Mereka ternyata seimbang karena senjata batang pikulan itupun luar biasa, berputar seperti kitiran dan mengandung kekuatan yang dahsyat. Kian Bu mengerti bahwa dalam hal tenaga, Petani Maut itu lebih kuat dibandingkan dengan Siauw Mo-li, akan tetapi jelas bahwa wanita itu lebih cepat gerakannya, lebih lincah dan ringan sehingga mengandalkan kelincahannya ini, Siauw Mo-li dapat mengimbangi desakan lawan.
Betapapun juga, Kian Bu maklum bahwa kalau dilanjutkan, besar kemungkinan wanita itu akan dapat merobohkan lawannya, sungguhpun akan tidak mudah baginya melakukan hal itu. Maka dia hanya menonton saja dan waspada terhadap gerak-gerik Si Siucai Maut dan anak buahnya yang juga menonton dengan penuh perhatian.
Melihat betapa setelah lewat lima puluh jurus temannya belum juga dapat mengalahkan wanita itu, bahkan kini gulungan sinar pedang kehijauan itu menjadi makin lebar dan makin menghimpit, Yu Ci Pok menjadi tidak sabar.
“Iblis betina banyak tingkah!”
Teriaknya dan dia sudah menerjang maju dengan sepasang poan-koan-pit di tangannya melakukan gerakan cepat menotok secara bertubi-tubi di tujuh belas jalan darah depan tubuh wanita lihai itu.
“Cring-cring-cring-tranggg....!”
Siauw Mo-li terhuyung ke belakang karena dia harus menghadapi serangan batang pikulan dan sepasang poan-koan-pit yang amat lihai itu.
Melihat dua orang itu sudah menerjangnya lagi dan sembilan orang anak buahnya itu sudah makin mendekat, Mauw Siauw Mo-li tiba-tiba mengeluarkan suara ketawa diikuti suara aneh seperti seekor kucing, tangan kirinya bergerak melemparkan sesuatu ke arah gerombolan itu, tangan kanan memutar pedang mendesak dua orang lawan yang sudah menyerangnya lagi sambil berteriak,
“Kian Bu, tiarap....!”
Terdengar bunyi ledakan keras dan empat orang anak buah Tambolon roboh sedangkan yang lima orang lagi cepat lari cerai-berai. Akan tetapi, Mauw Siauw Mo-li sendiri terdesak hebat oleh Liauw Kui dan Yu Ci Pok. Sebuah totokan yang amat cepat menyerempet lututnya, membuat wanita ini terhuyung dan pada saat itu, batang pikulan Liauw Kui menghantam punggungnya yang biarpun sudah ditangkisnya dengan pedang, tetap saja masih membuat dia terjengkang dan roboh ke atas tanah. Kini dua orang pembantu Tambolon itu sudah menubruk ke depan dengan senjata mereka.
“Wuuuttt.... desss!”
Dua orang itu berseru kaget dan terhuyung ke belakang, karena ada tenaga dahsyat dan berhawa dingin sekali melanda mereka dari depan.
Itulah dorongan pukulan yang mengandung hawa sakti Swat-im Sin-kang dari Kian Bu. Pemuda ini tentu saja tidak mau membiarkan wanita cantik yang sudah menolongnya itu tewas di tangan musuh begitu saja, maka dia sudah meloncat ke depan dan melakukan pukulan jarak jauh tadi.
“Enci Hong Kui.... apakah engkau tidak apa-apa? Tidak terluka....?”
Kata Kian Bu sambil menghampiri wanita yang masih terduduk di atas tanah itu dan yang kini memandang kepadanya dengan mata terbelalak lebar penuh keheranan.
“Kian Bu, awas....!” Tiba-tiba Mauw Siauw Mo-li berseru keras.
Akan tetapi dengan tenang saja Kian Bu membalikkan tubuhnya dan menggerakkan kedua tangan. Tentu saja tanpa diperingatkan pun dia telah tahu bahwa dia diserang dari belakang oleh dua orang itu.
“Plak-plak-bresss....!”
Liauw Kui dan Yu Ci Pok kembali terhuyung ke belakang ketika penyerangan mereka disambut tangkisan dan tamparan kedua tangan Kian Bu yang mengandung tenaga dahsyat itu, kini tidak lagi mengandung hawa dingin, melainkan hawa panas karena pemuda itu telah mengerahkan tenaga sakti Hwi-yang Sin-kang.
Liauw Kui tertangkis batang pikulannya yang membalik dan hampir menghantam kepalanya sendiri, sedangkan Yu Ci Pok tertampar tangan Kian Bu yang panas, tepat mengenai lengannya, membuat dia merasa lengannya seperti lumpuh dan panas terbakar.
Pada saat itu, Lauw Hong Kui sudah melemparkan dua buah benda bundar lagi ke arah musuh.
“Awas peledak....!”
Si Petani Maut berteriak dan bersama Yu Ci Pok dan anak buahnya dia meloncat jauh. Akan tetapi tetap saja ada dua orang anak buahnya lagi yang roboh terguling dan maklum bahwa mereka tidak akan mampu melawan pemuda lihai dan wanita berbahaya itu, Liauw Kui dan Yu Ci Pok lalu melarikan diri, menghilang di kegelapan malam diikuti anak buah mereka yang tinggal empat orang itu. Kian Bu tidak mengejar, hanya berdiri tegak memandang ke arah mereka itu melarikan diri.
Betapapun juga, Kian Bu maklum bahwa kalau dilanjutkan, besar kemungkinan wanita itu akan dapat merobohkan lawannya, sungguhpun akan tidak mudah baginya melakukan hal itu. Maka dia hanya menonton saja dan waspada terhadap gerak-gerik Si Siucai Maut dan anak buahnya yang juga menonton dengan penuh perhatian.
Melihat betapa setelah lewat lima puluh jurus temannya belum juga dapat mengalahkan wanita itu, bahkan kini gulungan sinar pedang kehijauan itu menjadi makin lebar dan makin menghimpit, Yu Ci Pok menjadi tidak sabar.
“Iblis betina banyak tingkah!”
Teriaknya dan dia sudah menerjang maju dengan sepasang poan-koan-pit di tangannya melakukan gerakan cepat menotok secara bertubi-tubi di tujuh belas jalan darah depan tubuh wanita lihai itu.
“Cring-cring-cring-tranggg....!”
Siauw Mo-li terhuyung ke belakang karena dia harus menghadapi serangan batang pikulan dan sepasang poan-koan-pit yang amat lihai itu.
Melihat dua orang itu sudah menerjangnya lagi dan sembilan orang anak buahnya itu sudah makin mendekat, Mauw Siauw Mo-li tiba-tiba mengeluarkan suara ketawa diikuti suara aneh seperti seekor kucing, tangan kirinya bergerak melemparkan sesuatu ke arah gerombolan itu, tangan kanan memutar pedang mendesak dua orang lawan yang sudah menyerangnya lagi sambil berteriak,
“Kian Bu, tiarap....!”
Terdengar bunyi ledakan keras dan empat orang anak buah Tambolon roboh sedangkan yang lima orang lagi cepat lari cerai-berai. Akan tetapi, Mauw Siauw Mo-li sendiri terdesak hebat oleh Liauw Kui dan Yu Ci Pok. Sebuah totokan yang amat cepat menyerempet lututnya, membuat wanita ini terhuyung dan pada saat itu, batang pikulan Liauw Kui menghantam punggungnya yang biarpun sudah ditangkisnya dengan pedang, tetap saja masih membuat dia terjengkang dan roboh ke atas tanah. Kini dua orang pembantu Tambolon itu sudah menubruk ke depan dengan senjata mereka.
“Wuuuttt.... desss!”
Dua orang itu berseru kaget dan terhuyung ke belakang, karena ada tenaga dahsyat dan berhawa dingin sekali melanda mereka dari depan.
Itulah dorongan pukulan yang mengandung hawa sakti Swat-im Sin-kang dari Kian Bu. Pemuda ini tentu saja tidak mau membiarkan wanita cantik yang sudah menolongnya itu tewas di tangan musuh begitu saja, maka dia sudah meloncat ke depan dan melakukan pukulan jarak jauh tadi.
“Enci Hong Kui.... apakah engkau tidak apa-apa? Tidak terluka....?”
Kata Kian Bu sambil menghampiri wanita yang masih terduduk di atas tanah itu dan yang kini memandang kepadanya dengan mata terbelalak lebar penuh keheranan.
“Kian Bu, awas....!” Tiba-tiba Mauw Siauw Mo-li berseru keras.
Akan tetapi dengan tenang saja Kian Bu membalikkan tubuhnya dan menggerakkan kedua tangan. Tentu saja tanpa diperingatkan pun dia telah tahu bahwa dia diserang dari belakang oleh dua orang itu.
“Plak-plak-bresss....!”
Liauw Kui dan Yu Ci Pok kembali terhuyung ke belakang ketika penyerangan mereka disambut tangkisan dan tamparan kedua tangan Kian Bu yang mengandung tenaga dahsyat itu, kini tidak lagi mengandung hawa dingin, melainkan hawa panas karena pemuda itu telah mengerahkan tenaga sakti Hwi-yang Sin-kang.
Liauw Kui tertangkis batang pikulannya yang membalik dan hampir menghantam kepalanya sendiri, sedangkan Yu Ci Pok tertampar tangan Kian Bu yang panas, tepat mengenai lengannya, membuat dia merasa lengannya seperti lumpuh dan panas terbakar.
Pada saat itu, Lauw Hong Kui sudah melemparkan dua buah benda bundar lagi ke arah musuh.
“Awas peledak....!”
Si Petani Maut berteriak dan bersama Yu Ci Pok dan anak buahnya dia meloncat jauh. Akan tetapi tetap saja ada dua orang anak buahnya lagi yang roboh terguling dan maklum bahwa mereka tidak akan mampu melawan pemuda lihai dan wanita berbahaya itu, Liauw Kui dan Yu Ci Pok lalu melarikan diri, menghilang di kegelapan malam diikuti anak buah mereka yang tinggal empat orang itu. Kian Bu tidak mengejar, hanya berdiri tegak memandang ke arah mereka itu melarikan diri.
Tiba-tiba Kian Bu menunduk dan dia melihat wanita itu telah berlutut di dekatnya, memegang tangan kanannya lalu menciumi tangannya itu.
“Eh, engkau kenapa, Enci?” tanyanya, akan tetapi tidak dapat menarik tangannya yang digenggam erat-erat dan dibelai oleh wanita itu.
“Kian Bu.... kau.... tak kusangka.... aihh, engkau hebat sekali! Kiranya engkau seorang pemuda yang sakti, sungguh mati aku tidak menyangkanya.... kau hebat, aku kagum sekali padamu....”
“Ah, sudahlah, engkau pun lihai sekali, Enci Hong Kui.”
Wanita itu bangkit berdiri, masih memegangi lengan Kian Bu, dan dibawah sinar api unggun dia melihat betapa muka wanita itu kemerahan, matanya yang indah itu agak terpejam, menyipit dan sayu menatapnya, jari-jari tangan wanita itu merayap dari lengannya, ke atas, membelai dadanya, pundaknya, lehernya dan mengelus pipinya, bibirnya tersenyum, agak terbuka, agak terengah.
Teringat dia akan Siang In yang pernah meniru lagak wanita genit memikat, wanita ini yang dimaksudkan oleh dara itu dan kini dia menghadapi sendiri gaya Mauw Siauw Mo-li yang amat memikat itu. Berdebar rasa jantungnya, dan dia cepat menarik diri dengan halus sambil berkata,
“Kiranya engkau adalah Mauw Siauw Mo-li.... sumoi dari Hek-tiauw Lo-mo?”
Siauw Mo-li tersenyum, tidak mendesak dengan rayuannya karena dia maklum bahwa pemuda ini adalah seorang yang memiliki kepandaian hebat sekali, tidak boleh dipandang ringan. Hati wanita ini sudah terpikat. Baru sekali ini selama hidupnya dia benar-benar jatuh cinta kepada seorang pria. Biasanya dia menganggap pria hanya sebagai barang permainannya, untuk menyenangkan hatinya, untuk memuaskan nafsu berahinya.
Entah sudah berapa banyaknya pria yang dibunuhnya setelah dia puas mempermainkannya lalu menjadi bosan dan membunuhnya. Biasanya, kaum prialah yang tergila-gila kepadanya. Akan tetapi sekarang, Mauw Siauw Mo-li yang tergila-gila kepada Kian Bu, setelah dia melihat betapa pemuda yang tampan gagah ini ternyata amat lihai, memiliki kepandaian yang agaknya lebih tinggi daripada kepandainnya sendiri.
“Aku benci sekali kepada julukan itu, Kian Bu. Julukan yang diberikan oleh mereka yang tidak suka kepadaku. Aku benci sekali, apalagi kalau engkau yang menyebutnya. Bagimu aku adalah Lauw Hong Kui, wanita biasa saja....”
Kian Bu tersenyum.
“Enci Hong Kui, biarpun engkau mengaku seorang wanita biasa saja, kenyataannya engkau adalah seorang wanita yang luar biasa. Engkau cantik jelita, berkepandaian tinggi, sumoi dari Ketua Pulau Neraka....”
Akan tetapi wanita itu sudah tidak mendengarkan kata-kata selanjutnya dari Kian Bu. Demikian girang hatinya mendengar pujian bahwa dia cantik jelita.
“Benarkah, Kian Bu? Benarkah engkau berpendapat bahwa aku cantik jelita?”
“Engkau memang cantik dan genit memikat....” Kian Bu kembali teringat kepada Siang In. “Dan biarpun engkau sumoi Hek-tiauw Lo-mo, ternyata engkau baik, telah menolong Siang In, dan juga telah menolongku. Akan tetapi sekarang aku harus pergi, Enci Hong Kui. Aku harus mencari Siang In....”
Kian Bu sudah memutar tubuhnya hendak pergi dan merasa bahwa akan terjadi sesuatu yang tidak baik kalau dia terus berdekatan dengan wanita ini, yang membuat jantungnya berdebar aneh. Wanita ini memiliki daya tarik yang amat luar biasa. Tadi ketika jari-jari tangan wanita itu menjelajahi tubuhnya, seperti ular-ular merayap, bulu tengkuknya meremang, akan tetapi di samping kengerian ini dia pun merasakan sesuatu yang aneh, nikmat dan membangkitkan keinginan tahunya.
“Eh, Kian Bu, nanti dulu!” Lauw Hong Kui atau Mauw Siauw Mo-li sudah lari mengejar dan memegang lengan tangan pemuda itu. “Kenapa kau hendak pergi sekarang? Sudah kukatakan malam amat gelap, engkau tidak akan berhasil mencarinya, pula, di tempat ini berkeliaran orang-orangnya Tambolon sehingga di dalam gelap amat berbahaya, dapat celaka oleh mereka. Tunggulah sampai besok pagi, aku akan membantumu mencari dia, Kian Bu.”
“Tidak perlu, Enci. Biar aku mencari sendiri. Engkau baik sekali dan terima kasih atas semua bantuanmu.”
“Kau nekat hendak pergi mencari gelap-gelap begini? Kalau begitu, biar aku menemanimu.”
Tentu saja Kian Bu tidak dapat menolak atau melarang dan mereka berdua mulai mencari-cari di sepanjang sungai itu. Akan tetapi, karena memang cuaca amat gelap, sukar sekali mencari orang dan akhirnya Kian Bu terpaksa menurut bujukan Hong Kui untuk beristirahat dan menanti sampai malam lewat, baru akan melanjutkan usaha mencari Siang In dan yang lain-lain itu. Mereka duduk di tepi sungai, membuat api unggun.
“Tidurlah, Kian Bu. Engkau baru saja mengalami bahaya maut di sungai, mengalami pertandingan yang berat. Engkau tentu lelah sekali, biar aku yang menjaga di sini.”
Kian Bu memang merasa lelah sekali. Dia lalu merebahkan diri terlentang di atas rumput dekat api unggun, memandang wanita itu yang duduk dekat api unggun sambil menambah kayu bakar ke dalam api.
Hong Kui menoleh dan mereka saling pandang. Wanita itu tersenyum. Giginya yang berderet rapi itu berkilauan tertimpa cahaya api. Wanita cantik sekali, pikir Kian Bu yang rebah terlentang berbantal kedua tangannya.
“Enci Hong Kui, kita baru saja saling bertemu. Mengapa engkau begini baik kepadaku dan selain menolongku dari sungai ketika aku pingsan, membantuku melawan anak buah Tambolon, bersikap manis dan kini hendak membantuku mencari Siang In? Mengapa?”
Pertanyaan yang mengandung nada suara penuh selidik ini tentu saja dapat tertangkap oleh wanita yang sudah berpengalaman itu. Mauw Siauw Mo-li tahu pemuda macam apa adanya Kian Bu. Seorang pemuda yang masih perjaka, yang belum berpengalaman, namun seorang yang gemblengan dan biarpun di dalam sinar mata pemuda itu terdapat semangat kegembiraan yang besar, namun pemuda seperti ini tidak akan mudah tunduk kepada dorongan nafsu begitu saja. Juga tidak mungkin untuk memaksa pemuda ini seperti yang sering dia lakukan terhadap pemuda-pemuda lain, tidak mungkin pula mempergunakan obat bius atau obat perangsang.
Satu-satunya jalan dia harus dapat menundukkan hati pemuda ini dengan rayuannya, harus dapat menimbulkan cinta kasih di hati pemuda ini. Dan dia dapat membayangkan betapa akan senang dan bahagia hatinya kalau pemuda ini dapat bertekuk lutut dan dapat menjadi kekasihnya. Dia akan melepaskan semua petualangannya, akan menghindari semua pria lain kalau saja dia bisa mendapatkan cinta kasih dari pemuda luar biasa ini. Maka dia harus bersikap cerdik dan hati-hati.
Dapat dibayangkan betapa kaget dan heran rasa hati Kian Bu ketika tiba-tiba dia melihat wanita cantik itu menutupi muka dengan kedua tangan dan terisak menangis!
“Eh, Enci...., kau kenapa?” tanyanya sambil bangkit duduk.
Hong Kui terisak lirih, mengatur pernapasannya terengah, kemudian dia menurunkan kedua tangan. Mukanya pucat matanya merah dan air mata menetes turun ke atas kedua pipinya. Dia menggigit bibir seperti hendak memperkuat hatinya, kemudian baru dia berkata sambil menunduk,
“Pertanyaanmu mengingatkan aku bahwa aku hanyalah seorang calon mayat, Kian Bu....” Air matanya bercucuran.
“Eh, apa maksudmu, Enci?”
Kian Bu memandang penuh perhatian dan teringat akan gaya Siang In ketika menirukan gerak-gerik wanita ini. Akan tetapi sekali ini agaknya Hong Kui tidak bersandiwara, tidak berpura-pura dan bergaya memikat.
“Tadi aku tidak berterus terang ketika menceritakan kepadamu, Adik Kian Bu. Aku sampai mencuri kitab dari Pek-thouw-san, kitab peninggalan ayah Adik Siang In, hanya karena terpaksa. Aku keracunan hebat oleh latihan yang keliru, melatih ilmu dari kitab suheng Hek-tiauw Lo-mo, dan aku tahu bahwa kalau tidak memperoleh obat yang tepat, aku akan mati. Sekarang, melihat bahwa engkau adalah seorang yang berilmu tinggi, maka timbul kembali harapanku, akan tetapi.... aku sangsi apakah engkau akan sudi membantuku sehingga nyawaku dapat terhindar dari ancaman maut...., maka aku membantumu sekuat tenagaku hanya.... hanya agar engkau menaruh kasihan kepadaku....”
“Enci Hong Kui, mengapa kau berkata demikian? Tanpa engkau menolongku sekalipun, kalau memang aku dapat membantu, aku tentu takkan menolak jika engkau membutuhkan bantuanku.”
Wajah yang pucat itu menjadi agak berseri, mata yang sayu oleh tangis itu memandang penuh harapan.
“Benarkah, Kian Bu? Ah, benarkah kau sudi menolongku? Aku.... aku adalah seorang sebatang kara, tidak punya ayah bunda, tidak ada saudara....”
“Ada suhengmu....”
“Suhengku adalah seorang yang jahat, seorang yang kejam, bahkan ancaman maut ini datang dari kitabnya yang kupelajari, dan dia tidak peduli....”
“Akan tetapi masih ada Hek-wan Kui-bo. Bukankah dia sucimu....? Ah, maaf, hampir aku lupa bahwa dia telah tewas.”
“Andaikata masih hidup pun, Suci itu lebih jahat lagi daripada Suheng. Pendeknya, aku hidup sebatang kara di dunia ini, dan sekarang terancam bahaya. Hanya engkau yang kuharapkan, hanya engkau yang dapat membantuku, Kian Bu.”
“Enci Hong Kui, engkau sendiri adalah seorang yang memiliki kepandaian tinggi. Kalau hanya mencari obat saja, tanpa bantuanku pun engkau tentu dapat melakukannya.”
“Aihhh, engkau tidak tahu. Pernah Suheng berkata kepada puterinya, si anak nakal Hwee Li, bahwa yang akan dapat menyembuhkan keracunan di tubuhku ini hanya anak naga di Telaga Sungari. Dan bulan depan ini naga itu akan muncul, munculnya setiap sepuluh tahun sekali. Nah, anak naga yang dibawa muncul di permukaan air telaga oleh induknya itulah yang akan dapat membersihkan darah dan tubuhku dari keracunan. Akan tetapi, tidak mudah untuk menangkap anak naga itu, Kian Bu. Dengan tenagaku sendiri saja, agaknya tidak akan mungkin berhasil. Oleh karena itu, aku mohon kepadamu...., sudilah engkau membantuku menangkap anak naga di Telaga Sungari itu, yang berarti bahwa engkau akan menyelamatkan nyawaku.” Dan wanita itu menangis sambil menjatuhkan diri berlutut di depan Kian Bu!
Pemuda itu terkejut, merasa kasihan sekali lalu membangunkan wanita itu.
“Jangan begitu, Enci. Baiklah, aku akan membantumu.”
“Terima kasih.... ohh, terima kasih....!”
Lauw Hong Kui memegang tangan Kian Bu dan mencium tangan pemuda itu. Perbuatan ini bukan merupakan sandiwara lagi, melainkan keluar dari setulusnya hati karena dia merasa gembira dan berbahagia sekali.
“Enci, kau aneh sekali.” Kian Bu perlahan menarik tangannya. “Apa sih anehnya tolong-menolong antara manusia dalam hidup ini? Bahkan kuanggap bukan pertolongan lagi namanya, melainkan sudah semestinya kalau manusia hidup harus bantu-membantu.”
“Aku besok akan membantumu mencari Siang In dan yang lain-lain sampai dapat, Kian Bu. Setelah itu barulah kita berangkat ke Telaga Sungari dan mudah-mudahan saja kita akan berhasil karena urusan ini adalah mati hidup bagiku.”
Hong Kui cerdik sekali dan dia tidak mau terlalu mendesak, menahan kerinduan dan berahinya karena dia tidak ingin pemuda yang telah menjatuhkan hatinya ini akan menjadi curiga kepadanya. Memang dia amat membutuhkan obat seperti yang diceritakan oleh Siang In itu, akan tetapi dia membohong bahwa dia akan mati. Yang jelas, dia merasa bahwa kesehatannya mundur banyak dan kadang-kadang terasa nyeri di dadanya sebagai akibat keracunan itu.
Akan tetapi yang penting baginya bukanlah itu, melainkan Kian Bu! Kalau dia dapat memperoleh pemuda yang membuatnya tergila-gila ini sebagai suami atau kekasih, biar mati oleh racun itupun dia sudah merasa puas!
Kedua orang ini lalu beristirahat. Kian Bu bersandar pada batang pohon, memandang ke arah tubuh Hong Kui yang rebah terlentang di dekat api unggun dalam keadaan pulas. Cantik sekali wanita ini, pikirnya, kagum melihat wajah yang cantik itu tertimpa sinar api unggun dan tubuh yang menggairahkan itu menonjol di balik pakaian dari sutera, dadanya yang penuh turun naik dalam pernapasannya.
Wanita cantik yang terancam bahaya maut. Akan tetapi benarkah itu? Perempuan ini adalah sumoi dari Hek-tiauw Lo-mo, dan Ketua Pulau Neraka itu demikian jahatnya! Bagaimana kalau wanita ini pun jahat seperti suhengnya dan menjalankan siasat untuk menipunya? Kelihatannya begitu sehat dan segar, dan gerakannya ketika bertanding tadi amat ringan dan lincah, sama sekali tidak ada tanda-tanda keracunan.
Akan tetapi, dia bukan seorang ahli pengobatan, maka tentu saja tanda-tanda itu tidak nampak olehnya. Betapapun juga, kepandaiannya tentang jalan darah dan hawa murni di dalam tubuh yang dimilikinya ketika dia dilatih sin-kang, di bawah gemblengan ayahnya, membuat dia dapat menentukan apakah seseorang mengandung hawa beracun di dalam tubuhnya atau tidak, dengan jalan meneliti jalan darahnya dan detik jantungnya.
Kian Bu mendekati tubuh Hong Kui. Melihat wanita itu sudah tidur pulas, dan hal ini diketahuinya dari jalan pernapasannya, Kian Bu lalu mengulur tangan, yang kiri meraba ulu hati Hong Kui, yang kanan memegang pergelangan tangannya. Pemuda yang lihai namun masih hijau ini dapat dikelabuhi oleh Hong Kui.
Wanita ini amat pandai, dan tahu bahwa untuk mengelabuhi seorang pemuda setinggi Kian Bu kepandaiannya bukanlah hal mudah dan kalau hanya dengan memejamkan mata pura-pura tidur saja tentu akan diketahui oleh pemuda lihai itu. Dia pun tahu bahwa bagi seorang yang mengerti akan ilmu silat, tanda bagi seseorang apakah dia itu pulas atau tidak dapat dilihat dari pernapasannya, karena pernapasan dari seorang yang tidak tidur, betapapun diusahakan supaya halus dan panjang, tetap saja dikuasai oleh kesadaran dan setiap saat dapat berubah sesuai dengan isi pikirannya yang menguasai jantung sehingga pernapasan yang tidak dapat terlepas dari keadaan jantung itu terpengaruh pula, pernapasan seorang yang tidur adalah wajar dan tidak dikuasai apa-apa, paru-paru bekerja sewajarnya dan dengan sendirinya.
Pendengaran tajam seorang ahli silat yang terlatih seperti Kian Bu tentu dapat membedakannya. Oleh karena itu, Hong Kui yang rebah terlentang dan sengaja menghimpit bajunya di bawah tubuh sehingga bajunya tertarik ketat mencetak lekuk-lengkung tubuhnya sehingga kelihatan amat menggairahkan, melakukan siu-lian sambil rebah sehingga keadaannya tiada bedanya dengan orang tidur karena segala bentuk rasa, hati dan pikiran telah terhenti dan tidak lagi mempengaruhi jantungnya, membuat pernapasannya menjadi wajar seperti napas orang tidur!
Patut dikagumi kekuatan kemauan wanita ini. Dapat dibayangkan betapa ketika Kian Bu mendekatinya, menempelkan telapak tangan di antara bukit dadanya, nafsu berahinya telah terangsang dan ingin dia merangkul leher pemuda itu dan menariknya untuk didekap dan dicumbu, akan tetapi Hong Kui menahan diri dan tidak bergerak sama sekali.
Kian Bu sendiri adalah seorang pemuda yang pada dasarnya memiliki sifat-sifat romantis. Dia memang tidak mempunyai niat lain kecuali memeriksa keadaan tubuh wanita itu untuk menyelidiki apakah benar wanita itu keracunan darah dan tubuhnya, akan tetapi ketika ujung jari tangannya menyentuh ulu hati dan tanpa disengaja menyentuh lereng bukit dada, jantungnya sendiri berdebar tegang sehingga ketegangannya membuat kepekaannya berkurang dan dia tidak tahu bahwa dalam beberapa detik, jantung wanita itu berdebar keras sekali, kemudian terhenti dan menjadi normal lagi.
Ketika Kian Bu mengerahkan sedikit sin-kang yang hangat untuk menyelidiki, dan merasa betapa tenaganya itu bertemu dengan hawa yang tidak wajar padahal wanita itu masih pulas, tahulah dia bahwa memang ada hawa beracun yang mujijat dan berbahaya mengeram di dalam tubuh dan darah Lauw Hong Kui. Cepat dia melepaskan kedua tangannya dan kembali ke tempatnya semula, yaitu bersandar pada batang pohon.
Dia tidak membohong, pikirnya lega, akan tetapi perasaan jari tangan bersentuhan dengan bukit dada tadi selalu mengganggu pikirannya, tak pernah dapat dilupakannya sehingga Kian Bu menjadi gelisah dan tidak berhasil tidur sama sekali. Maka dia lalu menghampiri api unggun, ditambahi kayu sehingga api membesar, kemudian dia duduk bersila untuk mengatur penapasan dan menenteramkan hatinya yang diganggu dan digelitik pengalaman tadi.
Akhirnya dia dapat menenangkan dirinya dan dapat beristirahat, tidak tahu betapa sebuah di antara sepasang mata Hong Kui bergerak dan setengah terbuka memandang ke arahnya, dan betapa bibir bawah yang berkulit tipis penuh dan merah segar itu bergerak-gerak aneh mengarah senyum.
“Eh, engkau kenapa, Enci?” tanyanya, akan tetapi tidak dapat menarik tangannya yang digenggam erat-erat dan dibelai oleh wanita itu.
“Kian Bu.... kau.... tak kusangka.... aihh, engkau hebat sekali! Kiranya engkau seorang pemuda yang sakti, sungguh mati aku tidak menyangkanya.... kau hebat, aku kagum sekali padamu....”
“Ah, sudahlah, engkau pun lihai sekali, Enci Hong Kui.”
Wanita itu bangkit berdiri, masih memegangi lengan Kian Bu, dan dibawah sinar api unggun dia melihat betapa muka wanita itu kemerahan, matanya yang indah itu agak terpejam, menyipit dan sayu menatapnya, jari-jari tangan wanita itu merayap dari lengannya, ke atas, membelai dadanya, pundaknya, lehernya dan mengelus pipinya, bibirnya tersenyum, agak terbuka, agak terengah.
Teringat dia akan Siang In yang pernah meniru lagak wanita genit memikat, wanita ini yang dimaksudkan oleh dara itu dan kini dia menghadapi sendiri gaya Mauw Siauw Mo-li yang amat memikat itu. Berdebar rasa jantungnya, dan dia cepat menarik diri dengan halus sambil berkata,
“Kiranya engkau adalah Mauw Siauw Mo-li.... sumoi dari Hek-tiauw Lo-mo?”
Siauw Mo-li tersenyum, tidak mendesak dengan rayuannya karena dia maklum bahwa pemuda ini adalah seorang yang memiliki kepandaian hebat sekali, tidak boleh dipandang ringan. Hati wanita ini sudah terpikat. Baru sekali ini selama hidupnya dia benar-benar jatuh cinta kepada seorang pria. Biasanya dia menganggap pria hanya sebagai barang permainannya, untuk menyenangkan hatinya, untuk memuaskan nafsu berahinya.
Entah sudah berapa banyaknya pria yang dibunuhnya setelah dia puas mempermainkannya lalu menjadi bosan dan membunuhnya. Biasanya, kaum prialah yang tergila-gila kepadanya. Akan tetapi sekarang, Mauw Siauw Mo-li yang tergila-gila kepada Kian Bu, setelah dia melihat betapa pemuda yang tampan gagah ini ternyata amat lihai, memiliki kepandaian yang agaknya lebih tinggi daripada kepandainnya sendiri.
“Aku benci sekali kepada julukan itu, Kian Bu. Julukan yang diberikan oleh mereka yang tidak suka kepadaku. Aku benci sekali, apalagi kalau engkau yang menyebutnya. Bagimu aku adalah Lauw Hong Kui, wanita biasa saja....”
Kian Bu tersenyum.
“Enci Hong Kui, biarpun engkau mengaku seorang wanita biasa saja, kenyataannya engkau adalah seorang wanita yang luar biasa. Engkau cantik jelita, berkepandaian tinggi, sumoi dari Ketua Pulau Neraka....”
Akan tetapi wanita itu sudah tidak mendengarkan kata-kata selanjutnya dari Kian Bu. Demikian girang hatinya mendengar pujian bahwa dia cantik jelita.
“Benarkah, Kian Bu? Benarkah engkau berpendapat bahwa aku cantik jelita?”
“Engkau memang cantik dan genit memikat....” Kian Bu kembali teringat kepada Siang In. “Dan biarpun engkau sumoi Hek-tiauw Lo-mo, ternyata engkau baik, telah menolong Siang In, dan juga telah menolongku. Akan tetapi sekarang aku harus pergi, Enci Hong Kui. Aku harus mencari Siang In....”
Kian Bu sudah memutar tubuhnya hendak pergi dan merasa bahwa akan terjadi sesuatu yang tidak baik kalau dia terus berdekatan dengan wanita ini, yang membuat jantungnya berdebar aneh. Wanita ini memiliki daya tarik yang amat luar biasa. Tadi ketika jari-jari tangan wanita itu menjelajahi tubuhnya, seperti ular-ular merayap, bulu tengkuknya meremang, akan tetapi di samping kengerian ini dia pun merasakan sesuatu yang aneh, nikmat dan membangkitkan keinginan tahunya.
“Eh, Kian Bu, nanti dulu!” Lauw Hong Kui atau Mauw Siauw Mo-li sudah lari mengejar dan memegang lengan tangan pemuda itu. “Kenapa kau hendak pergi sekarang? Sudah kukatakan malam amat gelap, engkau tidak akan berhasil mencarinya, pula, di tempat ini berkeliaran orang-orangnya Tambolon sehingga di dalam gelap amat berbahaya, dapat celaka oleh mereka. Tunggulah sampai besok pagi, aku akan membantumu mencari dia, Kian Bu.”
“Tidak perlu, Enci. Biar aku mencari sendiri. Engkau baik sekali dan terima kasih atas semua bantuanmu.”
“Kau nekat hendak pergi mencari gelap-gelap begini? Kalau begitu, biar aku menemanimu.”
Tentu saja Kian Bu tidak dapat menolak atau melarang dan mereka berdua mulai mencari-cari di sepanjang sungai itu. Akan tetapi, karena memang cuaca amat gelap, sukar sekali mencari orang dan akhirnya Kian Bu terpaksa menurut bujukan Hong Kui untuk beristirahat dan menanti sampai malam lewat, baru akan melanjutkan usaha mencari Siang In dan yang lain-lain itu. Mereka duduk di tepi sungai, membuat api unggun.
“Tidurlah, Kian Bu. Engkau baru saja mengalami bahaya maut di sungai, mengalami pertandingan yang berat. Engkau tentu lelah sekali, biar aku yang menjaga di sini.”
Kian Bu memang merasa lelah sekali. Dia lalu merebahkan diri terlentang di atas rumput dekat api unggun, memandang wanita itu yang duduk dekat api unggun sambil menambah kayu bakar ke dalam api.
Hong Kui menoleh dan mereka saling pandang. Wanita itu tersenyum. Giginya yang berderet rapi itu berkilauan tertimpa cahaya api. Wanita cantik sekali, pikir Kian Bu yang rebah terlentang berbantal kedua tangannya.
“Enci Hong Kui, kita baru saja saling bertemu. Mengapa engkau begini baik kepadaku dan selain menolongku dari sungai ketika aku pingsan, membantuku melawan anak buah Tambolon, bersikap manis dan kini hendak membantuku mencari Siang In? Mengapa?”
Pertanyaan yang mengandung nada suara penuh selidik ini tentu saja dapat tertangkap oleh wanita yang sudah berpengalaman itu. Mauw Siauw Mo-li tahu pemuda macam apa adanya Kian Bu. Seorang pemuda yang masih perjaka, yang belum berpengalaman, namun seorang yang gemblengan dan biarpun di dalam sinar mata pemuda itu terdapat semangat kegembiraan yang besar, namun pemuda seperti ini tidak akan mudah tunduk kepada dorongan nafsu begitu saja. Juga tidak mungkin untuk memaksa pemuda ini seperti yang sering dia lakukan terhadap pemuda-pemuda lain, tidak mungkin pula mempergunakan obat bius atau obat perangsang.
Satu-satunya jalan dia harus dapat menundukkan hati pemuda ini dengan rayuannya, harus dapat menimbulkan cinta kasih di hati pemuda ini. Dan dia dapat membayangkan betapa akan senang dan bahagia hatinya kalau pemuda ini dapat bertekuk lutut dan dapat menjadi kekasihnya. Dia akan melepaskan semua petualangannya, akan menghindari semua pria lain kalau saja dia bisa mendapatkan cinta kasih dari pemuda luar biasa ini. Maka dia harus bersikap cerdik dan hati-hati.
Dapat dibayangkan betapa kaget dan heran rasa hati Kian Bu ketika tiba-tiba dia melihat wanita cantik itu menutupi muka dengan kedua tangan dan terisak menangis!
“Eh, Enci...., kau kenapa?” tanyanya sambil bangkit duduk.
Hong Kui terisak lirih, mengatur pernapasannya terengah, kemudian dia menurunkan kedua tangan. Mukanya pucat matanya merah dan air mata menetes turun ke atas kedua pipinya. Dia menggigit bibir seperti hendak memperkuat hatinya, kemudian baru dia berkata sambil menunduk,
“Pertanyaanmu mengingatkan aku bahwa aku hanyalah seorang calon mayat, Kian Bu....” Air matanya bercucuran.
“Eh, apa maksudmu, Enci?”
Kian Bu memandang penuh perhatian dan teringat akan gaya Siang In ketika menirukan gerak-gerik wanita ini. Akan tetapi sekali ini agaknya Hong Kui tidak bersandiwara, tidak berpura-pura dan bergaya memikat.
“Tadi aku tidak berterus terang ketika menceritakan kepadamu, Adik Kian Bu. Aku sampai mencuri kitab dari Pek-thouw-san, kitab peninggalan ayah Adik Siang In, hanya karena terpaksa. Aku keracunan hebat oleh latihan yang keliru, melatih ilmu dari kitab suheng Hek-tiauw Lo-mo, dan aku tahu bahwa kalau tidak memperoleh obat yang tepat, aku akan mati. Sekarang, melihat bahwa engkau adalah seorang yang berilmu tinggi, maka timbul kembali harapanku, akan tetapi.... aku sangsi apakah engkau akan sudi membantuku sehingga nyawaku dapat terhindar dari ancaman maut...., maka aku membantumu sekuat tenagaku hanya.... hanya agar engkau menaruh kasihan kepadaku....”
“Enci Hong Kui, mengapa kau berkata demikian? Tanpa engkau menolongku sekalipun, kalau memang aku dapat membantu, aku tentu takkan menolak jika engkau membutuhkan bantuanku.”
Wajah yang pucat itu menjadi agak berseri, mata yang sayu oleh tangis itu memandang penuh harapan.
“Benarkah, Kian Bu? Ah, benarkah kau sudi menolongku? Aku.... aku adalah seorang sebatang kara, tidak punya ayah bunda, tidak ada saudara....”
“Ada suhengmu....”
“Suhengku adalah seorang yang jahat, seorang yang kejam, bahkan ancaman maut ini datang dari kitabnya yang kupelajari, dan dia tidak peduli....”
“Akan tetapi masih ada Hek-wan Kui-bo. Bukankah dia sucimu....? Ah, maaf, hampir aku lupa bahwa dia telah tewas.”
“Andaikata masih hidup pun, Suci itu lebih jahat lagi daripada Suheng. Pendeknya, aku hidup sebatang kara di dunia ini, dan sekarang terancam bahaya. Hanya engkau yang kuharapkan, hanya engkau yang dapat membantuku, Kian Bu.”
“Enci Hong Kui, engkau sendiri adalah seorang yang memiliki kepandaian tinggi. Kalau hanya mencari obat saja, tanpa bantuanku pun engkau tentu dapat melakukannya.”
“Aihhh, engkau tidak tahu. Pernah Suheng berkata kepada puterinya, si anak nakal Hwee Li, bahwa yang akan dapat menyembuhkan keracunan di tubuhku ini hanya anak naga di Telaga Sungari. Dan bulan depan ini naga itu akan muncul, munculnya setiap sepuluh tahun sekali. Nah, anak naga yang dibawa muncul di permukaan air telaga oleh induknya itulah yang akan dapat membersihkan darah dan tubuhku dari keracunan. Akan tetapi, tidak mudah untuk menangkap anak naga itu, Kian Bu. Dengan tenagaku sendiri saja, agaknya tidak akan mungkin berhasil. Oleh karena itu, aku mohon kepadamu...., sudilah engkau membantuku menangkap anak naga di Telaga Sungari itu, yang berarti bahwa engkau akan menyelamatkan nyawaku.” Dan wanita itu menangis sambil menjatuhkan diri berlutut di depan Kian Bu!
Pemuda itu terkejut, merasa kasihan sekali lalu membangunkan wanita itu.
“Jangan begitu, Enci. Baiklah, aku akan membantumu.”
“Terima kasih.... ohh, terima kasih....!”
Lauw Hong Kui memegang tangan Kian Bu dan mencium tangan pemuda itu. Perbuatan ini bukan merupakan sandiwara lagi, melainkan keluar dari setulusnya hati karena dia merasa gembira dan berbahagia sekali.
“Enci, kau aneh sekali.” Kian Bu perlahan menarik tangannya. “Apa sih anehnya tolong-menolong antara manusia dalam hidup ini? Bahkan kuanggap bukan pertolongan lagi namanya, melainkan sudah semestinya kalau manusia hidup harus bantu-membantu.”
“Aku besok akan membantumu mencari Siang In dan yang lain-lain sampai dapat, Kian Bu. Setelah itu barulah kita berangkat ke Telaga Sungari dan mudah-mudahan saja kita akan berhasil karena urusan ini adalah mati hidup bagiku.”
Hong Kui cerdik sekali dan dia tidak mau terlalu mendesak, menahan kerinduan dan berahinya karena dia tidak ingin pemuda yang telah menjatuhkan hatinya ini akan menjadi curiga kepadanya. Memang dia amat membutuhkan obat seperti yang diceritakan oleh Siang In itu, akan tetapi dia membohong bahwa dia akan mati. Yang jelas, dia merasa bahwa kesehatannya mundur banyak dan kadang-kadang terasa nyeri di dadanya sebagai akibat keracunan itu.
Akan tetapi yang penting baginya bukanlah itu, melainkan Kian Bu! Kalau dia dapat memperoleh pemuda yang membuatnya tergila-gila ini sebagai suami atau kekasih, biar mati oleh racun itupun dia sudah merasa puas!
Kedua orang ini lalu beristirahat. Kian Bu bersandar pada batang pohon, memandang ke arah tubuh Hong Kui yang rebah terlentang di dekat api unggun dalam keadaan pulas. Cantik sekali wanita ini, pikirnya, kagum melihat wajah yang cantik itu tertimpa sinar api unggun dan tubuh yang menggairahkan itu menonjol di balik pakaian dari sutera, dadanya yang penuh turun naik dalam pernapasannya.
Wanita cantik yang terancam bahaya maut. Akan tetapi benarkah itu? Perempuan ini adalah sumoi dari Hek-tiauw Lo-mo, dan Ketua Pulau Neraka itu demikian jahatnya! Bagaimana kalau wanita ini pun jahat seperti suhengnya dan menjalankan siasat untuk menipunya? Kelihatannya begitu sehat dan segar, dan gerakannya ketika bertanding tadi amat ringan dan lincah, sama sekali tidak ada tanda-tanda keracunan.
Akan tetapi, dia bukan seorang ahli pengobatan, maka tentu saja tanda-tanda itu tidak nampak olehnya. Betapapun juga, kepandaiannya tentang jalan darah dan hawa murni di dalam tubuh yang dimilikinya ketika dia dilatih sin-kang, di bawah gemblengan ayahnya, membuat dia dapat menentukan apakah seseorang mengandung hawa beracun di dalam tubuhnya atau tidak, dengan jalan meneliti jalan darahnya dan detik jantungnya.
Kian Bu mendekati tubuh Hong Kui. Melihat wanita itu sudah tidur pulas, dan hal ini diketahuinya dari jalan pernapasannya, Kian Bu lalu mengulur tangan, yang kiri meraba ulu hati Hong Kui, yang kanan memegang pergelangan tangannya. Pemuda yang lihai namun masih hijau ini dapat dikelabuhi oleh Hong Kui.
Wanita ini amat pandai, dan tahu bahwa untuk mengelabuhi seorang pemuda setinggi Kian Bu kepandaiannya bukanlah hal mudah dan kalau hanya dengan memejamkan mata pura-pura tidur saja tentu akan diketahui oleh pemuda lihai itu. Dia pun tahu bahwa bagi seorang yang mengerti akan ilmu silat, tanda bagi seseorang apakah dia itu pulas atau tidak dapat dilihat dari pernapasannya, karena pernapasan dari seorang yang tidak tidur, betapapun diusahakan supaya halus dan panjang, tetap saja dikuasai oleh kesadaran dan setiap saat dapat berubah sesuai dengan isi pikirannya yang menguasai jantung sehingga pernapasan yang tidak dapat terlepas dari keadaan jantung itu terpengaruh pula, pernapasan seorang yang tidur adalah wajar dan tidak dikuasai apa-apa, paru-paru bekerja sewajarnya dan dengan sendirinya.
Pendengaran tajam seorang ahli silat yang terlatih seperti Kian Bu tentu dapat membedakannya. Oleh karena itu, Hong Kui yang rebah terlentang dan sengaja menghimpit bajunya di bawah tubuh sehingga bajunya tertarik ketat mencetak lekuk-lengkung tubuhnya sehingga kelihatan amat menggairahkan, melakukan siu-lian sambil rebah sehingga keadaannya tiada bedanya dengan orang tidur karena segala bentuk rasa, hati dan pikiran telah terhenti dan tidak lagi mempengaruhi jantungnya, membuat pernapasannya menjadi wajar seperti napas orang tidur!
Patut dikagumi kekuatan kemauan wanita ini. Dapat dibayangkan betapa ketika Kian Bu mendekatinya, menempelkan telapak tangan di antara bukit dadanya, nafsu berahinya telah terangsang dan ingin dia merangkul leher pemuda itu dan menariknya untuk didekap dan dicumbu, akan tetapi Hong Kui menahan diri dan tidak bergerak sama sekali.
Kian Bu sendiri adalah seorang pemuda yang pada dasarnya memiliki sifat-sifat romantis. Dia memang tidak mempunyai niat lain kecuali memeriksa keadaan tubuh wanita itu untuk menyelidiki apakah benar wanita itu keracunan darah dan tubuhnya, akan tetapi ketika ujung jari tangannya menyentuh ulu hati dan tanpa disengaja menyentuh lereng bukit dada, jantungnya sendiri berdebar tegang sehingga ketegangannya membuat kepekaannya berkurang dan dia tidak tahu bahwa dalam beberapa detik, jantung wanita itu berdebar keras sekali, kemudian terhenti dan menjadi normal lagi.
Ketika Kian Bu mengerahkan sedikit sin-kang yang hangat untuk menyelidiki, dan merasa betapa tenaganya itu bertemu dengan hawa yang tidak wajar padahal wanita itu masih pulas, tahulah dia bahwa memang ada hawa beracun yang mujijat dan berbahaya mengeram di dalam tubuh dan darah Lauw Hong Kui. Cepat dia melepaskan kedua tangannya dan kembali ke tempatnya semula, yaitu bersandar pada batang pohon.
Dia tidak membohong, pikirnya lega, akan tetapi perasaan jari tangan bersentuhan dengan bukit dada tadi selalu mengganggu pikirannya, tak pernah dapat dilupakannya sehingga Kian Bu menjadi gelisah dan tidak berhasil tidur sama sekali. Maka dia lalu menghampiri api unggun, ditambahi kayu sehingga api membesar, kemudian dia duduk bersila untuk mengatur penapasan dan menenteramkan hatinya yang diganggu dan digelitik pengalaman tadi.
Akhirnya dia dapat menenangkan dirinya dan dapat beristirahat, tidak tahu betapa sebuah di antara sepasang mata Hong Kui bergerak dan setengah terbuka memandang ke arahnya, dan betapa bibir bawah yang berkulit tipis penuh dan merah segar itu bergerak-gerak aneh mengarah senyum.
**** 106 ****
Tidak ada komentar:
Posting Komentar