah seorang yang bijaksana dan cerdas sekali. Begitu melihat Puteri Syanti Dewi dan sikap puteri ini, maka dia dapat yakin bahwa pemuda ini bukan orang berbahaya, apalagi setelah dia mendengar namanya, maka tidaklah perlu sekali para pengawal menjaga keselamatannya dan agaknya yang akan disampaikan oleh pemuda ini tentulah hal yang amat penting maka dia menyuruh para pengawal mundur.
“Ceritakan apa kepentingan kalian,” kemudian perdana menteri itu berkata setelah dia duduk di atas sebuah bangku di depan dua orang muda itu.
“Saya baru membebaskan Puteri Syanti Dewi dari tangan raja liar Tambolon....”
“Ahh....? Si keparat itu berani berada di dekat kota raja?”
Tek Hoat lalu menceritakan di mana adanya Tambolon dan para pembantunya, yaitu di desa dekat Sungai Ta-cin di selatan kota raja. Dia minta agar perdana menteri sudi melindungi Syanti Dewi, sedangkan dia sendiri hendak pergi menolong Ceng Ceng dan Topeng Setan pula yang masih berada di dalam tangan Hek-tiauw Lo-mo.
“Hemm, tentu saja aku akan membantu Sang Puteri ini. Kebetulan sekali siang tadi aku bertemu dengan rombongan utusan dari Kerajaan Bhutan. Aku akan menyerahkan Sang Puteri kepada mereka agar dapat dikawal kembali ke Bhutan, dan aku akan menghubungi Jenderal Kao agar raja liar Tambolon dan bekas para pembantu pemberontak itu dapat dibasmi!”
Tek Hoat menjadi girang sekali, juga Puteri Syanti Dewi girang bukan main mendengar bahwa rombongan utusan ayahnya yang dipimpin Panglima Pengawal Jayin sendiri sudah berada di kota raja! Tek Hoat lalu memberi hormat kepada Perdana Menteri Su dan menghaturkan terima kasihnya, kemudian dia memberi hormat kepada Syanti Dewi yang cepat dibalas oleh puteri itu. Sejenak mereka berpandangan, dan Tek Hoat berkata dengan suara gemetar,
“Selamat jalan, Sang Puteri. Semoga Thian selalu melindungi paduka dengan berkah yang berlimpah-limpah sehingga paduka akan hidup bahagia selalu.”
Tidak ada komentar:
Posting Komentar