Makin banyak Ceng Ceng bertemu dengan para rombongan pengungsi. Setelah Lembah Bunga Hitam tinggal lima belas li lagi jauhnya, dia memberikan kudanya kepada rombongan pengungsi terakhir, karena dia maklum bahwa hawa udara yang mulai bau wangi-wangi aneh itu amat berbahaya bagi kudanya. Dia melanjutkan perjalanan menuju ke Lembah Bunga Hitam dengan berlari-lari.
Dusun-dusun sudah kosong dan makin dekat dengan Lembah Bunga Hitam, makin mengerikanlah keadaannya. Dusun-dusun itu ditinggalkan penghuninya yang masih hidup, meninggalkan banyak mayat manusia dimana-mana. Pohon-pohon layu dan daunnya rontok menjadi gundul mengerikan. Bangkai-bangkai berserakan diatas tanah, dari bangkai binatang buas yang galak dan kuat seperti biruang hutan sampai kijang dan kelinci, dari belalang dan jengkerik sampai segala macam kadal, coro, kecoa, dan semut.
Juga anak-anak sungai dan selokan-selokan penuh dengan bangkai katak, ikan, yuyu, belut dan sebagainya. Semua bangkai mulai membusuk, maka dapat dibayangkan betapa hebatnya bau disepanjang jalan dan dusun-dusun itu. Merupakan daerah mati, daerah yang menyeramkan dimana maut memperlihatkan taring dan kukunya yang tajam meruncing.
Makin dekat dengan Lembah Bunga Hitam, makin mengerikan keadaannya, bahkan banyak tanah yang hangus seperti terbakar, ada tanah yang merekah retak-retak dan masih mengeluarkan asap, ada air hitam menetes-netes dari pohon seperti darah, air yang mengandung racun ganas!
Di samping kengerian yang dihadapinya, Ceng Ceng juga merasa tertarik bukan main karena segala macam racun yang diajarkan oleh subonya selama ini, sekarang dapat dia melihatnya dalam bentuk aslinya, melihat kenyataannya. Dia mengenal dari bentuk, warna, dan baunya, dan untuk setiap racun yang terdapat di situ, Ceng Ceng mengenal pula cara menolaknya, bahkan tubuhnya yang sudah dilatih dan diisi dengan hawa beracun boleh dikatakan kebal terhadap segala macam racun.
Ketika Ceng Ceng memasuki perkampungan terakhir yang berada diluar Lembah Bunga Hitam, perkampungan yang tadinya dihuni oleh anak buah Lembah Bunga Hitam tingkat terendah, dusun ini juga sudah kosong sama sekali dan di sini jelas nampak bekas-bekas pertandingan yang mengerikan karena banyak berserakan mayat-mayat yang membusuk, bahkan ada pula yang sudah tinggal rangkanya saja, padahal pertandingan baru berjalan tiga hari yang lalu.
Memang ada beberapa macam racun yang kalau mengenal tubuh orang lalu menggeroti kulit daging dengan cepatnya sehingga dalam waktu satu hari satu malam saja yang ada tinggal kerangkanya, karena yang lain-lainnya telah mencair dan habis.
Selain mayat-mayat ini, tampak pula binatang-binatang berbisa yang juga kebal terhadap racun-racun lain. Tampak kelabang, kalajengking dan ular-ular berbisa segala jenis, berkeliaran dan makan bangkai-bangkai binatang lain, ada pula beberapa ular jenis ular merah hitam tampak memperebutkan daging membusuk tubuh seorang manusia!
Ceng Ceng bergidik, apalagi ketika dia melihat seorang anak perempuan berusia kurang lebih sepuluh tahun rebah miring diatas tanah kering. Hatinya merasa ngeri dan kasihan akan tetapi juga terheran-heran melihat betapa mayat anak kecil ini masih utuh, hanya agaknya tidak lama lagi utuhnya karena di sekelilingnya terdapat banyak sekali ular berbisa yang seolah-olah menanti saat baik untuk nanti memperebutkan daging yang masih lunak dan utuh itu.
Tidak, pikir Ceng Ceng. Aku tidak mungkin membiarkan mayat anak itu dimakan ular-ular jahanam itu! Harus kuselamatkan mayat itu, akan kukubur baik-baik. Dia menghampiri mayat itu dan tiba diluar lingkaran ular-ular yang mengerumuni mayat anak kecil itu.
Tiba-tiba terdengar suara ketawa yang membuat bulu tengkuk Ceng Ceng bangun berdiri saking ngerinya karena suara ketawa itu keluar dari mulut mayat anak perempuan itu! Dan “mayat” itu kini bangkit duduk, wajahnya cantik mungil akan tetapi pucat sekali seperti mayat, dan sepasang matanya bersinar-sinar, mulutnya yang tertawa-tawa itu tiba-tiba kini berdesis-desis seperti suara ular.
Suara mendesis ini disambut oleh suara mendesis dari empat penjuru, dan bukan hanya ular-ular yang tadi berkerumun di situ saja yang bergerak, juga dari arah lain berdatangan banyak ular besar kecil yang mendesis-desis dan merayap secepatnya ke tempat itu, seolah-olah memenuhi panggilan anak perempuan itu!
Tiba-tiba, desis yang keluar dari mulut anak perempuan itu berubah dan terkejutlah Ceng Ceng ketika dia melihat betapa semua ular itu kini membalik dan seperti marah menyerbu ke arahnya! Sebentar saja ular-ular besar kecil, semuanya beracun, dipimpin oleh tujuh ekor ular sendok yang “berdiri” dan dengan leher berkembang menyembur-nyembur, mengurungnya dan anak perempuan itu kini sudah bangkit berdiri dan menari-nari kegirangan sambil tertawa-tawa, seolah-olah seorang anak kecil yang memperoleh permainan menarik sekali.
Mengertilah Ceng Ceng bahwa dia berhadapan dengan seorang bocah yang luar biasa, tentu anak dari golongan sesat yang amat lihai.
“Hemm....!” bentaknya dan dia melangkah maju kearah tujuh ekor ular sendok yang paling galak.
Tujuh ekor ular itu menyerangnya dengan berbareng, mematuknya. Ceng Ceng menggerakkan kedua lengannya setelah menyingsingkan lengan bajunya agar jangan tergigit robek. Tujuh ekor ular itu tentu saja tertarik dan kesemuanya lalu mematuk kearah ke dua lengan yang berkulit putih itu.
Ketika Ceng Ceng mengangkat kedua lengannya, tujuh ekor ular cobra itu bergantungan pada lengannya dan kini Ceng Ceng menggerakkan tangannya, mencengkeram kepala ular-ular itu yang menggigit lengannya, lalu sekali mengerahkan tenaganya, kepala tujuh ekor ular itu hancur dan bangkai ular itu dia lemparkan ke bawah.
Sementara itu, ular-ular yang lain sudah menyerbu, akan tetapi gigitan mereka sama sekali tidak mempengaruhi apa-apa pada tubuh dara itu, bahkan dia lalu menggerakkan kaki tangan dan menginjaki kepala ular, menangkapi dan membanting sehingga ular-ular itu menjadi morat-marit dan kacau balau, banyak yang mati, sisanya lalu ketakutan dan mulai menjauhkan diri.
Anak perempuan yang tadi menari-nari kegirangan, kini menghentikan tariannya, memandang dengan mata terbelalak, kemudian melangkah maju.
“Kau.... kau.... dapat mengalahkan ular-ularku....?”
Ceng Ceng menangkap kepala seekor ular yang sebesar lengannya dan panjangnya lebih dari satu meter, menggerakkan bangkai ular itu ke arah anak perempuan tadi.
“Plak! Plak!”
Biarpun anak perempuan itu berusaha mengelak, tetap saja ekor ular itu menyabet kedua pipinya. Anak itu menangis dan menutupi mukanya!
Dusun-dusun sudah kosong dan makin dekat dengan Lembah Bunga Hitam, makin mengerikanlah keadaannya. Dusun-dusun itu ditinggalkan penghuninya yang masih hidup, meninggalkan banyak mayat manusia dimana-mana. Pohon-pohon layu dan daunnya rontok menjadi gundul mengerikan. Bangkai-bangkai berserakan diatas tanah, dari bangkai binatang buas yang galak dan kuat seperti biruang hutan sampai kijang dan kelinci, dari belalang dan jengkerik sampai segala macam kadal, coro, kecoa, dan semut.
Juga anak-anak sungai dan selokan-selokan penuh dengan bangkai katak, ikan, yuyu, belut dan sebagainya. Semua bangkai mulai membusuk, maka dapat dibayangkan betapa hebatnya bau disepanjang jalan dan dusun-dusun itu. Merupakan daerah mati, daerah yang menyeramkan dimana maut memperlihatkan taring dan kukunya yang tajam meruncing.
Makin dekat dengan Lembah Bunga Hitam, makin mengerikan keadaannya, bahkan banyak tanah yang hangus seperti terbakar, ada tanah yang merekah retak-retak dan masih mengeluarkan asap, ada air hitam menetes-netes dari pohon seperti darah, air yang mengandung racun ganas!
Di samping kengerian yang dihadapinya, Ceng Ceng juga merasa tertarik bukan main karena segala macam racun yang diajarkan oleh subonya selama ini, sekarang dapat dia melihatnya dalam bentuk aslinya, melihat kenyataannya. Dia mengenal dari bentuk, warna, dan baunya, dan untuk setiap racun yang terdapat di situ, Ceng Ceng mengenal pula cara menolaknya, bahkan tubuhnya yang sudah dilatih dan diisi dengan hawa beracun boleh dikatakan kebal terhadap segala macam racun.
Ketika Ceng Ceng memasuki perkampungan terakhir yang berada diluar Lembah Bunga Hitam, perkampungan yang tadinya dihuni oleh anak buah Lembah Bunga Hitam tingkat terendah, dusun ini juga sudah kosong sama sekali dan di sini jelas nampak bekas-bekas pertandingan yang mengerikan karena banyak berserakan mayat-mayat yang membusuk, bahkan ada pula yang sudah tinggal rangkanya saja, padahal pertandingan baru berjalan tiga hari yang lalu.
Memang ada beberapa macam racun yang kalau mengenal tubuh orang lalu menggeroti kulit daging dengan cepatnya sehingga dalam waktu satu hari satu malam saja yang ada tinggal kerangkanya, karena yang lain-lainnya telah mencair dan habis.
Selain mayat-mayat ini, tampak pula binatang-binatang berbisa yang juga kebal terhadap racun-racun lain. Tampak kelabang, kalajengking dan ular-ular berbisa segala jenis, berkeliaran dan makan bangkai-bangkai binatang lain, ada pula beberapa ular jenis ular merah hitam tampak memperebutkan daging membusuk tubuh seorang manusia!
Ceng Ceng bergidik, apalagi ketika dia melihat seorang anak perempuan berusia kurang lebih sepuluh tahun rebah miring diatas tanah kering. Hatinya merasa ngeri dan kasihan akan tetapi juga terheran-heran melihat betapa mayat anak kecil ini masih utuh, hanya agaknya tidak lama lagi utuhnya karena di sekelilingnya terdapat banyak sekali ular berbisa yang seolah-olah menanti saat baik untuk nanti memperebutkan daging yang masih lunak dan utuh itu.
Tidak, pikir Ceng Ceng. Aku tidak mungkin membiarkan mayat anak itu dimakan ular-ular jahanam itu! Harus kuselamatkan mayat itu, akan kukubur baik-baik. Dia menghampiri mayat itu dan tiba diluar lingkaran ular-ular yang mengerumuni mayat anak kecil itu.
Tiba-tiba terdengar suara ketawa yang membuat bulu tengkuk Ceng Ceng bangun berdiri saking ngerinya karena suara ketawa itu keluar dari mulut mayat anak perempuan itu! Dan “mayat” itu kini bangkit duduk, wajahnya cantik mungil akan tetapi pucat sekali seperti mayat, dan sepasang matanya bersinar-sinar, mulutnya yang tertawa-tawa itu tiba-tiba kini berdesis-desis seperti suara ular.
Suara mendesis ini disambut oleh suara mendesis dari empat penjuru, dan bukan hanya ular-ular yang tadi berkerumun di situ saja yang bergerak, juga dari arah lain berdatangan banyak ular besar kecil yang mendesis-desis dan merayap secepatnya ke tempat itu, seolah-olah memenuhi panggilan anak perempuan itu!
Tiba-tiba, desis yang keluar dari mulut anak perempuan itu berubah dan terkejutlah Ceng Ceng ketika dia melihat betapa semua ular itu kini membalik dan seperti marah menyerbu ke arahnya! Sebentar saja ular-ular besar kecil, semuanya beracun, dipimpin oleh tujuh ekor ular sendok yang “berdiri” dan dengan leher berkembang menyembur-nyembur, mengurungnya dan anak perempuan itu kini sudah bangkit berdiri dan menari-nari kegirangan sambil tertawa-tawa, seolah-olah seorang anak kecil yang memperoleh permainan menarik sekali.
Mengertilah Ceng Ceng bahwa dia berhadapan dengan seorang bocah yang luar biasa, tentu anak dari golongan sesat yang amat lihai.
“Hemm....!” bentaknya dan dia melangkah maju kearah tujuh ekor ular sendok yang paling galak.
Tujuh ekor ular itu menyerangnya dengan berbareng, mematuknya. Ceng Ceng menggerakkan kedua lengannya setelah menyingsingkan lengan bajunya agar jangan tergigit robek. Tujuh ekor ular itu tentu saja tertarik dan kesemuanya lalu mematuk kearah ke dua lengan yang berkulit putih itu.
Ketika Ceng Ceng mengangkat kedua lengannya, tujuh ekor ular cobra itu bergantungan pada lengannya dan kini Ceng Ceng menggerakkan tangannya, mencengkeram kepala ular-ular itu yang menggigit lengannya, lalu sekali mengerahkan tenaganya, kepala tujuh ekor ular itu hancur dan bangkai ular itu dia lemparkan ke bawah.
Sementara itu, ular-ular yang lain sudah menyerbu, akan tetapi gigitan mereka sama sekali tidak mempengaruhi apa-apa pada tubuh dara itu, bahkan dia lalu menggerakkan kaki tangan dan menginjaki kepala ular, menangkapi dan membanting sehingga ular-ular itu menjadi morat-marit dan kacau balau, banyak yang mati, sisanya lalu ketakutan dan mulai menjauhkan diri.
Anak perempuan yang tadi menari-nari kegirangan, kini menghentikan tariannya, memandang dengan mata terbelalak, kemudian melangkah maju.
“Kau.... kau.... dapat mengalahkan ular-ularku....?”
Ceng Ceng menangkap kepala seekor ular yang sebesar lengannya dan panjangnya lebih dari satu meter, menggerakkan bangkai ular itu ke arah anak perempuan tadi.
“Plak! Plak!”
Biarpun anak perempuan itu berusaha mengelak, tetap saja ekor ular itu menyabet kedua pipinya. Anak itu menangis dan menutupi mukanya!
Dingin kembali hati Ceng Ceng yang tadinya panas. Dia menghampiri dan mengelus kepala anak luar biasa itu.
“Kau siapa dan mengapa kau disini seorang diri?” tanyanya dengan suara halus.
Anak itu mengangkat mukanya memandang. Cantik benar wajah anak ini, hanya sayang kepucatan wajahnya mengerikan, seolah-olah tidak ada darah mengalir di bawah kulit itu.
“Engkau.... engkau tidak akan membunuh aku?” tanya anak itu.
Ceng Ceng tersenyum.
“Ihh, mengapa aku harus membunuhmu?”
“Enci, engkau orang aneh, tidak seperti yang lain. Ayah tentu akan senang sekali bertemu denganmu.”
“Siapa ayahmu, dan engkau siapa?”
“Namaku Kim Hwee Li, dan ayahku adalah Hek-tiauw Lo-mo!”
Berkata demikian, anak itu memandang dengan sikap bangga. Akan tetapi kembali dia terheran-heran dan kecewa karena agaknya wanita yang dapat mengalahkan ular-ularnya itu sama sekali tidak kelihatan kaget.
Memang Ceng Ceng selama hidupnya belum pernah mendengar nama Hek-tiauw Lo-mo (Iblis Tua Rajawali Hitam) itu, tentu saja dia tidak menjadi kaget. Dia tidak tahu bahwa iblis tua itu bukan lain adalah raja atau Ketua Pulau Neraka yang memiliki ilmu kepandaian hebat bukan main!
“Dimanakah ayahmu? Mengapa kau ditinggalkan disini seorang diri?”
“Ayahku baru sibuk perang dengan orang-orang Lembah Bunga Hitam, mengatur anak buahnya. Aku bosan melihat perang selama tiga hari, maka aku pergi sendiri bermain-main di sini. disini sepi tidak ada orang hidup, tidak ada lagi orang bertempur. Enci, apa kau tidak takut kepada ayahku? Ayahku ditakuti semua orang. Baru mendengar namanya saja, orang sudah lari ketakutan, akan tetapi kenapa engkau tidak lari?”
“Aku tidak takut kepada siapapun juga.”
“Bagus! Kiranya engkau disini, Hwee Li. Dan kau bertemu dengan seorang bocah sombong! Ha-ha-ha, jangan ditiru sikap sombongnya itu, karena sikap itu hanya akan mencelakakan.”
Ceng Ceng cepat membalikkan tubuhnya dan dia terkejut. Selama hidupnya belum pernah dia bertemu dengan seorang manusia seperti ini, amat menyeramkan. Laki-laki itu usianya tentu sudah lima puluh tahun lebih, tubuhnya tinggi besar seperti raksasa dan ketika tertawa tadi, mulutnya terbuka memperlihatkan dua buah gigi panjang meruncing seperti taring singa, kedua lengannya yang tidak tertutup karena bajunya berlengan pendek itu penuh bulu yang kaku seperti jarum hitam, matanya liar dan mengandung sinar kejam dan buas seperti mata singa sedang marah. Diam-diam Ceng Ceng merasa heran bukan main. Orang yang buruk seperti setan ini memiliki seorang anak perempuan yang demikian manis dan mungilnya! Sungguh tidak patut!
“Jadi engkau adalah ayah dari Hwe Li! Hemm, seorang anak kecil dibiarkan bermain-main sendiri di tempat seperti neraka ini. Sungguh ayah yang tidak dapat mendidik dan menjaga anak!”
Ceng Ceng berkata untuk membalas ejekan kakek raksasa itu, sedikitpun tidak mengenal takut.
“Wah-wah, Nona muda. Apa anakku tidak mengatakan siapa adanya ayahnya?”
“Sudah, Ayah. Akan tetapi enci ini hebat, dia tidak takut kepada Hek-tiauw Lo-mo!” tiba-tiba Hwe Li berseru.
Muka kakek itu berubah merah dan kedua matanya melotot lebar ketika memandang Ceng Ceng.
“Kau tidak tahu siapakah Hek-tiauw Lo-mo?”
“Aku tidak tahu dan tidak ingin tahu. Tidak ada sangkut-pautnya dengan aku sama sekali!”
“Keparat sombong! Engkau tentu orang pihak Lembah Bunga Hitam!”
“Aku tidak mengenal Lembah Bunga Hitam. Aku kebetulan lewat di sini dan melihat akibat perang yang kotor dan keji, melihat anak kecil yang tidak terdidik baik-baik menyerangku dengan ular-ular beracun.”
“Ha-ha-ha, engkau nona muda yang cantik, mulutmu kecil akan tetapi suaramu besar. Kau tidak takut kepada Pulau Neraka?”
“Aku tidak peduli dan tidak kenal Pulau Neraka!”
“Ha-ha-ha! Dan kau juga tidak takut kepada Lembah Bunga Hitam?”
“Persetan dengan Lembah Bunga Hitam!”
“Ha-ha-ha-ha!”
Ketua Pulau Neraka itu tertawa bergelak dan menjadi makin tertarik. Kalau tadi dia mendengar bahwa Pulau Neraka tidak ditakuti, dia agak mendongkol, akan tetapi sekarang mendengar bahwa dara muda jelita ini juga tidak takut kepada Lembah Bunga Hitam yang menjadi lawannya, dia tertawa girang.
“Ingin aku melihat muka Si Tua Bangka Hek-hwa Lo-kwi (Setan Tua Bunga Hitam) kalau mendengar bahwa Lembah Bunga Hitam tidak ditakuti oleh seorang bocah perempuan. Ha-ha-ha!”
“Ayah, Enci ini tentu saja tidak takut. Dia lihai sekali. Ular-ularku banyak yang mati dan sama sekali tidak berdaya menghadapinya!” tiba-tiba Hwe Li berkata.
“Apa....?” Ketua Pulau Neraka menjadi terkejut dan gembira. “Kiranya seorang nona muda yang lihai juga, ya? Tempat ini menjadi gelanggang pertandingan mengadu racun dan kau masih berani datang ke sini, bahkan kau telah mengalahkan ular-ular berbisa itu? Hemm, agaknya kau tidak takut racun, ya?”
Ceng Ceng tersenyum mengejek, teringat akan mendiang subonya yang menjadi datuk ilmu racun!
“Hemm, racun adalah makananku sehari-hari!”
Katanya, bukan semata-mata untuk bersombong karena memang selama berada di neraka bawah tanah bersama subonya, boleh dibilang setiap hari dia disuruh makan racun! Itulah cara subonya membuat dia kebal akan racun, dan tentu saja menelan racun itu disertai ramuan obat dan totokan-totokan pada jalan darah tertentu.
Akan tetapi Hek-tiauw Lo-mo menerimanya sebagai suatu kesombongan besar. Dia adalah Ketua Pulau Neraka yang terkenal sebagai tempat racun, dan dia adalah seorang ahli, maka mendengar kesombongan ini dia menjadi marah.
“Bagus, kalau begitu makanlah ini!” Tangannya bergerak dan uap hitam menyambar dari tangan itu kearah muka Ceng Ceng.
Ceng Ceng dapat mencium bau uap beracun itu, maka dia tahu racun apa yang dipergunakan kakek itu untuk menyerangnya. Dia tetap tersenyum, hanya miringkan sedikit kepalanya agar tidak terkena hawa pukulan yang menyambar dari tangan itu, dan uap hitam menyelimuti mukanya.
Terdengar suara kakek itu tertawa bergelak. Uap hitam itu saja sudah cukup untuk merobohkan seorang lawan tangguh, roboh dan pingsan, dan dia pun merasa yakin bahwa dara muda ini akan roboh pingsan pula.
Akan tetapi, suara ketawanya berhenti dan dia terbelalak kaget ketika melihat setelah asap membuyar, gadis itu tetap saja berdiri tegak, mukanya tetap berseri, juga matanya masih bersinar-sinar, sama sekali tidak ada tanda-tanda keracunan padahal gadis itu tidak menahan pernapasannya dan jelas telah menyedot uap hitam itu.
“Kau dapat bertahan? Makanlah ini!”
Kakek itu kembali membentak dan kini dia membanting sesuatu di depan Ceng Ceng. Benda bulat putih itu meledak dan muncratlah cairan hijau yang mengeluarkan bau memuakkan. Cairan ini muncrat dan ketika mengenai tanah mengeluarkan suara mendesis dan mengeluarkan asap seolah-olah tanah yang terkena benda cair ini terbakar!
Ceng Ceng mengelak agar pakaiannya tidak terkena benda itu, akan tetapi kedua tangannya menyampok benda cair yang muncrat. Kedua tangan itu berlepotan benda cair hijau itu. Kembali Hek-tiauw Lo-mo terbelalak kaget. Benda cair itu adalah racun yang amat jahat dan segala benda, apalagi kulit daging, akan hancur membusuk terkena benda ini, akan tetapi kedua tangan nona itu yang berlepotan benda cair ternyata tidak apa-apa. Bahkan Ceng Ceng lalu membentak,
“Kau makanlah sendiri!”
Kedua tangan nona itu bergerak dan benda cair yang berlepotan di tangannya memercik kearah muka Hek-tiauw Lo-mo!
“Uhhhh....!”
Hek-tiauw Lo-mo berteriak kaget sekali, akan tetapi diapun dapat menghindarkan diri dari percikan cairan hijau itu. Diam-diam dia menjadi terkejut sekali. Dia sendiri kalau harus menghadapi racun hijau pencabut nyawa itu harus menggunakan obat penawar lebih dulu karena racun ini terlalu berbahaya.
Akan tetapi gadis itu dapat menangkisnya begitu saja, dengan seenaknya seolah-olah racun hijau itu bukan apa-apa! Dia menjadi penasaran. Mungkinkah gadis ini memiliki keahlian tentang racun yang melebihi dia? Tak mungkin!
“Kau hebat akan tetapi cobalah ini!”
Kini Hek-tiauw Lo-mo menggerakkan kedua telapak tangan mendorong ke depan dengan cepat sekali. Ceng Ceng maklum bahwa itu merupakan pukulan beracun, maka dia yang melihat betapa cepatnya gerakan kakek ini, cepat mendorongkan kedua tangannya pula memapaki.
Melihat ini, Hek-tiauw Lo-mo tertawa bergelak. Gadis itu berani memapaki pukulannya yang mengandung lima racun inti, pukulan yang disebut Ngo-tok-toat-beng-ciang (Pukulan Tangan Lima Racun Pencabut Nyawa)! Padahal pukulannya ini amatlah ampuhnya, dahsyat dan jarang, bahkan belum pernah ada yang mampu menerimanya kecuali Ketua Lembah Bunga Hitam tentunya.
“Ha-ha-ha, sekarang engkau mampus, bocah sombong!” teriaknya.
Di samping hawa beracun yang amat ganas ini, juga dia mengandalkan kekuatan sin-kangnya yang mendorong hawa beracun itu sehingga daya serang racun itu tidak perlu disangsikan lagi kedahsyatannya.
“Plak! Plakk!”
“Aihhh....?”
Hek-tiauw Lo-mo kini benar-benar kaget. Tidak saja gadis itu berani menerima pukulannya dan jelas bahwa Ngo-tok-toat-beng-ciang tidak berbekas apa-apa, juga gadis itu ternyata memiliki sin-kang yang cukup tinggi sehingga mampu menangkis pukulannya tadi.
Lebih lagi, dia merasa betapa telapak tangannya gatal-gatal tanda bahwa telapak tangan gadis itu mengandung racun yang luar biasa dan agaknya tak dapat ditahan oleh kulit telapak tangannya yang kebal karena terisi ilmu pukulan beracun tadi! Cepat dia memasukkan kedua tangan ke dalam sakunya di mana sudah terdapat batu-batu mustika penawar racun, agar kedua tangan itu tidak sampai keracunan hebat.
Ceng Ceng tersenyum mengejek,
“Bagaimana, Hek-tiauw Lo-mo?” katanya.
“Bocah sombong, kiranya engkau setan cilik beracun pula! Akan tetapi jangan kira Hek-tiauw Lo-mo kalah olehmu dalam keahlian racun. Coba kau bebaskan dirimu dari lingkaran racun api ini kalau mampu!”
Tiba-tiba kakek itu bergerak lari memutari tempat Ceng Ceng berdiri. Dara itu terkejut menyaksikan betapa cepatnya kakek itu bergerak. Tadi dia sudah merasakan kehebatan tenaga sin-kang kakek itu, kini dia menyaksikan gin-kang yang amat hebat sehingga diam-diam dia maklum bahwa dia berhadapan dengan seorang yang benar-benar amat sakti.
Namun dia tidak menjadi gentar. Kalau hanya diserang dengan segala macam racun saja dia tidak akan takut! Maka sambil berdiri dengan tenang dia memandang lawan yang sambil berlari cepat mengelilinginya itu ternyata telah menaburkan semacam bubuk putih diatas tanah di sekitarnya.
“Ha-ha-ha-ha! Hendak kulihat bagaimana kau menghadapi racun api yang mengelilingimu!”
Hek-tiauw Lo-mo tertawa dan masih terus melangkah di sekeliling Ceng Ceng, agaknya siap untuk menyerang apabila dara itu melompat ke luar dari lingkaran itu.
Ceng Ceng memandang ke bawah. Dia tahu racun macam apa itu yang kini mulai membara dan perlahan-lahan api itu memakan tanah dan merayap mendekatinya sehingga dengan cepat lingkaran api itu menjadi makin menyempit. Sebentar lagi tentu lingkaran itu akan mencapai kakinya dan membakarnya!
Dari dalam neraka di bawah tanah, ketika dia pergi meninggalkan tempat itu, Ceng Ceng telah membawa semua persediaan racun-racun ampuh milik subonya. Maka kini dia mengeluarkan sebungkus obat bubuk berwarna hitam, menjumput obat itu dan menaburkan di sekeliling tubuhnya dengan sikap tenang.
Hek-tiauw Lo-mo memandang dengan penuh perhatian, dan mukanya berubah ketika dia melihat betapa api dari racun yang ditaburkannya tadi, ketika tiba di tempat yang sudah ditaburi obat bubuk hitam oleh Ceng Ceng, menjadi padam seketika! Padahal obat bubuk putihnya tadi adalah racun yang dapat membakar apa saja!
“Hemm, sekarang menangislah engkau!”
Hek-tiauw Lo-mo membentak, tidak menggunakan ilmu sihir karena dia hendak menonjolkan keahliannya menggunakan racun, melainkan melemparkan bubuk hitam seperti uap kearah muka Ceng Ceng.
Dara ini mengenal pula bubuk yang membuat orang dapat menangis itu, akan tetapi karena dia tahu bahwa dirinya sudah kebal terhadap racun ini yang termasuk golongan menengah, tidak berapa kuat, dia tidak mengelak, hanya memejamkan mata sambil menerjang ke depan dan kini dia membalas dengan meludah ke arah Hek-tiauw Lo-mo! Bukan meludah biasa, karena ludahnya itu memercik lebar seperti hujan menyerang lawan.
Hek-tiauw Lo-mo yang hanya menyangka bahwa nona itu karena marahnya meludah untuk menghinanya, mengelak akan tetapi ketika punggung tangannya terkena percikan ludah, dia berteriak kaget,
“Aduhhh....! Ihhh, keparat, sampai ludah-ludahnyapun beracun!”
Teriaknya kaget, cepat dia menggosok punggung tangan kirinya dengan batu mustika pemunah racun. Namun, tetap saja kulitnya terdapat titik-titik hitam sebagai bekas racun ludah itu!
Hek-tiauw Lo-mo memandang dengan mata terbelalak lebar. Maklumlah dia bahwa dia berhadapan dengan seorang ahli racun yang benar-benar amat lihai, bahkan mungkin melebihi kehebatan ilmunya tentang racun!
“Hebat.... hebat.... siapa mengira bahwa di dunia terdapat seorang ahli racun yang masih begini muda dan hebat! Aihh, orang harus mengenal batas kemampuannya dan mengakui keunggulan seorang ahli. Agaknya pengetahuanmu dalam hal racun tidak kalah olehku, Nona. Akan tetapi ingin aku melihat sampai di mana kehebatan ilmu silatmu!”
Setelah berkata demikian, kakek itu menerjang maju, kini menggunakan ilmu silatnya untuk menerjang Ceng Ceng.
Sekali ini Ceng Ceng menjadi kelabakan! Tentu saja dia menjadi repot sekali menghadapi serangan seorang ahli seperti Hek-tiauw Lo-mo yang sudah memiliki tingkat ilmu silat yang amat tinggi! Padahal Ceng Ceng hanyalah memiliki kepandaian yang belum berapa tinggi, hanya berkat latihan dari kakeknya, sedangkan di waktu dia menjadi murid Ban-tok Mo-li, dalam waktu hanya tiga bulan itu dia lebih banyak melatih diri dengan ilmu tentang racun dan pukulan-pukulan beracun serta kekebalan terhadap racun.
Kalau dia diserang dengan racun dia dapat menghadapi dengan enak saja, kini diserang dengan ilmu silat tinggi, dia menjadi sibuk dan biarpun dia berusaha menghindarkan diri dengan elakan, tangkisan, bahkan sedapat mungkin membalas, namun dalam waktu dua puluh jurus saja dia sudah dapat dirobohkan dalam keadaan tertotok lemas dan lumpuh kaki tangannya!
“Ha-ha-ha-ha, kiranya ilmu silatmu tidak seberapa tinggi, tidak akan mampu menandingi seorang pembantuku di Pulau Neraka!” kata kakek itu. “Akan tetapi ilmu pengetahuanmu tentang racun hebat maka sayang kalau kau dibunuh. Hwee Li, bawa dia pulang, suruh para paman menjaga baik-baik agar dia tidak sampai lolos. Aku masih banyak urusan mengatur penyerbuan ke lembah!”
Setelah berkata demikian, sekali berkelebat lenyaplah tubuh kakek raksasa itu sehingga Ceng Ceng menjadi terkejut dan kagum sekali. Dia tidak merasa penasaran dikalahkan oleh kakek tadi karena memang kepandaian kakek itu agaknya tidak kalah oleh tingkat kedua orang kakek kembar sekalipun!
Anak perempuan itu menghampiri Ceng Ceng yang masih rebah telentang dalam keadan kaki tangannya lumpuh dan lemas, tersenyum manis dan matanya berseri-seri penuh sikap menggoda.
“Wah, kau mengecewakan aku, Enci. Ketika kau mengalahkan semua ularku, kau hebat dan aku kagum, akan tetapi ternyata melawan Ayah, sebentar saja kau roboh seperti orang yang amat lemah.”
Sejak kakek yang lihai tadi pergi, Ceng Ceng sudah memutar otaknya mencari akal. Tidak mungkin dia yang baru saja terbebas dari maut di dalam neraka bawah tanah, kini harus mandah saja terjatuh ke tangan kakek sakti itu. Dia harus mencari akal agar dapat lolos lagi dari bahaya maut.
Sudah terlalu sering dia dicengkeram bahaya maut yang ganas sekali. Ketika bersama Syanti Dewi terkepung dan dikejar-kejar, ketika hanyut ke dalam sungai, kemudian ketika dia terjungkal ke dalam sumur maut, lalu jatuh ke tangan nenek gila Ban-tok Mo-Li, bahkan ketika dia hendak dibunuh oleh Siang Lo-mo. Semua bahaya itu dapat dihindarkannya, maka kinipun dia harus dapat membebaskan diri!
“Hwee Li, jadi engkau adalah puteri Hek-tiauw Lo-mo?”
“Ya, aku puteri tunggalnya. Ayahku adalah Ketua Pulau Neraka. Hebat ya ilmu kepandaiannya?”
Ceng Ceng mencibirkan mulutnya,
“Huh, hebat apa? Tidak lihatkah engkau tadi betapa dia kalah oleh aku dalam hal keahlian tentang racun?”
Anak perempuan itu mengangguk.
“Ya, akan tetapi akhirnya engkau toh kalah dan dirobohkan, kau mengecewakan hatiku, Enci.”
“Hwee Li, engkau suka akan kegagahan?”
“Tentu saja!”
“Ayahmu memang tinggi ilmu silatnya, akan tetapi dia belum lihai kepandaiannya tentang racun. Andaikata aku memiliki tingkat ilmu silat seperti dia, apakah dia tidak sudah tewas sekarang dan kalah olehku?”
Hwee Li agaknya seorang anak yang cerdas. Dia mengangguk dan berkata,
“Akan tetapi ilmu silatmu amat rendah, Enci....”
“Memang harus kuakui itu. Akan tetapi keahlianku tentang racun jauh melebihi ayahmu. Hwee Li, apakah kau kelak ingin menjadi seorang yang terpandai di dunia, tanpa ada yang mengalahkanmu?”
“Tentu saja! Ayahku bilang, kalau aku berlatih dengan tekun dan kelak mewarisi semua ilmu ayahku, aku tentu akan menjadi seorang paling pandai nomor satu di dunia.
“Kau siapa dan mengapa kau disini seorang diri?” tanyanya dengan suara halus.
Anak itu mengangkat mukanya memandang. Cantik benar wajah anak ini, hanya sayang kepucatan wajahnya mengerikan, seolah-olah tidak ada darah mengalir di bawah kulit itu.
“Engkau.... engkau tidak akan membunuh aku?” tanya anak itu.
Ceng Ceng tersenyum.
“Ihh, mengapa aku harus membunuhmu?”
“Enci, engkau orang aneh, tidak seperti yang lain. Ayah tentu akan senang sekali bertemu denganmu.”
“Siapa ayahmu, dan engkau siapa?”
“Namaku Kim Hwee Li, dan ayahku adalah Hek-tiauw Lo-mo!”
Berkata demikian, anak itu memandang dengan sikap bangga. Akan tetapi kembali dia terheran-heran dan kecewa karena agaknya wanita yang dapat mengalahkan ular-ularnya itu sama sekali tidak kelihatan kaget.
Memang Ceng Ceng selama hidupnya belum pernah mendengar nama Hek-tiauw Lo-mo (Iblis Tua Rajawali Hitam) itu, tentu saja dia tidak menjadi kaget. Dia tidak tahu bahwa iblis tua itu bukan lain adalah raja atau Ketua Pulau Neraka yang memiliki ilmu kepandaian hebat bukan main!
“Dimanakah ayahmu? Mengapa kau ditinggalkan disini seorang diri?”
“Ayahku baru sibuk perang dengan orang-orang Lembah Bunga Hitam, mengatur anak buahnya. Aku bosan melihat perang selama tiga hari, maka aku pergi sendiri bermain-main di sini. disini sepi tidak ada orang hidup, tidak ada lagi orang bertempur. Enci, apa kau tidak takut kepada ayahku? Ayahku ditakuti semua orang. Baru mendengar namanya saja, orang sudah lari ketakutan, akan tetapi kenapa engkau tidak lari?”
“Aku tidak takut kepada siapapun juga.”
“Bagus! Kiranya engkau disini, Hwee Li. Dan kau bertemu dengan seorang bocah sombong! Ha-ha-ha, jangan ditiru sikap sombongnya itu, karena sikap itu hanya akan mencelakakan.”
Ceng Ceng cepat membalikkan tubuhnya dan dia terkejut. Selama hidupnya belum pernah dia bertemu dengan seorang manusia seperti ini, amat menyeramkan. Laki-laki itu usianya tentu sudah lima puluh tahun lebih, tubuhnya tinggi besar seperti raksasa dan ketika tertawa tadi, mulutnya terbuka memperlihatkan dua buah gigi panjang meruncing seperti taring singa, kedua lengannya yang tidak tertutup karena bajunya berlengan pendek itu penuh bulu yang kaku seperti jarum hitam, matanya liar dan mengandung sinar kejam dan buas seperti mata singa sedang marah. Diam-diam Ceng Ceng merasa heran bukan main. Orang yang buruk seperti setan ini memiliki seorang anak perempuan yang demikian manis dan mungilnya! Sungguh tidak patut!
“Jadi engkau adalah ayah dari Hwe Li! Hemm, seorang anak kecil dibiarkan bermain-main sendiri di tempat seperti neraka ini. Sungguh ayah yang tidak dapat mendidik dan menjaga anak!”
Ceng Ceng berkata untuk membalas ejekan kakek raksasa itu, sedikitpun tidak mengenal takut.
“Wah-wah, Nona muda. Apa anakku tidak mengatakan siapa adanya ayahnya?”
“Sudah, Ayah. Akan tetapi enci ini hebat, dia tidak takut kepada Hek-tiauw Lo-mo!” tiba-tiba Hwe Li berseru.
Muka kakek itu berubah merah dan kedua matanya melotot lebar ketika memandang Ceng Ceng.
“Kau tidak tahu siapakah Hek-tiauw Lo-mo?”
“Aku tidak tahu dan tidak ingin tahu. Tidak ada sangkut-pautnya dengan aku sama sekali!”
“Keparat sombong! Engkau tentu orang pihak Lembah Bunga Hitam!”
“Aku tidak mengenal Lembah Bunga Hitam. Aku kebetulan lewat di sini dan melihat akibat perang yang kotor dan keji, melihat anak kecil yang tidak terdidik baik-baik menyerangku dengan ular-ular beracun.”
“Ha-ha-ha, engkau nona muda yang cantik, mulutmu kecil akan tetapi suaramu besar. Kau tidak takut kepada Pulau Neraka?”
“Aku tidak peduli dan tidak kenal Pulau Neraka!”
“Ha-ha-ha! Dan kau juga tidak takut kepada Lembah Bunga Hitam?”
“Persetan dengan Lembah Bunga Hitam!”
“Ha-ha-ha-ha!”
Ketua Pulau Neraka itu tertawa bergelak dan menjadi makin tertarik. Kalau tadi dia mendengar bahwa Pulau Neraka tidak ditakuti, dia agak mendongkol, akan tetapi sekarang mendengar bahwa dara muda jelita ini juga tidak takut kepada Lembah Bunga Hitam yang menjadi lawannya, dia tertawa girang.
“Ingin aku melihat muka Si Tua Bangka Hek-hwa Lo-kwi (Setan Tua Bunga Hitam) kalau mendengar bahwa Lembah Bunga Hitam tidak ditakuti oleh seorang bocah perempuan. Ha-ha-ha!”
“Ayah, Enci ini tentu saja tidak takut. Dia lihai sekali. Ular-ularku banyak yang mati dan sama sekali tidak berdaya menghadapinya!” tiba-tiba Hwe Li berkata.
“Apa....?” Ketua Pulau Neraka menjadi terkejut dan gembira. “Kiranya seorang nona muda yang lihai juga, ya? Tempat ini menjadi gelanggang pertandingan mengadu racun dan kau masih berani datang ke sini, bahkan kau telah mengalahkan ular-ular berbisa itu? Hemm, agaknya kau tidak takut racun, ya?”
Ceng Ceng tersenyum mengejek, teringat akan mendiang subonya yang menjadi datuk ilmu racun!
“Hemm, racun adalah makananku sehari-hari!”
Katanya, bukan semata-mata untuk bersombong karena memang selama berada di neraka bawah tanah bersama subonya, boleh dibilang setiap hari dia disuruh makan racun! Itulah cara subonya membuat dia kebal akan racun, dan tentu saja menelan racun itu disertai ramuan obat dan totokan-totokan pada jalan darah tertentu.
Akan tetapi Hek-tiauw Lo-mo menerimanya sebagai suatu kesombongan besar. Dia adalah Ketua Pulau Neraka yang terkenal sebagai tempat racun, dan dia adalah seorang ahli, maka mendengar kesombongan ini dia menjadi marah.
“Bagus, kalau begitu makanlah ini!” Tangannya bergerak dan uap hitam menyambar dari tangan itu kearah muka Ceng Ceng.
Ceng Ceng dapat mencium bau uap beracun itu, maka dia tahu racun apa yang dipergunakan kakek itu untuk menyerangnya. Dia tetap tersenyum, hanya miringkan sedikit kepalanya agar tidak terkena hawa pukulan yang menyambar dari tangan itu, dan uap hitam menyelimuti mukanya.
Terdengar suara kakek itu tertawa bergelak. Uap hitam itu saja sudah cukup untuk merobohkan seorang lawan tangguh, roboh dan pingsan, dan dia pun merasa yakin bahwa dara muda ini akan roboh pingsan pula.
Akan tetapi, suara ketawanya berhenti dan dia terbelalak kaget ketika melihat setelah asap membuyar, gadis itu tetap saja berdiri tegak, mukanya tetap berseri, juga matanya masih bersinar-sinar, sama sekali tidak ada tanda-tanda keracunan padahal gadis itu tidak menahan pernapasannya dan jelas telah menyedot uap hitam itu.
“Kau dapat bertahan? Makanlah ini!”
Kakek itu kembali membentak dan kini dia membanting sesuatu di depan Ceng Ceng. Benda bulat putih itu meledak dan muncratlah cairan hijau yang mengeluarkan bau memuakkan. Cairan ini muncrat dan ketika mengenai tanah mengeluarkan suara mendesis dan mengeluarkan asap seolah-olah tanah yang terkena benda cair ini terbakar!
Ceng Ceng mengelak agar pakaiannya tidak terkena benda itu, akan tetapi kedua tangannya menyampok benda cair yang muncrat. Kedua tangan itu berlepotan benda cair hijau itu. Kembali Hek-tiauw Lo-mo terbelalak kaget. Benda cair itu adalah racun yang amat jahat dan segala benda, apalagi kulit daging, akan hancur membusuk terkena benda ini, akan tetapi kedua tangan nona itu yang berlepotan benda cair ternyata tidak apa-apa. Bahkan Ceng Ceng lalu membentak,
“Kau makanlah sendiri!”
Kedua tangan nona itu bergerak dan benda cair yang berlepotan di tangannya memercik kearah muka Hek-tiauw Lo-mo!
“Uhhhh....!”
Hek-tiauw Lo-mo berteriak kaget sekali, akan tetapi diapun dapat menghindarkan diri dari percikan cairan hijau itu. Diam-diam dia menjadi terkejut sekali. Dia sendiri kalau harus menghadapi racun hijau pencabut nyawa itu harus menggunakan obat penawar lebih dulu karena racun ini terlalu berbahaya.
Akan tetapi gadis itu dapat menangkisnya begitu saja, dengan seenaknya seolah-olah racun hijau itu bukan apa-apa! Dia menjadi penasaran. Mungkinkah gadis ini memiliki keahlian tentang racun yang melebihi dia? Tak mungkin!
“Kau hebat akan tetapi cobalah ini!”
Kini Hek-tiauw Lo-mo menggerakkan kedua telapak tangan mendorong ke depan dengan cepat sekali. Ceng Ceng maklum bahwa itu merupakan pukulan beracun, maka dia yang melihat betapa cepatnya gerakan kakek ini, cepat mendorongkan kedua tangannya pula memapaki.
Melihat ini, Hek-tiauw Lo-mo tertawa bergelak. Gadis itu berani memapaki pukulannya yang mengandung lima racun inti, pukulan yang disebut Ngo-tok-toat-beng-ciang (Pukulan Tangan Lima Racun Pencabut Nyawa)! Padahal pukulannya ini amatlah ampuhnya, dahsyat dan jarang, bahkan belum pernah ada yang mampu menerimanya kecuali Ketua Lembah Bunga Hitam tentunya.
“Ha-ha-ha, sekarang engkau mampus, bocah sombong!” teriaknya.
Di samping hawa beracun yang amat ganas ini, juga dia mengandalkan kekuatan sin-kangnya yang mendorong hawa beracun itu sehingga daya serang racun itu tidak perlu disangsikan lagi kedahsyatannya.
“Plak! Plakk!”
“Aihhh....?”
Hek-tiauw Lo-mo kini benar-benar kaget. Tidak saja gadis itu berani menerima pukulannya dan jelas bahwa Ngo-tok-toat-beng-ciang tidak berbekas apa-apa, juga gadis itu ternyata memiliki sin-kang yang cukup tinggi sehingga mampu menangkis pukulannya tadi.
Lebih lagi, dia merasa betapa telapak tangannya gatal-gatal tanda bahwa telapak tangan gadis itu mengandung racun yang luar biasa dan agaknya tak dapat ditahan oleh kulit telapak tangannya yang kebal karena terisi ilmu pukulan beracun tadi! Cepat dia memasukkan kedua tangan ke dalam sakunya di mana sudah terdapat batu-batu mustika penawar racun, agar kedua tangan itu tidak sampai keracunan hebat.
Ceng Ceng tersenyum mengejek,
“Bagaimana, Hek-tiauw Lo-mo?” katanya.
“Bocah sombong, kiranya engkau setan cilik beracun pula! Akan tetapi jangan kira Hek-tiauw Lo-mo kalah olehmu dalam keahlian racun. Coba kau bebaskan dirimu dari lingkaran racun api ini kalau mampu!”
Tiba-tiba kakek itu bergerak lari memutari tempat Ceng Ceng berdiri. Dara itu terkejut menyaksikan betapa cepatnya kakek itu bergerak. Tadi dia sudah merasakan kehebatan tenaga sin-kang kakek itu, kini dia menyaksikan gin-kang yang amat hebat sehingga diam-diam dia maklum bahwa dia berhadapan dengan seorang yang benar-benar amat sakti.
Namun dia tidak menjadi gentar. Kalau hanya diserang dengan segala macam racun saja dia tidak akan takut! Maka sambil berdiri dengan tenang dia memandang lawan yang sambil berlari cepat mengelilinginya itu ternyata telah menaburkan semacam bubuk putih diatas tanah di sekitarnya.
“Ha-ha-ha-ha! Hendak kulihat bagaimana kau menghadapi racun api yang mengelilingimu!”
Hek-tiauw Lo-mo tertawa dan masih terus melangkah di sekeliling Ceng Ceng, agaknya siap untuk menyerang apabila dara itu melompat ke luar dari lingkaran itu.
Ceng Ceng memandang ke bawah. Dia tahu racun macam apa itu yang kini mulai membara dan perlahan-lahan api itu memakan tanah dan merayap mendekatinya sehingga dengan cepat lingkaran api itu menjadi makin menyempit. Sebentar lagi tentu lingkaran itu akan mencapai kakinya dan membakarnya!
Dari dalam neraka di bawah tanah, ketika dia pergi meninggalkan tempat itu, Ceng Ceng telah membawa semua persediaan racun-racun ampuh milik subonya. Maka kini dia mengeluarkan sebungkus obat bubuk berwarna hitam, menjumput obat itu dan menaburkan di sekeliling tubuhnya dengan sikap tenang.
Hek-tiauw Lo-mo memandang dengan penuh perhatian, dan mukanya berubah ketika dia melihat betapa api dari racun yang ditaburkannya tadi, ketika tiba di tempat yang sudah ditaburi obat bubuk hitam oleh Ceng Ceng, menjadi padam seketika! Padahal obat bubuk putihnya tadi adalah racun yang dapat membakar apa saja!
“Hemm, sekarang menangislah engkau!”
Hek-tiauw Lo-mo membentak, tidak menggunakan ilmu sihir karena dia hendak menonjolkan keahliannya menggunakan racun, melainkan melemparkan bubuk hitam seperti uap kearah muka Ceng Ceng.
Dara ini mengenal pula bubuk yang membuat orang dapat menangis itu, akan tetapi karena dia tahu bahwa dirinya sudah kebal terhadap racun ini yang termasuk golongan menengah, tidak berapa kuat, dia tidak mengelak, hanya memejamkan mata sambil menerjang ke depan dan kini dia membalas dengan meludah ke arah Hek-tiauw Lo-mo! Bukan meludah biasa, karena ludahnya itu memercik lebar seperti hujan menyerang lawan.
Hek-tiauw Lo-mo yang hanya menyangka bahwa nona itu karena marahnya meludah untuk menghinanya, mengelak akan tetapi ketika punggung tangannya terkena percikan ludah, dia berteriak kaget,
“Aduhhh....! Ihhh, keparat, sampai ludah-ludahnyapun beracun!”
Teriaknya kaget, cepat dia menggosok punggung tangan kirinya dengan batu mustika pemunah racun. Namun, tetap saja kulitnya terdapat titik-titik hitam sebagai bekas racun ludah itu!
Hek-tiauw Lo-mo memandang dengan mata terbelalak lebar. Maklumlah dia bahwa dia berhadapan dengan seorang ahli racun yang benar-benar amat lihai, bahkan mungkin melebihi kehebatan ilmunya tentang racun!
“Hebat.... hebat.... siapa mengira bahwa di dunia terdapat seorang ahli racun yang masih begini muda dan hebat! Aihh, orang harus mengenal batas kemampuannya dan mengakui keunggulan seorang ahli. Agaknya pengetahuanmu dalam hal racun tidak kalah olehku, Nona. Akan tetapi ingin aku melihat sampai di mana kehebatan ilmu silatmu!”
Setelah berkata demikian, kakek itu menerjang maju, kini menggunakan ilmu silatnya untuk menerjang Ceng Ceng.
Sekali ini Ceng Ceng menjadi kelabakan! Tentu saja dia menjadi repot sekali menghadapi serangan seorang ahli seperti Hek-tiauw Lo-mo yang sudah memiliki tingkat ilmu silat yang amat tinggi! Padahal Ceng Ceng hanyalah memiliki kepandaian yang belum berapa tinggi, hanya berkat latihan dari kakeknya, sedangkan di waktu dia menjadi murid Ban-tok Mo-li, dalam waktu hanya tiga bulan itu dia lebih banyak melatih diri dengan ilmu tentang racun dan pukulan-pukulan beracun serta kekebalan terhadap racun.
Kalau dia diserang dengan racun dia dapat menghadapi dengan enak saja, kini diserang dengan ilmu silat tinggi, dia menjadi sibuk dan biarpun dia berusaha menghindarkan diri dengan elakan, tangkisan, bahkan sedapat mungkin membalas, namun dalam waktu dua puluh jurus saja dia sudah dapat dirobohkan dalam keadaan tertotok lemas dan lumpuh kaki tangannya!
“Ha-ha-ha-ha, kiranya ilmu silatmu tidak seberapa tinggi, tidak akan mampu menandingi seorang pembantuku di Pulau Neraka!” kata kakek itu. “Akan tetapi ilmu pengetahuanmu tentang racun hebat maka sayang kalau kau dibunuh. Hwee Li, bawa dia pulang, suruh para paman menjaga baik-baik agar dia tidak sampai lolos. Aku masih banyak urusan mengatur penyerbuan ke lembah!”
Setelah berkata demikian, sekali berkelebat lenyaplah tubuh kakek raksasa itu sehingga Ceng Ceng menjadi terkejut dan kagum sekali. Dia tidak merasa penasaran dikalahkan oleh kakek tadi karena memang kepandaian kakek itu agaknya tidak kalah oleh tingkat kedua orang kakek kembar sekalipun!
Anak perempuan itu menghampiri Ceng Ceng yang masih rebah telentang dalam keadan kaki tangannya lumpuh dan lemas, tersenyum manis dan matanya berseri-seri penuh sikap menggoda.
“Wah, kau mengecewakan aku, Enci. Ketika kau mengalahkan semua ularku, kau hebat dan aku kagum, akan tetapi ternyata melawan Ayah, sebentar saja kau roboh seperti orang yang amat lemah.”
Sejak kakek yang lihai tadi pergi, Ceng Ceng sudah memutar otaknya mencari akal. Tidak mungkin dia yang baru saja terbebas dari maut di dalam neraka bawah tanah, kini harus mandah saja terjatuh ke tangan kakek sakti itu. Dia harus mencari akal agar dapat lolos lagi dari bahaya maut.
Sudah terlalu sering dia dicengkeram bahaya maut yang ganas sekali. Ketika bersama Syanti Dewi terkepung dan dikejar-kejar, ketika hanyut ke dalam sungai, kemudian ketika dia terjungkal ke dalam sumur maut, lalu jatuh ke tangan nenek gila Ban-tok Mo-Li, bahkan ketika dia hendak dibunuh oleh Siang Lo-mo. Semua bahaya itu dapat dihindarkannya, maka kinipun dia harus dapat membebaskan diri!
“Hwee Li, jadi engkau adalah puteri Hek-tiauw Lo-mo?”
“Ya, aku puteri tunggalnya. Ayahku adalah Ketua Pulau Neraka. Hebat ya ilmu kepandaiannya?”
Ceng Ceng mencibirkan mulutnya,
“Huh, hebat apa? Tidak lihatkah engkau tadi betapa dia kalah oleh aku dalam hal keahlian tentang racun?”
Anak perempuan itu mengangguk.
“Ya, akan tetapi akhirnya engkau toh kalah dan dirobohkan, kau mengecewakan hatiku, Enci.”
“Hwee Li, engkau suka akan kegagahan?”
“Tentu saja!”
“Ayahmu memang tinggi ilmu silatnya, akan tetapi dia belum lihai kepandaiannya tentang racun. Andaikata aku memiliki tingkat ilmu silat seperti dia, apakah dia tidak sudah tewas sekarang dan kalah olehku?”
Hwee Li agaknya seorang anak yang cerdas. Dia mengangguk dan berkata,
“Akan tetapi ilmu silatmu amat rendah, Enci....”
“Memang harus kuakui itu. Akan tetapi keahlianku tentang racun jauh melebihi ayahmu. Hwee Li, apakah kau kelak ingin menjadi seorang yang terpandai di dunia, tanpa ada yang mengalahkanmu?”
“Tentu saja! Ayahku bilang, kalau aku berlatih dengan tekun dan kelak mewarisi semua ilmu ayahku, aku tentu akan menjadi seorang paling pandai nomor satu di dunia.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar