Sejenak lima orang jagoan itu memandang dengan mata terbelalak, senjata masing-masing tergenggam di tangan. Siapa yang takkan menjadi ragu-ragu berhadapan dengan seorang pemuda remaja yang bertangan kosong ini? Pemuda itu hanya memiliki sebuah kelebihan, yaitu ketampanannya, akan tetapi apakah artinya wajah tampan? Tubuhnya kecil dan kelihatan lemah, sama sekali bukan “potongan” jago kang-ouw. Benarkah pemuda remaja ini yang membunuh kedua orang suheng mereka?
“Siapa engkau? Dan apa yang terjadi dengan suheng kami?” tanya seorang di antara mereka sambil melangkah maju, pedangnya bersilang di depan dada.
“Kalian belum tahu mengapa dua orang ini tewas? Mereka hendak memperkosa wanita, maka aku telah turun tangan membunuh mereka. Dan mau tahu namaku? Aku bernama.... Gak Bun Beng.”
Tek Hoat tiba-tiba saja timbul niat hatinya untuk menggunakan nama ini, nama orang yang membunuh ayahnya. Nama musuh besarnya yang telah mati. Dia sendiri tidak mengerti mengapa dia menggunakan nama itu, karena dia hanya ingin menyembunyikan namanya sendiri, masih terpengaruh oleh sikap gurunya yang tidak mau melibatkan diri dengan urusan lain. Dia hanya ingin menggunakan nama sembarangan saja untuk menggantikan nama aselinya, dan pada saat dia sedang memilih nama pengganti, tiba-tiba saja nama musuhnya itu menyelinap di kepalanya.
“Gak Bun Beng, berani kau membunuh dua orang suheng kami?”
Sambil membentak demikian, orang berpedang itu sudah menusukkan pedangnya ke arah dada Tek Hoat. Bagi orang di daerah itu, mungkin sekali nama Jit-hui-houw sudah terkenal dan ilmu kepandaian mereka sudah dianggap tinggi dan sukar dicari lawannya, akan tetapi bagi Tek Hoat yang sudah memiliki kepandaian tinggi, gerakan mereka terlalu lambat sehingga dengan mudah dia dapat mengikuti gerakan pedang yang menusuk dadanya.
Dengan menggerakkan badannya miring, pedang meluncur lewat di samping tubuhnya dan secepat kilat tangan pemuda itu menyambar ke depan, jari tangannya menusuk ke arah mata lawan. Gerakannya demikian cepat sehingga lawan yang terancam matanya itu terkejut, memutar pedang menangkis ke atas untuk membabat tangan Tek Hoat. Akan tetapi gerakan serangan ke arah mata itu hanya tipuan belaka karena yang sesungguhnya bergerak adalah tangan kedua yang diam-diam dari bawah menyambar ke atas, mencengkeram tangan lawan yang memegang pedang dan di lain saat pedang itu sudah berpindah tangan!
Dengan seenaknya, kedua tangan pemuda itu dengan saluran sin-kang yang amat kuat mematah-matahkan pedang itu seperti orang mematah-matahkan sebatang lidi saja! Terdengar bunyi pletak-pietok dan pedang itu sudah patah-patah menjadi lima potong. Sebelum pemilik pedang sadar dari kaget dan herannya, Tek Hoat menggerakkan kedua tangannya bergantian dan potongan-potongan pedang menyambar seperti anak panah cepatnya menuju ke arah tubuh pemiliknya.
Orang itu berusaha mengelak, namun luncuran potongan-potongan pedang itu terlalu laju dan jarak antara dia dan penyerangnya terlalu dekat sehingga lima potong baja itu menembus masuk ke dalam tubuhnya. Orang itu mengeluarkan pekik mengerikan dan roboh terjengkang, tewas seketika.
Empat orang anggauta Jit-hui-houw kaget setengah mati, akan tetapi juga marah sekali. Mereka mengeluarkan teriakan dahsyat lalu berbareng maju menyerang dengan senjata mereka. Penyerangan mereka cukup hebat dan sinar pedang dan golok berkelebatan menyilaukan mata. Para pengawal rumah makan sudah lari cerai berai.
Menghadapi serangan bertubi-tubi dari empat orang yang marah itu, Tek Hoat sudah meloncat ke luar dan mereka melanjutkan pertandingan di dalam ruangan tamu di depan yang luas. Meja kursi beterbangan ditendangi empat orang itu ketika mereka mengejar dan mengepung Tek Hoat.
Pemuda ini tenang-tenang saja, bahkan timbul sifat kekanak-kanakannya yang hendak mengajak empat orang pengeroyoknya main kucing-kucingan. Dia berlari ke sana ke mari mengitari meja, dikejar dan dihadang empat orang pengeroyoknya yang membacok atau menusuk setiap kali ada kesempatan.
Setelah puas mempermainkan mereka sambil tersenyum-senyum mengejek, Tek Hoat lalu menyambar sepasang sumpit panjang dari atas meja, sepasang sumpit bambu dan dengan senjata sederhana ini dia meloncat ke depan, kini tidak lagi melarikan diri dikejar-kejar, bahkan dia yang berbalik menyerang!
Begitu menyerang dia sudah bermain dengan ilmu silat gabungan Pat-mo-kun-hoat dan Pat-sian-kun-hoat yang dilatihnya dari Sai-cu Lo-mo. Ilmu silat ini memang dapat dilakukan dengan tangan kosong atau dengan senjata apapun dengan merubah sedikit gerak serangannya disesuaikan dengan senjata yang dipegangnya. Hebat bukan main gerakan pemuda ini, terlalu hebat, aneh, dan cepat bagi empat orang lawannya sehingga terdengar teriakan berturut-turut ketika empat orang itu dipaksa melepaskan senjata masing-masing karena pergelangan tangan atau siku lengan mereka tertusuk sumpit!
Akan tetapi pada saat itu, terdengar suara tangis riuh rendah di sebelah belakang rumah makan. Mendengar itu, Tek Hoat lalu meloncat ke dalam, meninggalkan empat orang lawan yang sudah melepaskan senjata dan berdiri dengan muka pucat dan mata terbelalak saling pandang. Untung bagi mereka bahwa pemuda yang luar biasa itu meloncat ke dalam, kalau tidak, dengan gerakan selanjutnya tentu dengan mudah pemuda itu akan membunuh mereka setelah melucuti senjata mereka secara demikian istimewa!
Sementara itu, Tek Hoat yang mendengar suara tangis itu merasa khawatir kalau terjadi hal-hal yang memerlukan bantuannya, maka dia meninggalkan empat orang lawannya dan cepat berlari masuk. Melihat dia muncul, pemilik rumah makan yang berusia lima puluh tahun lebih dan isterinya yang masih muda dan cantik, cepat menjatuhkan diri berlutut di depan Tek Hoat.
Pemuda ini terkejut dan juga merasa heran mengapa mereka menangis dan dia melihat gadis yang tadi hampir menjadi korban keganasan penjahat, dipegangi oleh dua orang pelayan wanita. Gadis itu menangis dan meronta-ronta, berteriak-teriak,
“Lepaskan aku! Biarkan aku mati....!”
“Harap Ji-wi (anda berdua) bangun, tidak perlu begini,” Tek Hoat berkata sambil menyingkir dari depan kedua suami isteri yang berlutut itu. “Apakah yang terjadi lagi maka ribut-ribut?”
“Taihiap (pendekar besar).... tolonglah kami.... kalau tidak, bukan hanya anak saya mati membunuh diri, akan tetapi kami sekeluarga tentu akan habis terbasmi....” Kakek pemilik rumah makan itu berkata sambil menangis.
“Siapa engkau? Dan apa yang terjadi dengan suheng kami?” tanya seorang di antara mereka sambil melangkah maju, pedangnya bersilang di depan dada.
“Kalian belum tahu mengapa dua orang ini tewas? Mereka hendak memperkosa wanita, maka aku telah turun tangan membunuh mereka. Dan mau tahu namaku? Aku bernama.... Gak Bun Beng.”
Tek Hoat tiba-tiba saja timbul niat hatinya untuk menggunakan nama ini, nama orang yang membunuh ayahnya. Nama musuh besarnya yang telah mati. Dia sendiri tidak mengerti mengapa dia menggunakan nama itu, karena dia hanya ingin menyembunyikan namanya sendiri, masih terpengaruh oleh sikap gurunya yang tidak mau melibatkan diri dengan urusan lain. Dia hanya ingin menggunakan nama sembarangan saja untuk menggantikan nama aselinya, dan pada saat dia sedang memilih nama pengganti, tiba-tiba saja nama musuhnya itu menyelinap di kepalanya.
“Gak Bun Beng, berani kau membunuh dua orang suheng kami?”
Sambil membentak demikian, orang berpedang itu sudah menusukkan pedangnya ke arah dada Tek Hoat. Bagi orang di daerah itu, mungkin sekali nama Jit-hui-houw sudah terkenal dan ilmu kepandaian mereka sudah dianggap tinggi dan sukar dicari lawannya, akan tetapi bagi Tek Hoat yang sudah memiliki kepandaian tinggi, gerakan mereka terlalu lambat sehingga dengan mudah dia dapat mengikuti gerakan pedang yang menusuk dadanya.
Dengan menggerakkan badannya miring, pedang meluncur lewat di samping tubuhnya dan secepat kilat tangan pemuda itu menyambar ke depan, jari tangannya menusuk ke arah mata lawan. Gerakannya demikian cepat sehingga lawan yang terancam matanya itu terkejut, memutar pedang menangkis ke atas untuk membabat tangan Tek Hoat. Akan tetapi gerakan serangan ke arah mata itu hanya tipuan belaka karena yang sesungguhnya bergerak adalah tangan kedua yang diam-diam dari bawah menyambar ke atas, mencengkeram tangan lawan yang memegang pedang dan di lain saat pedang itu sudah berpindah tangan!
Dengan seenaknya, kedua tangan pemuda itu dengan saluran sin-kang yang amat kuat mematah-matahkan pedang itu seperti orang mematah-matahkan sebatang lidi saja! Terdengar bunyi pletak-pietok dan pedang itu sudah patah-patah menjadi lima potong. Sebelum pemilik pedang sadar dari kaget dan herannya, Tek Hoat menggerakkan kedua tangannya bergantian dan potongan-potongan pedang menyambar seperti anak panah cepatnya menuju ke arah tubuh pemiliknya.
Orang itu berusaha mengelak, namun luncuran potongan-potongan pedang itu terlalu laju dan jarak antara dia dan penyerangnya terlalu dekat sehingga lima potong baja itu menembus masuk ke dalam tubuhnya. Orang itu mengeluarkan pekik mengerikan dan roboh terjengkang, tewas seketika.
Empat orang anggauta Jit-hui-houw kaget setengah mati, akan tetapi juga marah sekali. Mereka mengeluarkan teriakan dahsyat lalu berbareng maju menyerang dengan senjata mereka. Penyerangan mereka cukup hebat dan sinar pedang dan golok berkelebatan menyilaukan mata. Para pengawal rumah makan sudah lari cerai berai.
Menghadapi serangan bertubi-tubi dari empat orang yang marah itu, Tek Hoat sudah meloncat ke luar dan mereka melanjutkan pertandingan di dalam ruangan tamu di depan yang luas. Meja kursi beterbangan ditendangi empat orang itu ketika mereka mengejar dan mengepung Tek Hoat.
Pemuda ini tenang-tenang saja, bahkan timbul sifat kekanak-kanakannya yang hendak mengajak empat orang pengeroyoknya main kucing-kucingan. Dia berlari ke sana ke mari mengitari meja, dikejar dan dihadang empat orang pengeroyoknya yang membacok atau menusuk setiap kali ada kesempatan.
Setelah puas mempermainkan mereka sambil tersenyum-senyum mengejek, Tek Hoat lalu menyambar sepasang sumpit panjang dari atas meja, sepasang sumpit bambu dan dengan senjata sederhana ini dia meloncat ke depan, kini tidak lagi melarikan diri dikejar-kejar, bahkan dia yang berbalik menyerang!
Begitu menyerang dia sudah bermain dengan ilmu silat gabungan Pat-mo-kun-hoat dan Pat-sian-kun-hoat yang dilatihnya dari Sai-cu Lo-mo. Ilmu silat ini memang dapat dilakukan dengan tangan kosong atau dengan senjata apapun dengan merubah sedikit gerak serangannya disesuaikan dengan senjata yang dipegangnya. Hebat bukan main gerakan pemuda ini, terlalu hebat, aneh, dan cepat bagi empat orang lawannya sehingga terdengar teriakan berturut-turut ketika empat orang itu dipaksa melepaskan senjata masing-masing karena pergelangan tangan atau siku lengan mereka tertusuk sumpit!
Akan tetapi pada saat itu, terdengar suara tangis riuh rendah di sebelah belakang rumah makan. Mendengar itu, Tek Hoat lalu meloncat ke dalam, meninggalkan empat orang lawan yang sudah melepaskan senjata dan berdiri dengan muka pucat dan mata terbelalak saling pandang. Untung bagi mereka bahwa pemuda yang luar biasa itu meloncat ke dalam, kalau tidak, dengan gerakan selanjutnya tentu dengan mudah pemuda itu akan membunuh mereka setelah melucuti senjata mereka secara demikian istimewa!
Sementara itu, Tek Hoat yang mendengar suara tangis itu merasa khawatir kalau terjadi hal-hal yang memerlukan bantuannya, maka dia meninggalkan empat orang lawannya dan cepat berlari masuk. Melihat dia muncul, pemilik rumah makan yang berusia lima puluh tahun lebih dan isterinya yang masih muda dan cantik, cepat menjatuhkan diri berlutut di depan Tek Hoat.
Pemuda ini terkejut dan juga merasa heran mengapa mereka menangis dan dia melihat gadis yang tadi hampir menjadi korban keganasan penjahat, dipegangi oleh dua orang pelayan wanita. Gadis itu menangis dan meronta-ronta, berteriak-teriak,
“Lepaskan aku! Biarkan aku mati....!”
“Harap Ji-wi (anda berdua) bangun, tidak perlu begini,” Tek Hoat berkata sambil menyingkir dari depan kedua suami isteri yang berlutut itu. “Apakah yang terjadi lagi maka ribut-ribut?”
“Taihiap (pendekar besar).... tolonglah kami.... kalau tidak, bukan hanya anak saya mati membunuh diri, akan tetapi kami sekeluarga tentu akan habis terbasmi....” Kakek pemilik rumah makan itu berkata sambil menangis.
“Hemm, apa maksudmu, lopek?”
Tek Hoat bertanya, dan hatinya senang sekali mendengar dia disebut taihiap. Sebutan yang diidam-idamkannya. Dia seorang pendekar! Seorang pendekar besar!
“Marilah kita bicara di dalam kamar, taihiap.”
Ajak kakek itu dan Tek Hoat lalu mengikutinya masuk ke dalam kamar di mana tadi kedua orang wanita itu hampir menjadi korban perkosaan.
Setelah mempersilahkan pemuda itu duduk, kakek pemilik rumah makan berkata,
“Taihiap, anak perempuan saya, Siu Li, berkeras hendak membunuh diri, maka terjadi ribut-ribut sampai terdengar oleh taihiap. Dia merasa malu sekali.”
“Ah, bukankah dia tidak sampai diperkosa?” tanya Tek Hoat, khawatir kalau-kalau dia tadi terlambat.
“Memang benar, akan tetapi taihiap mengerti, sebagai seorang gadis terhormat telah terlihat oleh seorang laki-laki dalam keadaan telanjang bulat.... hal ini menimbulkan rasa malu yang hebat....”
“Mengapa begitu?” Tek Hoat mengerutkan alisnya. “Bukankah penjahat yang hendak memperkosanya tadi telah kubunuh mati?”
“Bukan penjahat itu yang dimaksudkannya, taihiap. Laki-laki itu adalah.... taihiap sendiri.”
“Haiii....? Eh, bagaimana pula ini....?”
“Taihiap, bukan hal itu saja yang menyusahkan hati kami, akan tetapi lebih-lebih kenyataan bahwa peristiwa ini tentu akan berekor panjang. Dari fihak petugas keamanan mudah saja diselesaikan karena memang nama Jit-hui-houw terkenal sebagai orang-orang yang suka bertindak sewenang-wenang dan kematian mereka di warungku cukup membuktikan bahwa mereka yang menimbulkan keonaran. Akan tetapi kami yakin bahwa mereka tentu akan menuntut balas, kawan mereka dan terutama guru mereka. Kami tentu akan dibasmi habis....” Dan kembali kakek itu menjatuhkan diri berlutut di depan Tek Hoat. “Kecuali kalau taihiap menolong kami sekeluarga....”
“Bagaimana aku dapat menolongmu? Ahhhh, mudah saja! Aku akan membunuh mereka semua, tentu tidak akan ada pembalasan dendam lagi!”
Sebelum kakek itu sempat menjawab, tubuh Tek Hoat berkelebat lenyap dari dalam kamar dan ternyata pemuda ini sudah berlari keluar, ke ruangan tamu di depan, di mana dia tadi meninggalkan empat orang lawannya. Dia sudah membunuh yang tiga, sedangkan yang empat lagi baru dia lucuti senjatanya saja.
Akan tetapi ketika dia tiba di ruangan depan itu, empat orang anggauta Jit-hui-houw sudah tidak nampak bayangannya lagi sedangkan mayat tiga orang itupun sudah lenyap. Mereka telah melarikan diri sambil membawa mayat ketiga suheng mereka! Terpaksa Tek Hoat kembali ke kamar dan dengan menyesal berkata kepada pemilik rumah makan.
“Sayang sekali mengapa aku tadi tidak membunuh yang empat orang lagi.”
“Taihiap, biarpun mereka dapat melarikan diri, kalau taihiap suka membantu kami, hidup kami akan tenteram dan mereka tentu tak akan berani lagi bermain gila.”
“Bagaimana aku dapat menolongmu, lopek?”
“Dengan menerima permohonan kami agar taihiap sudi menjadi suami anak kami Siu Li....”
“Hahhh....?”
Terbelalak sepasang mata yang tajam itu saking kagetnya. Akan tetapi dia mendengarkan juga ketika kakek itu menceritakan keadaan keluarganya. Kakek itu bernama Kam Siok yang hanya mempunyai seorang anak, yaitu gadis yang berusia tujuh belas tahun yang bernama Kam Siu Li itu. Ibu gadis itu telah meninggal dunia karena sakit, dan Kam Siok lalu menikah lagi tiga tahun yang lalu dengan seorang janda muda, yaitu wanita cantik berusia tigapuluh tahun lebih yang tadi hampir diperkosa bersama Siu Li, anak tirinya. Keadaan mereka cukup berada, karena hasil dari rumah makan itu cukup besar sehingga mereka hidup tenang dan senang. Akan tetapi siapa tahu, hari itu terjadi malapetaka yang hebat dan kalau tidak ada jalan yang baik, tentu mereka akan terancam bahaya pembalasan yang akan membasmi seluruh keluarga mereka.
“Demikianlah, taihiap. Hanya satu jalan bagi kami untuk dapat selamat, baik untuk keselamatan Siu Li agar dia tidak menanggung aib dan nekat hendak membunuh diri, maupun untuk kami sekeluarga agar terbebas dari ancaman pembalasan Jit-hui-houw.”
Pada saat itu, dua orang wanita yang tadi hampir diperkosa, memasuki kamar. Gadis yang bermuka merah sekali, dengan air mata bercucuran, digandeng tangannya dan agaknya dipaksa masuk oleh ibu tirinya dan bersama puterinya itu, wanita cantik isteri Kam Siok lalu menjatuhkan diri di depan Tek Hoat sambil berkata dengan suara merdu halus dan penuh daya membujuk,
“Mohon kemurahan hati taihiap agar memenuhi permohonan suami saya karena hanya taihiaplah bintang penolong kami satu-satunya....”
Muka yang cantik dengan sepasang mata yang penuh gairah menantang itu diangkat. Tek Hoat diam-diam kagum dan harus memuji kecantikan wanita ini, matanya, hidungnya, bibirnya yang menantang, dan belahan dadanya yang tampak karena pakaiannya yang tadi dirobek penjahat masih belum dibetulkan sama sekali. Adapun gadis yang juga berlutut sambil menunduk itu cantik pula, dengan kulit leher yang putih halus. Sungguhpun kecantikannya tidak menggairahkan seperti kecantikan ibu tirinya, namun, Siu Li tergolong dara yang cantik manis.
Hati Tek Hoat tertarik, bukan hanya kepada wanita-wanita itu, terutama sekali mengingat akan kekayaan kakek Kam Siok. Dia memang sudah kehabisan uang dan dia butuh sekali uang banyak dan pakaian yang indah. Apa salahnya kalau dia menerima penawaran ini? Mulutnya tersenyum, senyum yang membuat wajahnya kelihatan makin tampan akan tetapi senyum yang sinis dan mengandung ejekan penuh rahasia. Dia mengangguk.
“Baiklah, demi keselamatan kalian sekeluarga, aku menerima usul kalian ini.”
Kakek Kam Siok girang bukan main, maju menubruk dan merangkul calon mantunya,
“Anak baik.... Thian sendiri yang agaknya menurunkan engkau dari sorga untuk menolong kami....! Kalau begitu, perayaan pernikahan dapat segera dipersiapkan. Siapakah nama orang tuamu dan di mana mereka tinggal? Eh, siapa pula namamu? Ha-ha-ha, betapa lucunya. Seorang mertua tidak tahu nama mantunya!”
“Tidak perlu repot-repot, lopek. Aku seorang yang sebatangkara, tiada tempat tinggal tiada keluarga. Namaku.... Gak Bun Beng.”
Dapat dibayangkan betapa girangnya hati keluarga Kam Siok ketika Tek Hoat menerima permintaan mereka. Kam Siok merasa terlindung keluarganya, Kam Siu Li merasa tertebus aibnya apalagi memperoleh suami yang amat tampan dan gagah perkasa, hal yang sama sekali tak pernah dimimpikan karena dia hanyalah anak seorang anak pemilik rumah makan!
Dan ada orang yang diam-diam merasa girang sekali dan memandang hari depan penuh harapan. Orang ini adalah Liok Si, isteri Kam Siok yang masih muda dan cantik. Dengan mata haus dia memandang pemuda calon mantu tirinya itu dan hatinya bergelora panas. Dia tentu saja tidak pernah memperoleh kepuasan batin dari suaminya yang dua puluh lima tahun lebih tua daripada dia dan dia memang mau menjadi isteri pemilik rumah makan itu karena mengharapkan jaminan kecukupan dunia.
Akan tetapi, diam-diam dalam waktu tiga tahun ini, hatinya menderita dan matanya selalu menyambar seperti mata burung elang melihat tikus gemuk setiap kali dia melihat seorang pria muda yang tampan. Dan betapapun hatinya merindu, kesempatan tidak mengijinkan sehingga selama ini dia seperti orang kehausan yang tak pernah mendapatkan kepuasan. Akan tetapi sekarang, kesempatan terbuka lebar di depan mata! Seorang pemuda tampan berada serumah dengan dia dan agaknya akan leluasalah dia mendekati pemuda itu, karena bukankah pria muda ini mantunya?
Pesta pernikahan dilangsungkan meriah juga. Karena rumah makan itu sudah terkenal dan mempunyai banyak langganan, maka perkawinan antara puteri pemilik rumah makan dengan “Gak Bun Beng” ini mendapat kunjungan banyak sekali tamu. Selain sebagai langganan, juga para tamu itu ingin sekali menyaksikan pemuda yang telah menggemparkan kota Shen-yang, pemuda yang kabarnya telah merobohkan tujuh orang Jit-hui-houw, bahkan membunuh tiga orang di antara mereka!
Sebentar saja nama Gak Bun Beng terkenal di seluruh kota dan sekitarnya, dan lebih menggemparkan lagi ketika sisa Jit-hui-houw yang tinggal empat orang itu kini tidak tampak lagi di Shen-bun, sudah menghilang entah ke mana! Diam-diam banyak orang yang merasa lega dan bersyukur kepada pemuda asing ini.
Ketika sepasang mempelai dipertontonkan kepada umum, para tamu kagum sekali melihat Tek Hoat. Tak mereka sangka bahwa pemuda yang telah merobohkan Jit-hui-houw itu masih demikian muda. Seorang pemuda remaja yang luar biasa tampan dan gagahnya! Betapa untungnya Kam Siong memperoleh seorang anak mantu seperti itu, dan lebih untung lagi anak perawannya yang hampir diperkosa anggauta Jit-hui-houw, tidak saja terbebas dari malapetaka pemerkosa, bahkan telah memperoleh seorang suami yang demikian gagah perkasa dan tampan!
Pada saat para tamu sedang bergembira menghadapi hidangan, tiba-tiba terjadi kegaduhan dan banyak tamu yang sudah bangkit berdiri dan menyingkir ke tempat aman ketika mereka melihat datangnya lima orang yang membuat mereka terkejut. Ada tamu yang sampai terbatuk-batuk karena makanan yang baru saja dijejalkan ke mulut itu tersesat jalan ketika matanya mengenal empat orang dari Jit-hui-houw yang datang itu dengan sikap garang, mengiringkan seorang kakek gemuk pendek yang pakaiannya penuh tambalan dan tangannya memegang sebatang tongkat baja berwarna hitam!
Gegerlah suasana pesta ketika empat orang Jit-hui-houw itu menendangi meja kursi dalam kemarahan mereka karena meja kusi menghalang jalan. Tamu-tamu lari cerai-berai dan hanya berani menonton dari tempat jauh walaupun ada pula sebagian para tamu yang berhati tabah tetap berada di tempat pesta itu, berdiri agak jauh di pinggiran.
Dapat dibayangkan betapa paniknya fihak tuan rumah. Biarpun mereka sudah menduga-duga bahwa setiap waktu fihak Jit-hui-houw tentu akan mengacau dan datang membalas dendam, dan biarpun mereka sudah percaya penuh akan perlindungan Tek Hoat, namun melihat munculnya empat orang Jit-hui-houw bersama seorang jembel tua yang menyeramkan itu, mereka menjadi pucat ketakutan. Kam Siok sendiri sudah menarik tangan anak isterinya ke sebelah dalam, bersembunyi di dalam kamar, kemudian dia sendiri mengintai keluar dengan jantung berdebar tegang.
Tentu saja Tek Hoat merasa marah sekali menyaksikan betapa lima orang itu datang mengacaukan perayaan pesta pernikahannya. Akan tetapi sambil tersenyum pemuda ini melangkah lebar ke ruangan depan yang sudah sunyi itu. Sunyi sekali di situ karena semua orang, yang dekat maupun yang menonton dari jauh, tidak ada yang mengeluarkan suara, bahkan mereka itu seperti menahan napas melihat pemuda yang menjadi pengantin itu melangkah menghampiri lima orang yang sudah berdiri tegak dengan kedua kaki terpentang lebar dan bersikap menantang itu.
Setelah berhadapan dengan lima orang itu, Tek Hoat berkata sambil tersenyum mengejek dan memandang empat orang sisa Jit-hui-houw,
“Beberapa hari yang lalu aku tidak sempat membunuh kalian apakah sekarang kalian datang untuk menyerahkan nyawa?”
Empat orang itu mencabut pedang dan golok, muka mereka merah sekali dan mata mereka mendelik.
“Suhu, inilah jahanam yamg telah membunuh tiga suheng itu!” kata seorang di antara mereka.
Kakek tua berpakaian jembel itu memandang dengan mata terbelalak penuh keheranan. Dia adalah Sin-houw Lo-kai (Jembel Tua Harimau Sakti), seorang pertapa di hutan yang letaknya di luar kota Shen-bun, tinggal di sebuah kuil tua yang kosong dan hidupnya dijamin oleh tujuh orang muridnya, yaitu Jit-hui-houw yang terkenal itu.
Tujuh orang muridnya telah memiliki kepandaian hebat, dan biarpun tak dapat dikatakan luar biasa, namun sukarlah dicari orang yang dapat menghadapi mereka bertujuh kalau maju bersama. Mendengar penuturan empat orang muridnya bahwa tiga di antara mereka tewas oleh seorang musuh, dia menyangka bahwa murid-muridnya itu tentu dikalahkan seorang kang-ouw yang ternama.
Akan tetapi dapat dibayangkan betapa heran dan kagetnya ketika empat orang muridnya memperkenalkan seorang pemuda remaja yang menjadi pengantin ini yang menjadi pembunuh tiga orang muridnya! Dia merasa penasaran sekali. Demikian lemahkah murid-muridnya sehingga kalah oleh seorang pemuda yang masih hijau ini? Sukar untuk dipercaya. Kini melihat pemuda tanggung itu, yang kelihatannya masih belum dewasa benar, berdiri tenang tanpa senjata apapun, dia segera membentak kepada empat orang muridnya,
“Kalau begitu tunggu apa lagi kalian? Hayo balaskan kematian tiga orang suhengmu!”
Empat orang itu sebetulnya merasa jerih karena mereka sudah maklum betapa lihainya pemuda yang kelihatan lemah ini. Akan tetapi karena suhu mereka yang memerintah, dan pula mereka mengandalkan suhu mereka yang tentu akan membantu mereka, maka begitu mendengar perintah ini mereka sudah menerjang maju dengan teriakan-teriakan garang, senjata mereka berkelebat menyambar ke arah tubuh Tek Hoat.
Pemuda ini biarpun mulutnya tersenyum, namun hatinya panas seperti dibakar saking marahnya. Melihat dua batang pedang dan dua batang golok menyambarnya, dia bergerak cepat sekali, tubuhnya lenyap menjadi bayangan yang menyelinap di antara sambaran sinar senjata lawan, tangan kakinya bergerak dan terdengar suara berkerontangan ketika empat buah senjata itu terlepas dari tangan para pemegangnya yang terkena tamparan dan tendangan, kemudian sebelum mereka sempat mundur dan sebelum kakek jembel itu sempat menolong murid-muridnya, Tek Hoat sudah berkelebat cepat sekali, jari-jari tangannya menyambar ke arah kepala dan berturut-turut terdengar pekik kengerian disusul robohnya empat orang Jit-hui-houw itu. Mereka roboh dan berkelojotan sebentar lalu diam tak bergerak, mati dengan kepala berlubang karena tusukan dua jari tangan Tek Hoat!
Peristiwa ini terjadi dengan sedemikian cepatnya sehingga sukar diduga terlebih dulu. Sin-houw Lo-kai yang melihat empat orang muridnya roboh dan tewas terbelalak kaget dan hampir dia tidak dapat menahan kemarahan dan kedukaan hatinya. Kini semua muridnya, ketujuh Jit-hui-houw telah tewas semua, dan kesemuanya dibunuh oleh pemuda yang luar biasa ini! Dia mengeluarkan gerengan seekor harimau, kemudian membentak,
“Bocah kejam! Siapakah namamu? Siapa pula gurumu? Mengakulah sebelum Sin-houw Lo-kai turun tangan membunuhmu!”
Tek Hoat tersenyum mengejek.
“Perlu apa menanyakan nama guruku? Aku bukanlah seorang pengecut macam murid-muridmu yang belum apa-apa sudah merengek dan minta bantuan gurunya! Namaku adalah Gak Bun Beng.”
“Keparat sombong! Engkau telah berhutang tujuh nyawa muridku, hari ini aku Sin-houw Lo-kai harus mengadu nyawa denganmu!”
Setelah berkata demikian, kakek jembel itu lalu menggerakkan tongkatnya dan menyerang. Karena dia tahu akan kelihaian pemuda itu, maka dia tidak sungkan-sungkan lagi menyerang seorang lawan yang masih begitu muda dan bertangan kosong, menggunakan tongkatnya yang ampuh.
Melihat tongkat menyambar-nyambar dan berbunyi bercuitan, mengeluarkan angin yang berputaran, maklumlah Tek Hoat bahwa kepandaian kakek ini tidak boleh dipandang ringan. Dibandingkan dengan kakek ini, ternyata murid-muridnya hanyalah gentong kosong belaka! Tongkat yang butut itu ternyata terbuat daripada baja yang kuat dan berat.
Dengan hati-hati sekali Tek Hoat melayani lawannya dengan ilmu silat yang dipelajarinya dari ibunya. Tubuhnya gesit sekali ketika mengelak ke sana-sini, kadang-kadang meloncat kalau tongkat lawan menyambar dari pinggang ke bawah dengan lompatan yang ringan dan tinggi.
“Haiit, kau murid Bu-tong-pai!” Kakek itu menahan tongkatnya dan membentak.
Akan tetapi Tek Hoat tidak menjawab, bahkan menggunakan kesempatan itu untuk tiba-tiba menubruk ke depan, mainkan ilmu silatnya yang amat aneh dan ampuh, yang dilatihnya dari Sai-cu Lo-mo.
Melihat pemuda itu menerjangnya, kakek jembel itu cepat mengelak lalu memutar tongkatnya. Akan tetapi berkali-kali dia berteriak kaget karena hampir saja tubuhnya kena dihantam lawan yang memainkan ilmu silat amat aneh. Ilmu silat pemuda itu dasarnya seperti Pat-kwa-kun, akan tetapi jauh berbeda, terisi penuh tipu muslihat dan keganasan, namun mengandung tenaga yang amat kuat.
Itulah ilmu silat gabungan Pat-sian-sin-kun dan Pat-mo-sin-kun, sedangkan hawa pukulan yang keluar dari kedua telapak tangannya amat panas! Sekali ini, Sin-houw Lo-kai benar-benar terkejut dan tidak dapat dia mengenal lagi ilmu silat yang dimainkan Tek Hoat. Kalau tadi, ketika pemuda itu menggunakan ilmu silat yang dia kenal sebagai ilmu silat Bu-tong-pai, dia dapat mendesak, akan tetapi begitu pemuda itu mainkan ilmu silat yang amat aneh ini, tongkatnya hanya dipergunakan untuk melindungi tubuhnya. Dia merasa seolah-olah pemuda itu telah berubah menjadi delapan orang yang menyerangnya dari delapan penjuru!
Kakek itu makin kaget dan penasaran, akan tetapi dia harus melindungi tubuhnya dari hantaman-hantaman yang disertai hawa panas membara yang keluar dari kedua telapak tangan pemuda itu. Maka dia lalu memutar tongkatnya yang berat sehingga tongkat itu berubah menjadi segulung sinar hitam yang menyelimuti tubuhnya.
Tek Hoat bertanya, dan hatinya senang sekali mendengar dia disebut taihiap. Sebutan yang diidam-idamkannya. Dia seorang pendekar! Seorang pendekar besar!
“Marilah kita bicara di dalam kamar, taihiap.”
Ajak kakek itu dan Tek Hoat lalu mengikutinya masuk ke dalam kamar di mana tadi kedua orang wanita itu hampir menjadi korban perkosaan.
Setelah mempersilahkan pemuda itu duduk, kakek pemilik rumah makan berkata,
“Taihiap, anak perempuan saya, Siu Li, berkeras hendak membunuh diri, maka terjadi ribut-ribut sampai terdengar oleh taihiap. Dia merasa malu sekali.”
“Ah, bukankah dia tidak sampai diperkosa?” tanya Tek Hoat, khawatir kalau-kalau dia tadi terlambat.
“Memang benar, akan tetapi taihiap mengerti, sebagai seorang gadis terhormat telah terlihat oleh seorang laki-laki dalam keadaan telanjang bulat.... hal ini menimbulkan rasa malu yang hebat....”
“Mengapa begitu?” Tek Hoat mengerutkan alisnya. “Bukankah penjahat yang hendak memperkosanya tadi telah kubunuh mati?”
“Bukan penjahat itu yang dimaksudkannya, taihiap. Laki-laki itu adalah.... taihiap sendiri.”
“Haiii....? Eh, bagaimana pula ini....?”
“Taihiap, bukan hal itu saja yang menyusahkan hati kami, akan tetapi lebih-lebih kenyataan bahwa peristiwa ini tentu akan berekor panjang. Dari fihak petugas keamanan mudah saja diselesaikan karena memang nama Jit-hui-houw terkenal sebagai orang-orang yang suka bertindak sewenang-wenang dan kematian mereka di warungku cukup membuktikan bahwa mereka yang menimbulkan keonaran. Akan tetapi kami yakin bahwa mereka tentu akan menuntut balas, kawan mereka dan terutama guru mereka. Kami tentu akan dibasmi habis....” Dan kembali kakek itu menjatuhkan diri berlutut di depan Tek Hoat. “Kecuali kalau taihiap menolong kami sekeluarga....”
“Bagaimana aku dapat menolongmu? Ahhhh, mudah saja! Aku akan membunuh mereka semua, tentu tidak akan ada pembalasan dendam lagi!”
Sebelum kakek itu sempat menjawab, tubuh Tek Hoat berkelebat lenyap dari dalam kamar dan ternyata pemuda ini sudah berlari keluar, ke ruangan tamu di depan, di mana dia tadi meninggalkan empat orang lawannya. Dia sudah membunuh yang tiga, sedangkan yang empat lagi baru dia lucuti senjatanya saja.
Akan tetapi ketika dia tiba di ruangan depan itu, empat orang anggauta Jit-hui-houw sudah tidak nampak bayangannya lagi sedangkan mayat tiga orang itupun sudah lenyap. Mereka telah melarikan diri sambil membawa mayat ketiga suheng mereka! Terpaksa Tek Hoat kembali ke kamar dan dengan menyesal berkata kepada pemilik rumah makan.
“Sayang sekali mengapa aku tadi tidak membunuh yang empat orang lagi.”
“Taihiap, biarpun mereka dapat melarikan diri, kalau taihiap suka membantu kami, hidup kami akan tenteram dan mereka tentu tak akan berani lagi bermain gila.”
“Bagaimana aku dapat menolongmu, lopek?”
“Dengan menerima permohonan kami agar taihiap sudi menjadi suami anak kami Siu Li....”
“Hahhh....?”
Terbelalak sepasang mata yang tajam itu saking kagetnya. Akan tetapi dia mendengarkan juga ketika kakek itu menceritakan keadaan keluarganya. Kakek itu bernama Kam Siok yang hanya mempunyai seorang anak, yaitu gadis yang berusia tujuh belas tahun yang bernama Kam Siu Li itu. Ibu gadis itu telah meninggal dunia karena sakit, dan Kam Siok lalu menikah lagi tiga tahun yang lalu dengan seorang janda muda, yaitu wanita cantik berusia tigapuluh tahun lebih yang tadi hampir diperkosa bersama Siu Li, anak tirinya. Keadaan mereka cukup berada, karena hasil dari rumah makan itu cukup besar sehingga mereka hidup tenang dan senang. Akan tetapi siapa tahu, hari itu terjadi malapetaka yang hebat dan kalau tidak ada jalan yang baik, tentu mereka akan terancam bahaya pembalasan yang akan membasmi seluruh keluarga mereka.
“Demikianlah, taihiap. Hanya satu jalan bagi kami untuk dapat selamat, baik untuk keselamatan Siu Li agar dia tidak menanggung aib dan nekat hendak membunuh diri, maupun untuk kami sekeluarga agar terbebas dari ancaman pembalasan Jit-hui-houw.”
Pada saat itu, dua orang wanita yang tadi hampir diperkosa, memasuki kamar. Gadis yang bermuka merah sekali, dengan air mata bercucuran, digandeng tangannya dan agaknya dipaksa masuk oleh ibu tirinya dan bersama puterinya itu, wanita cantik isteri Kam Siok lalu menjatuhkan diri di depan Tek Hoat sambil berkata dengan suara merdu halus dan penuh daya membujuk,
“Mohon kemurahan hati taihiap agar memenuhi permohonan suami saya karena hanya taihiaplah bintang penolong kami satu-satunya....”
Muka yang cantik dengan sepasang mata yang penuh gairah menantang itu diangkat. Tek Hoat diam-diam kagum dan harus memuji kecantikan wanita ini, matanya, hidungnya, bibirnya yang menantang, dan belahan dadanya yang tampak karena pakaiannya yang tadi dirobek penjahat masih belum dibetulkan sama sekali. Adapun gadis yang juga berlutut sambil menunduk itu cantik pula, dengan kulit leher yang putih halus. Sungguhpun kecantikannya tidak menggairahkan seperti kecantikan ibu tirinya, namun, Siu Li tergolong dara yang cantik manis.
Hati Tek Hoat tertarik, bukan hanya kepada wanita-wanita itu, terutama sekali mengingat akan kekayaan kakek Kam Siok. Dia memang sudah kehabisan uang dan dia butuh sekali uang banyak dan pakaian yang indah. Apa salahnya kalau dia menerima penawaran ini? Mulutnya tersenyum, senyum yang membuat wajahnya kelihatan makin tampan akan tetapi senyum yang sinis dan mengandung ejekan penuh rahasia. Dia mengangguk.
“Baiklah, demi keselamatan kalian sekeluarga, aku menerima usul kalian ini.”
Kakek Kam Siok girang bukan main, maju menubruk dan merangkul calon mantunya,
“Anak baik.... Thian sendiri yang agaknya menurunkan engkau dari sorga untuk menolong kami....! Kalau begitu, perayaan pernikahan dapat segera dipersiapkan. Siapakah nama orang tuamu dan di mana mereka tinggal? Eh, siapa pula namamu? Ha-ha-ha, betapa lucunya. Seorang mertua tidak tahu nama mantunya!”
“Tidak perlu repot-repot, lopek. Aku seorang yang sebatangkara, tiada tempat tinggal tiada keluarga. Namaku.... Gak Bun Beng.”
Dapat dibayangkan betapa girangnya hati keluarga Kam Siok ketika Tek Hoat menerima permintaan mereka. Kam Siok merasa terlindung keluarganya, Kam Siu Li merasa tertebus aibnya apalagi memperoleh suami yang amat tampan dan gagah perkasa, hal yang sama sekali tak pernah dimimpikan karena dia hanyalah anak seorang anak pemilik rumah makan!
Dan ada orang yang diam-diam merasa girang sekali dan memandang hari depan penuh harapan. Orang ini adalah Liok Si, isteri Kam Siok yang masih muda dan cantik. Dengan mata haus dia memandang pemuda calon mantu tirinya itu dan hatinya bergelora panas. Dia tentu saja tidak pernah memperoleh kepuasan batin dari suaminya yang dua puluh lima tahun lebih tua daripada dia dan dia memang mau menjadi isteri pemilik rumah makan itu karena mengharapkan jaminan kecukupan dunia.
Akan tetapi, diam-diam dalam waktu tiga tahun ini, hatinya menderita dan matanya selalu menyambar seperti mata burung elang melihat tikus gemuk setiap kali dia melihat seorang pria muda yang tampan. Dan betapapun hatinya merindu, kesempatan tidak mengijinkan sehingga selama ini dia seperti orang kehausan yang tak pernah mendapatkan kepuasan. Akan tetapi sekarang, kesempatan terbuka lebar di depan mata! Seorang pemuda tampan berada serumah dengan dia dan agaknya akan leluasalah dia mendekati pemuda itu, karena bukankah pria muda ini mantunya?
Pesta pernikahan dilangsungkan meriah juga. Karena rumah makan itu sudah terkenal dan mempunyai banyak langganan, maka perkawinan antara puteri pemilik rumah makan dengan “Gak Bun Beng” ini mendapat kunjungan banyak sekali tamu. Selain sebagai langganan, juga para tamu itu ingin sekali menyaksikan pemuda yang telah menggemparkan kota Shen-yang, pemuda yang kabarnya telah merobohkan tujuh orang Jit-hui-houw, bahkan membunuh tiga orang di antara mereka!
Sebentar saja nama Gak Bun Beng terkenal di seluruh kota dan sekitarnya, dan lebih menggemparkan lagi ketika sisa Jit-hui-houw yang tinggal empat orang itu kini tidak tampak lagi di Shen-bun, sudah menghilang entah ke mana! Diam-diam banyak orang yang merasa lega dan bersyukur kepada pemuda asing ini.
Ketika sepasang mempelai dipertontonkan kepada umum, para tamu kagum sekali melihat Tek Hoat. Tak mereka sangka bahwa pemuda yang telah merobohkan Jit-hui-houw itu masih demikian muda. Seorang pemuda remaja yang luar biasa tampan dan gagahnya! Betapa untungnya Kam Siong memperoleh seorang anak mantu seperti itu, dan lebih untung lagi anak perawannya yang hampir diperkosa anggauta Jit-hui-houw, tidak saja terbebas dari malapetaka pemerkosa, bahkan telah memperoleh seorang suami yang demikian gagah perkasa dan tampan!
Pada saat para tamu sedang bergembira menghadapi hidangan, tiba-tiba terjadi kegaduhan dan banyak tamu yang sudah bangkit berdiri dan menyingkir ke tempat aman ketika mereka melihat datangnya lima orang yang membuat mereka terkejut. Ada tamu yang sampai terbatuk-batuk karena makanan yang baru saja dijejalkan ke mulut itu tersesat jalan ketika matanya mengenal empat orang dari Jit-hui-houw yang datang itu dengan sikap garang, mengiringkan seorang kakek gemuk pendek yang pakaiannya penuh tambalan dan tangannya memegang sebatang tongkat baja berwarna hitam!
Gegerlah suasana pesta ketika empat orang Jit-hui-houw itu menendangi meja kursi dalam kemarahan mereka karena meja kusi menghalang jalan. Tamu-tamu lari cerai-berai dan hanya berani menonton dari tempat jauh walaupun ada pula sebagian para tamu yang berhati tabah tetap berada di tempat pesta itu, berdiri agak jauh di pinggiran.
Dapat dibayangkan betapa paniknya fihak tuan rumah. Biarpun mereka sudah menduga-duga bahwa setiap waktu fihak Jit-hui-houw tentu akan mengacau dan datang membalas dendam, dan biarpun mereka sudah percaya penuh akan perlindungan Tek Hoat, namun melihat munculnya empat orang Jit-hui-houw bersama seorang jembel tua yang menyeramkan itu, mereka menjadi pucat ketakutan. Kam Siok sendiri sudah menarik tangan anak isterinya ke sebelah dalam, bersembunyi di dalam kamar, kemudian dia sendiri mengintai keluar dengan jantung berdebar tegang.
Tentu saja Tek Hoat merasa marah sekali menyaksikan betapa lima orang itu datang mengacaukan perayaan pesta pernikahannya. Akan tetapi sambil tersenyum pemuda ini melangkah lebar ke ruangan depan yang sudah sunyi itu. Sunyi sekali di situ karena semua orang, yang dekat maupun yang menonton dari jauh, tidak ada yang mengeluarkan suara, bahkan mereka itu seperti menahan napas melihat pemuda yang menjadi pengantin itu melangkah menghampiri lima orang yang sudah berdiri tegak dengan kedua kaki terpentang lebar dan bersikap menantang itu.
Setelah berhadapan dengan lima orang itu, Tek Hoat berkata sambil tersenyum mengejek dan memandang empat orang sisa Jit-hui-houw,
“Beberapa hari yang lalu aku tidak sempat membunuh kalian apakah sekarang kalian datang untuk menyerahkan nyawa?”
Empat orang itu mencabut pedang dan golok, muka mereka merah sekali dan mata mereka mendelik.
“Suhu, inilah jahanam yamg telah membunuh tiga suheng itu!” kata seorang di antara mereka.
Kakek tua berpakaian jembel itu memandang dengan mata terbelalak penuh keheranan. Dia adalah Sin-houw Lo-kai (Jembel Tua Harimau Sakti), seorang pertapa di hutan yang letaknya di luar kota Shen-bun, tinggal di sebuah kuil tua yang kosong dan hidupnya dijamin oleh tujuh orang muridnya, yaitu Jit-hui-houw yang terkenal itu.
Tujuh orang muridnya telah memiliki kepandaian hebat, dan biarpun tak dapat dikatakan luar biasa, namun sukarlah dicari orang yang dapat menghadapi mereka bertujuh kalau maju bersama. Mendengar penuturan empat orang muridnya bahwa tiga di antara mereka tewas oleh seorang musuh, dia menyangka bahwa murid-muridnya itu tentu dikalahkan seorang kang-ouw yang ternama.
Akan tetapi dapat dibayangkan betapa heran dan kagetnya ketika empat orang muridnya memperkenalkan seorang pemuda remaja yang menjadi pengantin ini yang menjadi pembunuh tiga orang muridnya! Dia merasa penasaran sekali. Demikian lemahkah murid-muridnya sehingga kalah oleh seorang pemuda yang masih hijau ini? Sukar untuk dipercaya. Kini melihat pemuda tanggung itu, yang kelihatannya masih belum dewasa benar, berdiri tenang tanpa senjata apapun, dia segera membentak kepada empat orang muridnya,
“Kalau begitu tunggu apa lagi kalian? Hayo balaskan kematian tiga orang suhengmu!”
Empat orang itu sebetulnya merasa jerih karena mereka sudah maklum betapa lihainya pemuda yang kelihatan lemah ini. Akan tetapi karena suhu mereka yang memerintah, dan pula mereka mengandalkan suhu mereka yang tentu akan membantu mereka, maka begitu mendengar perintah ini mereka sudah menerjang maju dengan teriakan-teriakan garang, senjata mereka berkelebat menyambar ke arah tubuh Tek Hoat.
Pemuda ini biarpun mulutnya tersenyum, namun hatinya panas seperti dibakar saking marahnya. Melihat dua batang pedang dan dua batang golok menyambarnya, dia bergerak cepat sekali, tubuhnya lenyap menjadi bayangan yang menyelinap di antara sambaran sinar senjata lawan, tangan kakinya bergerak dan terdengar suara berkerontangan ketika empat buah senjata itu terlepas dari tangan para pemegangnya yang terkena tamparan dan tendangan, kemudian sebelum mereka sempat mundur dan sebelum kakek jembel itu sempat menolong murid-muridnya, Tek Hoat sudah berkelebat cepat sekali, jari-jari tangannya menyambar ke arah kepala dan berturut-turut terdengar pekik kengerian disusul robohnya empat orang Jit-hui-houw itu. Mereka roboh dan berkelojotan sebentar lalu diam tak bergerak, mati dengan kepala berlubang karena tusukan dua jari tangan Tek Hoat!
Peristiwa ini terjadi dengan sedemikian cepatnya sehingga sukar diduga terlebih dulu. Sin-houw Lo-kai yang melihat empat orang muridnya roboh dan tewas terbelalak kaget dan hampir dia tidak dapat menahan kemarahan dan kedukaan hatinya. Kini semua muridnya, ketujuh Jit-hui-houw telah tewas semua, dan kesemuanya dibunuh oleh pemuda yang luar biasa ini! Dia mengeluarkan gerengan seekor harimau, kemudian membentak,
“Bocah kejam! Siapakah namamu? Siapa pula gurumu? Mengakulah sebelum Sin-houw Lo-kai turun tangan membunuhmu!”
Tek Hoat tersenyum mengejek.
“Perlu apa menanyakan nama guruku? Aku bukanlah seorang pengecut macam murid-muridmu yang belum apa-apa sudah merengek dan minta bantuan gurunya! Namaku adalah Gak Bun Beng.”
“Keparat sombong! Engkau telah berhutang tujuh nyawa muridku, hari ini aku Sin-houw Lo-kai harus mengadu nyawa denganmu!”
Setelah berkata demikian, kakek jembel itu lalu menggerakkan tongkatnya dan menyerang. Karena dia tahu akan kelihaian pemuda itu, maka dia tidak sungkan-sungkan lagi menyerang seorang lawan yang masih begitu muda dan bertangan kosong, menggunakan tongkatnya yang ampuh.
Melihat tongkat menyambar-nyambar dan berbunyi bercuitan, mengeluarkan angin yang berputaran, maklumlah Tek Hoat bahwa kepandaian kakek ini tidak boleh dipandang ringan. Dibandingkan dengan kakek ini, ternyata murid-muridnya hanyalah gentong kosong belaka! Tongkat yang butut itu ternyata terbuat daripada baja yang kuat dan berat.
Dengan hati-hati sekali Tek Hoat melayani lawannya dengan ilmu silat yang dipelajarinya dari ibunya. Tubuhnya gesit sekali ketika mengelak ke sana-sini, kadang-kadang meloncat kalau tongkat lawan menyambar dari pinggang ke bawah dengan lompatan yang ringan dan tinggi.
“Haiit, kau murid Bu-tong-pai!” Kakek itu menahan tongkatnya dan membentak.
Akan tetapi Tek Hoat tidak menjawab, bahkan menggunakan kesempatan itu untuk tiba-tiba menubruk ke depan, mainkan ilmu silatnya yang amat aneh dan ampuh, yang dilatihnya dari Sai-cu Lo-mo.
Melihat pemuda itu menerjangnya, kakek jembel itu cepat mengelak lalu memutar tongkatnya. Akan tetapi berkali-kali dia berteriak kaget karena hampir saja tubuhnya kena dihantam lawan yang memainkan ilmu silat amat aneh. Ilmu silat pemuda itu dasarnya seperti Pat-kwa-kun, akan tetapi jauh berbeda, terisi penuh tipu muslihat dan keganasan, namun mengandung tenaga yang amat kuat.
Itulah ilmu silat gabungan Pat-sian-sin-kun dan Pat-mo-sin-kun, sedangkan hawa pukulan yang keluar dari kedua telapak tangannya amat panas! Sekali ini, Sin-houw Lo-kai benar-benar terkejut dan tidak dapat dia mengenal lagi ilmu silat yang dimainkan Tek Hoat. Kalau tadi, ketika pemuda itu menggunakan ilmu silat yang dia kenal sebagai ilmu silat Bu-tong-pai, dia dapat mendesak, akan tetapi begitu pemuda itu mainkan ilmu silat yang amat aneh ini, tongkatnya hanya dipergunakan untuk melindungi tubuhnya. Dia merasa seolah-olah pemuda itu telah berubah menjadi delapan orang yang menyerangnya dari delapan penjuru!
Kakek itu makin kaget dan penasaran, akan tetapi dia harus melindungi tubuhnya dari hantaman-hantaman yang disertai hawa panas membara yang keluar dari kedua telapak tangan pemuda itu. Maka dia lalu memutar tongkatnya yang berat sehingga tongkat itu berubah menjadi segulung sinar hitam yang menyelimuti tubuhnya.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar