Ang Tek Hoat rebah terlentang di atas pembaringan, mukanya pucat sekali dan napasnya empas-empis. Semenjak dia dibawa dari Teng-bun sampai ke kota raja, dia terus pingsan, tak sadarkan diri dan keadaannya makin memburuk. Ramuan obat yang diminumkan kepadanya oleh tabib-tabib tentara tidak menolong sama sekali. Akhirnya Puteri Milana yang mendengar akan keadaan tawanan ini, menyuruh pengawal membawa pemuda yang menderita luka-luka pukulan beracun itu ke istananya.
Puteri Milana bersama suaminya, Han Wi Kong, yang ketika bala tentara menyerbu ke utara juga ikut memimpin pasukan penyerbu ke Teng-bun, diikuti pula oleh Suma Kian Bu dan Puteri Syanti Dewi telah menghadap Kaisar.
Kaisar menerima mereka dengan girang sekali, terutama mendengar laporan bahwa pemberontak di utara telah dibasmi dan bahwa dara jelita itu adalah Puteri Syanti Dewi dari Bhutan yang dapat diselamatkan.
Ketika mendengar laporan Puteri Milana tentang Pangeran Liong Khi Ong yang tewas sebagai pimpinan pemberontak, Kaisar hanya menggeleng kepala dan menarik napas panjang. Akan tetapi ketika Puteri Milana melapor bahwa Pangeran Liong Bin Ong berada di balik pemberontakan itu, Kaisar mengerutkan keningnya dan berkata,
“Liong Bin Ong tidak pernah meninggalkan Istananya di kota raja. Untuk menentukan salah tidaknya, harus dilakukan pemeriksaan dan penelitian lebih dulu, jangan sampai aib menimpa kerajaan.”
Kemudian Kaisar menahan Syanti Dewi sebagai tamu Istana untuk menghormat Raja Bhutan dan untuk memperlihatkan iktikad baik kerajaan terhadap Kerajaan Bhutan, dan minta kepada Puteri Milana untuk menanti keputusannya tentang Pangeran Liong Bin Ong, dan juga tentang diri Puteri Syanti Dewi yang kini gagal menjadi mantu Kaisar karena matinya Liong Khi Ong itu.
Berat hati Milana terutama hati Kian Bu, meninggalkan Syanti Dewi di Istana Kaisar. Akan tetapi tentu saja mereka tidak berani membantah, apalagi karena Puteri Bhutan itu diberi kebebasan untuk saling berkunjung dengan Puteri Milana setiap saat pun.
Demikianlah, ketika Ang Tek Hoat sudah diangkut ke istana Puteri Milana, puteri ini dan Kian Bu memeriksa keadaannya.
“Enci, kiranya hanya ada satu jalan untuk mencoba menolongnya. Dia terpukul oleh pukulan beracun yang hebat. Bagaimana kalau kita berdua membantunya?”
Milana mengangguk.
“Memang itulah yang ingin kulakukan. Dia telah berjasa besar dan untuk jasanya itu sudah cukup menjadi alasan bagi kita untuk menolongnya.”
Han Wi Kong yang juga berada di situ berkata,
“Memang tepat sekali pendapat itu. Belum tentu orang yang sekali berbuat dosa, lalu selama hidupnya menjadi orang berdosa. Apalagi dia masih amat muda.”
Bekas panglima yang gagah ini selalu bermuram durja semenjak dia kembali dari penyerbuan di utara. Biarpun dia tidak menyaksikan sendiri, namun dia mendengar akan pertemuan antara isterinya, Puteri Milana dengan Gak Bun Beng, dan dia merasa berduka sekali karena dia merasa bahwa dialah yang menjadi penghalang bagi kebahagiaan isterinya.
Memang cinta kasih mengambil jalan yang aneh-aneh. Han Wi Kong dahulu adalah seorang panglima muda yang gagah perkasa, yang terpaksa dipilih oleh Puteri Milana karena desakan Kaisar agar cucu ini menikah. Han Wi Kong dipilih di antara banyak calon karena selain gagah perkasa, juga sifat lemah-lembut dan penuh pengertian dari panglima ini menimbulkan kepercayaan di dalam hati Milana.
Memang tadinya Han Wi Kong pun hanya tertarik sekali dan laki-laki manakah yang tidak akan tergila-gila kepada seorang puteri seperti Milana? Akan tetapi, setelah menikah Han Wi Kong betul-betul jatuh cinta kepada isterinya, cinta yang murni dan hanya satu keinginan di hatinya, yaitu melihat Milana hidup bahagia.
Oleh karena itu, dia mau menerima kenyataan bahwa Milana tidak cinta kepadanya, bahkan kenyataan pahit bahwa Milana mau menikah dengan dia hanya karena hendak memenuhi perintah Kaisar. Karena cintanya yang murni, yang jauh lebih kuat daripada nafsu berahi, Han Wi Kong menekan penderitaan batinnya, dia rela menderita batin dan tidak pernah menuntut haknya sebagai seorang suami!
Justeru sikap Han Wi Kong inilah yang membuat Milana terharu dan selalu berusaha agar di depan umum mereka merupakan suami isteri yang rukun. Dia berusaha menyenangkan hati suaminya dengan cara lain, sungguhpun dia maklum bahwa semua itu tentu tidak dapat mengobati kesengsaraan batin suaminya.
Han Wi Kong telah mendengar pengakuan Milana tentang cinta kasih yang gagal dari isterinya itu, tentang Gak Bun Beng yang semenjak pernikahan mereka itu tidak pernah terdengar lagi namanya, seolah-olah pendekar itu telah lenyap ditelan bumi. Hatinya mulai merasa lega karena dia ingin sekali melihat Milana dapat melupakan kekasihnya itu, dan kalau Gak Bun Beng telah meninggal dunia atau lenyap, dia percaya lambat laun kedukaan hati isterinya itu akan sembuh. Dia sama sekali bukan mengharapkan agar isterinya akan dapat membalas cintanya, hal ini sudah tidak menjadi jangkauan harapannya lagi. Dia ingin melihat isterinya bahagia.
Maka, dapat dibayangkan betapa duka rasa hatinya mendengar bahwa Gak Bun Beng muncul lagi dan sejak pendekar ini muncul di kota raja, isterinya selalu gelisah dan merana. Bahkan secara halus namun terus terang Milana pernah menyatakan kepadanya sejak Milana melihat Bun Beng di kota raja, bahwa Milana akan pergi mencari Bun Beng sampai dapat bertemu setelah urusan pemberontak dapat diselesaikan.
Kemudian dia mendengar akan pertemuan Bun Beng dengan Milana yang membuat isterinya pingsan dan semenjak itu isterinya berwajah pucat dan sering termenung. Tentu saja dia merasa makin berduka dan diam-diam dia menaruh hati benci kepada Bun Beng, bukan membenci karena didasari iri atau cemburu, melainkan benci karena Bun Beng dianggapnya sebagai orang yang telah merusak kehidupan dan kebahagiaan Milana!
Puteri Milana bersama suaminya, Han Wi Kong, yang ketika bala tentara menyerbu ke utara juga ikut memimpin pasukan penyerbu ke Teng-bun, diikuti pula oleh Suma Kian Bu dan Puteri Syanti Dewi telah menghadap Kaisar.
Kaisar menerima mereka dengan girang sekali, terutama mendengar laporan bahwa pemberontak di utara telah dibasmi dan bahwa dara jelita itu adalah Puteri Syanti Dewi dari Bhutan yang dapat diselamatkan.
Ketika mendengar laporan Puteri Milana tentang Pangeran Liong Khi Ong yang tewas sebagai pimpinan pemberontak, Kaisar hanya menggeleng kepala dan menarik napas panjang. Akan tetapi ketika Puteri Milana melapor bahwa Pangeran Liong Bin Ong berada di balik pemberontakan itu, Kaisar mengerutkan keningnya dan berkata,
“Liong Bin Ong tidak pernah meninggalkan Istananya di kota raja. Untuk menentukan salah tidaknya, harus dilakukan pemeriksaan dan penelitian lebih dulu, jangan sampai aib menimpa kerajaan.”
Kemudian Kaisar menahan Syanti Dewi sebagai tamu Istana untuk menghormat Raja Bhutan dan untuk memperlihatkan iktikad baik kerajaan terhadap Kerajaan Bhutan, dan minta kepada Puteri Milana untuk menanti keputusannya tentang Pangeran Liong Bin Ong, dan juga tentang diri Puteri Syanti Dewi yang kini gagal menjadi mantu Kaisar karena matinya Liong Khi Ong itu.
Berat hati Milana terutama hati Kian Bu, meninggalkan Syanti Dewi di Istana Kaisar. Akan tetapi tentu saja mereka tidak berani membantah, apalagi karena Puteri Bhutan itu diberi kebebasan untuk saling berkunjung dengan Puteri Milana setiap saat pun.
Demikianlah, ketika Ang Tek Hoat sudah diangkut ke istana Puteri Milana, puteri ini dan Kian Bu memeriksa keadaannya.
“Enci, kiranya hanya ada satu jalan untuk mencoba menolongnya. Dia terpukul oleh pukulan beracun yang hebat. Bagaimana kalau kita berdua membantunya?”
Milana mengangguk.
“Memang itulah yang ingin kulakukan. Dia telah berjasa besar dan untuk jasanya itu sudah cukup menjadi alasan bagi kita untuk menolongnya.”
Han Wi Kong yang juga berada di situ berkata,
“Memang tepat sekali pendapat itu. Belum tentu orang yang sekali berbuat dosa, lalu selama hidupnya menjadi orang berdosa. Apalagi dia masih amat muda.”
Bekas panglima yang gagah ini selalu bermuram durja semenjak dia kembali dari penyerbuan di utara. Biarpun dia tidak menyaksikan sendiri, namun dia mendengar akan pertemuan antara isterinya, Puteri Milana dengan Gak Bun Beng, dan dia merasa berduka sekali karena dia merasa bahwa dialah yang menjadi penghalang bagi kebahagiaan isterinya.
Memang cinta kasih mengambil jalan yang aneh-aneh. Han Wi Kong dahulu adalah seorang panglima muda yang gagah perkasa, yang terpaksa dipilih oleh Puteri Milana karena desakan Kaisar agar cucu ini menikah. Han Wi Kong dipilih di antara banyak calon karena selain gagah perkasa, juga sifat lemah-lembut dan penuh pengertian dari panglima ini menimbulkan kepercayaan di dalam hati Milana.
Memang tadinya Han Wi Kong pun hanya tertarik sekali dan laki-laki manakah yang tidak akan tergila-gila kepada seorang puteri seperti Milana? Akan tetapi, setelah menikah Han Wi Kong betul-betul jatuh cinta kepada isterinya, cinta yang murni dan hanya satu keinginan di hatinya, yaitu melihat Milana hidup bahagia.
Oleh karena itu, dia mau menerima kenyataan bahwa Milana tidak cinta kepadanya, bahkan kenyataan pahit bahwa Milana mau menikah dengan dia hanya karena hendak memenuhi perintah Kaisar. Karena cintanya yang murni, yang jauh lebih kuat daripada nafsu berahi, Han Wi Kong menekan penderitaan batinnya, dia rela menderita batin dan tidak pernah menuntut haknya sebagai seorang suami!
Justeru sikap Han Wi Kong inilah yang membuat Milana terharu dan selalu berusaha agar di depan umum mereka merupakan suami isteri yang rukun. Dia berusaha menyenangkan hati suaminya dengan cara lain, sungguhpun dia maklum bahwa semua itu tentu tidak dapat mengobati kesengsaraan batin suaminya.
Han Wi Kong telah mendengar pengakuan Milana tentang cinta kasih yang gagal dari isterinya itu, tentang Gak Bun Beng yang semenjak pernikahan mereka itu tidak pernah terdengar lagi namanya, seolah-olah pendekar itu telah lenyap ditelan bumi. Hatinya mulai merasa lega karena dia ingin sekali melihat Milana dapat melupakan kekasihnya itu, dan kalau Gak Bun Beng telah meninggal dunia atau lenyap, dia percaya lambat laun kedukaan hati isterinya itu akan sembuh. Dia sama sekali bukan mengharapkan agar isterinya akan dapat membalas cintanya, hal ini sudah tidak menjadi jangkauan harapannya lagi. Dia ingin melihat isterinya bahagia.
Maka, dapat dibayangkan betapa duka rasa hatinya mendengar bahwa Gak Bun Beng muncul lagi dan sejak pendekar ini muncul di kota raja, isterinya selalu gelisah dan merana. Bahkan secara halus namun terus terang Milana pernah menyatakan kepadanya sejak Milana melihat Bun Beng di kota raja, bahwa Milana akan pergi mencari Bun Beng sampai dapat bertemu setelah urusan pemberontak dapat diselesaikan.
Kemudian dia mendengar akan pertemuan Bun Beng dengan Milana yang membuat isterinya pingsan dan semenjak itu isterinya berwajah pucat dan sering termenung. Tentu saja dia merasa makin berduka dan diam-diam dia menaruh hati benci kepada Bun Beng, bukan membenci karena didasari iri atau cemburu, melainkan benci karena Bun Beng dianggapnya sebagai orang yang telah merusak kehidupan dan kebahagiaan Milana!
Demikianlah, dengan menahan perasaan gelisah melihat isterinya kehilangan kegembiraan hidupnya, Han Wi Kong ikut menyaksikan ketika Ang Tek Hoat dibawa ke Istananya oleh isterinya. Dia pun dapat menerima pendapat isterinya tentang Ang Tek Hoat, apalagi ketika isterinya menceritakan betapa pemuda bekas tangan kanan Pangeran Liong Khi Ong ini mahir ilmu Silat Pat-mo Sin-kun yang digabung dengan Pat-sian Sin-kun, padahal penggabungan ilmu ini adalah merupakan ilmu simpanan dan rahasia dari Puteri Nirahai!
“Kalau begitu, mari kita mencoba untuk menolongnya, Adik Bu. Kong-ko (Kanda Kong), harap kau suka menjaga di pintu, jangan sampai ada yang mengganggu kami karena hal itu bisa berbahaya.”
“Baik,”
Han Wi Kong menjawab. Dia sendiri pun seorang yang berkepandaian, dan sungguhpun sin-kangnya tidak sekuat isterinya atau Kian Bu sebagai anak-anak dari Pendekar Super Sakti, namun dia cukup maklum akan bahayanya orang-orang yang lagi mengerahkan sin-kang untuk menyembuhkan orang lain apabila diganggu oleh orang luar. Dia mengambil sebuah bangku dan duduk di ambang pintu.
Puteri Milana dan Kian Bu lalu duduk di tepi pembaringan, bersila dan meletakkan telapak tangan mereka di dada dan lambung Tek Hoat, mengumpulkan hawa murni dan mulailah mereka mengerahkan sin-kang ke dalam tubuh pemuda yang terluka parah di sebelah dalam tubuhnya itu.
Dari ambang pintu, Han Wi Kong duduk dan memandang penuh kagum. Isterinya dan Kian Bu adalah keturunan dari Pendekar Super Sakti dan Puteri Nirahai dan betapa bahagianya dia dapat disebut sebagai suami puteri yang cantik jelita dan berilmu tinggi serta gagah perkasa ini. Seorang pahlawan wanita sejati!
Wajah Tek Hoat tadinya pucat sekali. Lewat satu jam setelah dua orang keturunan Pulau Es itu menyalurkan sin-kang mereka, wajah Tek Hoat berubah, makin lama makin menghitam. Itulah tanda bahwa hawa becacun yang mengeram di dalam tubuh mulai dapat didesak naik dan keluar. Lewat tiga jam, warna hitam di muka Tek Hoat itu makin lama makin menipis, lalu berubah menjadi putih pucat lagi.
Han Wi Kong melihat betapa isterinya dan adik iparnya mulai berpeluh. Akan tetapi lewat lima jam, warna putih wajah Tek Hoat mulai menjadi merah dan pernapasannya mulai teratur. Akhirnya terdengar pemuda itu mengeluh dan membuka matanya.
Mata itu melirik dan terbelalak seperti orang terkejut dan keheranan melihat dua orang itu yang sedang mengobatinya. Cepat dia pun mengerahkan sin-kangnya untuk menolak dan kedua orang itu melepaskan tangan mereka lalu melompat turun dari pembaringan, menghapus keringat dari dahi dan leher.
Milana memandang adiknya dengan senyum penuh kagum, karena ternyata bahwa pernapasan Kian Bu tidak begitu memburu seperti napasnya, hal ini menandakan bahwa dalam hal sin-kang, adiknya itu sedikit lebih kuat daripada dia!
“Engkau sudah sembuh sekarang,” katanya sambil memandang kepada Ang Tek Hoat.
Pemuda ini cepat bangkit duduk, memejamkan mata sejenak karena ketika bangkit itu matanya berkunang dan kepalanya pening, tubuhnya lemas sekali karena sudah berhari-hari dia tidak makan.
“Berbaringlah dulu, engkau masih lemah,” kata pula Milana.
Akan tetapi Tek Hoat tetap duduk di tepi pembaringan, lalu membuka mata lagi memandang kepada Milana, Kian Bu, dan Han Wi Kong yang sudah masuk ke kamar lagi bergantian.
“Pa.... paduka.... adalah Puteri Milana....!” katanya agak gagap dan bingung, karena apa yang dilihat dan dialaminya tadi seperti dalam mimpi saja. “Dan kau.... kau adalah seorang di antara dua pemuda perkasa itu, mata-mata pemerintah!”
Milana memandang dengan senyum dan Kian Bu memandang dengan tajam penuh selidik. Tidak seperti encinya, dia masih curiga kepada bekas pembantu pemberontak yang dia tahu amat lihai ini.
“Kenapa....? Kenapa Ji-wi (Anda Berdua) menolong dan mengobati saya?”
“Ang Tek Hoat, engkau telah membunuh Pangeran Liong Khi Ong si pemberontak dan tiga orang pengawalnya yang lihai, untuk menyelamatkan Syanti Dewi. Hal itu saja cukup membuat kami berpendapat bahwa engkau bukanlah musuh lagi,” kata Milana.
“Enciku ini memang bermurah hati, akan tetapi kalau engkau masih berpendirian untuk menjadi pemberontak, masih belum terlambat untuk menghukummu!” Kian Bu menyambung.
Akan tetapi Tek Hoat tidak begitu memperhatikan ucapan Kian Bu, dia menoleh ke kanan kiri, lalu bertanya,
“Di mana dia? Sang Puteri Bhutan....?”
Dia lalu memandang kepada Kian Bu dengan penuh selidik, karena dia teringat betapa puteri itu lari memeluk pemuda ini pada waktu itu.
“Dia telah selamat dan kini menjadi tamu agung dari Kaisar,” kata Milana.
Hening sejenak. Kemudian Tek Hoat bangkit berdiri dengan limbung, menjura kepada mereka bertiga dan berkata,
“Saya Ang Tek Hoat bukan orang yang tidak tahu terima kasih. Ji-wi telah menolong saya dan saya menghaturkan terima kasih. Saya tidak ingin mengganggu dan merepotkan lebih lama lagi dan sebaiknya kalau saya pergi....”
“Nanti dulu, engkau bisa celaka kalau pergi dalam keadaan seperti ini, Ang Tek Hoat. Tubuhmu masih lemas dan lemah.”
Pada saat itu, seorang pengawal yang tadi diperintah oleh Han Wi Kong datang membawa baki terisi semangkok obat penguat dan bubur.
“Engkau minumlah obat ini dan makan bubur ini, baru kita bicara.”
Tek Hoat mengerutkan alisnya, akan tetapi dia maklum bahwa perutnya kosong dan tubuhnya lemah sekali, mungkin dipakai berjalan pun akan terguling, maka dia mengangguk, menerima mangkok obat dan bubur itu lalu minum dan menghabiskannya dengan cepat. Biarpun tidak berapa banyak, bubur itu menghangatkan perutnya dan tenaganya agak pulih kembali.
“Sekarang kita bicara, Tek Hoat,” kata Milana setelah pengawal itu pergi. “Engkau berhadapan dengan Puteri Milana, dan ini suamiku Han Wi Kong, dan adikku Suma Kian Bu....”
“Ah, kiranya dia ini adik paduka? Jadi.... jadi putera Pendekar Super Sakti?”
Tek Hoat tahu bahwa Puteri Milana adalah anak dari Pendekar Super Sakti seperti pernah diceritakan oleh ibunya.
“Benar, dan agaknya sedikit banyak engkau tahu akan keluarga ayahku, Pendekar Super Sakti dari Pulau Es. Dari siapa engkau mengenal kami?”
“Dari ibu, akan tetapi sudahlah.... saya merasa heran sekali akan tetapi juga berterima kasih kepada paduka yang tidak membunuh saya malah menolong saya. Agaknya benar cerita ibu bahwa keluarga Pendekar Super Sakti terdiri dari orang-orang gagah dan budiman, sungguh tidak seperti kami....”
Melihat pemuda itu merendah dan hendak pergi, selalu memandang ke pintu seolah-olah tidak betah berada di situ terlalu lama, Milana dapat memaklumi isi hatinya. Pemuda ini jelas adalah seorang yang memiliki kepandaian tinggi dan kegagahan, hatinya keras dan memiliki harga diri yang tinggi. Namun entah bagaimana terjeblos ke dalam tangan para pemberontak sehingga kini pemuda ini merasa betapa dia kotor dan tidak berharga, merasa malu terhadap diri sendiri sehingga tidak betah berada di antara orang-orang yang dianggapnya gagah dan budiman!
“Ang Tek Hoat, terus terang saja, kami bukanlah orang-orang budiman dan terlalu gagah seperti yang kau sebutkan tadi. Kita sama saja, hanya kebetulan saja kami berada di pihak yang benar dan engkau terjeblos ke dalam kesesatan. Ketika menolongmu, selain untuk balas jasamu membunuh Pangeran pemberontak dan kaki tangannya serta menolong Syanti Dewi, juga karena kami ingin mengajukan pertanyaan kepadamu yang kuharap engkau akan suka menjawabnya.”
Ang Tek Hoat menatap wajah yang cantik jelita itu, biarpun usianya lebih tua akan tetapi kecantikannya mengingatkan dia kepada Syanti Dewi, sepasang mata yang bening dan tajam itu, kemudian menjawab,
“Asal saja pertanyaan paduka itu pantas untuk dijawab, dan dapat saya jawab, tentu akan saya jawab,” katanya singkat.
Hemm, pemuda ini benar-benar keras hati dan juga cerdik, pikir Milana.
“Pertanyaanku yang pertama adalah pertanyaan yang pernah kuajukan padamu ketika engkau melawanku di hutan itu. Dari mana engkau mempelajari Ilmu Silat Pat-mo Sin-kun dan siapa yang melatihmu?”
Tek Hoat sendiri sudah pernah mendengar dari Sai-cu Lo-mo yang pernah menggemblengnya bahwa kakek sakti itu memperoleh kepandaiannya dari Puteri Nirahai, bekas Ketua Thian-liong-pang yang kini menjadi isteri Pendekar Super Sakti di Pulau Es. Maka dia pun tidak merasa heran bahwa Puteri Milana dapat mainkan ilmu silat itu dengan mahir sekali. Karena dia tidak ingin disangka mencuri ilmu orang, maka dia menjawab sejujurnya,
“Saya pernah menerima pelajaran ilmu itu dari Suhu Sai-cu Lo-mo.”
“Aihh, kalau begitu engkau masih murid keponakanku!” Milana berseru.
“Maaf, saya tidak berani, karena Suhu Sai-cu Lo-mo pernah berpesan agar saya tidak mengakuinya sebagai guru. Hanya karena paduka bertanya dan saya sudah tahu bahwa antara beliau dengan paduka ada hubungan, maka saya berani berterus terang menyebutnya.”
Milana mengangguk-angguk. Heran sekali dia mengapa Sai-cu Lo-mo sampai menurunkan ilmu rahasia itu kepada pemuda ini.
“Akan tetapi, dibandingkan dengan Sai-cu Lo-mo, kepandaianmu jauh lebih tinggi.”
Ang Tek Hoat tidak mau menanggapi kata-kata Puteri Milana itu, dan dia diam saja, menanti pertanyaan ke dua.
“Sekarang pertanyaanku ke dua, Tek Hoat. Di beberapa tempat, engkau memakai julukan Si Jari Maut dan menggunakan nama Gak Bun Beng. Mengapa begitu? Mengapa engkau begitu jahat dan curang, melakukan kejahatan dengan menggunakan nama lain orang?”
Kini dengan suara ketus karena diingatkan kepada musuh besarnya, dia menjawab,
“Memang, semua perbuatan itu saya lakukan untuk memburukkan nama Gak Bun Beng, karena jahanam itu telah membunuh ayah! Sayang dia telah mampus, kalau tidak, tentu sudah kucari dan kubunuh dia, tidak perlu lagi saya memburuk-burukkan nama orang yang sudah mati.”
“Ah keparat bermulut lancang!” Kian Bu sudah bergerak hendak menerjang Tek Hoat, akan tetapi Milana memegang lengannya.
“Jangan terburu nafsu, Bu-te!”
Kian Bu teringat bahwa orang yang akan diserangnya itu masih lemah, dan memang amat lucu untuk menyerang orang yang baru saja dia tolong dan sembuhkan! Akan tetapi, mendengar kata-kata Tek Hoat tadi dia sudah marah sekali.
“Ang Tek Hoat, engkau sungguh kurang ajar, berani engkau memaki suhengku dan mengatakan bahwa sudah mati. Kalau tidak ingat bahwa engkau belum sehat benar kuhancurkan mulutmu!”
Tek Hoat terbelalak memandang Kian Bu, Milana, dan Han Wi Kong.
“Apa katamu? Dia.... dia.... masih hidup?”
Tentu saja dia merasa heran sekali. Bukankah ibunya telah dengan jelas bercerita kepadanya bahwa musuh besar yang bernama Gak Bun Beng itu telah mati terbunuh ibunya?
“Engkau memang tukang membohong! Suheng Gak Bun Beng masih segar bugar, bahkan pernah engkau bertemu dengan dia beberapa kali, sudah pernah mengadu tenaga pula. Dia adalah Suheng yang melakukan perjalanan bersama aku, Lee-ko, dan Adik Syanti Dewi.”
Mata Tek Hoat makin terbelalak dan mukanya berubah.
“Aihh.... dia....? Gak Bun Beng pembunuh ayahku? Masih hidup? Kalau begitu....”
Dia diam saja tenggelam ke dalam pikirannya yang bergelombang. Memang tidak mungkin kalau ibunya dapat membunuh musuh dengan kepandaian seperti itu! Bahkan laki-laki setengah tua gagah perkasa itu memiliki tenaga sakti Inti Bumi yang amat kuat!
Akan tetapi kenapa ibunya mengatakan bahwa dia telah membunuh Gak Bun Beng. Apakah hanya namanya saja yang sama? Dia harus memecahkan rahasia ini. Dia harus menemui laki-laki yang bernama Gak Bun Beng itu dan memaksanya untuk mengaku apa yang telah terjadi dengan ayahnya!
“Ang Tek Hoat, benarkah ayahmu dibunuh oleh Gak Bun Beng?” Puteri Milana bertanya sambil memandang dengan tajam penuh selidik.
“Saya tidak perlu membohong. Ayah saya dibunuh oleh Gak Bun Beng dan karena saya kira dia sudah mati maka saya sengaja memburukkan nama musuh besar saya itu,” jawabnya.
“Engkau melihat sendiri bahwa ayahmu dibunuh olehnya?”
Tanya lagi Puteri Milana dan diam-diam dia mengingat-ingat karena wajah pemuda yang tampan ini mengingatkan dia akan seseorang akan tetapi dia lupa lagi siapa. Mata itu, bibir itu, benar-benar tidak asing baginya!
“Hal itu terjadi sebelum saya lahir. Ibu yang memberitahukan saya....”
“Ahhh....! Siapa ibumu? Dan siapa ayahmu?”
Tek Hoat menggeleng kepalanya.
“Maaf, itu merupakan rahasia saya, dan tidak dapat saya ceritakan kepada lain orang. Biarlah saya mencari Gak Bun Beng dan bicara sendiri dengan dia. Saya mohon kepada paduka agar suka memberi kesempatan kepada saya untuk berhadapan dengan musuh besar saya itu, kecuali.... kecuali kalau paduka hendak menghukum saya karena pemberontakan itu.... saya tidak akan dapat melawan....”
“Enci Milana, manusia ini berhati palsu dan curang, lagi jahat dan berbahaya sekali kalau dia dibiarkan pergi begitu saja!” Kian Bu berkata dengan alis berkerut.
“Benar, sebaiknya dia ditahan dulu, sambil kita menanti kedatangan Gak-taihiap,” kata Han Wi Kong.
Akan tetapi, ucapan suaminya itu dirasakan oleh Milana seperti ujung belati menusuk jantungnya. Setiap kebaikan sikap suaminya mengenai diri Gak Bun Beng merupakan tusukan baginya, makin baik sikap suaminya, makin tertusuk dia karena dia maklum bahwa dia telah berdosa terhadap suaminya ini. Maka kata-kata suaminya itu membuat dia bangkit menentang.
“Tidak, biarkan dia pergi! Pertama, dia adalah murid Sai-cu Lo-mo, berarti masih orang sendiri. Ke dua, dia memang pernah membantu pemberontak, akan tetapi kesesatan itu telah ditebusnya dengan membunuh Pangeran Liong Khi Ong dan tiga orang pengawalnya, juga dengan menolong Syanti Dewi. Tentang urusannya dengan.... Gak-suheng, biarlah dia selesaikan sendiri dengan yang berkepentingan. Ang Tek Hoat, kalau engkau ingin pergi, pergilah. Hanya kuharap bahwa engkau akan selalu ingat bahwa kami tidak mempunyai niat buruk terhadap dirimu, maka jika menghadapi segala urusan, jangan engkau terburu nafsu dan kami selalu siap untuk membantumu memecahkan persoalan yang sulit.”
Sikap dan ucapan Milana ini benar-benar mengharukan hati Tek Hoat. Selama dia meninggalkan ibunya, dia tidak pernah menemui manusia yang bersikap tulus, jujur dan mulia terhadap dirinya. Kalau toh ada yang bersikap baik terhadap dia, kebaikan itu hanya menutupi suatu pamrih tertentu yang lebih merupakan penjilatan atau juga penggunaan karena tenaganya dibutuhkan seperti halnya kaum pemberontak yang berbaik kepadanya. Akan tetapi baru sekarang dia bertemu dengan seorang yang amat dikaguminya, seorang wanita yang cantik jelita, gagah perkasa, berbudi mulia dan berwibawa.
Tanpa disadarinya sendiri, kedua kakinya menjadi lemas dan Ang Tek Hoat pemuda yang angkuh dan keras hati itu, yang tidak pernah mengenal takut dan tidak pula mau tunduk kepada siapa pun kini menjatuhkan diri berlutut di depan Puteri Milana!
Dia merasa betapa dirinya adalah orang yang sudah kotor, yang bergelimang dengan kesesatan, yang membuat dia memandang dirinya amat rendah sekali dibandingkan dengan orang-orang gagah seperti kedua orang saudara putera Pendekar Super Sakti itu, yang membuat dia merasa tidak berharga, akan tetapi yang sekaligus juga memperkeras hatinya, menimbulkan keangkuhannya sehingga sampai mati pun dia tidak akan sudi tunduk kepada “orang-orang bersih” seperti mereka itu.
Akan tetapi, sikap Milana mencairkan kekerasan dan keangkuhannya, karena puteri ini bersikap sungguh-sungguh kepadanya, tidak memandang rendah, bahkan sinar mata yang mengandung iba yang mendalam itu membuat dia tunduk dan terharu. Suaranya agak tergetar ketika dia berkata,
“Saya Ang Tek Hoat sungguh kagum kepada paduka dan selama hidup saya akan memuliakan nama paduka Puteri Milana.”
Setelah berkata demikian, dia bangkit berdiri, menjura kepada tiga orang itu dan dengan langkah lebar dia keluar dari kamar dan gedung itu, agak terhuyung-huyung.
Milana meneriaki pengawal dan dengan singkat memerintahkan agar pengawal itu terus membayangi dan menjaga agar pemuda itu tidak diganggu dan diperbolehkan keluar dari kota raja tanpa halangan. Pengawal itu memberi hormat, lalu tergesa-gesa mengejar Tek Hoat.
“Enci Milana, betapa pun juga, aku masih menganggap dia itu seorang yang berbahaya....”
Suma Kian Bu menyatakan pendapatnya, hatinya kurang puas akan sikap encinya yang demikian lunak terhadap pemuda jahat itu.
Milana hanya menggeleng kepala dan menghela napas, memegangi kepalanya.
“Bu-te, aku seperti pernah mengenalnya.... dahulu.... ah, biarkan aku mengaso sambil mengingat-ingat....”
Dia lalu pergi memasuki kamarnya sendiri, meninggalkan suaminya yang kini duduk bercakap-cakap dengan Kian Bu, membicarakan pengalaman mereka ketika pasukan pemerintah menyerbu Koan-bun dan Teng-bun.
Di dalam kamarnya, Milana lalu mengunci pintu dan menjatuhkan diri di atas pembaringan. Kepalanya agak pening, bukan hanya karena urusan Tek Hoat dan bukan hanya karena dia agak lelah mengerahkan tenaga sin-kang selama lima jam untuk mengobati Tek Hoat tadi. Akan tetapi ada hal lain yang lebih mendalam lagi, yang selama beberapa hari ini menusuk-nusuk jantungnya. Teringat dia akan peristiwa itu, peristiwa yang takkan dapat dilupakannya, ketika Puteri Syanti Dewi yang muda dan cantik jelita itu menegurnya dengan hebat sewaktu mereka berdua berada di dalam kamar dan tidak ada orang lain lagi.
“Bibi Milana, saya tidak tahu apakah nanti Bibi akan membunuh saya atau menganggap saya kurang ajar setelah saya selesai bicara, akan tetapi bagaimanapun juga, saya akan menanggung semua akibatnya karena hal ini tidak mungkin saya simpan saja dan tidak dibicarakan dengan Bibi. Sudah berada di ujung bibir saya sejak kita saling bertemu, bahkan jauh sebelum pertemuan itu hal ini selalu berada di lubuk hati saya dan sekaranglah tiba saatnya kita hanya berdua saja di dalam kamar ini maka saya akan keluarkan isi hati saya.”
Melihat Puteri Bhutan yang muda remaja itu berhadapan dengan dia di kamar itu sambil memandang dengan sepasang pipi kemerahan seperti dibakar, mata bersinar-sinar dan bibir penuh semangat, Milana yang selalu bersikap tenang dan sabar itu tersenyum.
“Syanti Dewi, kau keluarkan isi hatimu dan bicaralah dengan hati tenang agar jelas karena tidak baik membiarkan hati dikuasai kemarahan.”
“Bibi Milana, setelah bertemu dengan engkau, maka aku merasa kagum sekali. Engkau seorang puteri sejati, begitu gagah perkasa, bersikap agung dan berhati mulia, akan tetapi sungguh sayang sekali bahwa di balik kebaikan itu semua tersembunyi hati yang amat kejam terhadap pria!”
“Kalau begitu, mari kita mencoba untuk menolongnya, Adik Bu. Kong-ko (Kanda Kong), harap kau suka menjaga di pintu, jangan sampai ada yang mengganggu kami karena hal itu bisa berbahaya.”
“Baik,”
Han Wi Kong menjawab. Dia sendiri pun seorang yang berkepandaian, dan sungguhpun sin-kangnya tidak sekuat isterinya atau Kian Bu sebagai anak-anak dari Pendekar Super Sakti, namun dia cukup maklum akan bahayanya orang-orang yang lagi mengerahkan sin-kang untuk menyembuhkan orang lain apabila diganggu oleh orang luar. Dia mengambil sebuah bangku dan duduk di ambang pintu.
Puteri Milana dan Kian Bu lalu duduk di tepi pembaringan, bersila dan meletakkan telapak tangan mereka di dada dan lambung Tek Hoat, mengumpulkan hawa murni dan mulailah mereka mengerahkan sin-kang ke dalam tubuh pemuda yang terluka parah di sebelah dalam tubuhnya itu.
Dari ambang pintu, Han Wi Kong duduk dan memandang penuh kagum. Isterinya dan Kian Bu adalah keturunan dari Pendekar Super Sakti dan Puteri Nirahai dan betapa bahagianya dia dapat disebut sebagai suami puteri yang cantik jelita dan berilmu tinggi serta gagah perkasa ini. Seorang pahlawan wanita sejati!
Wajah Tek Hoat tadinya pucat sekali. Lewat satu jam setelah dua orang keturunan Pulau Es itu menyalurkan sin-kang mereka, wajah Tek Hoat berubah, makin lama makin menghitam. Itulah tanda bahwa hawa becacun yang mengeram di dalam tubuh mulai dapat didesak naik dan keluar. Lewat tiga jam, warna hitam di muka Tek Hoat itu makin lama makin menipis, lalu berubah menjadi putih pucat lagi.
Han Wi Kong melihat betapa isterinya dan adik iparnya mulai berpeluh. Akan tetapi lewat lima jam, warna putih wajah Tek Hoat mulai menjadi merah dan pernapasannya mulai teratur. Akhirnya terdengar pemuda itu mengeluh dan membuka matanya.
Mata itu melirik dan terbelalak seperti orang terkejut dan keheranan melihat dua orang itu yang sedang mengobatinya. Cepat dia pun mengerahkan sin-kangnya untuk menolak dan kedua orang itu melepaskan tangan mereka lalu melompat turun dari pembaringan, menghapus keringat dari dahi dan leher.
Milana memandang adiknya dengan senyum penuh kagum, karena ternyata bahwa pernapasan Kian Bu tidak begitu memburu seperti napasnya, hal ini menandakan bahwa dalam hal sin-kang, adiknya itu sedikit lebih kuat daripada dia!
“Engkau sudah sembuh sekarang,” katanya sambil memandang kepada Ang Tek Hoat.
Pemuda ini cepat bangkit duduk, memejamkan mata sejenak karena ketika bangkit itu matanya berkunang dan kepalanya pening, tubuhnya lemas sekali karena sudah berhari-hari dia tidak makan.
“Berbaringlah dulu, engkau masih lemah,” kata pula Milana.
Akan tetapi Tek Hoat tetap duduk di tepi pembaringan, lalu membuka mata lagi memandang kepada Milana, Kian Bu, dan Han Wi Kong yang sudah masuk ke kamar lagi bergantian.
“Pa.... paduka.... adalah Puteri Milana....!” katanya agak gagap dan bingung, karena apa yang dilihat dan dialaminya tadi seperti dalam mimpi saja. “Dan kau.... kau adalah seorang di antara dua pemuda perkasa itu, mata-mata pemerintah!”
Milana memandang dengan senyum dan Kian Bu memandang dengan tajam penuh selidik. Tidak seperti encinya, dia masih curiga kepada bekas pembantu pemberontak yang dia tahu amat lihai ini.
“Kenapa....? Kenapa Ji-wi (Anda Berdua) menolong dan mengobati saya?”
“Ang Tek Hoat, engkau telah membunuh Pangeran Liong Khi Ong si pemberontak dan tiga orang pengawalnya yang lihai, untuk menyelamatkan Syanti Dewi. Hal itu saja cukup membuat kami berpendapat bahwa engkau bukanlah musuh lagi,” kata Milana.
“Enciku ini memang bermurah hati, akan tetapi kalau engkau masih berpendirian untuk menjadi pemberontak, masih belum terlambat untuk menghukummu!” Kian Bu menyambung.
Akan tetapi Tek Hoat tidak begitu memperhatikan ucapan Kian Bu, dia menoleh ke kanan kiri, lalu bertanya,
“Di mana dia? Sang Puteri Bhutan....?”
Dia lalu memandang kepada Kian Bu dengan penuh selidik, karena dia teringat betapa puteri itu lari memeluk pemuda ini pada waktu itu.
“Dia telah selamat dan kini menjadi tamu agung dari Kaisar,” kata Milana.
Hening sejenak. Kemudian Tek Hoat bangkit berdiri dengan limbung, menjura kepada mereka bertiga dan berkata,
“Saya Ang Tek Hoat bukan orang yang tidak tahu terima kasih. Ji-wi telah menolong saya dan saya menghaturkan terima kasih. Saya tidak ingin mengganggu dan merepotkan lebih lama lagi dan sebaiknya kalau saya pergi....”
“Nanti dulu, engkau bisa celaka kalau pergi dalam keadaan seperti ini, Ang Tek Hoat. Tubuhmu masih lemas dan lemah.”
Pada saat itu, seorang pengawal yang tadi diperintah oleh Han Wi Kong datang membawa baki terisi semangkok obat penguat dan bubur.
“Engkau minumlah obat ini dan makan bubur ini, baru kita bicara.”
Tek Hoat mengerutkan alisnya, akan tetapi dia maklum bahwa perutnya kosong dan tubuhnya lemah sekali, mungkin dipakai berjalan pun akan terguling, maka dia mengangguk, menerima mangkok obat dan bubur itu lalu minum dan menghabiskannya dengan cepat. Biarpun tidak berapa banyak, bubur itu menghangatkan perutnya dan tenaganya agak pulih kembali.
“Sekarang kita bicara, Tek Hoat,” kata Milana setelah pengawal itu pergi. “Engkau berhadapan dengan Puteri Milana, dan ini suamiku Han Wi Kong, dan adikku Suma Kian Bu....”
“Ah, kiranya dia ini adik paduka? Jadi.... jadi putera Pendekar Super Sakti?”
Tek Hoat tahu bahwa Puteri Milana adalah anak dari Pendekar Super Sakti seperti pernah diceritakan oleh ibunya.
“Benar, dan agaknya sedikit banyak engkau tahu akan keluarga ayahku, Pendekar Super Sakti dari Pulau Es. Dari siapa engkau mengenal kami?”
“Dari ibu, akan tetapi sudahlah.... saya merasa heran sekali akan tetapi juga berterima kasih kepada paduka yang tidak membunuh saya malah menolong saya. Agaknya benar cerita ibu bahwa keluarga Pendekar Super Sakti terdiri dari orang-orang gagah dan budiman, sungguh tidak seperti kami....”
Melihat pemuda itu merendah dan hendak pergi, selalu memandang ke pintu seolah-olah tidak betah berada di situ terlalu lama, Milana dapat memaklumi isi hatinya. Pemuda ini jelas adalah seorang yang memiliki kepandaian tinggi dan kegagahan, hatinya keras dan memiliki harga diri yang tinggi. Namun entah bagaimana terjeblos ke dalam tangan para pemberontak sehingga kini pemuda ini merasa betapa dia kotor dan tidak berharga, merasa malu terhadap diri sendiri sehingga tidak betah berada di antara orang-orang yang dianggapnya gagah dan budiman!
“Ang Tek Hoat, terus terang saja, kami bukanlah orang-orang budiman dan terlalu gagah seperti yang kau sebutkan tadi. Kita sama saja, hanya kebetulan saja kami berada di pihak yang benar dan engkau terjeblos ke dalam kesesatan. Ketika menolongmu, selain untuk balas jasamu membunuh Pangeran pemberontak dan kaki tangannya serta menolong Syanti Dewi, juga karena kami ingin mengajukan pertanyaan kepadamu yang kuharap engkau akan suka menjawabnya.”
Ang Tek Hoat menatap wajah yang cantik jelita itu, biarpun usianya lebih tua akan tetapi kecantikannya mengingatkan dia kepada Syanti Dewi, sepasang mata yang bening dan tajam itu, kemudian menjawab,
“Asal saja pertanyaan paduka itu pantas untuk dijawab, dan dapat saya jawab, tentu akan saya jawab,” katanya singkat.
Hemm, pemuda ini benar-benar keras hati dan juga cerdik, pikir Milana.
“Pertanyaanku yang pertama adalah pertanyaan yang pernah kuajukan padamu ketika engkau melawanku di hutan itu. Dari mana engkau mempelajari Ilmu Silat Pat-mo Sin-kun dan siapa yang melatihmu?”
Tek Hoat sendiri sudah pernah mendengar dari Sai-cu Lo-mo yang pernah menggemblengnya bahwa kakek sakti itu memperoleh kepandaiannya dari Puteri Nirahai, bekas Ketua Thian-liong-pang yang kini menjadi isteri Pendekar Super Sakti di Pulau Es. Maka dia pun tidak merasa heran bahwa Puteri Milana dapat mainkan ilmu silat itu dengan mahir sekali. Karena dia tidak ingin disangka mencuri ilmu orang, maka dia menjawab sejujurnya,
“Saya pernah menerima pelajaran ilmu itu dari Suhu Sai-cu Lo-mo.”
“Aihh, kalau begitu engkau masih murid keponakanku!” Milana berseru.
“Maaf, saya tidak berani, karena Suhu Sai-cu Lo-mo pernah berpesan agar saya tidak mengakuinya sebagai guru. Hanya karena paduka bertanya dan saya sudah tahu bahwa antara beliau dengan paduka ada hubungan, maka saya berani berterus terang menyebutnya.”
Milana mengangguk-angguk. Heran sekali dia mengapa Sai-cu Lo-mo sampai menurunkan ilmu rahasia itu kepada pemuda ini.
“Akan tetapi, dibandingkan dengan Sai-cu Lo-mo, kepandaianmu jauh lebih tinggi.”
Ang Tek Hoat tidak mau menanggapi kata-kata Puteri Milana itu, dan dia diam saja, menanti pertanyaan ke dua.
“Sekarang pertanyaanku ke dua, Tek Hoat. Di beberapa tempat, engkau memakai julukan Si Jari Maut dan menggunakan nama Gak Bun Beng. Mengapa begitu? Mengapa engkau begitu jahat dan curang, melakukan kejahatan dengan menggunakan nama lain orang?”
Kini dengan suara ketus karena diingatkan kepada musuh besarnya, dia menjawab,
“Memang, semua perbuatan itu saya lakukan untuk memburukkan nama Gak Bun Beng, karena jahanam itu telah membunuh ayah! Sayang dia telah mampus, kalau tidak, tentu sudah kucari dan kubunuh dia, tidak perlu lagi saya memburuk-burukkan nama orang yang sudah mati.”
“Ah keparat bermulut lancang!” Kian Bu sudah bergerak hendak menerjang Tek Hoat, akan tetapi Milana memegang lengannya.
“Jangan terburu nafsu, Bu-te!”
Kian Bu teringat bahwa orang yang akan diserangnya itu masih lemah, dan memang amat lucu untuk menyerang orang yang baru saja dia tolong dan sembuhkan! Akan tetapi, mendengar kata-kata Tek Hoat tadi dia sudah marah sekali.
“Ang Tek Hoat, engkau sungguh kurang ajar, berani engkau memaki suhengku dan mengatakan bahwa sudah mati. Kalau tidak ingat bahwa engkau belum sehat benar kuhancurkan mulutmu!”
Tek Hoat terbelalak memandang Kian Bu, Milana, dan Han Wi Kong.
“Apa katamu? Dia.... dia.... masih hidup?”
Tentu saja dia merasa heran sekali. Bukankah ibunya telah dengan jelas bercerita kepadanya bahwa musuh besar yang bernama Gak Bun Beng itu telah mati terbunuh ibunya?
“Engkau memang tukang membohong! Suheng Gak Bun Beng masih segar bugar, bahkan pernah engkau bertemu dengan dia beberapa kali, sudah pernah mengadu tenaga pula. Dia adalah Suheng yang melakukan perjalanan bersama aku, Lee-ko, dan Adik Syanti Dewi.”
Mata Tek Hoat makin terbelalak dan mukanya berubah.
“Aihh.... dia....? Gak Bun Beng pembunuh ayahku? Masih hidup? Kalau begitu....”
Dia diam saja tenggelam ke dalam pikirannya yang bergelombang. Memang tidak mungkin kalau ibunya dapat membunuh musuh dengan kepandaian seperti itu! Bahkan laki-laki setengah tua gagah perkasa itu memiliki tenaga sakti Inti Bumi yang amat kuat!
Akan tetapi kenapa ibunya mengatakan bahwa dia telah membunuh Gak Bun Beng. Apakah hanya namanya saja yang sama? Dia harus memecahkan rahasia ini. Dia harus menemui laki-laki yang bernama Gak Bun Beng itu dan memaksanya untuk mengaku apa yang telah terjadi dengan ayahnya!
“Ang Tek Hoat, benarkah ayahmu dibunuh oleh Gak Bun Beng?” Puteri Milana bertanya sambil memandang dengan tajam penuh selidik.
“Saya tidak perlu membohong. Ayah saya dibunuh oleh Gak Bun Beng dan karena saya kira dia sudah mati maka saya sengaja memburukkan nama musuh besar saya itu,” jawabnya.
“Engkau melihat sendiri bahwa ayahmu dibunuh olehnya?”
Tanya lagi Puteri Milana dan diam-diam dia mengingat-ingat karena wajah pemuda yang tampan ini mengingatkan dia akan seseorang akan tetapi dia lupa lagi siapa. Mata itu, bibir itu, benar-benar tidak asing baginya!
“Hal itu terjadi sebelum saya lahir. Ibu yang memberitahukan saya....”
“Ahhh....! Siapa ibumu? Dan siapa ayahmu?”
Tek Hoat menggeleng kepalanya.
“Maaf, itu merupakan rahasia saya, dan tidak dapat saya ceritakan kepada lain orang. Biarlah saya mencari Gak Bun Beng dan bicara sendiri dengan dia. Saya mohon kepada paduka agar suka memberi kesempatan kepada saya untuk berhadapan dengan musuh besar saya itu, kecuali.... kecuali kalau paduka hendak menghukum saya karena pemberontakan itu.... saya tidak akan dapat melawan....”
“Enci Milana, manusia ini berhati palsu dan curang, lagi jahat dan berbahaya sekali kalau dia dibiarkan pergi begitu saja!” Kian Bu berkata dengan alis berkerut.
“Benar, sebaiknya dia ditahan dulu, sambil kita menanti kedatangan Gak-taihiap,” kata Han Wi Kong.
Akan tetapi, ucapan suaminya itu dirasakan oleh Milana seperti ujung belati menusuk jantungnya. Setiap kebaikan sikap suaminya mengenai diri Gak Bun Beng merupakan tusukan baginya, makin baik sikap suaminya, makin tertusuk dia karena dia maklum bahwa dia telah berdosa terhadap suaminya ini. Maka kata-kata suaminya itu membuat dia bangkit menentang.
“Tidak, biarkan dia pergi! Pertama, dia adalah murid Sai-cu Lo-mo, berarti masih orang sendiri. Ke dua, dia memang pernah membantu pemberontak, akan tetapi kesesatan itu telah ditebusnya dengan membunuh Pangeran Liong Khi Ong dan tiga orang pengawalnya, juga dengan menolong Syanti Dewi. Tentang urusannya dengan.... Gak-suheng, biarlah dia selesaikan sendiri dengan yang berkepentingan. Ang Tek Hoat, kalau engkau ingin pergi, pergilah. Hanya kuharap bahwa engkau akan selalu ingat bahwa kami tidak mempunyai niat buruk terhadap dirimu, maka jika menghadapi segala urusan, jangan engkau terburu nafsu dan kami selalu siap untuk membantumu memecahkan persoalan yang sulit.”
Sikap dan ucapan Milana ini benar-benar mengharukan hati Tek Hoat. Selama dia meninggalkan ibunya, dia tidak pernah menemui manusia yang bersikap tulus, jujur dan mulia terhadap dirinya. Kalau toh ada yang bersikap baik terhadap dia, kebaikan itu hanya menutupi suatu pamrih tertentu yang lebih merupakan penjilatan atau juga penggunaan karena tenaganya dibutuhkan seperti halnya kaum pemberontak yang berbaik kepadanya. Akan tetapi baru sekarang dia bertemu dengan seorang yang amat dikaguminya, seorang wanita yang cantik jelita, gagah perkasa, berbudi mulia dan berwibawa.
Tanpa disadarinya sendiri, kedua kakinya menjadi lemas dan Ang Tek Hoat pemuda yang angkuh dan keras hati itu, yang tidak pernah mengenal takut dan tidak pula mau tunduk kepada siapa pun kini menjatuhkan diri berlutut di depan Puteri Milana!
Dia merasa betapa dirinya adalah orang yang sudah kotor, yang bergelimang dengan kesesatan, yang membuat dia memandang dirinya amat rendah sekali dibandingkan dengan orang-orang gagah seperti kedua orang saudara putera Pendekar Super Sakti itu, yang membuat dia merasa tidak berharga, akan tetapi yang sekaligus juga memperkeras hatinya, menimbulkan keangkuhannya sehingga sampai mati pun dia tidak akan sudi tunduk kepada “orang-orang bersih” seperti mereka itu.
Akan tetapi, sikap Milana mencairkan kekerasan dan keangkuhannya, karena puteri ini bersikap sungguh-sungguh kepadanya, tidak memandang rendah, bahkan sinar mata yang mengandung iba yang mendalam itu membuat dia tunduk dan terharu. Suaranya agak tergetar ketika dia berkata,
“Saya Ang Tek Hoat sungguh kagum kepada paduka dan selama hidup saya akan memuliakan nama paduka Puteri Milana.”
Setelah berkata demikian, dia bangkit berdiri, menjura kepada tiga orang itu dan dengan langkah lebar dia keluar dari kamar dan gedung itu, agak terhuyung-huyung.
Milana meneriaki pengawal dan dengan singkat memerintahkan agar pengawal itu terus membayangi dan menjaga agar pemuda itu tidak diganggu dan diperbolehkan keluar dari kota raja tanpa halangan. Pengawal itu memberi hormat, lalu tergesa-gesa mengejar Tek Hoat.
“Enci Milana, betapa pun juga, aku masih menganggap dia itu seorang yang berbahaya....”
Suma Kian Bu menyatakan pendapatnya, hatinya kurang puas akan sikap encinya yang demikian lunak terhadap pemuda jahat itu.
Milana hanya menggeleng kepala dan menghela napas, memegangi kepalanya.
“Bu-te, aku seperti pernah mengenalnya.... dahulu.... ah, biarkan aku mengaso sambil mengingat-ingat....”
Dia lalu pergi memasuki kamarnya sendiri, meninggalkan suaminya yang kini duduk bercakap-cakap dengan Kian Bu, membicarakan pengalaman mereka ketika pasukan pemerintah menyerbu Koan-bun dan Teng-bun.
Di dalam kamarnya, Milana lalu mengunci pintu dan menjatuhkan diri di atas pembaringan. Kepalanya agak pening, bukan hanya karena urusan Tek Hoat dan bukan hanya karena dia agak lelah mengerahkan tenaga sin-kang selama lima jam untuk mengobati Tek Hoat tadi. Akan tetapi ada hal lain yang lebih mendalam lagi, yang selama beberapa hari ini menusuk-nusuk jantungnya. Teringat dia akan peristiwa itu, peristiwa yang takkan dapat dilupakannya, ketika Puteri Syanti Dewi yang muda dan cantik jelita itu menegurnya dengan hebat sewaktu mereka berdua berada di dalam kamar dan tidak ada orang lain lagi.
“Bibi Milana, saya tidak tahu apakah nanti Bibi akan membunuh saya atau menganggap saya kurang ajar setelah saya selesai bicara, akan tetapi bagaimanapun juga, saya akan menanggung semua akibatnya karena hal ini tidak mungkin saya simpan saja dan tidak dibicarakan dengan Bibi. Sudah berada di ujung bibir saya sejak kita saling bertemu, bahkan jauh sebelum pertemuan itu hal ini selalu berada di lubuk hati saya dan sekaranglah tiba saatnya kita hanya berdua saja di dalam kamar ini maka saya akan keluarkan isi hati saya.”
Melihat Puteri Bhutan yang muda remaja itu berhadapan dengan dia di kamar itu sambil memandang dengan sepasang pipi kemerahan seperti dibakar, mata bersinar-sinar dan bibir penuh semangat, Milana yang selalu bersikap tenang dan sabar itu tersenyum.
“Syanti Dewi, kau keluarkan isi hatimu dan bicaralah dengan hati tenang agar jelas karena tidak baik membiarkan hati dikuasai kemarahan.”
“Bibi Milana, setelah bertemu dengan engkau, maka aku merasa kagum sekali. Engkau seorang puteri sejati, begitu gagah perkasa, bersikap agung dan berhati mulia, akan tetapi sungguh sayang sekali bahwa di balik kebaikan itu semua tersembunyi hati yang amat kejam terhadap pria!”
Tidak ada komentar:
Posting Komentar