“Aku.... benci orang yang shenya Suma! Semua orang she Suma adalah musuh besarku, demikian kata ayahku. Maka kalau kau she Suma, aku menyesal telah mengobati lukamu.... akan tetapi.... hemm, kau.... tampan dan gagah, engkau tentu orang baik, maka aneh kalau kau she Suma karena menurut Ayah, she Suma adalah she orang-orang yang jahat dan menjadi musuh besar kami.”
Kian Lee mengerutkan alisnya.
“Kalau boleh saya bertanya, Nona....”
“Nanti dulu, aku benci caramu menyebut aku nona! Aku sudah muak karena setiap hari orang-orang kami menyebutku nona dengan sikap menjilat sehingga setiap kali mendengar sebutan nona, aku membayangkan sikap orang menjilat-jilat menjemukan! Jangan panggil aku nona, baru aku mau mendengarkan!”
Kian Lee makin heran. Bocah ini benar-benar aneh, manis tapi menyeramkan, menarik tapi manja menggemaskan, masih bersikap kanak-kanak akan tetapi telah memiliki ilmu demikian tinggi tentang racun!
“Baiklah, aku akan menyebut siauw-moi (adik kecil)....”
“Iihh, kau kira aku masih bayi? Aku sudah hampir dua belas tahun! Dan engkau pun belum begitu tua, kau pantas menjadi kakakku. Kenapa tidak menyebut aku adik saja, jangan pakai kecil segala!” katanya manja dan berlagak seperti telah dewasa, akan tetapi lagaknya ini malah membayangkan bahwa gadis cilik ini memang masih mentah!
Akan tetapi karena maklum bahwa gadis cilik ini memiliki watak yang ku-koai (aneh), Kian Lee yang merasa berterima kasih telah ditolong itu berkata,
“Baik, Moi-moi. Aku ulang lagi, kalau boleh aku bertanya, engkau ini siapakah dan siapa pula ayahmu yang begitu membenci she Suma?”
“Namaku? Aku Kim Hwee Li.”
Kian Lee mengingat-ingat. Tidak pernah dia mendengar nama ini dan hanya tahu bahwa nama Hwee Li ini terdengar manis sekali.
“Dan ayahmu?”
“Tidak perlu kukatakan.”
“Kenapa?”
“Engkau tentu akan lari terbirit-birit mendengarnya. Sudah banyak pemuda-pemuda dan pemudi-pemudi yang kujumpai dan kuajak berteman, kalau mendengar nama ayahku lalu lari ketakutan meninggalkan aku. Aku tidak ingin kau pun ketakutan seperti itu dan berlari pergi setelah kuperkenalkan namanya.”
“Ah, masa? Katakanlah, aku tidak akan lari....”
Tiba-tiba Kian Lee menghentikan kata-katanya karena pintu depan diketuk orang. Gadis itu menjadi kaget dan kelihatan ketakutan sekali. Kini baru tampak oleh Kian Lee betapa gadis cilik yang amat cantik jelita ini memiliki wajah yang amat pucat, dan sekarang, dengan mata terbelalak ketakutan itu wajahnya kelihatan makin pucat lagi.
“Celaka....!” bisiknya dan jari-jari tangannya yang memegang lengan Kian Lee menggigil. “Kau.... kau sembunyilah di sini saja, jangan bergerak, jangan bernapas.... jangan mengeluarkan suara.... biar aku menghadapi Sukouw.... jangan khawatir, aku tidak akan membiarkan engkau menjadi korban Sukouw!”
Kian Lee yang menjadi bingung karena tidak mengerti itu hanya mengangguk, lalu dia duduk kembali, bersembunyi di balik tiang dan dinding, akan tetapi dia mengintai ke arah pintu depan. Sedangkan Hwe Li dengan sikap ditenang-tenangkan dan memondong kucing putih mulus, melangkah ke arah pintu lalu membuka pintu.
Daun pintu terbuka lebar dan terdengar orang mendengus marah dan muncullah seorang kakek yang membuat Kian Lee kini benar-benar menahan napas karena dia mengenal kakek ini sebagai kakek raksasa yang lihai dan menyeramkan, dan tidak heranlah dia kini mengapa gadis cilik itu demikian lihai, karena kakek yang muncul ini bukan lain adalah Hek-tiauw Lo-mo, Ketua Pulau Neraka!
Hek-tiauw Lo-mo yang masuk dengan marah itu terbelalak kaget dan heran ketika melihat bahwa yang membukakan pintu adalah puterinya sendiri. Dengan menudingkan telunjuk kanannya yang besar dan berkuku panjang ke arah muka gadis cilik yang tenang-tenang saja itu, dia menghardik,
“Hwee Li! Mengapa engkau yang berada di sini? Mana bibi gurumu?”
Kian Lee mengerutkan alisnya.
“Kalau boleh saya bertanya, Nona....”
“Nanti dulu, aku benci caramu menyebut aku nona! Aku sudah muak karena setiap hari orang-orang kami menyebutku nona dengan sikap menjilat sehingga setiap kali mendengar sebutan nona, aku membayangkan sikap orang menjilat-jilat menjemukan! Jangan panggil aku nona, baru aku mau mendengarkan!”
Kian Lee makin heran. Bocah ini benar-benar aneh, manis tapi menyeramkan, menarik tapi manja menggemaskan, masih bersikap kanak-kanak akan tetapi telah memiliki ilmu demikian tinggi tentang racun!
“Baiklah, aku akan menyebut siauw-moi (adik kecil)....”
“Iihh, kau kira aku masih bayi? Aku sudah hampir dua belas tahun! Dan engkau pun belum begitu tua, kau pantas menjadi kakakku. Kenapa tidak menyebut aku adik saja, jangan pakai kecil segala!” katanya manja dan berlagak seperti telah dewasa, akan tetapi lagaknya ini malah membayangkan bahwa gadis cilik ini memang masih mentah!
Akan tetapi karena maklum bahwa gadis cilik ini memiliki watak yang ku-koai (aneh), Kian Lee yang merasa berterima kasih telah ditolong itu berkata,
“Baik, Moi-moi. Aku ulang lagi, kalau boleh aku bertanya, engkau ini siapakah dan siapa pula ayahmu yang begitu membenci she Suma?”
“Namaku? Aku Kim Hwee Li.”
Kian Lee mengingat-ingat. Tidak pernah dia mendengar nama ini dan hanya tahu bahwa nama Hwee Li ini terdengar manis sekali.
“Dan ayahmu?”
“Tidak perlu kukatakan.”
“Kenapa?”
“Engkau tentu akan lari terbirit-birit mendengarnya. Sudah banyak pemuda-pemuda dan pemudi-pemudi yang kujumpai dan kuajak berteman, kalau mendengar nama ayahku lalu lari ketakutan meninggalkan aku. Aku tidak ingin kau pun ketakutan seperti itu dan berlari pergi setelah kuperkenalkan namanya.”
“Ah, masa? Katakanlah, aku tidak akan lari....”
Tiba-tiba Kian Lee menghentikan kata-katanya karena pintu depan diketuk orang. Gadis itu menjadi kaget dan kelihatan ketakutan sekali. Kini baru tampak oleh Kian Lee betapa gadis cilik yang amat cantik jelita ini memiliki wajah yang amat pucat, dan sekarang, dengan mata terbelalak ketakutan itu wajahnya kelihatan makin pucat lagi.
“Celaka....!” bisiknya dan jari-jari tangannya yang memegang lengan Kian Lee menggigil. “Kau.... kau sembunyilah di sini saja, jangan bergerak, jangan bernapas.... jangan mengeluarkan suara.... biar aku menghadapi Sukouw.... jangan khawatir, aku tidak akan membiarkan engkau menjadi korban Sukouw!”
Kian Lee yang menjadi bingung karena tidak mengerti itu hanya mengangguk, lalu dia duduk kembali, bersembunyi di balik tiang dan dinding, akan tetapi dia mengintai ke arah pintu depan. Sedangkan Hwe Li dengan sikap ditenang-tenangkan dan memondong kucing putih mulus, melangkah ke arah pintu lalu membuka pintu.
Daun pintu terbuka lebar dan terdengar orang mendengus marah dan muncullah seorang kakek yang membuat Kian Lee kini benar-benar menahan napas karena dia mengenal kakek ini sebagai kakek raksasa yang lihai dan menyeramkan, dan tidak heranlah dia kini mengapa gadis cilik itu demikian lihai, karena kakek yang muncul ini bukan lain adalah Hek-tiauw Lo-mo, Ketua Pulau Neraka!
Hek-tiauw Lo-mo yang masuk dengan marah itu terbelalak kaget dan heran ketika melihat bahwa yang membukakan pintu adalah puterinya sendiri. Dengan menudingkan telunjuk kanannya yang besar dan berkuku panjang ke arah muka gadis cilik yang tenang-tenang saja itu, dia menghardik,
“Hwee Li! Mengapa engkau yang berada di sini? Mana bibi gurumu?”
“Bibi Guru tidak ada di rumah, Ayah. Aku kesal Ayah tinggalkan di pondok kosong bersama anak buah yang kasar-kasar itu, maka aku datang mengunjungi Sukouw. Akan tetapi dia pun tidak ada dan aku senang di sini bermain-main dengan kucing-kucingnya. Ayah, biarkan aku bermain-main di sini sendiri bersama kucing-kucing ini, kalau tidak boleh aku akan menangis sehari semalam!”
“Wah-wah, kau memang manja dan tidak beres! Aku perlu dengan bibi gurumu, entah ke mana perginya pelacur tak tahu malu itu! Nah, biar engkau di sini menanti dia pulang, kalau dia pulang katakan bahwa aku ingin bertemu dengannya. Suruh dia datang mengunjungi pondok kita.”
“Baik, Ayah. Kau baik sekali, Ayah, engkau ayah yang baik. Terima kasih!”
Berkata demikian, Hwee Li mengantar ayahnya keluar dan menutupkan kembali daun pintunya. Kemudian sambil tertawa kecil dia berlari menghampiri Kian Lee.
Kian Lee sudah bangkit berdiri, jantungnya masih berdebar tegang.
“Dia itu ayahmu? Hemm, kiranya ayahmu Hektiauw Lo-mo....”
Hwee Li terkejut dan memandang wajah yang tampan itu penuh pertanyaan.
“Jadi engkau sudah mengenal ayahku?”
Kian Lee mengangguk, akan tetapi tentu saja dia tidak bisa menceritakan kepada gadis cilik yang telah menolongnya ini bahwa dia adalah musuh ayahnya itu. Dia tidak tega mengatakan ini.
“Dan kau tidak takut kepada ayahku?”
“Tidak, mengapa takut? Dia seorang ayah yang baik, bukan?”
Hwee Li melepaskan kucingnya dan memegang kedua tangan Kian Lee.
“Aihh, Twako, kau hebat! Engkaulah orang pertama yang mengatakan bahwa engkau tidak takut kepada ayahku! Padahal semua orang takut. Memang dia seorang ayah yang baik, akan tetapi.... kadang-kadang.... aku pun takut kepadanya. Dia bisa baik, terutama kepadaku, akan tetapi bisa juga.... hemm.... amat kejam.... ah, sudahlah, tidak baik membicarakan ayah sendiri, bukan?”
Kian Lee mengangguk, terheran-heran. Bagaimana seorang iblis tua seperti Hek-tiauw Lo-mo dapat mempunyai seorang anak perempuan begini cantik jelita?
“Engkau tadi tampaknya lebih ketakutan ketika mengira bahwa yang datang adalah bibi gurumu. Mengapa? Siapakah bibi gurumu?”
“Bibi guruku ada dua orang. Twa-sukouw, bibi guru pertama, cukup menyeramkan akan tetapi tidaklah seperti Ji-sukouw, bibi guru ke dua yang amat mengerikan. Kalau dia yang datang dan melihatmu, aku tidak tahu bagaimana akan bisa menyelamatkan engkau.”
“Kenapa?”
“Dia tidak akan melepaskan pemuda tampan dan gagah seperti engkau, tentu engkau akan dilarikannya dan paling lama tiga hari engkau akan kedapatan mati di suatu tempat.”
“Hemm, apa yang dilakukannya?”
“Aku sendiri tidak tahu. Akan tetapi ayah pun membenci kebiasaannya yang mengerikan itu. Setiap kali dia tentu menculik pemuda tampan dan membunuhnya, aku tidak tahu apa yang dilakukannya, hanya pernah aku melihat pemuda-pemuda yang dibunuhnya. Mengerikan!” Hwee Li bergidik.
Kian Lee teringat akan nenek bertongkat yang amat lihai itu, yang membuat pahanya terluka.
“Seperti apakah kedua orang bibi gurumu itu?” tanyanya.
“Yang seorang buruk sekali akan tetapi yang ke dua cantik sekali. Engkau tentu telah bertemu dengan bibiku yang cantik itu, dan untung engkau tldak sampai dibawanya lari, hanya terkena senjatanya. Pahamu itu terkena senjata rahasia peledak, bukan?”
Kian Lee mengangguk.
“Benar, akan tetapi yang melepasnya bukanlah seorang wanita cantik, melainkan seorang nenek buruk sekali, nenek yang bertongkat dan....”
“Ah, dia itu Twa-sukouw!” Hwee Li berseru heran. “Tentu dia telah mencuri senjata rahasia Ji-sukouw! Ketahuilah, ahli pembuat senjata rahasia peledak itu adalah Ji-sukouw. Eh, Twako, kenapa kau sampai bertanding melawan Twa-sukouw?”
“Hemm.... karena dia membantu pemberontak.”
“Pemberontak, pemberontak! Urusan kerajaan dan pemberontak ini menjemukan hatiku, Twako! Agaknya Ayah dan kedua orang bibi guruku melibatkan diri pula. Entah di pihak siapa Ayah berdiri, dan Twa-sukouw, menurut penuturanmu, jelas berdiri di pihak pemberontak. Entah pula dengan Ji-sukouw. Hem, aku jemu! Twako, mari kau antarkan aku kembali ke Pulau Neraka saja, kau tentu kaget mendengar bahwa aku datang dari Pulau Neraka, bukan?”
“Tidak, Hwee Li. Aku tahu bahwa ayahmu adalah Ketua Pulau Neraka berjuluk Hek-tiauw Lo-mo.”
“Eh, jadi kau sudah mengenal Ayah sebagai Ketua Pulau Neraka?”
“Aku sudah mengenal ayahmu, akan tetapi tidak tahu tentang bibi gurumu dan tentang dirimu baru sekarang aku mengetahuinya. Dua tahun lebih yang lalu aku dan adikku pernah berkunjung ke Pulau Neraka dan kau tidak ada di sana....”
“Hehh....? Benarkah? Dua tahun yang lalu.... hemm, aku masih dikurung di dalam kamar latihan, tidak boleh keluar sama sekali dan baru setahun yang lalu aku diperbolehkan keluar oleh Ayah. Dua tahun yang lalu....? Kakak beradik....? Wah, wah, aku sudah mendengar tentang keributan itu! Jadi engkau dari Pulau Es?”
Kian Lee mengangguk dan Hwee Li meloncat mundur ke belakang, memandang ketakutan.
“Tentu engkau akan membunuh aku!”
“Tidak, tidak Hwee Li. Engkau gadis yang baik sekali, mengapa aku harus membunuhmu?”
“Engkau dan adikmu itu putera-putera Pendekar Siluman....”
“Pendekar Super Sakti!”
“To-cu (Majikan Pulau) dari Pulau Es musuh besar Ayah!”
“Tapi aku tidak memusuhimu, juga tidak memusuhi ayahmu atau siapapun juga, Hwee Li.”
“Benarkah? Aku girang sekali kalau begitu. Aihh, putera Pulau Es. Pantas engkau she Suma! Wah, kalau begitu, engkau harus cepat pergi dari sini, Twako. Kalau Ayah tahu engkau putera dari Pulau Es, tentu celaka. Dan kalau Ji-sukouw keburu datang, engkau pun tentu akan diculiknya. Pergilah, akan tetapi, jangan kau lupa kepadaku, ya?”
Kian Lee mengangguk dan tersenyum.
“Engkau anak manis, engkau telah menyelamatkan aku, Hwee Li. Mana mungkin aku bisa lupa kepadamu?”
Kian Lee lalu berjalan ke pintu, agak terpincang. Setelah mengintai dari belakang pintu ke luar dan tidak melihat siapa pun, dia membuka daun pintu dan hendak melangkah keluar.
“Twako....!”
Kian Lee menoleh dan melihat gadis cilik itu berdiri pucat, dia melangkah masuk lagi, berdiri di depan Hwee Li. Gadis ini cantik luar biasa, sungguhpun masih belum dewasa benar sudah nampak kecantikannya.
“Ada apakah, Hwee Li?”
“Twako, kau benar-benar.... tidak akan lupa kepadaku?”
Kian Lee tersenyum dan menggeleng kepalanya.
“Dan aku.... aku suka kepadamu, Twako!”
Kian Lee terharu, dan meraba serta mencubit dagu yang manis itu.
“Tentu saja, engkau seperti adikku sendiri!”
Mulut yang manis itu cemberut.
“Aku tidak suka menjadi adikmu!”
“Habis bagaimana?”
“Kita adalah sahabat, bukan kakak dan adik.”
“Baiklah, engkau sahabatku yang paling baik dan manis, Hwee Li. Eh, aku lupa untuk bertanya tadi. Siapakah nama kedua orang sukouwmu itu?”
Kian Lee perlu untuk menanyakan nama mereka, terutama Si Nenek Lihai karena nenek itu telah menjadi musuhnya, membantu pemberontak, bahkan telah melukainya.
“Twa-sukouw berjuluk Hek-wan Kui-bo (Nenek Setan Lutung Hitam), dan Ji-sukouw berjuluk Mauw Siauw Mo-li (Siluman Kucing). Engkau berhati-hatilah kalau bertemu dengan mereka, Twako, terutama kalau bertemu dengan Ji-sukouw. Dia lebih lihai dan lebih berbahaya dari Twa-sukouw.”
“Terima kasih, Hwee Li. Nah, selamat tinggal.”
“Jangan lupa kepadaku, Twako, dan sekali-kali carilah aku.”
Kian Lee mengangguk, tersenyum lalu meloncat keluar dari pintu, akan tetapi ketika dia membalik, tanpa disengaja dia menginjak sesuatu yang lunak.
“Awas, Twako....!”
Hwee Li mengingatkan, Kian Lee meloncat ketika mendengar suara kucing menjerit dan kucing yang terinjak ekornya itu menyerangnya dengan kaki depan, mencakar, akan tetapi Kian Lee telah leblh dulu mengelak.
“Wah, berbahaya! Semua kuku dari kucing-kucing di sini mengandung racun berbahaya, Twako.”
“Ehh?”
“Ji-sukouw suka sekali memelihara kucing dan.... eh, dia sendiri sifatnya seperti kucing. Semua kucing ini adalah peliharaannya.”
Kian Lee menghela napas. Aneh-aneh orang dunia kang-ouw ini, pikirnya. Dan setelah Ketua Pulau Neraka dan dua orang sumoinya itu muncul, tentu akan terjadi geger. Dia mengangguk lagi dan kini melesat ke luar, sebentar saja lenyap meninggalkan Hwee Li yang cemberut dikelilingi kucing-kucing itu.
“Wah-wah, kau memang manja dan tidak beres! Aku perlu dengan bibi gurumu, entah ke mana perginya pelacur tak tahu malu itu! Nah, biar engkau di sini menanti dia pulang, kalau dia pulang katakan bahwa aku ingin bertemu dengannya. Suruh dia datang mengunjungi pondok kita.”
“Baik, Ayah. Kau baik sekali, Ayah, engkau ayah yang baik. Terima kasih!”
Berkata demikian, Hwee Li mengantar ayahnya keluar dan menutupkan kembali daun pintunya. Kemudian sambil tertawa kecil dia berlari menghampiri Kian Lee.
Kian Lee sudah bangkit berdiri, jantungnya masih berdebar tegang.
“Dia itu ayahmu? Hemm, kiranya ayahmu Hektiauw Lo-mo....”
Hwee Li terkejut dan memandang wajah yang tampan itu penuh pertanyaan.
“Jadi engkau sudah mengenal ayahku?”
Kian Lee mengangguk, akan tetapi tentu saja dia tidak bisa menceritakan kepada gadis cilik yang telah menolongnya ini bahwa dia adalah musuh ayahnya itu. Dia tidak tega mengatakan ini.
“Dan kau tidak takut kepada ayahku?”
“Tidak, mengapa takut? Dia seorang ayah yang baik, bukan?”
Hwee Li melepaskan kucingnya dan memegang kedua tangan Kian Lee.
“Aihh, Twako, kau hebat! Engkaulah orang pertama yang mengatakan bahwa engkau tidak takut kepada ayahku! Padahal semua orang takut. Memang dia seorang ayah yang baik, akan tetapi.... kadang-kadang.... aku pun takut kepadanya. Dia bisa baik, terutama kepadaku, akan tetapi bisa juga.... hemm.... amat kejam.... ah, sudahlah, tidak baik membicarakan ayah sendiri, bukan?”
Kian Lee mengangguk, terheran-heran. Bagaimana seorang iblis tua seperti Hek-tiauw Lo-mo dapat mempunyai seorang anak perempuan begini cantik jelita?
“Engkau tadi tampaknya lebih ketakutan ketika mengira bahwa yang datang adalah bibi gurumu. Mengapa? Siapakah bibi gurumu?”
“Bibi guruku ada dua orang. Twa-sukouw, bibi guru pertama, cukup menyeramkan akan tetapi tidaklah seperti Ji-sukouw, bibi guru ke dua yang amat mengerikan. Kalau dia yang datang dan melihatmu, aku tidak tahu bagaimana akan bisa menyelamatkan engkau.”
“Kenapa?”
“Dia tidak akan melepaskan pemuda tampan dan gagah seperti engkau, tentu engkau akan dilarikannya dan paling lama tiga hari engkau akan kedapatan mati di suatu tempat.”
“Hemm, apa yang dilakukannya?”
“Aku sendiri tidak tahu. Akan tetapi ayah pun membenci kebiasaannya yang mengerikan itu. Setiap kali dia tentu menculik pemuda tampan dan membunuhnya, aku tidak tahu apa yang dilakukannya, hanya pernah aku melihat pemuda-pemuda yang dibunuhnya. Mengerikan!” Hwee Li bergidik.
Kian Lee teringat akan nenek bertongkat yang amat lihai itu, yang membuat pahanya terluka.
“Seperti apakah kedua orang bibi gurumu itu?” tanyanya.
“Yang seorang buruk sekali akan tetapi yang ke dua cantik sekali. Engkau tentu telah bertemu dengan bibiku yang cantik itu, dan untung engkau tldak sampai dibawanya lari, hanya terkena senjatanya. Pahamu itu terkena senjata rahasia peledak, bukan?”
Kian Lee mengangguk.
“Benar, akan tetapi yang melepasnya bukanlah seorang wanita cantik, melainkan seorang nenek buruk sekali, nenek yang bertongkat dan....”
“Ah, dia itu Twa-sukouw!” Hwee Li berseru heran. “Tentu dia telah mencuri senjata rahasia Ji-sukouw! Ketahuilah, ahli pembuat senjata rahasia peledak itu adalah Ji-sukouw. Eh, Twako, kenapa kau sampai bertanding melawan Twa-sukouw?”
“Hemm.... karena dia membantu pemberontak.”
“Pemberontak, pemberontak! Urusan kerajaan dan pemberontak ini menjemukan hatiku, Twako! Agaknya Ayah dan kedua orang bibi guruku melibatkan diri pula. Entah di pihak siapa Ayah berdiri, dan Twa-sukouw, menurut penuturanmu, jelas berdiri di pihak pemberontak. Entah pula dengan Ji-sukouw. Hem, aku jemu! Twako, mari kau antarkan aku kembali ke Pulau Neraka saja, kau tentu kaget mendengar bahwa aku datang dari Pulau Neraka, bukan?”
“Tidak, Hwee Li. Aku tahu bahwa ayahmu adalah Ketua Pulau Neraka berjuluk Hek-tiauw Lo-mo.”
“Eh, jadi kau sudah mengenal Ayah sebagai Ketua Pulau Neraka?”
“Aku sudah mengenal ayahmu, akan tetapi tidak tahu tentang bibi gurumu dan tentang dirimu baru sekarang aku mengetahuinya. Dua tahun lebih yang lalu aku dan adikku pernah berkunjung ke Pulau Neraka dan kau tidak ada di sana....”
“Hehh....? Benarkah? Dua tahun yang lalu.... hemm, aku masih dikurung di dalam kamar latihan, tidak boleh keluar sama sekali dan baru setahun yang lalu aku diperbolehkan keluar oleh Ayah. Dua tahun yang lalu....? Kakak beradik....? Wah, wah, aku sudah mendengar tentang keributan itu! Jadi engkau dari Pulau Es?”
Kian Lee mengangguk dan Hwee Li meloncat mundur ke belakang, memandang ketakutan.
“Tentu engkau akan membunuh aku!”
“Tidak, tidak Hwee Li. Engkau gadis yang baik sekali, mengapa aku harus membunuhmu?”
“Engkau dan adikmu itu putera-putera Pendekar Siluman....”
“Pendekar Super Sakti!”
“To-cu (Majikan Pulau) dari Pulau Es musuh besar Ayah!”
“Tapi aku tidak memusuhimu, juga tidak memusuhi ayahmu atau siapapun juga, Hwee Li.”
“Benarkah? Aku girang sekali kalau begitu. Aihh, putera Pulau Es. Pantas engkau she Suma! Wah, kalau begitu, engkau harus cepat pergi dari sini, Twako. Kalau Ayah tahu engkau putera dari Pulau Es, tentu celaka. Dan kalau Ji-sukouw keburu datang, engkau pun tentu akan diculiknya. Pergilah, akan tetapi, jangan kau lupa kepadaku, ya?”
Kian Lee mengangguk dan tersenyum.
“Engkau anak manis, engkau telah menyelamatkan aku, Hwee Li. Mana mungkin aku bisa lupa kepadamu?”
Kian Lee lalu berjalan ke pintu, agak terpincang. Setelah mengintai dari belakang pintu ke luar dan tidak melihat siapa pun, dia membuka daun pintu dan hendak melangkah keluar.
“Twako....!”
Kian Lee menoleh dan melihat gadis cilik itu berdiri pucat, dia melangkah masuk lagi, berdiri di depan Hwee Li. Gadis ini cantik luar biasa, sungguhpun masih belum dewasa benar sudah nampak kecantikannya.
“Ada apakah, Hwee Li?”
“Twako, kau benar-benar.... tidak akan lupa kepadaku?”
Kian Lee tersenyum dan menggeleng kepalanya.
“Dan aku.... aku suka kepadamu, Twako!”
Kian Lee terharu, dan meraba serta mencubit dagu yang manis itu.
“Tentu saja, engkau seperti adikku sendiri!”
Mulut yang manis itu cemberut.
“Aku tidak suka menjadi adikmu!”
“Habis bagaimana?”
“Kita adalah sahabat, bukan kakak dan adik.”
“Baiklah, engkau sahabatku yang paling baik dan manis, Hwee Li. Eh, aku lupa untuk bertanya tadi. Siapakah nama kedua orang sukouwmu itu?”
Kian Lee perlu untuk menanyakan nama mereka, terutama Si Nenek Lihai karena nenek itu telah menjadi musuhnya, membantu pemberontak, bahkan telah melukainya.
“Twa-sukouw berjuluk Hek-wan Kui-bo (Nenek Setan Lutung Hitam), dan Ji-sukouw berjuluk Mauw Siauw Mo-li (Siluman Kucing). Engkau berhati-hatilah kalau bertemu dengan mereka, Twako, terutama kalau bertemu dengan Ji-sukouw. Dia lebih lihai dan lebih berbahaya dari Twa-sukouw.”
“Terima kasih, Hwee Li. Nah, selamat tinggal.”
“Jangan lupa kepadaku, Twako, dan sekali-kali carilah aku.”
Kian Lee mengangguk, tersenyum lalu meloncat keluar dari pintu, akan tetapi ketika dia membalik, tanpa disengaja dia menginjak sesuatu yang lunak.
“Awas, Twako....!”
Hwee Li mengingatkan, Kian Lee meloncat ketika mendengar suara kucing menjerit dan kucing yang terinjak ekornya itu menyerangnya dengan kaki depan, mencakar, akan tetapi Kian Lee telah leblh dulu mengelak.
“Wah, berbahaya! Semua kuku dari kucing-kucing di sini mengandung racun berbahaya, Twako.”
“Ehh?”
“Ji-sukouw suka sekali memelihara kucing dan.... eh, dia sendiri sifatnya seperti kucing. Semua kucing ini adalah peliharaannya.”
Kian Lee menghela napas. Aneh-aneh orang dunia kang-ouw ini, pikirnya. Dan setelah Ketua Pulau Neraka dan dua orang sumoinya itu muncul, tentu akan terjadi geger. Dia mengangguk lagi dan kini melesat ke luar, sebentar saja lenyap meninggalkan Hwee Li yang cemberut dikelilingi kucing-kucing itu.
**** 077 ****
Tidak ada komentar:
Posting Komentar