“Enci, apakah kau tadi tidak mendengar omongan busuknya? Kalau aku tidak dapat memukul pecah mulutnya, aku tidak akan puas!”
Dia menarik lengannya secara tiba-tiba sehingga pegangan Sian Cu terlepas dan kembali dia menendang sambil meloncat. Tendangan terbang yang berbahaya sekali, mengarah tenggorokan si tukang perahu.
“Heiiittt.... tendangan hebat!” Si tukang perahu mengelak sambil memuji dengan suara mengejek.
“Mampuslah....!”
Ceng Ceng membalikkan tubuhnya ketika tendangannya tidak mengenai sasaran, sambil membalik tubuhnya maju dan tangannya yang dikepal menghantam dada.
“Eiiiiihhhh.... hebat, wahhh luput! Sayang sekali....!”
Kembali si tukang perahu mengejek dan berhasil mengelak. Dapat dibayangkan betapa jengkel hati Ceng Ceng. Perahu bergerak-gerak miring dan dia sudah menyerang bertubi-tubi, namun tidak berhasil sama sekali. Biarpun kini dia maklum bahwa tukang perahu itu ternyata lihai, namun kemarahannya membuat dia tidak mengenal takut dan hatinya tidak akan terasa puas sebelum dia berhasil merobohkan orang yang dibencinya itu.
“Adik Ceng.... ahhh, jangan! Lihat, perahu sudah miring.... kita bisa celaka....!”
Memang benar teriakan Sian Cu ini. Gerakan-gerakan dua orang yang berkejar-kejaran seperti tikus dengan kucing ini membuat perahu kehilangan arah dan miring-miring.
“Ha-ha-ha, biarkanlah, nona Sian Cu. Kalau perahu terbalik, baru nona galak itu tahu rasa. Kau jangan khawatir, tentu akan kutolong, tapi dia.... biar kembung perutnya terisi penuh air, ha-ha-ha!”
“Jahanam busuk....!” Ceng Ceng hampir menangis dan kini dia mengeluarkan sepasang belatinya. “Engkau harus mampus di tanganku!”
“Adik Ceng....!”
Ceng Ceng yang sudah “mata gelap” saking marahnya itu menyerang dengan dahsyat, tidak peduli akan perahu yang miring. Melihat datangnya dua sinar terang yang menyambarnya, tukang perahu secara tiba-tiba merendahkan tubuh berjongkok dan tiba-tiba Ceng Ceng merasa kedua tangannya lemas karena secara lihai dan tak tersangka sama sekali, dari bawah menyambar jari-jari tangan tukang perahu itu memapaki gerakan tangannya dan pergelangan tangannya telah ditotok sehingga tangannya yang lumpuh tak mampu lagi memegang sepasang belatinya dan dengan gerakan kilat, sepasang senjatanya itu telah dibuang ke dalam sungai oleh si tukang perahu. Sambil tertawa tukang perahu itu meloncat lagi melewati bilik dan berada di ujung perahu yang lain sambil menyeringai lebar.
“Heh-heh, kau boleh terjun keluar mengejar pisau-pisau dapur itu!”
Kemarahan yang memuncak membuat Ceng Ceng tidak sadar bahwa dia berhadapan dengan seorang yang memiliki kepandaian yang amat tinggi, jauh lebih tinggi daripada tingkat kepandaiannya sendiri. Akan tetapi dia jengkel sekali, merasa terhina dan ingin dia menangis dan menjerit-jerit! Dia telah dibikin malu, dihina, dibuat tidak berdaya dan sepasang senjatanya dibuang begitu saja ke dalam sungai!
Tiba-tiba timbul akalnya untuk membalas dendam! Dia menubruk ke depan, disambarnya dayung, dua batang dayung dari perahu itu, bukan dipergunakan untuk senjata, melainkan dayung yang dua buah itu dilemparnya jauh-jauh keluar dari perahu, ketengah sungai! Disambarnya tali layar, direnggutnya sampai putus dan dibuangnya pula, lalu dirobeknya layar.
“Heiii.... jangan....! Wah-wah-wah, celaka.... kau benar-benar liar!”
Tukang perahu berteriak-teriak, mengangkat kedua tangannya untuk mencegah dan kelihatan bingung sekali. Melihat ini, terobatlah hati Ceng Ceng yang panas dan sakit, akan tetapi dia belum puas. Dia melihat buntalan si tukang perahu, maka cepat buntalan itu disambarnya pula.
“Jangan itu....!”
Tukang perahu berteriak dan meloncat dengan kecepatan seperti burung terbang, melewati bilik dan tangannya diulur untuk merampas buntalan. Akan tetapi sambil tersenyum mengejek Ceng Ceng sudah melemparkan buntalan itu sampai jauh ke tengah sungai.
“Byuurrr....!”
“Wah, celaka....!”
Tukang perahu berteriak dan diapun meloncat ke dalam air mengejar buntalannya yang dibuang.
“Byuurr....!”
Air muncrat ke atas dan tukang perahu lenyap, menyelam untuk mengejar buntalan yang sudah tenggelam. Tubuh tukang perahu terseret air yang mengalir cepat.
Ceng Ceng melongo, mukanya agak pucat. Melihat tukang perahu itu lenyap ditelan air, dia kaget dan merasa khawatir sekali. Kekhawatiran yang menimbulkan penyesalan. Jangan-jangan tukang perahu itu akan mati terseret arus yang kencang, pikirnya. Buntalan itu tentu amat penting baginya. Mungkin segala harta milik tukang perahu yang miskin itu berada di dalam buntalan, maka tentu saja dia mati-matian mempertahankan miliknya dan jangan-jangan dia mengorbankan nyawa dalam mengejar buntalan.
“Ceng-moi.... celaka.... perahunya hanyut dan miring....!”
Terdengar jerit Sian Cu. Ceng Ceng tersadar dan dia mendekati encinya. Segera diapun menjadi bingung. Perahu terseret dan terbawa arus yang kuat sekali dan karena perahu itu kehilangan kemudi, maka dipermainkan air oleng ke kanan kiri. Ditambah lagi kepanikan mereka yang berdiri di perahu, menjaga keseimbangan badan ketika perahu oleng, malah menambah miring perahu. Kedua orang dara itu menjadi makin bingung!
“Bagaimana, Ceng-moi? Bagaimana kita harus menahan perahu? Mana dayungnya?” Sian Cu menjerit-jerit ngeri karena dia tidak pandai renang.
Dia menarik lengannya secara tiba-tiba sehingga pegangan Sian Cu terlepas dan kembali dia menendang sambil meloncat. Tendangan terbang yang berbahaya sekali, mengarah tenggorokan si tukang perahu.
“Heiiittt.... tendangan hebat!” Si tukang perahu mengelak sambil memuji dengan suara mengejek.
“Mampuslah....!”
Ceng Ceng membalikkan tubuhnya ketika tendangannya tidak mengenai sasaran, sambil membalik tubuhnya maju dan tangannya yang dikepal menghantam dada.
“Eiiiiihhhh.... hebat, wahhh luput! Sayang sekali....!”
Kembali si tukang perahu mengejek dan berhasil mengelak. Dapat dibayangkan betapa jengkel hati Ceng Ceng. Perahu bergerak-gerak miring dan dia sudah menyerang bertubi-tubi, namun tidak berhasil sama sekali. Biarpun kini dia maklum bahwa tukang perahu itu ternyata lihai, namun kemarahannya membuat dia tidak mengenal takut dan hatinya tidak akan terasa puas sebelum dia berhasil merobohkan orang yang dibencinya itu.
“Adik Ceng.... ahhh, jangan! Lihat, perahu sudah miring.... kita bisa celaka....!”
Memang benar teriakan Sian Cu ini. Gerakan-gerakan dua orang yang berkejar-kejaran seperti tikus dengan kucing ini membuat perahu kehilangan arah dan miring-miring.
“Ha-ha-ha, biarkanlah, nona Sian Cu. Kalau perahu terbalik, baru nona galak itu tahu rasa. Kau jangan khawatir, tentu akan kutolong, tapi dia.... biar kembung perutnya terisi penuh air, ha-ha-ha!”
“Jahanam busuk....!” Ceng Ceng hampir menangis dan kini dia mengeluarkan sepasang belatinya. “Engkau harus mampus di tanganku!”
“Adik Ceng....!”
Ceng Ceng yang sudah “mata gelap” saking marahnya itu menyerang dengan dahsyat, tidak peduli akan perahu yang miring. Melihat datangnya dua sinar terang yang menyambarnya, tukang perahu secara tiba-tiba merendahkan tubuh berjongkok dan tiba-tiba Ceng Ceng merasa kedua tangannya lemas karena secara lihai dan tak tersangka sama sekali, dari bawah menyambar jari-jari tangan tukang perahu itu memapaki gerakan tangannya dan pergelangan tangannya telah ditotok sehingga tangannya yang lumpuh tak mampu lagi memegang sepasang belatinya dan dengan gerakan kilat, sepasang senjatanya itu telah dibuang ke dalam sungai oleh si tukang perahu. Sambil tertawa tukang perahu itu meloncat lagi melewati bilik dan berada di ujung perahu yang lain sambil menyeringai lebar.
“Heh-heh, kau boleh terjun keluar mengejar pisau-pisau dapur itu!”
Kemarahan yang memuncak membuat Ceng Ceng tidak sadar bahwa dia berhadapan dengan seorang yang memiliki kepandaian yang amat tinggi, jauh lebih tinggi daripada tingkat kepandaiannya sendiri. Akan tetapi dia jengkel sekali, merasa terhina dan ingin dia menangis dan menjerit-jerit! Dia telah dibikin malu, dihina, dibuat tidak berdaya dan sepasang senjatanya dibuang begitu saja ke dalam sungai!
Tiba-tiba timbul akalnya untuk membalas dendam! Dia menubruk ke depan, disambarnya dayung, dua batang dayung dari perahu itu, bukan dipergunakan untuk senjata, melainkan dayung yang dua buah itu dilemparnya jauh-jauh keluar dari perahu, ketengah sungai! Disambarnya tali layar, direnggutnya sampai putus dan dibuangnya pula, lalu dirobeknya layar.
“Heiii.... jangan....! Wah-wah-wah, celaka.... kau benar-benar liar!”
Tukang perahu berteriak-teriak, mengangkat kedua tangannya untuk mencegah dan kelihatan bingung sekali. Melihat ini, terobatlah hati Ceng Ceng yang panas dan sakit, akan tetapi dia belum puas. Dia melihat buntalan si tukang perahu, maka cepat buntalan itu disambarnya pula.
“Jangan itu....!”
Tukang perahu berteriak dan meloncat dengan kecepatan seperti burung terbang, melewati bilik dan tangannya diulur untuk merampas buntalan. Akan tetapi sambil tersenyum mengejek Ceng Ceng sudah melemparkan buntalan itu sampai jauh ke tengah sungai.
“Byuurrr....!”
“Wah, celaka....!”
Tukang perahu berteriak dan diapun meloncat ke dalam air mengejar buntalannya yang dibuang.
“Byuurr....!”
Air muncrat ke atas dan tukang perahu lenyap, menyelam untuk mengejar buntalan yang sudah tenggelam. Tubuh tukang perahu terseret air yang mengalir cepat.
Ceng Ceng melongo, mukanya agak pucat. Melihat tukang perahu itu lenyap ditelan air, dia kaget dan merasa khawatir sekali. Kekhawatiran yang menimbulkan penyesalan. Jangan-jangan tukang perahu itu akan mati terseret arus yang kencang, pikirnya. Buntalan itu tentu amat penting baginya. Mungkin segala harta milik tukang perahu yang miskin itu berada di dalam buntalan, maka tentu saja dia mati-matian mempertahankan miliknya dan jangan-jangan dia mengorbankan nyawa dalam mengejar buntalan.
“Ceng-moi.... celaka.... perahunya hanyut dan miring....!”
Terdengar jerit Sian Cu. Ceng Ceng tersadar dan dia mendekati encinya. Segera diapun menjadi bingung. Perahu terseret dan terbawa arus yang kuat sekali dan karena perahu itu kehilangan kemudi, maka dipermainkan air oleng ke kanan kiri. Ditambah lagi kepanikan mereka yang berdiri di perahu, menjaga keseimbangan badan ketika perahu oleng, malah menambah miring perahu. Kedua orang dara itu menjadi makin bingung!
“Bagaimana, Ceng-moi? Bagaimana kita harus menahan perahu? Mana dayungnya?” Sian Cu menjerit-jerit ngeri karena dia tidak pandai renang.
“Dayungnya....?”
Ceng Ceng terkejut. Dayung, tali layar, semua telah dibuangnya, bahkan layarnya telah dirobek-robeknya! Dia tidak mampu menjawab, dan tidak tahu harus berbuat apa, untuk menyelamatkan perahu dan mereka berdua. Karena tidak dapat melakukan sesuatu, Ceng Ceng hanya merangkul dan melindungi Sian Cu dengan lengannya sambil berpegang erat-erat pada tihang layar yang terbuat dari bambu itu.
“Jangan bergerak-gerak, enci. Tenang saja agar perahu hanyut dengan tenang!”
Kedua orang dara itu tak bergerak dan benar saja, perahu itu tidak lagi miring-miring, akan tetapi setengahnya telah terendam air dan kini hanyut dengan kecepatan yang mengerikan. Untung bahwa bagian sungai itu tidak dalam dan tidak ada batu-batu menonjol sehingga perahu mereka dapat hanyut terus, tidak menabrak batu yang tentu akan membuat perahu tenggelam.
Karena menghadapi bahaya maut yang mengerikan ini, kedua orang dara itu sudah lupa lagi kepada tukang perahu yang tadi meloncat ke air. Perahu hanyut dengan cepat dan memasuki sebuah dusun yang besar dan ramai.
Di tempat ini banyak sekali perahu berada di sungai dan begitu perahu yang ditumpangi Ceng Ceng dan Sian Cu datang dengan cepatnya, gegerlah para nelayan disitu. Perahu-perahu yang berada di tengah dan sedang didayung seenaknya cepat-cepat didayung minggir.
“Minggir....! Perahu hanyut....!”
“Celaka...! Krakkkk....!”
“Braaakkkk! Krakkkk....!”
Teriakan-teriakan terdengar dan dua buah perahu yang tidak keburu minggir telah ditabrak oleh perahu yang hanyut itu sehingga terguling dan tenggelam, berikut perahu yang ditumpangi Ceng Ceng dan Sian Cu!
“Ceng-moi....!” Terdengar Sian Cu menjerit sebelum tubuhnya tenggelam.
“Enci Syanti!”
Ceng Ceng juga menjerit dan dara itu biarpun belum pernah belajar berenang, namun dia telah mendengar bagaimana caranya berenang. Dia menggerak-gerakkan kedua lengannya dan menendang-nendangkan kakinya sehingga tubuhnya tidak tenggelam, akan tetapi karena gerakannya ngawur, tubuhnya segera terseret oleh arus deras.
Orang-orang disitu masih panik dan bingung karena peristiwa itu terjadi secara tiba-tiba dan tidak terduga-duga, maka tidak ada yang melihat gadis yang hanyut terbawa air yang kencang itu. Mereka yang tadinya duduk di dalam perahu yang pertama tertabrak, sebanyak lima orang, sudah berenang dan berusaha membalikkan perahu mereka. Adapun perahu kedua yang tenggelam, tidak tampak timbul kembali, juga penumpangnya, seorang laki-Iaki setengah tua, tidak kelihatan muncul di permukaan air.
Tiba-tiba terdengar banyak orang berteriak-teriak keheranan. Siapa tidak akan menjadi keheranan dan kagum sekali ketika melihat perahu kedua yang tenggelam tadi, tiba-tiba saja muncul dan perahu itu seperti bersayap, tahu-tahu telah “terbang” diatas permukaan air dan terus mendarat!
Di atas perahu itu seorang laki-laki setengah tua yang berpakaian basah kuyup memegang dayung panjang di tangan kanan dan mengempit tubuh Syanti Dewi di tangan kiri, berdiri dan mengatur keseimbangan perahu yang meluncur itu dengan tubuhnya.
Setelah perahu itu mendarat di atas pasir, setelah tadi “terbang” melalui beberapa buah perahu lainnya, laki-laki itu meloncat dari perahu, terus berjalan pergi dengan cepat sambil memondong Syanti Dewi atau Sian Cu yang masih pingsan!
Tentu saja semua orang terheran-heran, apalagi setelah mereka berusaha mengejar, laki-laki itu telah lenyap tanpa meninggalkan bekas. Ramailah orang membicarakan orang yang aneh itu. Dari keterangan beberapa orang yang mengenal laki-laki aneh itu, ternyata bahwa laki-laki yang usianya sekitar empat puluh tahun itu baru dua bulan lebih tiba di Kiu-teng, yaitu dusun dimana terjadi peristiwa hebat dan aneh itu tadi.
Laki-laki itu seringkali duduk di dalam perahu, termenung, kadang-kadang mengangkut barang dagangan menyeberang atau ke tempat lain yang tidak begitu jauh. Orang itu pendiam, jarang sekali bicara akan tetapi karena pandang matanya dan tutur bahasanya yang jarang itu selalu manis budi, semua orang suka kepadanya.
Dalam menerima biaya pengangkutan, orang itupun tidak cerewet sehingga mulai memperoleh banyak langganan. Anehnya, mereka yang mengenal orang itu, mereka sering kali melihat orang itu mengajak anak-anak kecil untuk bermain-main, mengajar mereka berenang, bernyanyi dan bermain-main. Lebih mengherankan lagi, orang itu hampir selalu menghabiskan uang hasil pekerjaannya untuk menyenangkan hati anak kecil itu, bahkan beberapa kali dia membelikan pakaian untuk anak-anak yang miskin.
“Siapa namanya?” tanya seseorang.
“Dia tentu seorang pendekar sakti yang menyamar!”
“Mungkin dia seorang dewa! Kalau manusia, mana mampu menerbangkan perahu?”
Orang yang mengenal laki-laki aneh itu menggelengkan kepalanya.
“Itulah anehnya. Dia tidak pernah mau mengaku siapa namanya, hanya mengatakan bahwa dia she Gak, sehingga akupun hanya menyebutnya Gak-twako (kakak Gak). Anehnya, sikapnya biasa dan sederhana saja. Siapa tahu ternyata dia adalah seorang yang memiliki kesaktian sehebat itu!” Orang itu menggeleng-gelengkan kepalanya penuh takjub.
Bagi yang mengenal laki-laki setengah tua itu tentu tidak akan heran menyaksikan kesaktiannya, karena orang itu bukan lain adalah Gak Bun Beng. Para pembaca cerita SEPASANG PEDANG IBLIS tentu tidak akan pernah melupakan nama ini!
Pada waktu itu, di dalam cerita SEPASANG PEDANG IBLIS, Gak Bun Beng masih muda, seorang pemuda yang memiliki kesaktian yang luar biasa karena pemuda ini telah banyak mewarisi ilmu silat yang tinggi sekali, selain ketika masih kanak-kanak dia menjadi murid seorang tokoh sakti Siauw-lim-pai, ketika menjelang dewasa dia secara kebetulan mewarisi ilmu kesaktian peninggalan seorang manusia dewa yang bernama Koai Lojin. Bukan itu saja, bahkan pernah dia menerima warisan ilmu dari kakek sakti Bu-tek Siauw-jin datuk Pulau Neraka, dan pernah pula menerima pendidikan sin-kang dari Pendekar Super Sakti!
Di waktu dia masih muda saja dia telah memiliki kesaktian-kesaktian luar biasa itu, diantaranya adalah ilmu Lo-thian Kiam-sut (Ilmu Pedang Pengacau Langit), Tenaga Sakti Inti Bumi dari Bu-tek Siauw-jin, gabungan tenaga sin-kang Swat-im-sin-kang dan Hui-yang-sin-kang dari Pendekar Super Sakti, di samping ilmu silat-ilmu silat lain yang kesemuanya bertingkat tinggi!
Hanya sayang pemuda yang tampan dan gagah perkasa itu malang nasibnya sehingga banyak mengalami kesengsaraan (baca cerita SEPASANG PEDANG IBLIS), bahkan pertalian cinta kasihnya dengan Milana, puteri sulung Pendekar Super Sakti, telah gagal dan putus.... Pada akhir cerita SEPASANG PEDANG IBLIS, pemuda Gak Bun Beng yang mengunjungi Pulau Es, berpamit dari Pendekar Super Sakti, berpisah dari bekas kekasihnya, Milana, dan pergi tanpa meninggalkan jejak. Semenjak itu, sampai belasan tahun, tidak pernah terdengar namanya di dunia kang-ouw.
Gak Bun Beng menganggap bahwa nasib hidupnya itu sudah sewajarnya. Kalau dia melihat keadaan riwayatnya, dia bahkan menganggap dirinya masih beruntung karena tidak sampai terjerumus menjadi seorang penjahat. Ayahnya adalah seorang datuk sesat yang amat jahat, yang bernama Gak Liat dan dia sendiri dilahirkan di dunia karena kejahatan ayahnya yang memperkosa seorang pendekar wanita Siauw-lim-pai! Dia seorang anak haram, keturunan seorang ayah yang jahat seperti iblis!
Mengingat itu semua, Gak Bun Beng tidak pernah menyesali nasibnya dan dia malah menyembunyikan diri, hidup diantara rakyat miskin sederhana, merantau ke pelbagai tempat dan diam-diam tentu saja memperdalam ilmu-ilmunya.
Akhirnya, kurang lebih dua bulan yang lalu, dia tiba di dusun Kiu-teng itu dan hidup sebagai seorang tukang perahu yang sederhana. Di tempat inipun, seperti di lain-lain tempat, dia tidak pernah memperkenalkan namanya kecuali hanya she-nya sehingga oleh tukang perahu lain yang mengenalnya dia hanya dikenal sebagai Gak-twako, seorang tukang perahu yang hidup sederhana dan pendiam, penyayang kanak-kanak.
Ketika pada hari itu Gak Bun Beng sedang melamun sambil duduk menanti pesanan orang yang akan menyewa perahunya, tiba-tiba perahunya menjadi korban tabrakan perahu yang hanyut itu sehingga terguling dan tenggelam.
Bun Beng tidak memperdulikan dirinya sendiri, pertama-tama yang menarik perhatiannya adalah teriakan-teriakan dua orang gadis yang ikut tenggelam bersama perahu yang hanyut itu. Ketika dia mendengar seorang diantara dua orang gadis itu menyebut nama “enci Syanti”, dia menjadi heran sekali.
Nama itu terang bukan nama gadis Han! Tentu saja Bun Beng bermaksud menolong mereka, akan tetapi dia bukanlah seorang yang amat ahli dalam ilmu renang, maka dia hanya dapat menolong gadis terdekat.
Setelah dia dapat meraih gadis yang pingsan itu dan mulai tenggelam lagi, Bun Beng menggunakan kepandaiannya menyelamatkan perahunya. Dengan kekuatan yang dahsyat dia menggunakan dayungnya sebagai alat menekan sehingga perahunya meluncur keatas sedemikian kuatnya sehingga melampaui perahu lain dan dapat mendarat di atas pasir.
Karena keadaan yang memaksanya itu, tanpa sengaja dia mengeluarkan kepandaiannya dan barulah dia teringat akan hal ini setelah perahunya mendarat. Dia menyesali kelengahannya dan terpaksa dia harus meninggalkan perahunya dari tempat itu karena kalau tidak, berarti dia membuka rahasianya yang selama belasan tahun ini disimpannya rapat-rapat.
Hanya satu hal membuat dia kecewa, yaitu dia tidak dapat menolong gadis kedua yang telah hanyut terbawa arus air yang amat kuat. Dia tahu bahwa mengejarnya tidak akan ada gunanya dan gadis itu tentu tewas, kecuali kalau ada pertolongan yang tak tersangka-sangka.
Bun Beng membawa Syanti Dewi ke dalam kuil tua yang kosong di tengah hutan, di sebelah timur dusun Kiu-teng dan di lembah Sungai Nu-kiang, merebahkan tubuh yang pingsan itu di atas lantai, kemudian mengeluarkan air dalam perut dara itu, mengurut beberapa jalan darah sampai dara itu mengeluh dan siuman.
“Ahhhhh....!”
Syanti Dewi mengeluh dan bergerak, lalu membuka kedua matanya. Bun Beng memandang wajah itu dan di sudut hatinya terharu. Dia merasa yakin bahwa gadis ini tentulah gadis asing yang memiliki kecantikan khas agak mirip dengan Milana, bekas kekasihnya yang memiliki darah Mancu bangsawan, karena Milana adalah cucu Kaisar Mancu!
Ketika Syanti Dewi mendapat kenyataan bahwa dia rebah di dalam kamar tua dari tembok yang sudah retak-retak, diatas lantai yang kotor, kemudian melihat seorang laki-laki berusia kurang dari empat puluh tahun berjongkok tidak jauh darinya, dia terkejut dan cepat bangkit duduk.
Kenyataan pertama bahwa pakaiannya basah kuyup, maka teringatlah dia akan peristiwa yang mengerikan itu ketika perahu yang hanyut itu tenggelam membawa dia dan Ceng Ceng tenggelam pula.
“Di.... dimana aku? Siapakah paman....?”
Biarpun ucapannya itu dikeluarkan dalam keadaan bingung dan terkejut, namun jelas terdengar kehalusan budi bahasa gadis itu.
“Tenanglah, nona. Engkau telah dapat terbebas dari bahaya tenggelam di sungai dan aku adalah seorang tukang perahu yang kebetulan melihat engkau tenggelam bersama perahu hanyut itu.” Kata Bun Beng dengan suara halus menghibur.
Tiba-tiba sepasang mata dara itu terbelalak dan dia bertanya,
“Bagaimana dengan Ceng-moi? Dimana Ceng-moi....?”
“Engkau maksudkan gadis kedua yang turut terguling dan tenggelam dengan perahu hanyut itu?” Bun Beng bertanya.
“Benar.... kami berdua di perahu itu.... bagaimana dengan Ceng-moi? Dimana dia....? Ceng-moi....!” Syanti Dewi menjerit dan memanggil nama adik angkatnya, penuh kekhawatiran.
Bun Beng menggeleng kepalanya dan menghela napas.
“Menyesal sekali bahwa tenagaku terbatas, aku hanya berhasil menyelamatkanmu, nona. Adapun nona kedua itu.... aku melihat sendiri dia terseret dan hanyut oleh arus sungai yang amat deras dan kuat....”
Makin terbelalak sepasang mata itu, dan muka Syanti Dewi menjadi pucat sekali.
“Paman....! Kau.... maksudkan.... dia.... Ceng-moi....?”
Bun Beng mengangguk.
“Kalau tidak terjadi hal yang luar biasa, aku khawatir sekali bahwa dia akan tewas. Air itu deras sekali dan amat dalam.”
“Ceng-moi....!”
Syanti Dewi menjerit lalu menangis sesenggukan, menutupi muka dengan kedua tangannya. Bun Beng memandang dengan alis berkerut, akan tetapi dia diam saja karena maklum bahwa pada saat seperti itu, hanya tangis yang merupakan obat terbaik bagi dara ini.
“Ceng-moi.... aihhh.... Candra adikku, bagaimana aku dapat hidup tanpa kau? Bagaimana aku berani melanjutkan perjalanan tanpa engkau....? Adik Candra.... tega benar engkau meninggalkan aku.... hu-hu-huhhhh, lalu aku bagaimana....?”
Mendengar wanita muda itu menyebut gadis kedua dengan nama Ceng-moi dan juga adik Candra, Bun Beng merasa heran. Akan tetapi kerut di alisnya mendalam dan tiba-tiba dia berkata, suaranya penuh nada teguran,
“Nona, tak kusangka bahwa hatimu kejam dan engkau mementingkan dirimu sendiri saja!”
Mendengar teguran aneh ini, tentu saja Syanti Dewi terkejut dan merasa heran sehingga sejenak dia lupa akan tangisnya, mengangkat muka yang pucat dan basah dengan mata merah, memandang tukang perahu itu sambil bertanya dengan suara tergagap,
“Paman.... apa.... apa maksudnya....? Aku kejam...., terhadap siapa....?”
“Terhadap siapa lagi kalau bukan terhadap adikmu itu?”
“Paman!” Syanti Dewi bertanya dengan suara keras karena penasaran. “Apa maksudmu dengan kata-kata itu? Aku kejam terhadap adik Ceng Ceng?”
Bun Beng menarik napas panjang.
“Ahhh, aku sampai lupa bahwa engkaupun hanya seorang gadis yang tentu saja takkan berbeda dengan seluruh manusia di dusun ini, hidupnya penuh dengan keakuan yang selalu mementingkan diri sendiri. Akan tetapi, coba engkau sadarilah, nona. Engkau menangis dan berduka ini, terus terang saja, yang engkau tangisi dan dukakan ini karena adikmu itu mungkin mati, ataukah engkau menangis dan berduka karena engkau ditinggalkan oleh dia yang kau sandari? Engkau menangisi dia ataukah engkau menangisi dirimu sendiri?”
Syanti Dewi terkejut bukan main! Ucapan itu terdengar olehnya seperti halilintar menyambar di tengah hari terik, dan memasuki hatinya seperti setetes air dingin sekali di waktu panas. Sejenak dia melongo dan tercengang, hanya memandang orang itu tanpa dapat berkata-kata, dan otomatis tangisnyapun berhenti!
Bun Beng lalu membuat api unggun tanpa berkata-kata, lalu keluar dari dalam kamar kuil tua dan berkata dari luar kamar,
“Sekarang yang terpenting menjaga jangan sampai engkau jatuh sakit. Tanggalkan semua pakaianmu dan lemparkan keluar agar dapat kujemur sampai kering. Sementara menanti pakaian kering, kau duduklah dekat api unggun. Dan engkau tidak perlu khawatir, nona. Di tempat ini tidak ada orang lain kecuali kita berdua, dan aku akan menjaga di luar kuil.”
Teguran atas tangisnya tadi masih menghunjam di ulu hatinya, masih berkesan dalam sekali di hatinya, maka seperti dalam mimpi, dengan mata masih tertuju ke arah pintu dari mana laki-laki itu keluar, tanpa ragu-ragu Syanti Dewi menanggalkan semua pakaiannya satu demi satu lalu menggulung semua pakaian itu dan melempar keluar pintu. Hanya tampak sebagian lengan tangan menyambar gulungan pakaian itu, lalu lenyap.
Syanti Dewi duduk mendekati api unggun, menutupi dadanya dengan rambutnya yang dilepas kuncirnya. Dia termenung, terheran-heran memikirkan laki-laki aneh yang ucapannya menusuk hatinya dengan tepat sekali, membuat tangisnya terhenti seketika karena dia kini malu sendiri kalau harus menangis, karena tak dapat dibantahnya bahwa tangisnya tadi terutama sekali karena merasa khawatir dan iba kepada dirinya sendiri, bukan kepada Ceng Ceng! Dia menangis karena ditinggalkan. Karena DIA yang ditinggalkan, karena DIA kehilangan kawan baik, karena DIA kini menghadapi masa depan di istana kerajaan asing seorang diri saja!
Kini dia termenung dan merasa heran tiada habisnya karena sedikit ucapan itu menggugah kesadarannya, membuat dia melihat kepalsuan dalam liku-liku kehidupan manusia. Apakah semua tangis yang dikucurkan, semua perkabungan jika ada kematian kesemuanya itu seperti tangisnya tadi juga, semua itu palsu belaka dan yang menangis itu sesungguhnya hanya menangisi dirinya sendiri saja, bukan menangis demi yang mati?
Bun Beng memeras pakaian gadis itu sampai hampir kering sehingga dijemur sebentar saja pakaian itu sudah kering betul. Pakaian itu digulungnya dan dari luar kamar kuil itu dia berkata,
“Nona, pakaianmu sudah kering semua. Terimalah dan segera pakai kembali pakaianmu!”
Gulungan pakaian itu dia lemparkan ke dalam dan kembali hanya sebagian lengannya saja yang tampak. Syanti Dewi merasa bersyukur dan berterima kasih sekali. Cepat dia mengenakan kembali pakaiannya. Di dalam hatinya dia bersyukur kepada Thian bahwa setelah kehilangan Ceng Ceng, kini dia bertemu dengan orang yang demikian baik budinya, seorang laki-laki yang bukan hanya telah menyelamatkan nyawanya, akan tetapi juga yang secara aneh telah menyadarkan batinnya dan kini bersikap demikian sopan kepadanya!
“Aku sudah berpakaian, paman. Harap suka masuk agar kita dapat bicara,” katanya.
Bun Beng melangkah masuk dan kembali mereka duduk di atas lantai, saling berhadapan. Tanpa malu-malu Syanti Dewi kini menatap laki-laki itu dan terkejutlah dia karena baru sekarang tampak olehnya bahwa orang yang berada di depannya jelas bukanlah seorang tukang perahu biasa!
Sinar mata laki-laki itu demikian tajam dan berwibawa, namun mengandung kehalusan pandang mata yang penuh kasih sayang dan iba hati. Wajah itu tampan dan kulitnya halus, kumis dan jenggotnya terpelihara, seluruh tubuhnya membayangkan perawatan dan kebersihan, bahkan kuku-kuku jari tangannya pun terawat seperti tangan seorang sastrawan, pakaiannya sederhana namun bersih pula.
Bukan seorang tukang perahu biasa, agaknya seorang sastrawan yang menyamar sebagai rakyat jelata! Dilain fihak, Bun Beng yang memperhatikan wajah gadis itu, juga dapat menduga bahwa gadis ini selain asing karena nama dan bentuk mukanya, juga tentu seorang gadis terpelajar tinggi.
“Nona siapakah?” Bun Beng bertanya singkat.
“Namaku Lu Sian Cu. Boleh aku mengetahui namamu, paman?”
“Sebut saja aku paman Gak. Akan tetapi kuharap engkau tidak merahasiakan namamu karena aku telah mendengar gadis kedua itu meneriakkan namamu, yaitu Syanti.”
Syanti Dewi tercengang dan maklum bahwa tiada gunanya untuk membohong kepada orang yang jelas beriktikad baik terhadap dirinya itu.
Ceng Ceng terkejut. Dayung, tali layar, semua telah dibuangnya, bahkan layarnya telah dirobek-robeknya! Dia tidak mampu menjawab, dan tidak tahu harus berbuat apa, untuk menyelamatkan perahu dan mereka berdua. Karena tidak dapat melakukan sesuatu, Ceng Ceng hanya merangkul dan melindungi Sian Cu dengan lengannya sambil berpegang erat-erat pada tihang layar yang terbuat dari bambu itu.
“Jangan bergerak-gerak, enci. Tenang saja agar perahu hanyut dengan tenang!”
Kedua orang dara itu tak bergerak dan benar saja, perahu itu tidak lagi miring-miring, akan tetapi setengahnya telah terendam air dan kini hanyut dengan kecepatan yang mengerikan. Untung bahwa bagian sungai itu tidak dalam dan tidak ada batu-batu menonjol sehingga perahu mereka dapat hanyut terus, tidak menabrak batu yang tentu akan membuat perahu tenggelam.
Karena menghadapi bahaya maut yang mengerikan ini, kedua orang dara itu sudah lupa lagi kepada tukang perahu yang tadi meloncat ke air. Perahu hanyut dengan cepat dan memasuki sebuah dusun yang besar dan ramai.
Di tempat ini banyak sekali perahu berada di sungai dan begitu perahu yang ditumpangi Ceng Ceng dan Sian Cu datang dengan cepatnya, gegerlah para nelayan disitu. Perahu-perahu yang berada di tengah dan sedang didayung seenaknya cepat-cepat didayung minggir.
“Minggir....! Perahu hanyut....!”
“Celaka...! Krakkkk....!”
“Braaakkkk! Krakkkk....!”
Teriakan-teriakan terdengar dan dua buah perahu yang tidak keburu minggir telah ditabrak oleh perahu yang hanyut itu sehingga terguling dan tenggelam, berikut perahu yang ditumpangi Ceng Ceng dan Sian Cu!
“Ceng-moi....!” Terdengar Sian Cu menjerit sebelum tubuhnya tenggelam.
“Enci Syanti!”
Ceng Ceng juga menjerit dan dara itu biarpun belum pernah belajar berenang, namun dia telah mendengar bagaimana caranya berenang. Dia menggerak-gerakkan kedua lengannya dan menendang-nendangkan kakinya sehingga tubuhnya tidak tenggelam, akan tetapi karena gerakannya ngawur, tubuhnya segera terseret oleh arus deras.
Orang-orang disitu masih panik dan bingung karena peristiwa itu terjadi secara tiba-tiba dan tidak terduga-duga, maka tidak ada yang melihat gadis yang hanyut terbawa air yang kencang itu. Mereka yang tadinya duduk di dalam perahu yang pertama tertabrak, sebanyak lima orang, sudah berenang dan berusaha membalikkan perahu mereka. Adapun perahu kedua yang tenggelam, tidak tampak timbul kembali, juga penumpangnya, seorang laki-Iaki setengah tua, tidak kelihatan muncul di permukaan air.
Tiba-tiba terdengar banyak orang berteriak-teriak keheranan. Siapa tidak akan menjadi keheranan dan kagum sekali ketika melihat perahu kedua yang tenggelam tadi, tiba-tiba saja muncul dan perahu itu seperti bersayap, tahu-tahu telah “terbang” diatas permukaan air dan terus mendarat!
Di atas perahu itu seorang laki-laki setengah tua yang berpakaian basah kuyup memegang dayung panjang di tangan kanan dan mengempit tubuh Syanti Dewi di tangan kiri, berdiri dan mengatur keseimbangan perahu yang meluncur itu dengan tubuhnya.
Setelah perahu itu mendarat di atas pasir, setelah tadi “terbang” melalui beberapa buah perahu lainnya, laki-laki itu meloncat dari perahu, terus berjalan pergi dengan cepat sambil memondong Syanti Dewi atau Sian Cu yang masih pingsan!
Tentu saja semua orang terheran-heran, apalagi setelah mereka berusaha mengejar, laki-laki itu telah lenyap tanpa meninggalkan bekas. Ramailah orang membicarakan orang yang aneh itu. Dari keterangan beberapa orang yang mengenal laki-laki aneh itu, ternyata bahwa laki-laki yang usianya sekitar empat puluh tahun itu baru dua bulan lebih tiba di Kiu-teng, yaitu dusun dimana terjadi peristiwa hebat dan aneh itu tadi.
Laki-laki itu seringkali duduk di dalam perahu, termenung, kadang-kadang mengangkut barang dagangan menyeberang atau ke tempat lain yang tidak begitu jauh. Orang itu pendiam, jarang sekali bicara akan tetapi karena pandang matanya dan tutur bahasanya yang jarang itu selalu manis budi, semua orang suka kepadanya.
Dalam menerima biaya pengangkutan, orang itupun tidak cerewet sehingga mulai memperoleh banyak langganan. Anehnya, mereka yang mengenal orang itu, mereka sering kali melihat orang itu mengajak anak-anak kecil untuk bermain-main, mengajar mereka berenang, bernyanyi dan bermain-main. Lebih mengherankan lagi, orang itu hampir selalu menghabiskan uang hasil pekerjaannya untuk menyenangkan hati anak kecil itu, bahkan beberapa kali dia membelikan pakaian untuk anak-anak yang miskin.
“Siapa namanya?” tanya seseorang.
“Dia tentu seorang pendekar sakti yang menyamar!”
“Mungkin dia seorang dewa! Kalau manusia, mana mampu menerbangkan perahu?”
Orang yang mengenal laki-laki aneh itu menggelengkan kepalanya.
“Itulah anehnya. Dia tidak pernah mau mengaku siapa namanya, hanya mengatakan bahwa dia she Gak, sehingga akupun hanya menyebutnya Gak-twako (kakak Gak). Anehnya, sikapnya biasa dan sederhana saja. Siapa tahu ternyata dia adalah seorang yang memiliki kesaktian sehebat itu!” Orang itu menggeleng-gelengkan kepalanya penuh takjub.
Bagi yang mengenal laki-laki setengah tua itu tentu tidak akan heran menyaksikan kesaktiannya, karena orang itu bukan lain adalah Gak Bun Beng. Para pembaca cerita SEPASANG PEDANG IBLIS tentu tidak akan pernah melupakan nama ini!
Pada waktu itu, di dalam cerita SEPASANG PEDANG IBLIS, Gak Bun Beng masih muda, seorang pemuda yang memiliki kesaktian yang luar biasa karena pemuda ini telah banyak mewarisi ilmu silat yang tinggi sekali, selain ketika masih kanak-kanak dia menjadi murid seorang tokoh sakti Siauw-lim-pai, ketika menjelang dewasa dia secara kebetulan mewarisi ilmu kesaktian peninggalan seorang manusia dewa yang bernama Koai Lojin. Bukan itu saja, bahkan pernah dia menerima warisan ilmu dari kakek sakti Bu-tek Siauw-jin datuk Pulau Neraka, dan pernah pula menerima pendidikan sin-kang dari Pendekar Super Sakti!
Di waktu dia masih muda saja dia telah memiliki kesaktian-kesaktian luar biasa itu, diantaranya adalah ilmu Lo-thian Kiam-sut (Ilmu Pedang Pengacau Langit), Tenaga Sakti Inti Bumi dari Bu-tek Siauw-jin, gabungan tenaga sin-kang Swat-im-sin-kang dan Hui-yang-sin-kang dari Pendekar Super Sakti, di samping ilmu silat-ilmu silat lain yang kesemuanya bertingkat tinggi!
Hanya sayang pemuda yang tampan dan gagah perkasa itu malang nasibnya sehingga banyak mengalami kesengsaraan (baca cerita SEPASANG PEDANG IBLIS), bahkan pertalian cinta kasihnya dengan Milana, puteri sulung Pendekar Super Sakti, telah gagal dan putus.... Pada akhir cerita SEPASANG PEDANG IBLIS, pemuda Gak Bun Beng yang mengunjungi Pulau Es, berpamit dari Pendekar Super Sakti, berpisah dari bekas kekasihnya, Milana, dan pergi tanpa meninggalkan jejak. Semenjak itu, sampai belasan tahun, tidak pernah terdengar namanya di dunia kang-ouw.
Gak Bun Beng menganggap bahwa nasib hidupnya itu sudah sewajarnya. Kalau dia melihat keadaan riwayatnya, dia bahkan menganggap dirinya masih beruntung karena tidak sampai terjerumus menjadi seorang penjahat. Ayahnya adalah seorang datuk sesat yang amat jahat, yang bernama Gak Liat dan dia sendiri dilahirkan di dunia karena kejahatan ayahnya yang memperkosa seorang pendekar wanita Siauw-lim-pai! Dia seorang anak haram, keturunan seorang ayah yang jahat seperti iblis!
Mengingat itu semua, Gak Bun Beng tidak pernah menyesali nasibnya dan dia malah menyembunyikan diri, hidup diantara rakyat miskin sederhana, merantau ke pelbagai tempat dan diam-diam tentu saja memperdalam ilmu-ilmunya.
Akhirnya, kurang lebih dua bulan yang lalu, dia tiba di dusun Kiu-teng itu dan hidup sebagai seorang tukang perahu yang sederhana. Di tempat inipun, seperti di lain-lain tempat, dia tidak pernah memperkenalkan namanya kecuali hanya she-nya sehingga oleh tukang perahu lain yang mengenalnya dia hanya dikenal sebagai Gak-twako, seorang tukang perahu yang hidup sederhana dan pendiam, penyayang kanak-kanak.
Ketika pada hari itu Gak Bun Beng sedang melamun sambil duduk menanti pesanan orang yang akan menyewa perahunya, tiba-tiba perahunya menjadi korban tabrakan perahu yang hanyut itu sehingga terguling dan tenggelam.
Bun Beng tidak memperdulikan dirinya sendiri, pertama-tama yang menarik perhatiannya adalah teriakan-teriakan dua orang gadis yang ikut tenggelam bersama perahu yang hanyut itu. Ketika dia mendengar seorang diantara dua orang gadis itu menyebut nama “enci Syanti”, dia menjadi heran sekali.
Nama itu terang bukan nama gadis Han! Tentu saja Bun Beng bermaksud menolong mereka, akan tetapi dia bukanlah seorang yang amat ahli dalam ilmu renang, maka dia hanya dapat menolong gadis terdekat.
Setelah dia dapat meraih gadis yang pingsan itu dan mulai tenggelam lagi, Bun Beng menggunakan kepandaiannya menyelamatkan perahunya. Dengan kekuatan yang dahsyat dia menggunakan dayungnya sebagai alat menekan sehingga perahunya meluncur keatas sedemikian kuatnya sehingga melampaui perahu lain dan dapat mendarat di atas pasir.
Karena keadaan yang memaksanya itu, tanpa sengaja dia mengeluarkan kepandaiannya dan barulah dia teringat akan hal ini setelah perahunya mendarat. Dia menyesali kelengahannya dan terpaksa dia harus meninggalkan perahunya dari tempat itu karena kalau tidak, berarti dia membuka rahasianya yang selama belasan tahun ini disimpannya rapat-rapat.
Hanya satu hal membuat dia kecewa, yaitu dia tidak dapat menolong gadis kedua yang telah hanyut terbawa arus air yang amat kuat. Dia tahu bahwa mengejarnya tidak akan ada gunanya dan gadis itu tentu tewas, kecuali kalau ada pertolongan yang tak tersangka-sangka.
Bun Beng membawa Syanti Dewi ke dalam kuil tua yang kosong di tengah hutan, di sebelah timur dusun Kiu-teng dan di lembah Sungai Nu-kiang, merebahkan tubuh yang pingsan itu di atas lantai, kemudian mengeluarkan air dalam perut dara itu, mengurut beberapa jalan darah sampai dara itu mengeluh dan siuman.
“Ahhhhh....!”
Syanti Dewi mengeluh dan bergerak, lalu membuka kedua matanya. Bun Beng memandang wajah itu dan di sudut hatinya terharu. Dia merasa yakin bahwa gadis ini tentulah gadis asing yang memiliki kecantikan khas agak mirip dengan Milana, bekas kekasihnya yang memiliki darah Mancu bangsawan, karena Milana adalah cucu Kaisar Mancu!
Ketika Syanti Dewi mendapat kenyataan bahwa dia rebah di dalam kamar tua dari tembok yang sudah retak-retak, diatas lantai yang kotor, kemudian melihat seorang laki-laki berusia kurang dari empat puluh tahun berjongkok tidak jauh darinya, dia terkejut dan cepat bangkit duduk.
Kenyataan pertama bahwa pakaiannya basah kuyup, maka teringatlah dia akan peristiwa yang mengerikan itu ketika perahu yang hanyut itu tenggelam membawa dia dan Ceng Ceng tenggelam pula.
“Di.... dimana aku? Siapakah paman....?”
Biarpun ucapannya itu dikeluarkan dalam keadaan bingung dan terkejut, namun jelas terdengar kehalusan budi bahasa gadis itu.
“Tenanglah, nona. Engkau telah dapat terbebas dari bahaya tenggelam di sungai dan aku adalah seorang tukang perahu yang kebetulan melihat engkau tenggelam bersama perahu hanyut itu.” Kata Bun Beng dengan suara halus menghibur.
Tiba-tiba sepasang mata dara itu terbelalak dan dia bertanya,
“Bagaimana dengan Ceng-moi? Dimana Ceng-moi....?”
“Engkau maksudkan gadis kedua yang turut terguling dan tenggelam dengan perahu hanyut itu?” Bun Beng bertanya.
“Benar.... kami berdua di perahu itu.... bagaimana dengan Ceng-moi? Dimana dia....? Ceng-moi....!” Syanti Dewi menjerit dan memanggil nama adik angkatnya, penuh kekhawatiran.
Bun Beng menggeleng kepalanya dan menghela napas.
“Menyesal sekali bahwa tenagaku terbatas, aku hanya berhasil menyelamatkanmu, nona. Adapun nona kedua itu.... aku melihat sendiri dia terseret dan hanyut oleh arus sungai yang amat deras dan kuat....”
Makin terbelalak sepasang mata itu, dan muka Syanti Dewi menjadi pucat sekali.
“Paman....! Kau.... maksudkan.... dia.... Ceng-moi....?”
Bun Beng mengangguk.
“Kalau tidak terjadi hal yang luar biasa, aku khawatir sekali bahwa dia akan tewas. Air itu deras sekali dan amat dalam.”
“Ceng-moi....!”
Syanti Dewi menjerit lalu menangis sesenggukan, menutupi muka dengan kedua tangannya. Bun Beng memandang dengan alis berkerut, akan tetapi dia diam saja karena maklum bahwa pada saat seperti itu, hanya tangis yang merupakan obat terbaik bagi dara ini.
“Ceng-moi.... aihhh.... Candra adikku, bagaimana aku dapat hidup tanpa kau? Bagaimana aku berani melanjutkan perjalanan tanpa engkau....? Adik Candra.... tega benar engkau meninggalkan aku.... hu-hu-huhhhh, lalu aku bagaimana....?”
Mendengar wanita muda itu menyebut gadis kedua dengan nama Ceng-moi dan juga adik Candra, Bun Beng merasa heran. Akan tetapi kerut di alisnya mendalam dan tiba-tiba dia berkata, suaranya penuh nada teguran,
“Nona, tak kusangka bahwa hatimu kejam dan engkau mementingkan dirimu sendiri saja!”
Mendengar teguran aneh ini, tentu saja Syanti Dewi terkejut dan merasa heran sehingga sejenak dia lupa akan tangisnya, mengangkat muka yang pucat dan basah dengan mata merah, memandang tukang perahu itu sambil bertanya dengan suara tergagap,
“Paman.... apa.... apa maksudnya....? Aku kejam...., terhadap siapa....?”
“Terhadap siapa lagi kalau bukan terhadap adikmu itu?”
“Paman!” Syanti Dewi bertanya dengan suara keras karena penasaran. “Apa maksudmu dengan kata-kata itu? Aku kejam terhadap adik Ceng Ceng?”
Bun Beng menarik napas panjang.
“Ahhh, aku sampai lupa bahwa engkaupun hanya seorang gadis yang tentu saja takkan berbeda dengan seluruh manusia di dusun ini, hidupnya penuh dengan keakuan yang selalu mementingkan diri sendiri. Akan tetapi, coba engkau sadarilah, nona. Engkau menangis dan berduka ini, terus terang saja, yang engkau tangisi dan dukakan ini karena adikmu itu mungkin mati, ataukah engkau menangis dan berduka karena engkau ditinggalkan oleh dia yang kau sandari? Engkau menangisi dia ataukah engkau menangisi dirimu sendiri?”
Syanti Dewi terkejut bukan main! Ucapan itu terdengar olehnya seperti halilintar menyambar di tengah hari terik, dan memasuki hatinya seperti setetes air dingin sekali di waktu panas. Sejenak dia melongo dan tercengang, hanya memandang orang itu tanpa dapat berkata-kata, dan otomatis tangisnyapun berhenti!
Bun Beng lalu membuat api unggun tanpa berkata-kata, lalu keluar dari dalam kamar kuil tua dan berkata dari luar kamar,
“Sekarang yang terpenting menjaga jangan sampai engkau jatuh sakit. Tanggalkan semua pakaianmu dan lemparkan keluar agar dapat kujemur sampai kering. Sementara menanti pakaian kering, kau duduklah dekat api unggun. Dan engkau tidak perlu khawatir, nona. Di tempat ini tidak ada orang lain kecuali kita berdua, dan aku akan menjaga di luar kuil.”
Teguran atas tangisnya tadi masih menghunjam di ulu hatinya, masih berkesan dalam sekali di hatinya, maka seperti dalam mimpi, dengan mata masih tertuju ke arah pintu dari mana laki-laki itu keluar, tanpa ragu-ragu Syanti Dewi menanggalkan semua pakaiannya satu demi satu lalu menggulung semua pakaian itu dan melempar keluar pintu. Hanya tampak sebagian lengan tangan menyambar gulungan pakaian itu, lalu lenyap.
Syanti Dewi duduk mendekati api unggun, menutupi dadanya dengan rambutnya yang dilepas kuncirnya. Dia termenung, terheran-heran memikirkan laki-laki aneh yang ucapannya menusuk hatinya dengan tepat sekali, membuat tangisnya terhenti seketika karena dia kini malu sendiri kalau harus menangis, karena tak dapat dibantahnya bahwa tangisnya tadi terutama sekali karena merasa khawatir dan iba kepada dirinya sendiri, bukan kepada Ceng Ceng! Dia menangis karena ditinggalkan. Karena DIA yang ditinggalkan, karena DIA kehilangan kawan baik, karena DIA kini menghadapi masa depan di istana kerajaan asing seorang diri saja!
Kini dia termenung dan merasa heran tiada habisnya karena sedikit ucapan itu menggugah kesadarannya, membuat dia melihat kepalsuan dalam liku-liku kehidupan manusia. Apakah semua tangis yang dikucurkan, semua perkabungan jika ada kematian kesemuanya itu seperti tangisnya tadi juga, semua itu palsu belaka dan yang menangis itu sesungguhnya hanya menangisi dirinya sendiri saja, bukan menangis demi yang mati?
Bun Beng memeras pakaian gadis itu sampai hampir kering sehingga dijemur sebentar saja pakaian itu sudah kering betul. Pakaian itu digulungnya dan dari luar kamar kuil itu dia berkata,
“Nona, pakaianmu sudah kering semua. Terimalah dan segera pakai kembali pakaianmu!”
Gulungan pakaian itu dia lemparkan ke dalam dan kembali hanya sebagian lengannya saja yang tampak. Syanti Dewi merasa bersyukur dan berterima kasih sekali. Cepat dia mengenakan kembali pakaiannya. Di dalam hatinya dia bersyukur kepada Thian bahwa setelah kehilangan Ceng Ceng, kini dia bertemu dengan orang yang demikian baik budinya, seorang laki-laki yang bukan hanya telah menyelamatkan nyawanya, akan tetapi juga yang secara aneh telah menyadarkan batinnya dan kini bersikap demikian sopan kepadanya!
“Aku sudah berpakaian, paman. Harap suka masuk agar kita dapat bicara,” katanya.
Bun Beng melangkah masuk dan kembali mereka duduk di atas lantai, saling berhadapan. Tanpa malu-malu Syanti Dewi kini menatap laki-laki itu dan terkejutlah dia karena baru sekarang tampak olehnya bahwa orang yang berada di depannya jelas bukanlah seorang tukang perahu biasa!
Sinar mata laki-laki itu demikian tajam dan berwibawa, namun mengandung kehalusan pandang mata yang penuh kasih sayang dan iba hati. Wajah itu tampan dan kulitnya halus, kumis dan jenggotnya terpelihara, seluruh tubuhnya membayangkan perawatan dan kebersihan, bahkan kuku-kuku jari tangannya pun terawat seperti tangan seorang sastrawan, pakaiannya sederhana namun bersih pula.
Bukan seorang tukang perahu biasa, agaknya seorang sastrawan yang menyamar sebagai rakyat jelata! Dilain fihak, Bun Beng yang memperhatikan wajah gadis itu, juga dapat menduga bahwa gadis ini selain asing karena nama dan bentuk mukanya, juga tentu seorang gadis terpelajar tinggi.
“Nona siapakah?” Bun Beng bertanya singkat.
“Namaku Lu Sian Cu. Boleh aku mengetahui namamu, paman?”
“Sebut saja aku paman Gak. Akan tetapi kuharap engkau tidak merahasiakan namamu karena aku telah mendengar gadis kedua itu meneriakkan namamu, yaitu Syanti.”
Syanti Dewi tercengang dan maklum bahwa tiada gunanya untuk membohong kepada orang yang jelas beriktikad baik terhadap dirinya itu.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar