FB

FB


Ads

Jumat, 30 Januari 2015

Sepasang Pedang Iblis Jilid 105

Perahu kecil itu meluncur cepat sekali diantara gumpalan-gumpalan es besar kecil yang malang-melintang di atas air laut. Dara muda yang mendayung perahu dengan kedua tangannya yang kecil halus namun penuh berisi tenaga sakti itu, mendayung sambil menangis terisak-isak.

Dibiarkannya air matanya turun mengalir di sepanjang hidungnya, di kanan kiri hidung terus ke pinggir mulut dan menitik turun ke dada melalui dagunya. Matanya tak pernah berkejap, memandang ke depan dengan kosong.

Setelah perahu kecil itu keluar dari gumpalan-gumpalan es, layar kecil dipasang dan angin mulai menggerakkan perahu, dara itu bangkit berdiri, mengemudikan layar berdiri termenung seperti arca. Isaknya tak terdengar lagi, akan tetapi air mata masih bertitik turun jarang-jarang. Tangan kiri memegangi tali layar tangan kanan meraba gagang pedang di pinggang.

“Singggg....!”

Tampak kilat berkelebat ketika pedang itu tercabut keluar dari sarungnya. Tangan kanan itu membawa pedang di depan dahi, tegak dan seolah-olah hendak diciumnya. Bibir yang halus tipis agak pucat itu bergerak dan terdengar suaranya lirih,

“Im-kan Seng-jin Bhong Ji Kun, aku bersumpah untuk membunuh engkau dan semua kaki tanganmu!”

Agaknya sumpah ini meredakan kemarahan dan kedukaan hati Giam Kwi Hong. Dia menyarungkan kembali pedang Lim-mo-kiam dan duduk di perahu yang meluncur cepat terdorong angin menuju ke darat.

Setelah kini duduk melamun sambil memandang ke barat, arah daratan besar, terbayanglah dia akan wajah seorang yang selama ini amat dirindukannya. Wajah yang tampan gagah sederhana, wajah Gak Bun Beng!

Dia mengeluh ketika teringat betapa Gak Bun Beng, pria satu-satunya di dunia ini yang telah berhasil merampas kasih hatinya, telah ditunangkan dengan Milana, puteri pamannya. Hancurlah hatinya. Musnahlah harapan untuk hidup bahagia!

Memang lucu dan janggal sekali manusia dan tingkahnya hidup di dunia ini. Kita sebagai manusia selalu rindu akan kebahagiaan, selalu gandrung dan mengejar-ngejar apa yang disebut kebahagiaan!

Apakah sebenarnya kebahagiaan yang sebutannya dikenal oleh semua orang, yang selalu dicari dan dikejar oleh manusia, akan tetapi yang agaknya tidak ada seorangpun manusia memilikinya itu? Apakah sesungguhnya kebahagiaan? Apakah itu yang disebut hidup bahagia?

Adakah kebahagiaan itu suatu angan-angan kosong yang hanya direka oleh manusia yang merasa tidak bahagia? Ataukah kebahagiaan itu suatu keadaan tertentu yang dapat dirasakan dan dihayati?

Orang dalam keadaan remuk redam hatinya karena kegagalan cinta seperti Kwi Hong, kiranya kebahagiaan berarti kalau dia dapat hidup bersama orang yang dicintanya! Orang yang menderita sakit berat, agaknya akan menganggap bahwa kebahagiaan adalah kalau dia sembuh dari penyakitnya! Orang yang kelaparan tentu akan mengatakan bahwa kebahagiaan adalah sepiring nasi yang akan mengenyangkan perutnya, atau bagi seorang yang kehausan kebahagiaan adalah kalau dia dapat meneguk air jernih sejuk sepuas perutnya!

Orang yang rindu akan kebahagiaan, yang mengejar-ngejar kebahagiaan, berarti bahwa orang itu tidak mengenal kebahagiaan. Kalau dia tidak mengenal kebahagiaan, bagaimana mungkin dia akan dapat berhasil mencari dan menemukan kebahagiaan? Kalau dalam pencariannya dia menemukan, tentu yang ditemukan itu bukan kebahagiaan, melainkan sesuatu yang diinginkannya, dan sesuatu yang diinginkan kebetulan sesuatu yang sudah dikenalnya atau dialaminya.

Tak dapat disangkal pula karena memang kenyataan bahwa terpenuhinya keinginan mendatangkan kepuasan, akan tetapi kepuasan ini disusul dengan kebosanan sehingga timbul pula keinginan untuk hal-hal lain yang belum dapat diraihnya. Demikian terus-menerus kita terseret oleh lingkaran setan yang tiada berkeputusan, dan kebahagiaanpun tak kunjung tiba!

Yang terpenting bagi kita adalah untuk mengetahui mengapa kita mencari kebahagiaan? Orang yang mencari kebahagiaan berarti tidak berbahagia, bukan? Kalau sudah bahagia tak mungkin mencari kebahagiaan lagi! Kalau kita tidak berbahagia, apa sebabnya kita tidak berbahagia? Inilah yang penting!

Seperti orang yang mencari kewarasan tentulah orang yang tidak waras! Dan yang penting adalah untuk mengetahui mengapa kita tidak waras, dan apa penyakit yang kita derita. Yang penting adalah menghilangkan penyakit itu, bukannya mengejar kewarasan. Yang penting adalah menghilangkan penyebab tidak bahagia atau yang biasa disebut derita dan sengsara itu, bukannya mengejar bahagia! Kalau tidak ada lagi yang menyebabkan kita tidak bahagia, maka kebahagiaan tentu ada!

Kwi Hong pun dirusak oleh pikirannya sendiri yang seperti semua manusia, tak pernah mengenal diri dan keadaan sendiri, tak pernah puas dengan keadaan seperti apa adanya. Kekecewaannya mendengar Bun Beng bertunangan dengan Milana, penyesalannya karena dia telah tertipu oleh Bhong Ji Kun dan kawan-kawannya sehingga dia melakukan kesalahan besar di depan pamannya, membuat dia berduka dan sakit hati. Duka, sakit hati, penyesalan dan kemarahan akhirnya membentuk watak yang keras di dalam hati Kwi Hong. Membuat dia seolah-olah tidak peduli lagi akan hidupnya, tidak peduli akan keadaan sekitarnya.

Perahunya meluncur cepat, lebih cepat dari tadi setelah berhasil keluar dari gumpalan es yang mengambang di permukaan air kini menuju ke barat, ke arah daratan. Badai yang mengamuk di bagian selatan Pulau Es tidak mencapai tempat yang dilalui Kwi Hong itu, akan tetapi tetap saja pengaruhnya ada pada air laut yang bergelombang, akan tetapi tidak mengganggu Kwi Hong yang pandai menguasai perahu layarnya, bahkan perahu itu terdorong pula oleh lajunya ombak.

Lima orang nelayan yang melihat betapa di udara sebelah selatan dan timur gelap, tanda bahwa ada badai mengamuk, memandang terheran-heran ketika melihat sebuah perahu layar kecil melaju ke arah pantai. Mereka sendiri sebagai nelayan-nelayan yang berpengalaman, melihat ancaman badai, tidak berani melanjutkan usaha mereka mencari ikan, dan hanya menanti di pantai.

Tadinya mereka mengira bahwa perahu layar itu tentu milik seorang nelayan yang terserang badai sehingga tersesat sampai ke tempat itu. Akan tetapi betapa kaget dan herannya hati mereka ketika perahu layar itu tiba di pantai, mereka melihat seorang dara yang cantik jelita turun dari perahu layar meloncat ke darat dan sama sekali tidak mempedulikan mereka.

Akan tetapi tiga orang diantara para nelayan itu adalah orang-orang muda yang kasar. Melihat seorang dara cantik sendirian saja turun dari perahu itu, mereka segera menghampiri, dan seorang diantara mereka sudah berseru,

“Aiihhh, Nona manis, tunggu dulu!”






“A-ban, jangan ganggu orang!”

Dua orang nelayan tua yang tidak ikut maju menegur, akan tetapi A-ban dan dua orang kawannya itu tidak mau peduli akan teguran itu dan berlari mengejar Kwi Hong yang sudah melangkah hendak pergi.

Mendengar seruan itu, Kwi Hong menghentikan langkahnya, tanpa menoleh, hanya berdiri tegak seperti arca, akan tetapi sepasang alisnya berkerut dan sinar matanya mengeluarkan cahaya kilat. Hatinya yang sedang dilanda duka, kecewa, penyesalan, kemarahan dan sakit hati itu seperti dibakar mendengar orang secara kasar dan kurang ajar menyebutnya nona manis!

Tiga orang nelayan muda itu dengan sikap cengar-cengir sudah tiba di depan Kwi Hong dan mereka makin kagum melihat dara ini dari dekat karena Kwi Hong memang memiliki kecantikan yang mengagumkan. Melihat alis itu berkerut dan bibir manis itu cemberut, tiga orang itu tersenyum menyeringai. Mereka mengira bahwa wanita ini tentu bersikap “jual mahal” karena jelas bahwa satu kali seruan saja cukup membuat wanita itu berhenti, tanda bahwa “ada kontak”.

“Aihhh, Nona, jangan cemberut. Kalau kau marah makin manis, tidak kuat aku memandangnya!” kata orang pertama.

“Jangan jual mahal ah, berapa sih harganya?” orang kedua menyambung.

“Kami hanya ingin bicara denganmu, Nona cantik manis, siapakah nama, dimana tempat tinggal, berapa usia, sudah menikah atau belum?” orang ke tiga berkata dengan suara dibuat-buat seperti orang bernyanyi.

“Singgg....! Crat-crat-crat....!”

Tiga orang nelayan itu hanya melihat sinar kilat berkelebat menyambar, mereka tidak sempat lagi terheran karena sinar kilat itu adalah sinar pedang Li-mo-kiam yang sudah menyambar ke arah leher mereka dan robohlah tiga orang ini bergelimpangan dengan leher hampir putus dan nyawa melayang, seketika itu juga.

“Ahhh....!”

Dua orang nelayan tua memandang terbelalak dan seketika mereka menjatuhkan diri berlutut dengan tubuh menggigil.

Kwi Hong sendiri terkejut menyaksikan akibat kemarahannya. Sejenak dia tertegun dan terheran mengapa tiga orang itu dibunuhnya? Memang mereka kurang ajar, akan tetapi dia sendiri kini merasa betapa dia telah bertindak keterlaluan, karena kesalahan mereka itu belum patut untuk dihukum dengan kematian! Dia menyesal, akan tetapi sudah terlambat. Kini mendengar seruan kaget itu dia menoleh dan melihat dua orang nelayan tua berlutut dengan ketakutan, dia lalu berkata, suaranya halus seperti biasa.

“Paman berdua tidak perlu takut. Mereka ini menghinaku dan sudah mati. Kuburlah mayat mereka dan ini perahuku boleh kalian ambil. Kuberikan kepada kalian.”

Setelah berkata demikian, Kwi Hong berkelebat dan sekejap mata saja dia telah meloncat dan berlari jauh, kemudian lenyap diantara pohon-pohon. Dua orang kakek itu terbelalak, sampai lama tidak dapat bangkit berdiri mengira bahwa wanita yang turun dari perahu di waktu laut bergelombang itu tentu seorang siluman atau iblis penghuni lautan!

Semenjak Li-mo-kiam yang sejak diciptakannya selalu haus darah itu berhasil minum darah tiga orang nelayan, pedang iblis itu menjadi makin haus darah. Pengaruhnya ini dengan cepat dan mudah menjalar ke dalam pikiran Kwi Hong yang pada saat itupun sedang dihimpit sakit hati, dendam, kekecewaan, kemarahan dan kedukaan, sehingga dara ini berubah menjadi seorang dara yang ganas sekali.

Pendidikan dasar semenjak dia kecil di Pulau Es, gemblengan yang didapatnya dari Pendekar Super Sakti, tentu saja cukup kuat untuk mencegahnya terseret ke dalam lembah kejahatan.

Tidak, Giam Kwi Hong masih belum menjadi seorang wanita iblis yang suka melakukan kejahatan sebagai kesenangannya, sama sekali tidak. Dia masih berwatak pendekar yang selalu berhasrat menentang kejahatan, akan tetapi perubahan wataknya itu membuat dia menjadi seorang yang amat kejam dan ganas. Hal ini terbukti di sepanjang perjalanannya menuju ke kota raja. Setiap kali dia bertemu dengan orang yang dianggapnya jahat, dengan perampok dan bajak sungai, tentu mereka itu menjadi korban kehausan Li-mo-kiam dan dibasminya semua sampai habis ke akar-akarnya, tidak seorangpun diberi ampun.

Maka muncullah nama baru yang amat ditakuti oleh golongan hitam, julukan yang dengan sendirinya diperoleh Kwi Hong karena pedang dan keganasannya. Perjalanannya ke kota raja dari Pulau Es ini menggoreskan jejak yang mendalam karena perbuatannya membasmi para penjahat itu, dan berkumandanglah nama julukan Mo-kiam Lihiap (Pendekar Wanita Pedang Iblis)!

Karena merasa menyesal sekali bahwa dia telah tertipu oleh para pemberontak sehingga dia melakukan kesalahan besar kepada pamannya, bahkan dialah yang menjadi gara-gara sampai bibi Phoa Ciok Lin tewas, Kwi Hong menjadi seorang pendendam besar dan perasaan ini ditambah kekecewaan dan kedukaan membuat dia seorang yang tidak mengacuhkan segala sesuatu, dan dia menjadi pula seorang pembenci!

Beberapa pekan kemudian tibalah dia di kota raja yang sekarang sudah aman. Dia mulai melakukan penyelidikan dan mendengar betapa pasukan pemberontak sudah hancur sama sekali oleh pasukan pemerintah yang dipimpin oleh Puteri Nirahai. Hal ini tidak menarik hatinya karena dia memang sudah tahu. Yang ingin diketahuinya adalah dimana adanya Milana dan.... terutama sekali Gak Bun Beng.

Akhirnya dia berhasil mendapat keterangan yang mengejutkan bahwa Milana, puteri dari Panglima Wanita Nirahai, cucu dari Kaisar sendiri, telah lama lenyap diculik orang! Tidak ada yang tahu siapa penculiknya dan tidak ada pula yang tahu siapa atau dimana adanya Gak Bun Beng.

Hati Kwi Hong menjadi bimbang. Kalau menurut pesan pamannya, dia harus mencari Milana dan Bun Beng. Tapi kini sudah kurang semangatnya untuk melaksanakan perintah pamannya itu. Apa perlunya mencari mereka? Mereka bukanlah anak kecil. Bertemu dengan Milana dan Bun Beng, melihat mereka berdua telah menjadi calon suami isteri, hanya akan menusuk perasaannya sendiri saja.

Pamannya telah membencinya. Kalau dia berhasil menemukan Milana dan Bun Beng, berhasil mengajak mereka pulang ke Pulau Es, tentu dia hanya akan lebih menderita lagi. Lebih baik tidak lagi bertemu dengan Milana, tidak lagi bertemu dengan pamannya. Dia tidak lagi akan pergi ke Pulau Es!

Kwi Hong menggigit bibir menahan isaknya yang tersedu dari dalam dadanya. Digunakan kekerasan hatinya untuk menahan menetesnya air mata. Tak perlu dia menangis. Dia bisa hidup sendiri. Memang dia seorang yang sebatangkara, seorang yatim piatu.

Ah, ada gurunya yang ke dua. Bu-tek Siauw-jin! Kakek sinting itulah satu-satunya orang yang baik kepadanya. Teringat akan watak kakek yang sinting dan aneh itu, lenyaplah kedukaan hati Kwi Hong dan dia tersenyum geli sendiri. Tentu saja! Dia harus pergi mencari kakek yang menjadi gurunya itu, Bu-tek Siauw-jin, tokoh besar Pulau Neraka. Tentu saja kakek itu kemungkinan besar kembali ke Pulau Neraka.

Berdebar tegang juga hatinya ketika ia mengingat akan hal ini. Juga pemuda iblis itu, Wan Keng In, dan gurunya yang mengerikan, kakek Mayat Hidup yang berjuluk Cui-beng Koai-ong, berada di Pulau Neraka! Sungguhpun hal inipun belum tentu melihat kenyataan betapa pemuda yang menjadi putera bibi Lulu yang kini menjadi isteri pamannya di Pulau Es itu seringkali berkeliaran di daratan besar.

Andaikata benar berada disana dan dia berjumpa dengan pemuda iblis itu, diapun tidak takut. Dia akan menyampaikan pesan bibi Lulu, memberi tahu bahwa bekas Ketua Pulau Neraka itu kini telah menjadi isteri Majikan Pulau Es dan minta supaya pemuda itu suka menyusul ibunya ke Pulau Es.

Akan tetapi kalau pemuda iblis itu tidak mau, dia tidak akan peduli. Kalau pemuda itu masih memusuhinya seperti dahulu, dia tidak takut menghadapinya. Setelah dia menerima gemblengan Bu-tek Siauw-jin dan memegang Li-mo-kiam, tidak takut lagi dia berhadapan dengan pemuda iblis itu atau gurunya sekalipun, atau siapa saja!

Dengan pikiran ini pergilah Kwi Hong meninggalkan kota raja, kembali ke utara dan kini tujuan perjalanan hanya satu, yaitu ke Pulau Neraka! Dia maklum bahwa tidaklah mudah mencari Pulau Neraka akan tetapi dia pernah dibawa oleh bibi Lulu ke pulau itu, dan dapat mengira-ngirakan disebelah mana letak Pulau Neraka.

Giam Kwi Hong melakukan perjalanan cepat, melalui pegunungan dan hutan-hutan yang sunyi. Pada suatu pagi, ketika dia keluar dari sebuah hutan, dia melihat dari jauh orang-orang sedang bertempur. Tiga orang yang bersenjata tongkat hitam melawan lima orang bersenjata toya panjang. Biarpun ilmu tongkat tiga orang itu aneh dan cukup lihai, namun menghadapi pengeroyokan lima orang yang juga memiliki ilmu toya yang mirip-mirip aliran Siauw-lim-pai, mereka bertiga terdesak hebat.

Kwi Hong tidak mempedulikan urusan orang lain, akan tetapi melihat betapa pertandingan itu tidak adil dan berat sebelah, tiga orang dikeroyok lima, dia cepat meloncat ke tengah arena pertandingan sambil berseru,

“Tahan....!”

Delapan orang itu yang melihat bahwa yang melerai mereka hanya seorang gadis muda, tentu saja tidak mau berhenti bertanding, bahkan dua orang Pek-eng-pang yang merasa bahwa gadis itu mengganggu pihak mereka yang sudah hampir menang, mengira bahwa gadis itu tentu hendak membantu lawan. Dengan marah mereka menggerakkan toya mereka dan membentak,

“Pergi kau!”

“Sing....! Trak-trakkk!” Dua batang toya itu patah-patah bertemu dengan Li-mo-kiam.

“Berhenti dan jangan bertempur kataku!” Kwi Hong membentak, mengelebatkan pedangnya.

Dua orang pemegang toya yaitu orang-orang dari perkumpulan Pek-eng-pang, terkejut dan terbelalak memandang toya yang sudah buntung di tangan mereka. Toya mereka terbuat dari baja murni yang kuat, mengapa bertemu dengan pedang di tangan gadis itu seolah-olah berubah seperti sebatang bambu saja.

“Siapa kau?” Seorang diantara lima orang Pek-eng-pang yang menjadi pemimpin mereka berkata. Orang ini berpakaian seperti jubah pendeta, rambutnya digelung melengkung ke atas. “Mengapa kau berani mencampuri urusan kami?”

“Aku siapa bukan soal, yang jelas kalian adalah orang-orang tak tahu malu dan pengecut, mengeroyok dengan jumlah lebih besar. Karena itu, aku tidak senang dan kalian harus berhenti bertempur. Kalian boleh bertempur kalau satu lawan satu, atau tiga lawan tiga.”

“Perempuan muda yang sombong! Berani sekali kau menghina kami dari Pek-eng-pang, ya? Apakah kau sudah bosan hidup?” Orang yang dandanannya seperti seorang saikong itu membentak.

“Bukan aku yang bosan hidup, akan tetapi kalian!” bentak Kwi Hong yang sudah marah sekali, pedang Li-mo-kiam di tangannya sudah menggetar.

“Siluman betina, kau boleh bantu tikus-tikus Koai-tung-pang ini kalau sudah bosan hidup!” Orang itu berkata dan memberi isyarat kepada empat orang kawannya.

“Tidak perlu dengan mereka, aku sendiri sudah cukup untuk melenyapkan kalian orang-orang sombong!” Kwi Hong bergerak cepat sekali, pedangnya berubah menjadi kilat menyambar-nyambar.

Lima orang itu terkejut dan cepat mereka menangkis dan balas menyerang. Akan tetapi, seperti juga tadi, begitu bertemu dengan Li-mo-kiam, toya mereka patah-patah dan sekali ini Li-mo-kiam tidak hanya berhenti sampai disitu saja, melainkan menyambar ganas ke depan.

Terdengar jerit lima kali disusul robohnya lima batang tubuh para anggauta Pek-eng-pang dan tewas seketika karena leher mereka ditembus pedang Li-mo-kiam yang ganas dan ampuh!

Melihat dara itu berdiri tegak memandang pedang Li-mo-kiam di tangan, pedang yang kembali sudah minum darah lima orang akan tetapi yang agaknya semua darah disedotnya habis karena di permukaan pedang itu sama sekali tidak tampak noda darah, tidak ada setetespun, tiga orang anggauta Koai-tung-pang menggigil kakinya.

“Mo-kiam Lihiap....” Mereka bertiga berbisik dan menjatuhkan diri berlutut. “Kami menghaturkan terima kasih atas bantuan Lihiap,” kata seorang diantara mereka.

Kwi Hong tersenyum sedikit dan menyimpan pedangnya.
“Kalian sudah mengenalku?”

“Baru sekarang kami bertemu dengan Lihiap, akan tetapi nama besar Mo-kiam Lihiap siapakah yang tidak mengenalnya. Harap Lihiap tidak kepalang menolong kami. Kami adalah anggauta-anggauta Koai-tung-pang di Bukit Srigala, sudah lama kami selalu diganggu oleh pihak Pek-eng-pang yang jauh lebih besar dari perkumpulan kami. Kalau mendengar bahwa ada lima orang anggauta mereka tewas, tentu mereka akan kesini dan kami akan celaka.”

“Lima orang telah mati semua, bagaimana mereka tahu?”

“Lihiap tidak mengerti. Di samping lima orang ini, tadi masih ada seorang lagi yang bersembunyi dan melihat keadaan. Mereka selalu begitu, melepas mata-mata melakukan penyelidikan. Sekarang orang itu tentu telah melapor dan kami akan celaka, mungkin perkumpulan kami akan diserbu! Kini mereka mendapat alasan yang kuat. Lima orang anggauta mereka tewas, sungguh hebat sekali....” Pemimpin tiga orang itu berkata dengan suara gemetar mengandung rasa takut.

“Hemmm, kalian mengira bahwa aku membunuh mereka karena aku membantu kalian? Sama sekali bukan. Aku tidak mau mencampuri urusan kalian yang tiada sangkut pautnya dengan aku! Aku tadi melerai bukan untuk membantu kalian, melainkan karena tidak suka melihat perkelahian yang berat sebelah. Dan, aku membunuh karena mereka menghinaku. Sudahlah!” sebelum tiga orang anggauta Koai-tung-pang itu sempat membantah, tubuh Kwi Hong berkelebat dan lenyap dari tempat itu.

Tiga orang itu saling pandang dengan muka pucat.
“Celaka....!” kata pemimpin mereka, “Kalau begini, kita akan celaka. Lebih baik dia tadi tidak muncul, paling hebat kita hanya dirobohkan oleh orang-orang Pek-eng-pang dan mereka tentu tidak akan membunuh kita. Sekarang, keadaan lain lagi, bukan hanya kita akan celaka, bahkan seluruh Koai-tung-pang tentu akan dihancurkan oleh Pek-eng-pang.”

“Lebih baik kita melapor kepada Pangcu (Ketua)!” usul seorang diantara mereka.

Tergesa-gesa mereka lalu berlari pergi, meninggalkan lima buah mayat itu untuk cepat-cepat melaporkan kepada ketua mereka di lereng Bukit Srigala yang tidak jauh dari tempat itu.

Kwi Hong sudah melanjutkan perjalanannya dengan cepat, tidak mempedulikan dan sudah melupakan lagi urusan tadi. Akan tetapi tak lama kemudian, tiba-tiba dia menghentikan langkahnya ketika melihat debu mengepul dari depan dan muncullah sepuluh orang berlari-lari cepat mendatangi. Mereka dikepalai oleh seorang saikong berjubah lebar yang usianya sudah lima puluh tahun lebih.

Sepuluh orang itu semua memegang sebatang toya panjang dan melihat ini Kwi Hong dapat menduga bahwa mereka tentulah orang-orang Pek-eng-pang, kawan-kawan dari lima orang yang dibunuhnya tadi. Sinar matanya menjadi berkilat berbahaya karena dara ini telah menjadi marah sekali.

“Dia inilah orangnya!”

Seorang diantara mereka menuding, agaknya orang inilah yang tadi menjadi mata-mata dan yang menyaksikan ketika lima orang anggauta mereka itu tewas oleh pedang Li-mo-kiam di tangan Kwi Hong.

Mereka sudah tiba di depan Kwi Hong dan saikong itu membentak marah,
“Nona, benarkah engkau telah membunuh mati lima orang anggauta kami?”

“Kalau benar demikian, kalian mau apakah?”

Saikong itu menjadi makin marah, toya di tangannya sudah bergerak seolah-olah dia hendak menyerang.

“Hemmmm, engkau benar-benar seorang wanita muda yang sombong sekali. Kalau benar demikian, mengapa kau membunuh para anggauta kami?”

“Mereka telah menghinaku, tentu saja kubunuh.”

“Perempuan rendah, kau sungguh kejam. Siluman betina yang harus dienyahkan dari muka bumi!”

Saikong itu berteriak dan memberi isyarat kepada anak buahnya. Mereka menyerbu dengan toya mereka sambil mengurung Kwi Hong.

“Awas pedangnya tajam sekali!” teriak orang yang tadi mengintai dan melihat betapa toya kawan-kawannya patah semua bertemu dengan pedang.

Akan tetapi teriakannya terlambat karena sudah ada dua batang toya yang patah bertemu pedang, bahkan pedang itu terus membacok ke depan dan dua orang anggauta terpelanting mandi darah!

“Kurung dan serang! Jangan adukan senjata!”

Saikong itu berseru dan dia sendiri menerjang dengan hebatnya. Gerakan saikong ini memang hebat, tenaganya besar dan permainan toyanya adalah permainan ilmu toya dari Siauw-lim-pai yang sudah bercampur dengan ilmu silat lain dari golongan hitam.

Kwi Hong bersikap tenang dan terpaksa dia harus mengelak ke sana ke mari karena datangnya senjata lawan seperti hujan. Mereka berlaku cerdik, mengeroyoknya dari jarak jauh, tidak mau mengadu senjata dan mengandalkan toya mereka yang panjang untuk menyerang dari segenap penjuru.

Tiba-tiba tampak datang delapan orang yang kesemuanya memegang tongkat hitam. Itulah rombongan Koai-tung-pang yang juga dipimpin oleh ketuanya. Begitu tiba disitu dan melihat gadis perkasa itu dikeroyok orang-orang Pek-eng-pang sedangkan dua orang diantara mereka telah roboh, Ketua Koai-tung-pang berseru,

“Pek-eng-pangcu (Ketua Pek-eng-pang) dia itu adalah Mo-kiam Lihiap, musuh kita bersama. Mari kami bantu kalian!”

Kini delapan orang Koai-tung-pang itu serentak maju dan mengeroyok Kwi Hong. Tentu saja gadis ini menjadi marah sekali.

“Bagus! Majulah orang-orang pengkhianat dan pengecut!”

Dia begitu marahnya sehingga dialah yang menerjang maju ke orang-orang Koai-tung-pang, mengelebatkan pedangnya dan menggunakan gin-kangnya.

“Singgg-trang-trang-trakk!”

Tiga batang tongkat patah-patah dan dua orang anggauta Koai-tung-pang roboh dan tewas seketika oleh babatan pedang Li-mo-kiam. Akan tetapi teman-temannya mengurung ketat. Kini masih ada delapan orang Pek-eng-pang dan enam orang Koai-tung-pang yang mengurung, menyerang dari jarak jauh dan selalu menarik senjata mereka kalau sinar pedang Li-mo-kiam berkelebat. Menghadapi pengeroyokan ini, biarpun tidak terdesak, Kwi Hong merasa repot juga.

“Wuuuttt.... singgg.... aughhh....!”

Teriakan saling susul terdengar ketika ada sinar kilat menyambar dari luar kepungan, disusul robohnya dua orang anggauta Pek-eng-pang. Pengepungan menjadi kacau dan mereka cepat membalik. Kiranya disitu telah berdiri seorang pemuda tampan yang memegang sebatang pedang yang serupa dengan pedang yang berada di tangan Kwi Hong, hanya agak lebih panjang.

“Nona Kwi Hong, jangan khawatir, aku membantumu!”

Biarpun Kwi Hong terheran melihat Wan Keng In, pemuda iblis dari Pulau Neraka itu bersikap membantunya, namun dia memang tidak senang kepada pemuda itu, dan membentak,

“Aku tidak butuh bantuanmu!”

“Ha-ha-ha, betapapun juga, aku mau membantumu. Nanti saja kita bicara, sekarang mari kita berlumba membasmi cacing-cacing ini, kita lihat siapa yang lebih hebat antara murid Cui-beng Koai-ong dan murid Bu-tek Siauw-jin!”

“Boleh kau coba! Li-mo-kiam ini tidak akan kalah oleh Lam-mo-kiam itu!” jawab Kwi Hong yang segera mengerahkan seluruh kepandaiannya untuk merobohkan para pengeroyok.

Wan Keng In juga tidak mau kalah, pedang Lam-mo-kiam di tangannya berkelebatan seperti naga sakti mengamuk. Yang celaka adalah para pengeroyok itu. Baru mengeroyok gadis pemegang Li-mo-kiam saja sudah payah, kini ditambah lagi pemuda lihai yang membawa Lam-mo-kiam.

Sepasang Pedang Iblis itu mengamuk dan seolah-olah hidup di tangan pemuda dan gadis itu. Darah berceceran dan muncrat dari tubuh yang hampir putus, mayat berserakan dan tak lama kemudian, habislah semua pengeroyok termasuk ketua kedua buah perkumpulan itu. Tinggal Kwi Hong dan Keng In yang berdiri memandang pedang mereka yang sedikitpun tidak bernoda darah biarpun Sepasang Pedang Iblis itu telah minum darah belasan orang!

“Ha-ha-ha! Engkau tidak mengecewakan menjadi murid Susiok!”

Keng In memuji dan bukan pujian kosong karena dia betul-betul merasa kagum. Diam-diam dia ingin sekali membuktikan apakah gadis murid susioknya ini akan mampu menandinginya.

Dilain pihak, Kwi Hong juga terheran-heran melihat sikap Keng In yang lain dari dahulu. Dahulu pemuda iblis itu selalu memusuhinya, akan tetapi mengapa kini membantunya dan bersikap ramah.

Dia tidak peduli akan ini semua dan segera teringat akan pesan Lulu. Dengan pedang Li-mo-kiam masih di tangan, para korban pedang itu masih berserakan di sekitar kakinya dan darah masih bercucuran, dia berkata,

“Wan Keng In, kebetulan sekali kita saling bertemu disini. Aku membawa pesan dari ibumu untukmu.”

Berkerut alis Keng In mendengar ini. Dia juga sedang terheran memikirkan kemana perginya ibunya, sungguhpun hal itu tidak menyusahkan hatinya benar.

“Dimana kau berjumpa dengan ibuku? Dan apa yang dipesannya? Eh, Nona. Apakah tidak lebih baik kalau kita bicara di tempat lain, tidak diantara bangkai-bangkai yang menjijikkan ini?”





Tidak ada komentar:

Posting Komentar