Kembali kita terpaksa meninggalkan barisan Bhutan yang berangkat mencari raja mereka itu untuk menjenguk bagian lain jauh di sebelah timur, di mana terjadi peristiwa lain yang seolah-olah tidak ada hubungannya dengan kedua orang kakak-beradik putera Pendekar Super Sakti, juga tidak ada hubungannya dengan pasuka Bhutan yang mencari raja mereka, akan tetapi sesungguhnya tokoh-tokohnya merupakan tokoh penting dalam cerita ini dan perlu kita mengenal mereka seorang demi seorang.
Di kota Shen-yang tak jauh dari kota raja. Seorang pemuda tampan berpakaian indah bersih memasuki sebuah rumah makan yang baru saja dibuka dan masih sepi. Hari masih terlalu pagi untuk makan, maka yang penuh dengan orang berlalu lalang hanyalah jalan raya di depan rumah makan itu, dan pemuda ini merupakan pemuda pertama yang disambut oleh pelayan yang masih kelihatan segar dan bersemangat. Dengan wajah berseri dan ramah pelayan itu menyambut dan mempersilakan tamunya masuk dan duduk menghadapi meja yang kesemuanya masih kosong. Pemuda itu memilih meja di tengah dan duduknya di sebelah sehingga dia dapat melihat ke pintu depan dan pintu yang menembus ke ruangan sebelah dalam rumah makan itu.
Pemuda ini baru kelihatan jelas wajahnya setelah dia membuka topinya yang berbentuk caping lebar dan diberi tali sutera merah dan diikatkan di bawah dagunya. Setelah menaruhkan caping itu di atas meja, juga menuruhkan buntalan di punggung dan menaruhnya pula di atas meja, pemuda itu mengeluarkan sapu tangan dan menyusuti peluh di muka dan lehernya. Sepagi itu, dengan hawa masih dingin sudah berkeringat! Hal ini menandakan bahwa dia telah melakukan perjalanan jauh dan memang demikianlah, semalam suntuk dia terus berjalan tak pernah berhenti dan baru berhenti di kota itu setelah melihat rumah makan ini. Perutnya yang lapar memaksanya berhenti. Setelah memesan makanan, pemuda itu menyandarkan dirinya ke meja dan memandang ke luar.
Usianya masih muda sekali, sekitar enam belas tahun, akan tetapi agaknya karena sudah banyak melakukan perantauan, maka pandang matanya yang tajam itu sudah “matang”, gerak-geriknya tenang, wajahnya yang tampan itu selalu berseri, mulutnya tersenyum namun bibir yang tak pernah ditinggalkan senyum itu membayangkan ejekan dan mata yang tajam bersinar-sinar itu seakan-akan memandang rendah kepada keadaan sekelilingnya.
Siapakah pemuda tampan ini? Dia bernama Ang Tek Hoat dan sesungguhnya pemuda ini bukanlah seorang pemuda sembarangan karena ia cucu bekas ketua Bu-tong-pai yang terkenal dengan sebutan Ang Lojin (Kakek Ang) atau Ang Thian Pa! Ang Lojin atau bekas ketua Bu-tongpai yang kini telah meninggal dunia dan kedudukannya sebagai ketua Bu-tong-pai telah digantikan oleh seorang sutenya, hanya mempunyai seorang anak tunggal, seorang puteri bernama Ang Siok Bi. Sebagai puteri tunggal, tentu saja Ang Siok Bi juga mewarisi ilmu kepandaian ayahnya yang tinggi.
Di dalam cerita Sepasang Pedang Iblis diceritakan dengan jelas betapa Ang Siok Bi yang masih gadis, baru berusia sembilan belas tahun, pada suatu hari diperkosa oleh seorang pemuda dan biarpun akhirnya dia bersama Puteri Milana dan Lu Kim Bwee, ibu Ceng Ceng seperti yang telah dituturkan di depan, dapat membunuh pemuda yang mernperkosanya itu, namun seperti Lu Kim Bwee pula, perkosaan atas dirinya itu membuat dia mengandung dan akhirnya melahirkan seorang anak laki-laki anak itu diberi nama Ang Tek Hoat, yaitu pemuda yang berada di dalam rumah makan itu.
Karena merasa malu akan aib yang menimpa diri puterinya yang melahirkan anak tanpa ayah, hal yang mencemarkan nama besarnya sebagai ketua Bu-tong-pai, kakek Ang jatuh sakit sampai meninggal dunia ketika Tek Hoat masih bayi. Lebih menyedihkan lagi bagi Ang Siok Bi, melihat dia melahirkan anak tanpa ayah, Bu-tong-pai merasa dinodai namanya dan fihak pimpinan lalu mengeluarkan keputusan untuk mengeluarkan Ang Siok Bi sebagai anggauta Bu-tong-pai.
Peristiwa ini terlalu hebat bagi Ang Siok Bi. Dengan hati yang hancur dia lalu meninggalkan Bu-tong-pai, membawa anaknya yang masih bayi. Untung baginya bahwa para pemimpin Bu-tongpai masih mengingat dia sebagai puteri bekas ketua mereka, maka kepergiannya disertai bekal yang cukup sehingga Ang Siok Bi dan puteranya tidak akan mengalami nasib sengsara dan kelaparan.
Ang Siok Bi membawa puteranya itu mengasingkan diri ke sebuah bukit sunyi di lembah Sungai Hoang-ho. Bukit ini oleh penduduk di sekitar daerah itu dinamakan Bukit Angsa, karena dilihat dari jauh mirip seekor angsa sedang tidur. Dengan uang yang diperoleh dari Butong-pai, juga dengan menjual perhiasan pribadinya, Ang Siok Bi membangun sebuah rumah kecil yang cukup mungil di puncak Bukit Angsa, hidup berdua dengan puteranya di tempat sunyi ini. Hanya kadang-kadang saja dia membawa puteranya turun bukit mengunjungi dusun-dusun terdekat untuk membeli keperluan hidupnya yang tidak banyak karena tanah di puncak bukit itu amat subur, penuh tetumbuhan yang dapat dimakan.
Sejak kecil, Ang Siok Bi menggembleng puteranya itu. Tujuan hidupnya hanya satu, yakni mendidik agar puteranya menjadi seorang yang terkenal dan pandai di kemudian hari. Setelah puteranya agak besar dan Tek Hoat sudah mengerti karena pergaulannya dengan anak dusun sebaya yang suka menggembala domba di lereng bukit kemudian bertanya kepada ibunya, Ang Siok Bi mengatakan bahwa ayah anak itu telah meninggal dunia sejak ia masih dalam kandungan.
“Mengapa, ibu?” tanya anak kecil berusia enam tahun itu. “Mengapa ayahku meninggal dunia?”
Repot juga hati Ang Siok Bi menghadapi pertanyaan anaknya ini, kemudian timbul akalnya agar anak ini tidak terlalu ingat kepada ayahnya, maka dengan sembarangan saja dia berkata,
“Ayahmu meninggal karena dibunuh penjahat. Oleh karena itu, kau harus belajar dengan tekun agar kelak dapat menjadi orang gagah pembasmi penjahat.”
Tek Hoat yang kecil itu mengerutkan alisnya.
“Siapa yang membunuh ayah?”
“Tak perlu kau ketahui namanya karena dia sudah mati. Ibu telah membalaskan kematian ayahmu.”
“Jadi pembunuh ayah itu telah ibu bunuh? Ahhh, sayang....”
“Eh? Mengapa sayang?”
“Karena kalau dia masih hidup, aku sendirilah yang kelak akan membunuhnya!”
Ang Siok Bi merangkul anaknya dan mencium pipinya, mengusapkan dua titik air matanya kepada baju anaknya agar Tek Hoat tidak melihatnya. Bicara tentang ayah anak ini, teringatlah dia akan segala pengalamannya di waktu dahulu bersama Gak Bun Beng (baca cerita Sepasang Pedang Iblis), orang yang bagaimanapun juga tak pernah dapat dilupakannya. Biarpun Gak Bun Beng telah memperkosanya, biarpun kemudian dia bersama Milana dan Lu Kim Bwee telah berhasil membunuh laki-laki itu namun harus diakuinya bahwa dia masih mencinta Gak Bun Beng. Karena itu, bicara tentang laki-laki itu merupakan hal yang menusuk perasaannya.
“Ibu, siapa namanya?”
“Nama siapa?”
Di kota Shen-yang tak jauh dari kota raja. Seorang pemuda tampan berpakaian indah bersih memasuki sebuah rumah makan yang baru saja dibuka dan masih sepi. Hari masih terlalu pagi untuk makan, maka yang penuh dengan orang berlalu lalang hanyalah jalan raya di depan rumah makan itu, dan pemuda ini merupakan pemuda pertama yang disambut oleh pelayan yang masih kelihatan segar dan bersemangat. Dengan wajah berseri dan ramah pelayan itu menyambut dan mempersilakan tamunya masuk dan duduk menghadapi meja yang kesemuanya masih kosong. Pemuda itu memilih meja di tengah dan duduknya di sebelah sehingga dia dapat melihat ke pintu depan dan pintu yang menembus ke ruangan sebelah dalam rumah makan itu.
Pemuda ini baru kelihatan jelas wajahnya setelah dia membuka topinya yang berbentuk caping lebar dan diberi tali sutera merah dan diikatkan di bawah dagunya. Setelah menaruhkan caping itu di atas meja, juga menuruhkan buntalan di punggung dan menaruhnya pula di atas meja, pemuda itu mengeluarkan sapu tangan dan menyusuti peluh di muka dan lehernya. Sepagi itu, dengan hawa masih dingin sudah berkeringat! Hal ini menandakan bahwa dia telah melakukan perjalanan jauh dan memang demikianlah, semalam suntuk dia terus berjalan tak pernah berhenti dan baru berhenti di kota itu setelah melihat rumah makan ini. Perutnya yang lapar memaksanya berhenti. Setelah memesan makanan, pemuda itu menyandarkan dirinya ke meja dan memandang ke luar.
Usianya masih muda sekali, sekitar enam belas tahun, akan tetapi agaknya karena sudah banyak melakukan perantauan, maka pandang matanya yang tajam itu sudah “matang”, gerak-geriknya tenang, wajahnya yang tampan itu selalu berseri, mulutnya tersenyum namun bibir yang tak pernah ditinggalkan senyum itu membayangkan ejekan dan mata yang tajam bersinar-sinar itu seakan-akan memandang rendah kepada keadaan sekelilingnya.
Siapakah pemuda tampan ini? Dia bernama Ang Tek Hoat dan sesungguhnya pemuda ini bukanlah seorang pemuda sembarangan karena ia cucu bekas ketua Bu-tong-pai yang terkenal dengan sebutan Ang Lojin (Kakek Ang) atau Ang Thian Pa! Ang Lojin atau bekas ketua Bu-tongpai yang kini telah meninggal dunia dan kedudukannya sebagai ketua Bu-tong-pai telah digantikan oleh seorang sutenya, hanya mempunyai seorang anak tunggal, seorang puteri bernama Ang Siok Bi. Sebagai puteri tunggal, tentu saja Ang Siok Bi juga mewarisi ilmu kepandaian ayahnya yang tinggi.
Di dalam cerita Sepasang Pedang Iblis diceritakan dengan jelas betapa Ang Siok Bi yang masih gadis, baru berusia sembilan belas tahun, pada suatu hari diperkosa oleh seorang pemuda dan biarpun akhirnya dia bersama Puteri Milana dan Lu Kim Bwee, ibu Ceng Ceng seperti yang telah dituturkan di depan, dapat membunuh pemuda yang mernperkosanya itu, namun seperti Lu Kim Bwee pula, perkosaan atas dirinya itu membuat dia mengandung dan akhirnya melahirkan seorang anak laki-laki anak itu diberi nama Ang Tek Hoat, yaitu pemuda yang berada di dalam rumah makan itu.
Karena merasa malu akan aib yang menimpa diri puterinya yang melahirkan anak tanpa ayah, hal yang mencemarkan nama besarnya sebagai ketua Bu-tong-pai, kakek Ang jatuh sakit sampai meninggal dunia ketika Tek Hoat masih bayi. Lebih menyedihkan lagi bagi Ang Siok Bi, melihat dia melahirkan anak tanpa ayah, Bu-tong-pai merasa dinodai namanya dan fihak pimpinan lalu mengeluarkan keputusan untuk mengeluarkan Ang Siok Bi sebagai anggauta Bu-tong-pai.
Peristiwa ini terlalu hebat bagi Ang Siok Bi. Dengan hati yang hancur dia lalu meninggalkan Bu-tong-pai, membawa anaknya yang masih bayi. Untung baginya bahwa para pemimpin Bu-tongpai masih mengingat dia sebagai puteri bekas ketua mereka, maka kepergiannya disertai bekal yang cukup sehingga Ang Siok Bi dan puteranya tidak akan mengalami nasib sengsara dan kelaparan.
Ang Siok Bi membawa puteranya itu mengasingkan diri ke sebuah bukit sunyi di lembah Sungai Hoang-ho. Bukit ini oleh penduduk di sekitar daerah itu dinamakan Bukit Angsa, karena dilihat dari jauh mirip seekor angsa sedang tidur. Dengan uang yang diperoleh dari Butong-pai, juga dengan menjual perhiasan pribadinya, Ang Siok Bi membangun sebuah rumah kecil yang cukup mungil di puncak Bukit Angsa, hidup berdua dengan puteranya di tempat sunyi ini. Hanya kadang-kadang saja dia membawa puteranya turun bukit mengunjungi dusun-dusun terdekat untuk membeli keperluan hidupnya yang tidak banyak karena tanah di puncak bukit itu amat subur, penuh tetumbuhan yang dapat dimakan.
Sejak kecil, Ang Siok Bi menggembleng puteranya itu. Tujuan hidupnya hanya satu, yakni mendidik agar puteranya menjadi seorang yang terkenal dan pandai di kemudian hari. Setelah puteranya agak besar dan Tek Hoat sudah mengerti karena pergaulannya dengan anak dusun sebaya yang suka menggembala domba di lereng bukit kemudian bertanya kepada ibunya, Ang Siok Bi mengatakan bahwa ayah anak itu telah meninggal dunia sejak ia masih dalam kandungan.
“Mengapa, ibu?” tanya anak kecil berusia enam tahun itu. “Mengapa ayahku meninggal dunia?”
Repot juga hati Ang Siok Bi menghadapi pertanyaan anaknya ini, kemudian timbul akalnya agar anak ini tidak terlalu ingat kepada ayahnya, maka dengan sembarangan saja dia berkata,
“Ayahmu meninggal karena dibunuh penjahat. Oleh karena itu, kau harus belajar dengan tekun agar kelak dapat menjadi orang gagah pembasmi penjahat.”
Tek Hoat yang kecil itu mengerutkan alisnya.
“Siapa yang membunuh ayah?”
“Tak perlu kau ketahui namanya karena dia sudah mati. Ibu telah membalaskan kematian ayahmu.”
“Jadi pembunuh ayah itu telah ibu bunuh? Ahhh, sayang....”
“Eh? Mengapa sayang?”
“Karena kalau dia masih hidup, aku sendirilah yang kelak akan membunuhnya!”
Ang Siok Bi merangkul anaknya dan mencium pipinya, mengusapkan dua titik air matanya kepada baju anaknya agar Tek Hoat tidak melihatnya. Bicara tentang ayah anak ini, teringatlah dia akan segala pengalamannya di waktu dahulu bersama Gak Bun Beng (baca cerita Sepasang Pedang Iblis), orang yang bagaimanapun juga tak pernah dapat dilupakannya. Biarpun Gak Bun Beng telah memperkosanya, biarpun kemudian dia bersama Milana dan Lu Kim Bwee telah berhasil membunuh laki-laki itu namun harus diakuinya bahwa dia masih mencinta Gak Bun Beng. Karena itu, bicara tentang laki-laki itu merupakan hal yang menusuk perasaannya.
“Ibu, siapa namanya?”
“Nama siapa?”
“Nama penjahat yang membunuh ayah itu.”
“Namanya? Namanya.... Gak Bun Beng.”
“Gak Bun Beng? Hemmm, aku takkan melupakan nama itu.”
“Untuk apa, Tek Hoat? Orang itu telah mati.”
“Orangnya sudah mati, akan tetapi namanyakan masih ada. Dan siapakah nama ayahku, ibu?”
Makin repot dan bingunglah Ang Siok Bi menghadapi pertanyaan ini. Dia mengerti bahwa tidak ada gunanya menyebutkan nama begitu saja karena puteranya tentu sudah tahu bahwa nama keturunan harus sama dengan keturunan ayahnya. Maka dia teringat kepada ayahnya. Ayahnya hanya dikenal orang sebagai Ang Lojin, ketua Bu-tong-pai. Tidak ada, atau jarang sekali, yang tahu bahwa nama ayahnya adalah Ang Thian Pa. Maka dia lalu menjawab,
“Ayahmu telah meninggal dan dahulu namanya Ang Thian Pa.”
Anak itu kelihatan puas dan berkali-kali mengulang nama Ang Thian Pa ini, seolah-olah dia hendak menghafal nama itu, kemudian mengulang nama Gak Bun Beng. Diam-diam hati Ang Siok Bi terasa perih sekali dan dia merasa kasihan kepada puteranya.
Sebagai seorang gadis yang sebetulnya masih muda kemudian hidup terasing di puncak bukit itu bersama puteranya yang amat disayangnya karena puteranya merupakan satu-satunya manusia yang dekat dengannya, tentu saja Ang Siok Bi tidak tahu tentang cara mendidik anak. Anak itu terlalu dimanjakannya, segala permintaannya dituruti saja, maka Tek Hoat menjadi seorang anak yang amat manja. Apalagi ketika ia memperoleh teman-teman yang bengal, ia lalu menjadi kepala di antara mereka, karena selain dia paling tampan, paling baik pakaiannya, juga dia paling kuat dengan kepandaian silatnya yang semenjak dia kecil diajarkan ibunya disamping pelajaran menulis dan membaca.
Harus diakui bahwa Tek Hoat memiliki otak yang cerdas sekali. Semua pelajaran yang diberikan ibunya kepadanya, baik ilmu silat maupun ilmu menulis membaca, sekali dihafal dilatih terus saja bisa. Tentu saja ibunya merasa girang dan bangga sekali. Dalam usia empat belas tahun saja, habislah semua ilmu silat yang dimiliki ibunya, semua sudah diajarkan kepada puteranya itu Ketika ibunya menyatakan bahwa tidak ada ilmu lain lagi yang dapat diajarkan, Tek Hoat merasa tidak puas.
“Ibu, apakah sekarang aku telah menjadi seorang pendekar?”
Ibunya tertawa dan merangkul puteranya yang kini telah menjadi seorang jejaka kecil yang tampan sekali.
“Pendekar? Aihh, Hoat-ji (anak Hoat), tidak mudah menjadi seorang pendekar! Di dunia ini banyak sekali terdapat orang pandai, dan kepandaian ibumu terbatas sekali. Memang kalau dibandingkan dengan anak sebaya, agaknya engkau sudah merupakan seorang anak yang sukar dicari lawannya. Akan tetapi di dunia kang-ouw, orang-orang yang memiliki kepandaian jauh melebihi kita amat banyak sekali.”
“Ada orang yang lebih pandai dari ibu?” tanya anak berusia empat belas tahun itu.
Ang Siok Bi tertawa.
“Baru di Bu-tong-pai saja, tingkat ibu paling banyak hanya menduduki ke empat!”
Tiba-tiba wanita ini berhenti karena baru teringat bahwa dia dengan tanpa disengaja telah membuka rahasia, padahal dia sudah mengambil keputusan untuk menjauhkan puteranya dari Bu-tong-pai?
“Bu-tong-pai?” Tek Hoat bertanya, mendesak ketika melihat ibunya meragu.
Ang Siok Bi menarik napas panjang. Dia sudah terlanjur bicara, dan anaknya cerdik, tentu akan menacuh curiga dan kalau saja kelak anaknya menyelidiki sendiri kemudian tahu bahwa mereka adalah anak murid Bu-tong-pai, tentu anaknya akan menegurnya. Maka dia berkata,
“Benar, anakku, Bu-tong-pai. Ibumu adalah murid Bu-tong-pai dan ilmu silat yang kita latih adalah ilmu silat Bu-tong-pai. Ketahuilah bahwa ibumu ini adalah puteri mendiang ketua Bu-tong-pai yang bernama Ang Lojin.”
Berseri wajah Tek Hoat mendengar ini.
“Ahh, jadi jelek-jelek aku ini cucu ketua Bu-tong-pai?”
“Hanya bekas ketua, anakku. Sekarang ketuanya tentu lain orang lagi.”
“Siapa ketuanya, ibu?”
“Ketuanya sekarang adalah seorang tosu bernama Giok Thian-sicu, masih sute dari kong-kongmu sendiri.”
“Ilmu silatnya tentu tinggi sekali, ibu?”
“Tentu saja, dan masih banyak tokoh lain di Bu-tong-pai yang memiliki ilmu kepandaian jauh lebih tinggi dari kita. Akan tetapi itu tidak semua, di dunia kang-ouw ini masih terlalu banyak untuk disebutkan tokoh-tokoh yang amat lihai, yang amat sakti. Bahkan ada yang ilmu kepandaiannya amat luar biasa, seperti dewa saja.”
Tek Hoat membelalakkan matanya.
“Benarkah, ibu?” Dia tidak percaya karena selama ini dia menganggap bahwa ibunya merupakan orang paling hebat di dunia ini. “Siapakah mereka yang memiliki kepandaian melebihi ketua Bu-tong-pai dan para tokohnya?”
“Banyak, anakku. Akan tetapi kurasa tidak akan ada yang melebihi kepandaian seorang yang amat terkenal dahulu, yang sekarang tidak pernah muncul, seorang yang terkenal dengan julukan Pendekar Siluman.”
“Eh? Dia manusia atau siluman, ibu?”
Ibunya tersenyum.
“Tentu saja manusia. Saking saktinya, karena dia bisa menghilang, dia bisa mengubah rupa menjadi apa saja, maka dia dijuluki Pendekar Siluman.”
“Pendekar Siluman....” Tek Hoat berkata perlahan.
“Juga Pendekar.... Super Sakti.”
“Pendekar Super Sakti....” kembali Tek Hoat menggumam penuh kekaguman.
“Dia Majikan Pulau Es!”
“Pulau Es.... di manakah Pulau Es itu, ibu?”
“Siapa tahu? Pulau Es seperti dalam dongeng saja, disebut-sebut orang akan tetapi tidak ada yang tahu di mana letaknya.”
“Ibu, apakah dia orang yang paling pandai di dunia ini?”
“Mungkin begitulah. Siapa yang tahu?”
“Ibu, aku ingin mencari Pendekar Siluman!”
“Eh, mau apa kau?”
“Aku mau menantangnya.”
“Kau gila?”
“Aku ingin membuktikannya sendiri apakah dia itu benar-benar sakti seperti yang ibu katakan. Kalau benar demikian, aku ingin berguru kepadanya agar kelak menjadi seorang pendekar terpandai.”
Ibunya menggeleng-gelengkan kepalanya.
“Mudah diucapkan akan tetapi tak mungkin dilaksanakan, anakku. Entah berapa banyaknya orang yang hendak menemukannya, akan tetapi tidak ada yang tahu di mana adanya pendekar sakti itu, dan di mana pula letaknya Pulau Es.”
“Akan tetapi aku ingin memperdalam ilmu silatku, ibu, dan kau sudah tidak dapat mengajarku lagi, ibu.”
Hati ibu itu menjadi bingung karena apa yang dikatakan puteranya memang benar. Ilmu silatnya sudah habis ditumpahkan kepada puteranya semua dan kalau pada waktu itu tingkatnya masih lebih menang dari puteranya hanyalah karena dia menang latihan belaka.
“Hoat-ji, ilmu silatmu bersumber kepada ilmu silat Bu-tong-pai, maka yang dapat memperdalamnya hanyalah tokoh-tokoh di sana....”
Tiba-tiba Ang Siok Bi menghentikan kata-katanya dan memandang penuh kekhawatiran. Dia kembali telah terlanjur bicara dan bagaimana kalau puteranya menemui ketua Bu-tong-pai? Apakah puteranya akan diterima dan diakui sebagai murid Bu-tong-pai? Bagaimana kalau ada yang membocorkan rahasianya sehingga puteranya tahu bahwa dia adalah seorang anak haram yang tidak mempunyai ayah? Memang tidak ada yang tahu bahwa dia telah diperkosa oleh Gak Bun Beng (baca cerita Sepasang Pedang Iblis), akan tetapi semua pimpinan Bu-tong-pai tahu bahwa dia melahirkan anak tanpa suami!
“Ibu, aku akan pergi sekarang juga.”
“Anakku, jangan ke Bu-tong-pai. Ibumu sudah tidak diakui sebagai murid lagi, engkau tentu akan ditolak.”
“Hemm, aku ingin mencari Pendekar Siluman, atau tokoh kang-ouw lain kalau Bu-tong-pai tidak mau menerimaku.”
“Hoat-ji, jangan pergi. Ibumu bagaimana....?”
Tek Hoat mengerutkan alisnya dan kemudian dia tersenyum, merangkul ibunya yang mulai menangis.
“Ibu, mengapa ibu menjadi cengeng? Bukankah ibu menghendaki anakmu menjadi seorang pendekar tanpa tanding?”
Pandai sekali Tek Hoat menghibur ibunya sehingga akhirnya, biarpun dengan air mata bercucuran, ibunya membiarkan dia pergi dengan bekal secukupnya, dengan janji bahwa setiap tahun dia harus pulang menengok ibunya.
Berangkatlah Tek Hoat yang berusia empat belas tahun itu, masih kanak-kanak akan tetapi memiliki keberanian luar biasa. Mulailah dia merantau dan di sepanjang jalan dia bertanya-tanya kepada orang di mana letaknya Pulau Es atau di mana tempat tinggal Pendekar Siluman. Tentu saja dia selalu kecewa.
Orang biasa tidak ada yang tahu siapa itu Pendekar Siluman dan di mana itu Pulau Es, sedangkan orang kang-ouw yang ditanyanya membelalakkan matanya dengan heran dan takut, akan tetapi juga tidak ada yang tahu di mana adanya Pulau Es dan di mana pula tinggalnya Pendekar Siluman yang dikenal oleh seluruh tokoh kang-ouw itu. Karena tidak ada yang dapat memberi petunjuk kepadanya, akhirnya anak yang belum dewasa akan tetapi memiliki ketabahan luar biasa itu lalu menuju ke Bu-tong-san untuk memperdalam ilmunya dengan berguru kepada Bu-tong-pai. Tentu saja amat mudah mencari Bu-tong-pai sungguhpun dia harus pula melakukan perjalanan sampai lebih dari satu bulan lamanya.
Pada waktu dia akhirnya berhasil berhadapan dengan dua orang anggauta pimpinan Bu-tong-pai yang mewakili ketua menemui pemuda kecil ini, kembali Tek Hoat dikecewakan bukan main. Dua orang kakek itu dengan kening berkerut mendengarkan pengakuan Tek Hoat sebagai putera Ang Siok Bi yang ingin melanjutkan pelajaran ilmu silat di Bu-tong-pai.
“Hemm, kami tidak ada hubungan apa-apa lagi dengan seorang yang bernama Ang Siok Bi,” seorang di antara mereka, yang berpakaian tosu berkata. “Dan kami tidak dapat menerima murid dari luar, apa lagi keturunan dari Ang Siok Bi.”
Hati anak yang penuh keberanian itu menjadi panas. Ibunya sudah memperingatkannya, akan tetapi dia merasa penasaran dan berkata keras,
“Mengapa begitu? Bukankah kakekku dahulu pernah menjadi ketua kalian?”
Tosu itu mengerutkan alisnya dan memandang tajam.
“Tidak ada kakekmu yang menjadi ketua kami. Pergilah, anak bandel dan jangan kau berani datang lagi ke sini.”
Dapat dibayangkan betapa kecewa, jengkel dan marah hati anak itu. Sebulan lebih dia melakukan perjalanan yang amat melelahkan untuk mencapai tempat ini, dan setelah berhasil tiba di Bu-tong-pai di mana kakeknya pernah menjadi ketua, bukan saja dia ditolak untuk menjadi murid, bahkan dia tidak dihormati sama sekali, diusir dan dihina!
“Kalau begitu kalian bukan orang Bu-tong-pai! Kata ibu, Bu-tong-pai adalah pusat orang-orang gagah, akan tetapi sikap kalian sama sekali tidak gagah. Aku malah akan merasa malu menjadi murid Bu-tong-pai!”
“Anak haram!”
Orang kedua dari Bu-tong-pai yang berpakaian seperti seorang petani membentak, tangannya melayang ke arah kepala Tek Hoat. Anak ini tentu saja tidak mau kepalanya ditampar, dan dia lalu mengelak dan balas menendang dengan jurus yang paling lihai dari ilmu silatnya. Sambil menendang, tangannya menyusul dan memukul ke arah ulu hati lawan!
“Plak.... brukkk....!”
Tubuh Tek Hoat terbanting keras. Ternyata kakek itu telah dapat menangkap kaki dan tangannya lalu melemparkannya sampai sejauh empat meter dimana dia terbanting keras membuat kepalanya nanar dan matanya berkunang!
Akan tetapi saking marahnya, Tek Hoat sudah melompat bangun lagi dan berlari ke depan, menerjang marah, melancarkan pukulan bertubi. Kembali dia terjengkang roboh karena sebelum serangannya yang dikenal baik oleh kakek itu mengenai tubuh lawan, dia telah didahului dan didorong.
Tek Hoat masih belum mau kalah, sampai lima kali dia maju lagi, lima kali terjengkang dan tubuhnya sudah lecet-lecet, kepalanya bengkak dan pakaiannya robek-robek. Kini dia merangkak bangun, menghapus darah yang mengalir dari bibirnya yang pecah, matanya berapi memandangi kedua orang kakek yang berdiri tenang itu, kepalanya digoyang-goyang, karena pandang matanya berputar, akan tetapi dia bangkit lagi dengan susah payah dan dengan nekat dia hendak menyerang lagi.
“Bocah hina, apakah kau ingin mampus?” Kakek itu berteriak marah.
Tek Hoat meloncat maju dan memukul nekat.
“Bressss....!”
Kini tubuhnya terbanting dan bergulingan sampai jauh. Pening sekali kepalanya dan dia hanya dapat bangkit duduk, memegangi kepalanya dan dari kedua lubang hidungnya mengalir darah.
“Hemmm.... orang-orang Bu-tong-pai memukul anak kecil. Betapa anehnya ini!”
Tiba-tiba muncul seorang kakek tua yang mukanya menyeramkan. Kakek ini mukanya persegi dan dilingkari rambut putih seperti muka singa, matanya mengeluarkan sinar penuh wibawa, akan tetapi kedua kakinya lumpuh! Hebatnya, biarpun kedua kakinya tak dapat digerakkan dan ditekuk seperti orang bersila, kakek ini mampu bergerak cepat dengan tubuh berlompat-lompatan! Kakek itu menghampiri Tek Hoat, setelah memeriksa tubuh anak itu dia mengangguk-angguk.
“Betapa pun juga, kalian tidak menjatuhkan tangan maut. Kalau hal itu terjadi, tentu aku tidak akan tinggal diam!”
Kakek itu lalu menyambar tubuh Tek Hoat dan sekali berkelebat dia telah lenyap dari situ, diikuti pandang mata kedua orang tokoh Bu-tong-pai yang terheran-heran.
Sementara itu, Tek Hoat tadi melihat munculnya kakek lumpuh yang mukanya menakutkan itu. Ketika tiba-tiba kakek itu mengempit tubuhnya di bawah ketiak dan membawanya “terbang” cepat, dia terkejut sekali akan tetapi juga girang. Dia melihat betapa tubuh kakek itu tanpa menggunakan kaki yang bersila, akan tetapi cepatnya seperti seekor rusa membalap sampai dia merasa ngeri dan kadang-kadang memejamkan mata kalau melihat dirinya dibawa terbang melewati sebuah jurang yang lebar dan dalam sekali.
“Kakek yang baik, aku ingin menjadi muridmu!” Tiba-tiba Tek Hoat berkata setelah mereka tiba di dalam sebuah hutan lebat.
Kakek lumpuh ini melepaskan tubuhnya dan Tek Hoat cepat berlutut. Kakek itu tertawa, mengelus jenggotnya yang putih semua.
“Aku tidak akan mengambil murid! Sekali mengambil murid, tentu hanya akan menimbulkan urusan belaka di kemudian hari. Aku sudah tua, sudah enak-enak hidup tenang dan penuh damai, mengapa mesti mencari perkara? Tidak, aku tidak akan menerima murid.”
Tek Hoat menjadi kecewa bukan main. Dia tahu bahwa kakek ini adalah seorang yang amat lihai, biarpun kedua kakinya lumpuh. Tentu inilah orang yang disebut orang sakti oleh ibunya. Akan tetapi, ternyata kakek itupun menolaknya untuk menjadi murid. Sial benar. Kekecewaan membuat dia menjadi marah dan suaranya kaku ketika dia berkata,
“Namanya? Namanya.... Gak Bun Beng.”
“Gak Bun Beng? Hemmm, aku takkan melupakan nama itu.”
“Untuk apa, Tek Hoat? Orang itu telah mati.”
“Orangnya sudah mati, akan tetapi namanyakan masih ada. Dan siapakah nama ayahku, ibu?”
Makin repot dan bingunglah Ang Siok Bi menghadapi pertanyaan ini. Dia mengerti bahwa tidak ada gunanya menyebutkan nama begitu saja karena puteranya tentu sudah tahu bahwa nama keturunan harus sama dengan keturunan ayahnya. Maka dia teringat kepada ayahnya. Ayahnya hanya dikenal orang sebagai Ang Lojin, ketua Bu-tong-pai. Tidak ada, atau jarang sekali, yang tahu bahwa nama ayahnya adalah Ang Thian Pa. Maka dia lalu menjawab,
“Ayahmu telah meninggal dan dahulu namanya Ang Thian Pa.”
Anak itu kelihatan puas dan berkali-kali mengulang nama Ang Thian Pa ini, seolah-olah dia hendak menghafal nama itu, kemudian mengulang nama Gak Bun Beng. Diam-diam hati Ang Siok Bi terasa perih sekali dan dia merasa kasihan kepada puteranya.
Sebagai seorang gadis yang sebetulnya masih muda kemudian hidup terasing di puncak bukit itu bersama puteranya yang amat disayangnya karena puteranya merupakan satu-satunya manusia yang dekat dengannya, tentu saja Ang Siok Bi tidak tahu tentang cara mendidik anak. Anak itu terlalu dimanjakannya, segala permintaannya dituruti saja, maka Tek Hoat menjadi seorang anak yang amat manja. Apalagi ketika ia memperoleh teman-teman yang bengal, ia lalu menjadi kepala di antara mereka, karena selain dia paling tampan, paling baik pakaiannya, juga dia paling kuat dengan kepandaian silatnya yang semenjak dia kecil diajarkan ibunya disamping pelajaran menulis dan membaca.
Harus diakui bahwa Tek Hoat memiliki otak yang cerdas sekali. Semua pelajaran yang diberikan ibunya kepadanya, baik ilmu silat maupun ilmu menulis membaca, sekali dihafal dilatih terus saja bisa. Tentu saja ibunya merasa girang dan bangga sekali. Dalam usia empat belas tahun saja, habislah semua ilmu silat yang dimiliki ibunya, semua sudah diajarkan kepada puteranya itu Ketika ibunya menyatakan bahwa tidak ada ilmu lain lagi yang dapat diajarkan, Tek Hoat merasa tidak puas.
“Ibu, apakah sekarang aku telah menjadi seorang pendekar?”
Ibunya tertawa dan merangkul puteranya yang kini telah menjadi seorang jejaka kecil yang tampan sekali.
“Pendekar? Aihh, Hoat-ji (anak Hoat), tidak mudah menjadi seorang pendekar! Di dunia ini banyak sekali terdapat orang pandai, dan kepandaian ibumu terbatas sekali. Memang kalau dibandingkan dengan anak sebaya, agaknya engkau sudah merupakan seorang anak yang sukar dicari lawannya. Akan tetapi di dunia kang-ouw, orang-orang yang memiliki kepandaian jauh melebihi kita amat banyak sekali.”
“Ada orang yang lebih pandai dari ibu?” tanya anak berusia empat belas tahun itu.
Ang Siok Bi tertawa.
“Baru di Bu-tong-pai saja, tingkat ibu paling banyak hanya menduduki ke empat!”
Tiba-tiba wanita ini berhenti karena baru teringat bahwa dia dengan tanpa disengaja telah membuka rahasia, padahal dia sudah mengambil keputusan untuk menjauhkan puteranya dari Bu-tong-pai?
“Bu-tong-pai?” Tek Hoat bertanya, mendesak ketika melihat ibunya meragu.
Ang Siok Bi menarik napas panjang. Dia sudah terlanjur bicara, dan anaknya cerdik, tentu akan menacuh curiga dan kalau saja kelak anaknya menyelidiki sendiri kemudian tahu bahwa mereka adalah anak murid Bu-tong-pai, tentu anaknya akan menegurnya. Maka dia berkata,
“Benar, anakku, Bu-tong-pai. Ibumu adalah murid Bu-tong-pai dan ilmu silat yang kita latih adalah ilmu silat Bu-tong-pai. Ketahuilah bahwa ibumu ini adalah puteri mendiang ketua Bu-tong-pai yang bernama Ang Lojin.”
Berseri wajah Tek Hoat mendengar ini.
“Ahh, jadi jelek-jelek aku ini cucu ketua Bu-tong-pai?”
“Hanya bekas ketua, anakku. Sekarang ketuanya tentu lain orang lagi.”
“Siapa ketuanya, ibu?”
“Ketuanya sekarang adalah seorang tosu bernama Giok Thian-sicu, masih sute dari kong-kongmu sendiri.”
“Ilmu silatnya tentu tinggi sekali, ibu?”
“Tentu saja, dan masih banyak tokoh lain di Bu-tong-pai yang memiliki ilmu kepandaian jauh lebih tinggi dari kita. Akan tetapi itu tidak semua, di dunia kang-ouw ini masih terlalu banyak untuk disebutkan tokoh-tokoh yang amat lihai, yang amat sakti. Bahkan ada yang ilmu kepandaiannya amat luar biasa, seperti dewa saja.”
Tek Hoat membelalakkan matanya.
“Benarkah, ibu?” Dia tidak percaya karena selama ini dia menganggap bahwa ibunya merupakan orang paling hebat di dunia ini. “Siapakah mereka yang memiliki kepandaian melebihi ketua Bu-tong-pai dan para tokohnya?”
“Banyak, anakku. Akan tetapi kurasa tidak akan ada yang melebihi kepandaian seorang yang amat terkenal dahulu, yang sekarang tidak pernah muncul, seorang yang terkenal dengan julukan Pendekar Siluman.”
“Eh? Dia manusia atau siluman, ibu?”
Ibunya tersenyum.
“Tentu saja manusia. Saking saktinya, karena dia bisa menghilang, dia bisa mengubah rupa menjadi apa saja, maka dia dijuluki Pendekar Siluman.”
“Pendekar Siluman....” Tek Hoat berkata perlahan.
“Juga Pendekar.... Super Sakti.”
“Pendekar Super Sakti....” kembali Tek Hoat menggumam penuh kekaguman.
“Dia Majikan Pulau Es!”
“Pulau Es.... di manakah Pulau Es itu, ibu?”
“Siapa tahu? Pulau Es seperti dalam dongeng saja, disebut-sebut orang akan tetapi tidak ada yang tahu di mana letaknya.”
“Ibu, apakah dia orang yang paling pandai di dunia ini?”
“Mungkin begitulah. Siapa yang tahu?”
“Ibu, aku ingin mencari Pendekar Siluman!”
“Eh, mau apa kau?”
“Aku mau menantangnya.”
“Kau gila?”
“Aku ingin membuktikannya sendiri apakah dia itu benar-benar sakti seperti yang ibu katakan. Kalau benar demikian, aku ingin berguru kepadanya agar kelak menjadi seorang pendekar terpandai.”
Ibunya menggeleng-gelengkan kepalanya.
“Mudah diucapkan akan tetapi tak mungkin dilaksanakan, anakku. Entah berapa banyaknya orang yang hendak menemukannya, akan tetapi tidak ada yang tahu di mana adanya pendekar sakti itu, dan di mana pula letaknya Pulau Es.”
“Akan tetapi aku ingin memperdalam ilmu silatku, ibu, dan kau sudah tidak dapat mengajarku lagi, ibu.”
Hati ibu itu menjadi bingung karena apa yang dikatakan puteranya memang benar. Ilmu silatnya sudah habis ditumpahkan kepada puteranya semua dan kalau pada waktu itu tingkatnya masih lebih menang dari puteranya hanyalah karena dia menang latihan belaka.
“Hoat-ji, ilmu silatmu bersumber kepada ilmu silat Bu-tong-pai, maka yang dapat memperdalamnya hanyalah tokoh-tokoh di sana....”
Tiba-tiba Ang Siok Bi menghentikan kata-katanya dan memandang penuh kekhawatiran. Dia kembali telah terlanjur bicara dan bagaimana kalau puteranya menemui ketua Bu-tong-pai? Apakah puteranya akan diterima dan diakui sebagai murid Bu-tong-pai? Bagaimana kalau ada yang membocorkan rahasianya sehingga puteranya tahu bahwa dia adalah seorang anak haram yang tidak mempunyai ayah? Memang tidak ada yang tahu bahwa dia telah diperkosa oleh Gak Bun Beng (baca cerita Sepasang Pedang Iblis), akan tetapi semua pimpinan Bu-tong-pai tahu bahwa dia melahirkan anak tanpa suami!
“Ibu, aku akan pergi sekarang juga.”
“Anakku, jangan ke Bu-tong-pai. Ibumu sudah tidak diakui sebagai murid lagi, engkau tentu akan ditolak.”
“Hemm, aku ingin mencari Pendekar Siluman, atau tokoh kang-ouw lain kalau Bu-tong-pai tidak mau menerimaku.”
“Hoat-ji, jangan pergi. Ibumu bagaimana....?”
Tek Hoat mengerutkan alisnya dan kemudian dia tersenyum, merangkul ibunya yang mulai menangis.
“Ibu, mengapa ibu menjadi cengeng? Bukankah ibu menghendaki anakmu menjadi seorang pendekar tanpa tanding?”
Pandai sekali Tek Hoat menghibur ibunya sehingga akhirnya, biarpun dengan air mata bercucuran, ibunya membiarkan dia pergi dengan bekal secukupnya, dengan janji bahwa setiap tahun dia harus pulang menengok ibunya.
Berangkatlah Tek Hoat yang berusia empat belas tahun itu, masih kanak-kanak akan tetapi memiliki keberanian luar biasa. Mulailah dia merantau dan di sepanjang jalan dia bertanya-tanya kepada orang di mana letaknya Pulau Es atau di mana tempat tinggal Pendekar Siluman. Tentu saja dia selalu kecewa.
Orang biasa tidak ada yang tahu siapa itu Pendekar Siluman dan di mana itu Pulau Es, sedangkan orang kang-ouw yang ditanyanya membelalakkan matanya dengan heran dan takut, akan tetapi juga tidak ada yang tahu di mana adanya Pulau Es dan di mana pula tinggalnya Pendekar Siluman yang dikenal oleh seluruh tokoh kang-ouw itu. Karena tidak ada yang dapat memberi petunjuk kepadanya, akhirnya anak yang belum dewasa akan tetapi memiliki ketabahan luar biasa itu lalu menuju ke Bu-tong-san untuk memperdalam ilmunya dengan berguru kepada Bu-tong-pai. Tentu saja amat mudah mencari Bu-tong-pai sungguhpun dia harus pula melakukan perjalanan sampai lebih dari satu bulan lamanya.
Pada waktu dia akhirnya berhasil berhadapan dengan dua orang anggauta pimpinan Bu-tong-pai yang mewakili ketua menemui pemuda kecil ini, kembali Tek Hoat dikecewakan bukan main. Dua orang kakek itu dengan kening berkerut mendengarkan pengakuan Tek Hoat sebagai putera Ang Siok Bi yang ingin melanjutkan pelajaran ilmu silat di Bu-tong-pai.
“Hemm, kami tidak ada hubungan apa-apa lagi dengan seorang yang bernama Ang Siok Bi,” seorang di antara mereka, yang berpakaian tosu berkata. “Dan kami tidak dapat menerima murid dari luar, apa lagi keturunan dari Ang Siok Bi.”
Hati anak yang penuh keberanian itu menjadi panas. Ibunya sudah memperingatkannya, akan tetapi dia merasa penasaran dan berkata keras,
“Mengapa begitu? Bukankah kakekku dahulu pernah menjadi ketua kalian?”
Tosu itu mengerutkan alisnya dan memandang tajam.
“Tidak ada kakekmu yang menjadi ketua kami. Pergilah, anak bandel dan jangan kau berani datang lagi ke sini.”
Dapat dibayangkan betapa kecewa, jengkel dan marah hati anak itu. Sebulan lebih dia melakukan perjalanan yang amat melelahkan untuk mencapai tempat ini, dan setelah berhasil tiba di Bu-tong-pai di mana kakeknya pernah menjadi ketua, bukan saja dia ditolak untuk menjadi murid, bahkan dia tidak dihormati sama sekali, diusir dan dihina!
“Kalau begitu kalian bukan orang Bu-tong-pai! Kata ibu, Bu-tong-pai adalah pusat orang-orang gagah, akan tetapi sikap kalian sama sekali tidak gagah. Aku malah akan merasa malu menjadi murid Bu-tong-pai!”
“Anak haram!”
Orang kedua dari Bu-tong-pai yang berpakaian seperti seorang petani membentak, tangannya melayang ke arah kepala Tek Hoat. Anak ini tentu saja tidak mau kepalanya ditampar, dan dia lalu mengelak dan balas menendang dengan jurus yang paling lihai dari ilmu silatnya. Sambil menendang, tangannya menyusul dan memukul ke arah ulu hati lawan!
“Plak.... brukkk....!”
Tubuh Tek Hoat terbanting keras. Ternyata kakek itu telah dapat menangkap kaki dan tangannya lalu melemparkannya sampai sejauh empat meter dimana dia terbanting keras membuat kepalanya nanar dan matanya berkunang!
Akan tetapi saking marahnya, Tek Hoat sudah melompat bangun lagi dan berlari ke depan, menerjang marah, melancarkan pukulan bertubi. Kembali dia terjengkang roboh karena sebelum serangannya yang dikenal baik oleh kakek itu mengenai tubuh lawan, dia telah didahului dan didorong.
Tek Hoat masih belum mau kalah, sampai lima kali dia maju lagi, lima kali terjengkang dan tubuhnya sudah lecet-lecet, kepalanya bengkak dan pakaiannya robek-robek. Kini dia merangkak bangun, menghapus darah yang mengalir dari bibirnya yang pecah, matanya berapi memandangi kedua orang kakek yang berdiri tenang itu, kepalanya digoyang-goyang, karena pandang matanya berputar, akan tetapi dia bangkit lagi dengan susah payah dan dengan nekat dia hendak menyerang lagi.
“Bocah hina, apakah kau ingin mampus?” Kakek itu berteriak marah.
Tek Hoat meloncat maju dan memukul nekat.
“Bressss....!”
Kini tubuhnya terbanting dan bergulingan sampai jauh. Pening sekali kepalanya dan dia hanya dapat bangkit duduk, memegangi kepalanya dan dari kedua lubang hidungnya mengalir darah.
“Hemmm.... orang-orang Bu-tong-pai memukul anak kecil. Betapa anehnya ini!”
Tiba-tiba muncul seorang kakek tua yang mukanya menyeramkan. Kakek ini mukanya persegi dan dilingkari rambut putih seperti muka singa, matanya mengeluarkan sinar penuh wibawa, akan tetapi kedua kakinya lumpuh! Hebatnya, biarpun kedua kakinya tak dapat digerakkan dan ditekuk seperti orang bersila, kakek ini mampu bergerak cepat dengan tubuh berlompat-lompatan! Kakek itu menghampiri Tek Hoat, setelah memeriksa tubuh anak itu dia mengangguk-angguk.
“Betapa pun juga, kalian tidak menjatuhkan tangan maut. Kalau hal itu terjadi, tentu aku tidak akan tinggal diam!”
Kakek itu lalu menyambar tubuh Tek Hoat dan sekali berkelebat dia telah lenyap dari situ, diikuti pandang mata kedua orang tokoh Bu-tong-pai yang terheran-heran.
Sementara itu, Tek Hoat tadi melihat munculnya kakek lumpuh yang mukanya menakutkan itu. Ketika tiba-tiba kakek itu mengempit tubuhnya di bawah ketiak dan membawanya “terbang” cepat, dia terkejut sekali akan tetapi juga girang. Dia melihat betapa tubuh kakek itu tanpa menggunakan kaki yang bersila, akan tetapi cepatnya seperti seekor rusa membalap sampai dia merasa ngeri dan kadang-kadang memejamkan mata kalau melihat dirinya dibawa terbang melewati sebuah jurang yang lebar dan dalam sekali.
“Kakek yang baik, aku ingin menjadi muridmu!” Tiba-tiba Tek Hoat berkata setelah mereka tiba di dalam sebuah hutan lebat.
Kakek lumpuh ini melepaskan tubuhnya dan Tek Hoat cepat berlutut. Kakek itu tertawa, mengelus jenggotnya yang putih semua.
“Aku tidak akan mengambil murid! Sekali mengambil murid, tentu hanya akan menimbulkan urusan belaka di kemudian hari. Aku sudah tua, sudah enak-enak hidup tenang dan penuh damai, mengapa mesti mencari perkara? Tidak, aku tidak akan menerima murid.”
Tek Hoat menjadi kecewa bukan main. Dia tahu bahwa kakek ini adalah seorang yang amat lihai, biarpun kedua kakinya lumpuh. Tentu inilah orang yang disebut orang sakti oleh ibunya. Akan tetapi, ternyata kakek itupun menolaknya untuk menjadi murid. Sial benar. Kekecewaan membuat dia menjadi marah dan suaranya kaku ketika dia berkata,
Tidak ada komentar:
Posting Komentar