“Ouhhh.... kakiku....” keluhnya dengan muka pucat dan menahan rasa nyeri dengan menggigit bibirnya. “Terima kasih.... atas bantuan Tuan....”
“Kau tidak bisa jalan?” Bun Beng bertanya kepada wanita yang berpakaian seperti pelayan itu.
Wanita itu menggeleng kepalanya.
“Di mana rumahmu? Apakah engkau juga pengungsi?”
“Bukan, saya adalah pelayan dari gedung di sana itu....”
“Kalau begitu, mari kuantar ke sana,”
Kata Bun Beng tanpa ragu-ragu lagi dan dia lalu memondong tubuh wanita itu dan membawanya menuju ke gedung yang ditunjuk oleh wanita pelayan itu.
“Ah, engkau sungguh amat baik, Tuan...”
Pelayan itu berkata dengan terharu. Selamanya sejak kecil dia adalah pelayan yang melayani orang, yang dipandang rendah dan yang selalu harus menghormat orang lain. Baru sekarang ini dia merasa diperhatikan orang, dianggap sebagai manusia, ditolong dan orang yang gagah perkasa dan bersikap seperti seorang bangsawan tinggi biarpun pakaiannya sederhana ini malah tidak ragu-ragu untuk memondongnya!
“Dalam keadaan seperti ini kita harus tolong-menolong....” Bun Beng menjawab singkat, mengerti akan perasaan hati pelayan ini.
Dia terkejut juga ketika tiba di pekarangan gedung itu. Sebuah gedung yang besar dan megah! Beberapa orang pelayan pria dan wanita berlari keluar dan mereka menjadi ribut-ribut melihat pelayan setengah tua itu dipondong orang.
“Eh, Kim-ma, engkau kenapa?”
Mereka itu cepat menyambut dan menggotong Kim-ma ketika mendengar bahwa Kim-ma mengalami luka karena tergencet arus manusia. Ada yang mengomel kenapa dalam suasana seperti itu Kim-ma keluar ke jalan raya!
Para pelayan itu menggotong Kim-ma ke dalam dan agaknya sudah melupakan penolong pelayan itu. Bun Beng juga tidak peduli dan dia sudah akan keluar lagi ketika tiba-tiba dari dalam keluar empat orang dengan langkah tergesa-gesa.
Melihat empat orang ini, Bun Beng menjadi heran karena tentu saja dia mengenal mereka, terutama sekali seorang di antara mereka, yang bertubuh gendut dan di pinggangnya terdapat sebatang golok besar! Mereka itu bukan lain adalah empat orang yang pernah ribut di dalam warung mi dan bertempur melawan pemuda tampan berpedang.
Sementara itu, ketika Si Gendut melihat Bun Beng, dia terkejut sekali. Tentu saja dia mengenal laki-laki setengah tua ini yang duduk semeja dengan Tek Hoat. Si Gendut tokoh Tiat-ciang-pang ini menduga bahwa tentu laki-laki ini pun anak buah Tek Hoat yang dia tahu telah berkhianat terhadap beng-cu karena pemuda itu bersekongkol dengan pemberontak. Tentu orang ini pun merupakan mata-mata pemberontak.
“Tangkap mata-mata!” bentaknya sambil mencabut golok besarnya, diturut oleh tiga orang temannya yang segera mengurung Bun Beng.
Pendekar ini maklum bahwa dalam keadaan sekacau itu, tidak ada gunanya ribut mulut karena memberi keterangan pun agaknya tidak akan dipercaya oleh Si Gendut yang berangasan dan bodoh ini.
Empat orang tokoh Tiat-ciang-pang itu bersama anak buahnya yang berjumlah lebih dua puluh orang, memang menerima tugas dari Ceng Ceng untuk mencari pemuda laknat musuh besarnya dan sekaligus menyusul dan menyelidiki Tek Hoat yang tidak dipercayanya.
Ketika Si Gendut dan kawan-kawannya memperoleh kenyataan bahwa Tek Hoat berhubungan dengan pemberontak, mereka terkejut sekali. Sebagai anggauta-anggauta Tiat-ciang-pang, biarpun mereka itu terdiri dari golongan perampok dan pencopet, akan tetapi mereka benci kepada pemberontak. Maka mereka segera menemui Tek Hoat di dalam warung itu, menuntut hasil penyelidikan Tek Hoat tentang musuh beng-cu, dan juga minta pertanggungan jawabnya karena pemuda itu mengadakan hubungan dengan pemberontak! Maka seperti telah diceritakan di bagian depan, Tek Hoat tidak sudi melayani mereka dan merobohkan mereka lalu pergi.
Rombongan orang Tiat-ciang-pang ini melakukan pengejaran dan mereka pun memasuki kota Koan-bun. Melihat pergolakan di situ, tanpa ragu-ragu lagi mereka lalu menghubungi Perwira Phang di gedung itu yang mereka tahu adalah seorang yang setia kepada kerajaan, dan mereka menawarkan tenaga bantuan mereka!
Di tempat itu mereka bertemu dengan banyak orang kang-ouw yang lihai-lihai dan tentu saja penawaran bantuan empat orang Tiat-ciang-pang yang mewakili rombongan mereka dua puluh orang itu diterima baik oleh Perwira Phang. Kemudian mereka disuruh mengatur anak buah mereka untuk menyelidiki keadaan pasukan asing yang kabarnya mengurung kota Koan-bun itu. Maka Si Gendut dan teman-temannya keluar dan bertemu dengan Bun Beng yang mereka sangka mata-mata pemberontak dan langsung mengeroyoknya sambil berteriak marah.
Akan tetapi tentu saja mereka ini sama sekali bukan lawan Bun Beng. Pendekar ini membiarkan mereka menerjangnya, lalu menyambut dengan gerakan kedua tangannya dan dalam beberapa gebrakan saja mereka roboh terpelanting dan terjengkang. Si Gendut berteriak-teriak dan ketika Bun Beng sudah melangkah hendak pergi dari pekarangan itu, tiba-tiba terdengar bentakan-bentakan nyaring dan terpaksa dia berhenti dan menengok.
“Kau tidak bisa jalan?” Bun Beng bertanya kepada wanita yang berpakaian seperti pelayan itu.
Wanita itu menggeleng kepalanya.
“Di mana rumahmu? Apakah engkau juga pengungsi?”
“Bukan, saya adalah pelayan dari gedung di sana itu....”
“Kalau begitu, mari kuantar ke sana,”
Kata Bun Beng tanpa ragu-ragu lagi dan dia lalu memondong tubuh wanita itu dan membawanya menuju ke gedung yang ditunjuk oleh wanita pelayan itu.
“Ah, engkau sungguh amat baik, Tuan...”
Pelayan itu berkata dengan terharu. Selamanya sejak kecil dia adalah pelayan yang melayani orang, yang dipandang rendah dan yang selalu harus menghormat orang lain. Baru sekarang ini dia merasa diperhatikan orang, dianggap sebagai manusia, ditolong dan orang yang gagah perkasa dan bersikap seperti seorang bangsawan tinggi biarpun pakaiannya sederhana ini malah tidak ragu-ragu untuk memondongnya!
“Dalam keadaan seperti ini kita harus tolong-menolong....” Bun Beng menjawab singkat, mengerti akan perasaan hati pelayan ini.
Dia terkejut juga ketika tiba di pekarangan gedung itu. Sebuah gedung yang besar dan megah! Beberapa orang pelayan pria dan wanita berlari keluar dan mereka menjadi ribut-ribut melihat pelayan setengah tua itu dipondong orang.
“Eh, Kim-ma, engkau kenapa?”
Mereka itu cepat menyambut dan menggotong Kim-ma ketika mendengar bahwa Kim-ma mengalami luka karena tergencet arus manusia. Ada yang mengomel kenapa dalam suasana seperti itu Kim-ma keluar ke jalan raya!
Para pelayan itu menggotong Kim-ma ke dalam dan agaknya sudah melupakan penolong pelayan itu. Bun Beng juga tidak peduli dan dia sudah akan keluar lagi ketika tiba-tiba dari dalam keluar empat orang dengan langkah tergesa-gesa.
Melihat empat orang ini, Bun Beng menjadi heran karena tentu saja dia mengenal mereka, terutama sekali seorang di antara mereka, yang bertubuh gendut dan di pinggangnya terdapat sebatang golok besar! Mereka itu bukan lain adalah empat orang yang pernah ribut di dalam warung mi dan bertempur melawan pemuda tampan berpedang.
Sementara itu, ketika Si Gendut melihat Bun Beng, dia terkejut sekali. Tentu saja dia mengenal laki-laki setengah tua ini yang duduk semeja dengan Tek Hoat. Si Gendut tokoh Tiat-ciang-pang ini menduga bahwa tentu laki-laki ini pun anak buah Tek Hoat yang dia tahu telah berkhianat terhadap beng-cu karena pemuda itu bersekongkol dengan pemberontak. Tentu orang ini pun merupakan mata-mata pemberontak.
“Tangkap mata-mata!” bentaknya sambil mencabut golok besarnya, diturut oleh tiga orang temannya yang segera mengurung Bun Beng.
Pendekar ini maklum bahwa dalam keadaan sekacau itu, tidak ada gunanya ribut mulut karena memberi keterangan pun agaknya tidak akan dipercaya oleh Si Gendut yang berangasan dan bodoh ini.
Empat orang tokoh Tiat-ciang-pang itu bersama anak buahnya yang berjumlah lebih dua puluh orang, memang menerima tugas dari Ceng Ceng untuk mencari pemuda laknat musuh besarnya dan sekaligus menyusul dan menyelidiki Tek Hoat yang tidak dipercayanya.
Ketika Si Gendut dan kawan-kawannya memperoleh kenyataan bahwa Tek Hoat berhubungan dengan pemberontak, mereka terkejut sekali. Sebagai anggauta-anggauta Tiat-ciang-pang, biarpun mereka itu terdiri dari golongan perampok dan pencopet, akan tetapi mereka benci kepada pemberontak. Maka mereka segera menemui Tek Hoat di dalam warung itu, menuntut hasil penyelidikan Tek Hoat tentang musuh beng-cu, dan juga minta pertanggungan jawabnya karena pemuda itu mengadakan hubungan dengan pemberontak! Maka seperti telah diceritakan di bagian depan, Tek Hoat tidak sudi melayani mereka dan merobohkan mereka lalu pergi.
Rombongan orang Tiat-ciang-pang ini melakukan pengejaran dan mereka pun memasuki kota Koan-bun. Melihat pergolakan di situ, tanpa ragu-ragu lagi mereka lalu menghubungi Perwira Phang di gedung itu yang mereka tahu adalah seorang yang setia kepada kerajaan, dan mereka menawarkan tenaga bantuan mereka!
Di tempat itu mereka bertemu dengan banyak orang kang-ouw yang lihai-lihai dan tentu saja penawaran bantuan empat orang Tiat-ciang-pang yang mewakili rombongan mereka dua puluh orang itu diterima baik oleh Perwira Phang. Kemudian mereka disuruh mengatur anak buah mereka untuk menyelidiki keadaan pasukan asing yang kabarnya mengurung kota Koan-bun itu. Maka Si Gendut dan teman-temannya keluar dan bertemu dengan Bun Beng yang mereka sangka mata-mata pemberontak dan langsung mengeroyoknya sambil berteriak marah.
Akan tetapi tentu saja mereka ini sama sekali bukan lawan Bun Beng. Pendekar ini membiarkan mereka menerjangnya, lalu menyambut dengan gerakan kedua tangannya dan dalam beberapa gebrakan saja mereka roboh terpelanting dan terjengkang. Si Gendut berteriak-teriak dan ketika Bun Beng sudah melangkah hendak pergi dari pekarangan itu, tiba-tiba terdengar bentakan-bentakan nyaring dan terpaksa dia berhenti dan menengok.
Terkejut jugalah dia ketika melihat di bawah penerangan lampu-lampu yang tergantung di depan dan kanan kiri gedung itu, belasan orang yang bergerak dengan cepat dan sigap sekali mengejarnya dan mengurungnya! Mereka itu terdiri dari bermacam orang, semuanya laki-laki, ada yang muda dan ada yang tua, pakaian dan sikap mereka jelas membayangkan orang-orang kang-ouw yang memiliki kepandaian tinggi.
“Mata-mata pemberontak, menyerahlah engkau!” bentak seorang diantara mereka yang sudah agak tua namun masih gagah sikapnya.
Bun Beng tercengang karena dia seperti pernah mengenal orang ini akan tetapi sudah lupa lagi. Sebelum dia menjawab, dua orang diantara mereka sudah meloncat maju dan hendak menangkap kedua lengannya dari kanan kiri. Bun Beng mengerutkan alisnya dan sekali lengannya bergerak, dua orang itu terlempar lima meter jauhnya dan terbanting terguling-guling!
Semua orang terkejut sekali menyaksikan kehebatan tenaga ini.
“Kau melawan? Bagus, engkau sudah bosan hidup agaknya!” Belasan orang itu lalu mencabut senjata masing-masing dan menerjang maju.
Bun Beng melihat bahwa gerakan mereka itu tidak boleh dipandang ringan, sama sekali tidak bisa disamakan dengan Si Gendut dan teman-temannya. Dari gerakan mereka dia tahu bahwa mereka itu rata-rata memiliki ilmu silat tinggi dan merupakan lawan yang tangguh juga kalau maju sekaligus sedemikian banyaknya. Dia lalu meloncat dan menggunakan kecepatan gerak tubuhnya, mencelat ke sana-sini diantara sambaran sinar senjata dan dalam belasan jurus saja dia sudah mampu membagi tamparan sehingga empat lima orang kehilangan senjata mereka yang terlempar ke sana-sini.
“Mundur semua....!” Tiba-tiba terdengar suara melengking nyaring. “Dia bukan lawan kalian, biarkan aku menghadapinya!”
Suara ini nyaring sekali, jelas bahwa pembicaranya, seorang wanita, memiliki khi-kang yang amat tinggi sehingga mengejutkan hati Bun Beng. Maklum bahwa dia berhadapan dengan lawan lihai, dia cepat meloncat ke atas, berjungkir balik dan turun melayang seperti seekor burung di depan sebuah patung singa yang besar, patung batu yang berada di depan gedung itu dengan maksud bahwa di tempat itu, dengan punggung terlindung arca besar ini, dia tidak akan dapat dibokong musuh.
Wanita itu yang baru keluar dari gedung dengan tangan kosong, bagaikan seekor burung walet saja telah melayang mengejar Bun Beng dan bagaikan sehelai bulu ringannya, kedua kaki yang kecil bersepatu indah itu hinggap di atas tanah tanpa mengeluarkan suara sedikit pun, menandakan bahwa gin-kangnya sudah mendekati kesempurnaan. Bun Beng merasa tegang dan siap sedia karena maklum bahwa lawan ini benar-benar hebat bukan main dan dia pun merasa heran mengapa tempat ini penuh dengan orang-orang pandai.
Kini mereka berhadapan dan sinar lampu menerangi tempat itu, memungkinkan mereka untuk saling pandang. Seperti ada halilintar menyambar dan tepat mengenai kedua orang itu, seketika timbul perubahan pada wajah Bun Beng dan wanita itu. Bun Beng terbelalak, mukanya pucat, alisnya berkerut, mulutnya ternganga dan seluruh tubuhnya berkeringat. Dia terhuyung dan terpaksa menyandarkan diri pada arca singa itu agar tidak roboh.
Wanita itu amat cantik biarpun usianya sudah mendekati empat puluh tahun, sedikitnya tiga puluh lima tahun. Pakaiannya indah, sikapnya agung, sepasang matanya seperti bintang dan bersinar tajam sekali, gerak-geriknya gesit kuat namun halus. Akan tetapi pada saat itu, dia pun memandang pucat, matanya terbelalak, tubuhnya menggigil.
“Kau.... kau....?”
Bun Beng berhasil mengeluarkan suara yang gemetar karena seujung rambut pun dia tidak mengira akan berjumpa dengan wanita ini di tempat itu.
“Kau.... Gak.... Suheng.... aughh....!”
Puteri Milana memejamkan matanya sehingga air mata yang sudah memenuhi pelupuk mata itu mengalir keluar, napasnya sesak dan lehernya seperti dicekik rasanya, dia terhuyung, menggerakkan tangan kirinya ke leher dan tentu dia sudah roboh ke atas tanah kalau saja Bun Beng tidak cepat menyambarnya.
“Milana.... Sumoi....!”
Dia berbisik, sejenak dia mendekap tubuh itu dengan penuh perasaan kasih sayang, dengan penuh perasaan rindu dendam ke dadanya, seolah-olah dia hendak memasukkan tubuh itu ke dalam tubuhnya sendiri melalui penekanan itu agar tidak terpisah lagi, air matanya bercucuran dan dari tenggorokannya keluar bunyi aneh seperti keluhan seekor binatang yang terluka.
Akan tetapi Bun Beng segera sadar akan keadaan Milana dan tanpa mempedulikan pandang mata terheran-heran dari semua orang kang-ouw itu, dia memondong tubuh Milana dan melangkah ke arah gedung.
“Tahan....!” Beberapa orang kang-ouw meloncat dan mengepung dengan pedang di tangan.
“Saudara-saudara, mundurlah! Dia adalah suheng dari Sang Puteri!”
Tiba-tiba orang tua yang pertama kali menegur Bun Beng itu berseru keras, kemudian menghadapi Gak Bun Beng sambil menjura.
“Gak-taihiap, maafkan saya tadi yang tidak mengenal Taihiap.”
Kini Bun Beng teringat semua. Pertemuannya dengan Milana seolah-olah membuka tabir yang selama ini menutupi ingatannya karena dia sudah tidak mempedulikan lagi akan keadaan di sekelilingnya, tidak mau lagi mengingat-ingat urusan yang lalu.
“Ah, engkau tentu Hoo-ciangkun, pengawal istana, bukan? Sumoi pingsan dan dia menderita pukulan batin, harus cepat ditolong,”
“Silakan, Taihiap....”
Pada saat itu muncullah seorang perwira dan dia inilah Perwira Phang, pemilik gedung itu. Dia tadi pun sudah keluar dan menyaksikan segalanya dan mendengar percakapan antara Hoo-ciangkun dengan laki-laki gagah yang memondong Puteri Milana itu, dia pun cepat-cepat mempersilakan Bun Beng masuk.
Dengan pengerahan sin-kangnya, Gak Bun Beng menyalurkan hawa hangat untuk membantu Milana yang telah direbahkan di atas pembaringan itu agar siuman kembali. Mereka hanya berdua di kamar itu karena para orang kang-ouw tidak ada yang berani tinggal di situ, juga para pelayan disuruh keluar oleh Bun Beng karena pendekar ini maklum bahwa percakapan antara mereka setelah Milana siuman nanti tidak boleh didengar oleh lain telinga.
Milana mengeluh lirih, dan begitu membuka matanya dia memandang ke kanan kiri sambil memanggil,
“Suheng.... Gan Bun Beng....”
“Aku di sini, Sumoi.”
Milana menengok, melihat Bun Beng mendekati pembaringan lalu menubruk, kedua lengannya merangkul, mukanya disembunyikan ke atas dada pria yang selamanya dicintanya ini dan dia menangis.
“Suheng, mengapa engkau menghilang selama belasan tahun ini....?”
Bun Beng menarik napas panjang.
“Sumoi, apa kebaikannya kita saling bertemu?”
“Suheng, aku menderita selama ini....”
“Jangan mengira aku pun hidup bahagia, Sumoi....”
Hening sejenak, hanya terdengar isak Milana di atas dada Bun Beng. Gak Bun Beng lupa diri dan dia merangkul, mengelus rambut yang halus itu, seperti dulu, belasan tahun yang lalu, sudah lama sekali, ketika dia pun memeluk dan mengelus rambut itu penuh kasih sayang.
“Suheng, kau.... kau kejam....” Milana terisak.
“Ahh, Milana, mengapa kau bisa berkata demikian....?”
Bukankah dara kekasihnya itu yang dulu lebih dulu menikah? Akan tetapi dia tidak tega menuduhnya demikian maka dia melanjutkan,
“Nasib kita yang kejam, Sumoi.... dan.... dan ingatlah, kau sudah bersuami, tidak baik begini....”
“Akan tetapi aku.... aku....”
Milana tidak melanjutkan kata-katanya dan dengan halus Bun Beng melepaskan tangan mereka yang saling rangkul itu dan melangkah mundur, aman dari jangkauan tangan Milana dan mereka kini berdiri saling pandang, sampai lama mereka tidak mengeluarkan kata-kata. Memang dalam saat seperti itu, kata-kata sudah tidak ada gunanya lagi karena sinar mata mereka telah saling mengeluarkan seribu satu macam kata-kata dan mereka sudah dapat saling menangkap isi hati masing-masing.
Mata Milana berkedip-kedip, bibirnya mulai tsrsenyum manis dan wajahnya tidak pucat lagi.
“Gak-Suheng, kau memang nakal. Mengapa lalu membiarkan diri tenggelam dalam duka dan tidak pernah muncul lagi? Mengapa ketika bertemu di kota raja kau lantas melarikan diri? Suheng, aku masih Milana, sumoimu yang dulu itu....”
Bun Beng menggeleng kepalanya.
“Sungguhpun bagiku engkau masih Milana yang dulu, tak pernah berubah sampai aku mati, akan tetapi.... tidak boleh begitu, Sumoi, suamimu....”
“Hushh, baiklah, kita tidak bicara tentang itu sekarang ini. Belum waktunya, Suheng, apalagi aku menghadapi tugas berat menumpas pemberontak. Kita sudah siap. Jenderal Kao sudah siap dengan pasukan dari kota raja dan dari sisa pasukannya yang melarikan diri dari Teng-bun, dan pertemuanku denganmu ini sungguh merupakan peristiwa mengagetkan namun juga membahagiakan, baik bagiku pribadi maupun bagi perjuangan menumpas pemberontak karena aku memperoleh bantuan yang luar biasa berupa tenagamu, Suheng, dan....”
Tiba-tiba dua orang berlari memasuki kamar itu dengan sikap tegang. Mereka itu adalah Perwira Phang pemilik gedung itu dan Hoo-ciangkun pembantu Milana.
“Celaka, rumah ini telah terkurung oleh pasukan pemberontak!”
“Hemm, bagaimana mungkin mereka tahu? Kita semua terdiri dari orang-orang sendiri, dan para pelayan pun tidak ada yang keluar....”
“Ada seorang pelayan wanita tua yang terhimpit dan kutolong tadi,” tiba-tiba Bun Beng berkata.
“Ah, Kim-ma! Benar juga!” Phang-ciangkun membanting kakinya. “Kiranya dia telah dibeli oleh pemberontak. Tentu dia yang membocorkan rahasia bahwa Paduka berada di sini!” katanya kepada Milana.
“Tidak perlu gelisah. Kita dapat mudah menerjang ke luar. Akan tetapi bagaimana dengan berita pasukan asing itu?”
“Agaknya itu pasukan dari barat yang datang melalui padang pasir di utara. Kabarnya dipimpin oleh Raja Tambolon sendiri. Dan kabarnya rumah Kepala Daerah dan markas sudah pula dikurung pasukan pemberontak.”
“Hemm, sudah waktunya bagi kita untuk pergi. Gak-suheng, kami akan segera keluar dari kota ini untuk bergabung dengan Jenderal Kao. Harap kau suka ikut dan membantu kami.”
“Tentu saja aku suka membantu, Sumoi. Akan tetapi aku mempunyai tugas yang lebih penting lagi, yaitu mencari Syanti Dewi....”
“Puteri Bhutan? Kiranya engkau yang telah menolongnya! Bukankah dia berada di Teng-bun dan aku sudah mengutus dua orang adikku....”
“Aku sudah berjumpa dengan kedua Sute Kian Lee dan Kian Bu, dan sebelum mereka datang aku sudah menyelamatkan puteri itu. Kami berempat tiba di sini dan tadi di dalam keributan, Sang Puteri itu terpisah dariku, juga kedua orang Sute. Maka aku akan mencari mereka lebih dulu....”
Terdengar suara hiruk-pikuk di luar dan agaknya para penjaga sudah mulai diserbu pasukan pemberontak yang mengepung.
“Baiklah, waktu tidak ada lagi untuk bicara. Kami pun membutuhkan tenaga bantuan dari dalam. Sebaiknya kalau Suheng dan dua orang adikku merupakan tenaga bantuan dari dalam. Kalau bisa menghubungi orang-orang Tiat-ciang-pang lebih baik, Suheng, mereka adalah bala bantuan yang lumayan bagi kita....”
“Si Gendut tadi....”
“Ya, dan masih banyak lagi. Nah, mari kita keluar. Suheng, selamat berpisah.... dan....”
Karena di situ terdapat banyak orang, Milana tidak dapat melanjutkan kata-katanya, hanya pandang matanya saja yang penuh arti dapat diterima oleh Bun Beng. Jelas bagi pendekar ini bahwa Sang Puteri menginginkan agar dia tidak pergi menyembunyikan diri lagi, agar mereka dapat bercakap-cakap lebih lanjut. Dia mengangguk dan mereka semua segera lari keluar setelah Puteri Milana dan para perwira menyambar barang-barang yang berharga bagi mereka agar jangan terjatuh ke tangan pemberontak.
Di luar terjadilah pertandingan yang berat sebelah. Banyak sudah para penjaga, yaitu para perajurit anak buah Perwira Hoo, roboh oleh pasukan pemberontak yang selain jumlahnya dua puluh orang lebih, juga rata-rata memiliki kepandaian tinggi. Akan tetapi begitu Milana, Bun Beng dan orang-orang kang-ouw itu keluar dan menerjang, mereka mawut, roboh dan terlempar ke sana-sini seperti pohon-pohon tumbang diterjang sekawanan gajah mengamuk.
Dengan amat mudah Milana bersama para pengikutnya merobohkan semua pemberontak, lalu lari ke luar dan menghilang di dalam kegelapan malam. Bun Beng juga merobohkan beberapa orang lalu meloncat dan lenyap dari situ, jantungnya masih berdebar dan perasaan hangat masih memenuhi hatinya oleh pertemuan yang tidak terduga-duga dengan wanita bekas kekasihnya itu.
“Mata-mata pemberontak, menyerahlah engkau!” bentak seorang diantara mereka yang sudah agak tua namun masih gagah sikapnya.
Bun Beng tercengang karena dia seperti pernah mengenal orang ini akan tetapi sudah lupa lagi. Sebelum dia menjawab, dua orang diantara mereka sudah meloncat maju dan hendak menangkap kedua lengannya dari kanan kiri. Bun Beng mengerutkan alisnya dan sekali lengannya bergerak, dua orang itu terlempar lima meter jauhnya dan terbanting terguling-guling!
Semua orang terkejut sekali menyaksikan kehebatan tenaga ini.
“Kau melawan? Bagus, engkau sudah bosan hidup agaknya!” Belasan orang itu lalu mencabut senjata masing-masing dan menerjang maju.
Bun Beng melihat bahwa gerakan mereka itu tidak boleh dipandang ringan, sama sekali tidak bisa disamakan dengan Si Gendut dan teman-temannya. Dari gerakan mereka dia tahu bahwa mereka itu rata-rata memiliki ilmu silat tinggi dan merupakan lawan yang tangguh juga kalau maju sekaligus sedemikian banyaknya. Dia lalu meloncat dan menggunakan kecepatan gerak tubuhnya, mencelat ke sana-sini diantara sambaran sinar senjata dan dalam belasan jurus saja dia sudah mampu membagi tamparan sehingga empat lima orang kehilangan senjata mereka yang terlempar ke sana-sini.
“Mundur semua....!” Tiba-tiba terdengar suara melengking nyaring. “Dia bukan lawan kalian, biarkan aku menghadapinya!”
Suara ini nyaring sekali, jelas bahwa pembicaranya, seorang wanita, memiliki khi-kang yang amat tinggi sehingga mengejutkan hati Bun Beng. Maklum bahwa dia berhadapan dengan lawan lihai, dia cepat meloncat ke atas, berjungkir balik dan turun melayang seperti seekor burung di depan sebuah patung singa yang besar, patung batu yang berada di depan gedung itu dengan maksud bahwa di tempat itu, dengan punggung terlindung arca besar ini, dia tidak akan dapat dibokong musuh.
Wanita itu yang baru keluar dari gedung dengan tangan kosong, bagaikan seekor burung walet saja telah melayang mengejar Bun Beng dan bagaikan sehelai bulu ringannya, kedua kaki yang kecil bersepatu indah itu hinggap di atas tanah tanpa mengeluarkan suara sedikit pun, menandakan bahwa gin-kangnya sudah mendekati kesempurnaan. Bun Beng merasa tegang dan siap sedia karena maklum bahwa lawan ini benar-benar hebat bukan main dan dia pun merasa heran mengapa tempat ini penuh dengan orang-orang pandai.
Kini mereka berhadapan dan sinar lampu menerangi tempat itu, memungkinkan mereka untuk saling pandang. Seperti ada halilintar menyambar dan tepat mengenai kedua orang itu, seketika timbul perubahan pada wajah Bun Beng dan wanita itu. Bun Beng terbelalak, mukanya pucat, alisnya berkerut, mulutnya ternganga dan seluruh tubuhnya berkeringat. Dia terhuyung dan terpaksa menyandarkan diri pada arca singa itu agar tidak roboh.
Wanita itu amat cantik biarpun usianya sudah mendekati empat puluh tahun, sedikitnya tiga puluh lima tahun. Pakaiannya indah, sikapnya agung, sepasang matanya seperti bintang dan bersinar tajam sekali, gerak-geriknya gesit kuat namun halus. Akan tetapi pada saat itu, dia pun memandang pucat, matanya terbelalak, tubuhnya menggigil.
“Kau.... kau....?”
Bun Beng berhasil mengeluarkan suara yang gemetar karena seujung rambut pun dia tidak mengira akan berjumpa dengan wanita ini di tempat itu.
“Kau.... Gak.... Suheng.... aughh....!”
Puteri Milana memejamkan matanya sehingga air mata yang sudah memenuhi pelupuk mata itu mengalir keluar, napasnya sesak dan lehernya seperti dicekik rasanya, dia terhuyung, menggerakkan tangan kirinya ke leher dan tentu dia sudah roboh ke atas tanah kalau saja Bun Beng tidak cepat menyambarnya.
“Milana.... Sumoi....!”
Dia berbisik, sejenak dia mendekap tubuh itu dengan penuh perasaan kasih sayang, dengan penuh perasaan rindu dendam ke dadanya, seolah-olah dia hendak memasukkan tubuh itu ke dalam tubuhnya sendiri melalui penekanan itu agar tidak terpisah lagi, air matanya bercucuran dan dari tenggorokannya keluar bunyi aneh seperti keluhan seekor binatang yang terluka.
Akan tetapi Bun Beng segera sadar akan keadaan Milana dan tanpa mempedulikan pandang mata terheran-heran dari semua orang kang-ouw itu, dia memondong tubuh Milana dan melangkah ke arah gedung.
“Tahan....!” Beberapa orang kang-ouw meloncat dan mengepung dengan pedang di tangan.
“Saudara-saudara, mundurlah! Dia adalah suheng dari Sang Puteri!”
Tiba-tiba orang tua yang pertama kali menegur Bun Beng itu berseru keras, kemudian menghadapi Gak Bun Beng sambil menjura.
“Gak-taihiap, maafkan saya tadi yang tidak mengenal Taihiap.”
Kini Bun Beng teringat semua. Pertemuannya dengan Milana seolah-olah membuka tabir yang selama ini menutupi ingatannya karena dia sudah tidak mempedulikan lagi akan keadaan di sekelilingnya, tidak mau lagi mengingat-ingat urusan yang lalu.
“Ah, engkau tentu Hoo-ciangkun, pengawal istana, bukan? Sumoi pingsan dan dia menderita pukulan batin, harus cepat ditolong,”
“Silakan, Taihiap....”
Pada saat itu muncullah seorang perwira dan dia inilah Perwira Phang, pemilik gedung itu. Dia tadi pun sudah keluar dan menyaksikan segalanya dan mendengar percakapan antara Hoo-ciangkun dengan laki-laki gagah yang memondong Puteri Milana itu, dia pun cepat-cepat mempersilakan Bun Beng masuk.
Dengan pengerahan sin-kangnya, Gak Bun Beng menyalurkan hawa hangat untuk membantu Milana yang telah direbahkan di atas pembaringan itu agar siuman kembali. Mereka hanya berdua di kamar itu karena para orang kang-ouw tidak ada yang berani tinggal di situ, juga para pelayan disuruh keluar oleh Bun Beng karena pendekar ini maklum bahwa percakapan antara mereka setelah Milana siuman nanti tidak boleh didengar oleh lain telinga.
Milana mengeluh lirih, dan begitu membuka matanya dia memandang ke kanan kiri sambil memanggil,
“Suheng.... Gan Bun Beng....”
“Aku di sini, Sumoi.”
Milana menengok, melihat Bun Beng mendekati pembaringan lalu menubruk, kedua lengannya merangkul, mukanya disembunyikan ke atas dada pria yang selamanya dicintanya ini dan dia menangis.
“Suheng, mengapa engkau menghilang selama belasan tahun ini....?”
Bun Beng menarik napas panjang.
“Sumoi, apa kebaikannya kita saling bertemu?”
“Suheng, aku menderita selama ini....”
“Jangan mengira aku pun hidup bahagia, Sumoi....”
Hening sejenak, hanya terdengar isak Milana di atas dada Bun Beng. Gak Bun Beng lupa diri dan dia merangkul, mengelus rambut yang halus itu, seperti dulu, belasan tahun yang lalu, sudah lama sekali, ketika dia pun memeluk dan mengelus rambut itu penuh kasih sayang.
“Suheng, kau.... kau kejam....” Milana terisak.
“Ahh, Milana, mengapa kau bisa berkata demikian....?”
Bukankah dara kekasihnya itu yang dulu lebih dulu menikah? Akan tetapi dia tidak tega menuduhnya demikian maka dia melanjutkan,
“Nasib kita yang kejam, Sumoi.... dan.... dan ingatlah, kau sudah bersuami, tidak baik begini....”
“Akan tetapi aku.... aku....”
Milana tidak melanjutkan kata-katanya dan dengan halus Bun Beng melepaskan tangan mereka yang saling rangkul itu dan melangkah mundur, aman dari jangkauan tangan Milana dan mereka kini berdiri saling pandang, sampai lama mereka tidak mengeluarkan kata-kata. Memang dalam saat seperti itu, kata-kata sudah tidak ada gunanya lagi karena sinar mata mereka telah saling mengeluarkan seribu satu macam kata-kata dan mereka sudah dapat saling menangkap isi hati masing-masing.
Mata Milana berkedip-kedip, bibirnya mulai tsrsenyum manis dan wajahnya tidak pucat lagi.
“Gak-Suheng, kau memang nakal. Mengapa lalu membiarkan diri tenggelam dalam duka dan tidak pernah muncul lagi? Mengapa ketika bertemu di kota raja kau lantas melarikan diri? Suheng, aku masih Milana, sumoimu yang dulu itu....”
Bun Beng menggeleng kepalanya.
“Sungguhpun bagiku engkau masih Milana yang dulu, tak pernah berubah sampai aku mati, akan tetapi.... tidak boleh begitu, Sumoi, suamimu....”
“Hushh, baiklah, kita tidak bicara tentang itu sekarang ini. Belum waktunya, Suheng, apalagi aku menghadapi tugas berat menumpas pemberontak. Kita sudah siap. Jenderal Kao sudah siap dengan pasukan dari kota raja dan dari sisa pasukannya yang melarikan diri dari Teng-bun, dan pertemuanku denganmu ini sungguh merupakan peristiwa mengagetkan namun juga membahagiakan, baik bagiku pribadi maupun bagi perjuangan menumpas pemberontak karena aku memperoleh bantuan yang luar biasa berupa tenagamu, Suheng, dan....”
Tiba-tiba dua orang berlari memasuki kamar itu dengan sikap tegang. Mereka itu adalah Perwira Phang pemilik gedung itu dan Hoo-ciangkun pembantu Milana.
“Celaka, rumah ini telah terkurung oleh pasukan pemberontak!”
“Hemm, bagaimana mungkin mereka tahu? Kita semua terdiri dari orang-orang sendiri, dan para pelayan pun tidak ada yang keluar....”
“Ada seorang pelayan wanita tua yang terhimpit dan kutolong tadi,” tiba-tiba Bun Beng berkata.
“Ah, Kim-ma! Benar juga!” Phang-ciangkun membanting kakinya. “Kiranya dia telah dibeli oleh pemberontak. Tentu dia yang membocorkan rahasia bahwa Paduka berada di sini!” katanya kepada Milana.
“Tidak perlu gelisah. Kita dapat mudah menerjang ke luar. Akan tetapi bagaimana dengan berita pasukan asing itu?”
“Agaknya itu pasukan dari barat yang datang melalui padang pasir di utara. Kabarnya dipimpin oleh Raja Tambolon sendiri. Dan kabarnya rumah Kepala Daerah dan markas sudah pula dikurung pasukan pemberontak.”
“Hemm, sudah waktunya bagi kita untuk pergi. Gak-suheng, kami akan segera keluar dari kota ini untuk bergabung dengan Jenderal Kao. Harap kau suka ikut dan membantu kami.”
“Tentu saja aku suka membantu, Sumoi. Akan tetapi aku mempunyai tugas yang lebih penting lagi, yaitu mencari Syanti Dewi....”
“Puteri Bhutan? Kiranya engkau yang telah menolongnya! Bukankah dia berada di Teng-bun dan aku sudah mengutus dua orang adikku....”
“Aku sudah berjumpa dengan kedua Sute Kian Lee dan Kian Bu, dan sebelum mereka datang aku sudah menyelamatkan puteri itu. Kami berempat tiba di sini dan tadi di dalam keributan, Sang Puteri itu terpisah dariku, juga kedua orang Sute. Maka aku akan mencari mereka lebih dulu....”
Terdengar suara hiruk-pikuk di luar dan agaknya para penjaga sudah mulai diserbu pasukan pemberontak yang mengepung.
“Baiklah, waktu tidak ada lagi untuk bicara. Kami pun membutuhkan tenaga bantuan dari dalam. Sebaiknya kalau Suheng dan dua orang adikku merupakan tenaga bantuan dari dalam. Kalau bisa menghubungi orang-orang Tiat-ciang-pang lebih baik, Suheng, mereka adalah bala bantuan yang lumayan bagi kita....”
“Si Gendut tadi....”
“Ya, dan masih banyak lagi. Nah, mari kita keluar. Suheng, selamat berpisah.... dan....”
Karena di situ terdapat banyak orang, Milana tidak dapat melanjutkan kata-katanya, hanya pandang matanya saja yang penuh arti dapat diterima oleh Bun Beng. Jelas bagi pendekar ini bahwa Sang Puteri menginginkan agar dia tidak pergi menyembunyikan diri lagi, agar mereka dapat bercakap-cakap lebih lanjut. Dia mengangguk dan mereka semua segera lari keluar setelah Puteri Milana dan para perwira menyambar barang-barang yang berharga bagi mereka agar jangan terjatuh ke tangan pemberontak.
Di luar terjadilah pertandingan yang berat sebelah. Banyak sudah para penjaga, yaitu para perajurit anak buah Perwira Hoo, roboh oleh pasukan pemberontak yang selain jumlahnya dua puluh orang lebih, juga rata-rata memiliki kepandaian tinggi. Akan tetapi begitu Milana, Bun Beng dan orang-orang kang-ouw itu keluar dan menerjang, mereka mawut, roboh dan terlempar ke sana-sini seperti pohon-pohon tumbang diterjang sekawanan gajah mengamuk.
Dengan amat mudah Milana bersama para pengikutnya merobohkan semua pemberontak, lalu lari ke luar dan menghilang di dalam kegelapan malam. Bun Beng juga merobohkan beberapa orang lalu meloncat dan lenyap dari situ, jantungnya masih berdebar dan perasaan hangat masih memenuhi hatinya oleh pertemuan yang tidak terduga-duga dengan wanita bekas kekasihnya itu.
**** 073 ****
Tidak ada komentar:
Posting Komentar