FB

FB


Ads

Sabtu, 24 Januari 2015

Sepasang Pedang Iblis Jilid 087

Suma Han sudah bersila pula di belakang Bun Beng, menempelkan tangan kirinya dan mengerahkan Im-kang. Mula-mula keadaan Bun Beng tersiksa bukan main. Hawa yang amat dingin menyerangnya dari belakang, seolah-olah membuat seluruh darah di tubuhnya membeku dan hawa yang panas dan mengeluarkan bau amis menyerangnya dari depan. Kadang-kadang keadaan tubuhnya seperti separuh dibakar dan separuh direndam es, lalu kedua hawa itu berputar-putar di seluruh tubuhnya, membuat dia hampir pingsan.

Akan tetapi lambat laun terjadi hal yang aneh, kedua hawa itu seolah-olah menghentikan pertandingan mereka, bersatu dan menimbulkan rasa hangat yang amat nyaman. Rasa nyaman ini mendesak rasa nyeri dari dada dan leher, dan tak dapat ditahannya lagi, Bun Beng memuntahkan darah hitam tiga kali. Baiknya dia masih teringat untuk miringkan mukanya sehingga darah hitam yang keluar dari mulut tidak sampai mengenai tubuh kakek yang bersila di depannya.

Ternyata pengobatan yang hanya dilakukan kurang lebih dua jam itu telah berhasil baik. Kakek itu dan Suma Han melepaskan tangan dan keduanya duduk bersila untuk memulihkan tenaga masing-masing. Bun Beng maklum akan keadaan dirinya yang sudah tertolong, maka dia tetap berlutut di depan mereka, tanpa berani bergerak menanti sampai mereka menyelesaikan pemulihan tenaga mereka yang memakan waktu kurang lebih dua jam.

Matahari telah naik tinggi ketika akhirnya kedua orang sakti itu membuka mata. Melihat betapa Bun Beng masih berlutut di depan mereka, Suma Han diam-diam kagum sekali. Tidak disangkanya bahwa putera Si Datuk Sesat Gak Liat ini telah menjadi seorang yang benar-benar patut dipuji, seorang pemuda yang tampan, gagah, dan berbudi agung, juga seorang yang ingat akan budi orang.

Dia teringat akan Kwi Hong dan memang ada niat di hatinya untuk menjodohkan keponakannya itu dengan pemuda ini. Akan tetapi dia teringat akan ucapan Bu-tek Siauw-jin tentang bisik-bisik antara puterinya, Milana, dengan Bun Beng, maka hatinya menjadi bimbang.

“Bangkitlah, Bun Beng. Engkau telah sembuh,” katanya perlahan.

Bun Beng memberi hormat kepada mereka.
“Pertolongan Jiwi seolah-olah telah memberi nyawa baru kepada saya, tak tahu bagaimana saya harus membalas budi yang amat besar itu.”

“Ha-ha-ha-ha, untuk membalas, engkau harus menerima dan mempelajari ilmu kami berdua sekarang juga. Kalau engkau tidak mau atau tidak bisa, kami terpaksa akan minta kembali nyawa yang kau bilang kami berikan kepadamu tadi.”

Ucapan ini hanya merupakan kelakar saja dari Si Kakek Sinting, akan tetapi Bun Beng menerima dengan sungguh-sungguh.

“Teecu sanggup menerimanya dan memenuhi syaratnya.”

Suma Han dan Bu-tek Siauw-jin saling pandang dan keduanya mengangguk. Mereka berdua semalam suntuk telah berdebat tentang kebatinan, mengemukakan pegangan masing-masing. Suma Han telah mengeluarkan ilmu-ilmunya yang berdasarkan Im dan Yang, sedangkan Bu-tek Siauw-jin menandinginya dengan Ilmu Tunggal, yaitu yang mempersatukan dua tenaga bertentangan itu sehingga menjadi satu, tidak seperti Suma Han yang mempergunakan kedua-duanya.

Kini, mereka telah merasakan sendiri betapa tenaga sin-kang mereka yang berdasarkan ilmu-ilmu itu, ketika dipergunakan untuk menyembuhkan Bun Beng, ternyata dapat digabungkan menjadi satu! Biarpun tidak saling mengutarakan isi hati dengan kata-kata, keduanya sudah maklum bahwa pemuda ini memiliki bakat yang luar biasa, memiliki tenaga sin-kang yang hebat dan agaknya hanya pemuda inilah yang sanggup menerima gabungan ilmu mereka!

“Bun Beng, kami berdua telah bersepakat untuk menurunkan inti tenaga kami kepadamu. Tentu saja gabungan inti tenaga sakti kami itu baru akan dapat dipergunakan dengan berhasil baik dalam sebuah gerakan ilmu silat yang tinggi. Karena itu, coba kau mainkan ilmu silat tertinggi yang kau miliki.”

Bun Beng masih muda, akan tetapi dia telah mempelajari bermacam ilmu silat tinggi di samping ilmu-ilmu silat dari Siauw-lim-pai. Baginya, ilmu silat tertinggi yang pernah dipelajarinya adalah ilmu silat yang dia “curi” dari tempat persembunyian Ketua Thian-liong-pang, yaitu Ilmu Silat Lo-thian-kiam-sut. Ilmu itu adalah ilmu yang dicurinya dari Ketua Thian-liong-pang yang ternyata adalah isteri Pendekar Super Sakti ini. Kalau sampai diketahui oleh pendekar ini, apakah tidak berbahaya baginya? Tentu dia dianggap pencuri!

Akan tetapi kalau tidak dimainkannya, berarti dia menyembunyikan sesuatu dan membohong kepada dua orang gurunya yang baru ini! Dia mengambil keputusan nekat. Dia tidak sengaja mencuri! Pula, Ilmu Lo-thian-kiam-sut itu mirip dengan Ilmu Sam-po-cin-keng yang ia temukan di dalam guha bersama Sepasang Pedang Iblis, dan ia mempelajarinya tanpa sengaja mencuri!

“Ilmu itu adalah ilmu pedang, akan tetapi teecu tidak mempunyai pedang,” jawabnya lirih.

“Kau boleh memakai tongkatku ini!” kata Suma Han.






Bun Beng menerima tongkat itu dengan jari-jari tangan gemetar. Betapa tidak akan terharu, bangga, dan gembira hatinya? Dia diperbolehkan menggunakan senjata Pendekar Super Sakti! Setelah menerima tongkat butut itu, dengan penuh keharuan dia mencium tongkat itu, kemudian memberi hormat kepada kedua orang itu dan mulailah dia meloncat bangun dan mainkan Ilmu Pedang Lo-thian-kiam-sut.

Gerakannya gesit dan ringan bukan main sehingga bagi pandang mata biasa, tubuhnya lenyap terbungkus gulungan sinar yang dibentuk oleh tongkat itu. Angin yang berdesir menyambar dari gerakan tongkat membuktikan betapa sin-kang dari pemuda itu sudah amat kuat.

Suma Han dan Bu-tek Siauw-jin memandang dan melongo. Kadang-kadang mereka saling pandang dan kadang-kadang menarik napas panjang dan menggelengkan kepala saking kagumnya.

Bun Beng bersilat sebaik mungkin, dengan penuh ketekunan. Ketika selesai, dia meloncat turun dari jurus terakhir yang dihabiskan dengan gerak meloncat tinggi sambil memutar pedang yang diwakili tongkat itu, sebatang tongkat yang ternyata cocok Sekali dipergunakan sebagai pedang, kemudian dengan hormat menyerahkan tongkat kembali kepada pemiliknya. Napasnya biasa saja, hanya mukanya menjadi merah sekali karena pengerahan tenaga yang cukup melelahkan.

“Ha-ha-ha, dan orang seperti engkau ini kuambil sebagai murid? Ha-ha-ha, aku benar-benar Siauw-jin yang tidak memandang orang! Bocah, ilmu kepandaianmu ini, ilmu pedang aneh yang baru kau perlihatkan, kiranya sudah cukup untuk membuat aku orang tua menjadi mati kutu!”

Bun Beng menjura,
“Harap Locianpwe memaafkan teecu, tidak menertawakan teecu yang bodoh dan teecu mohon petunjuk.”

“Ah, aku tidak main-main. Ilmu pedangmu tadi hebat, kalau ditambah gabungan inti tenaga sakti kami.... wah.... agaknya suhengku Cui-beng Koai-ong sendiri harus tunduk kepadamu!”

“Gak Bun Beng, dari mana kau memperoleh ilmu pedang tadi?”

Tiba-tiba terdengar suara Suma Han, suaranya tegas dan pandang matanya membuat Bun Beng mengkirik karena seolah-olah dia merasa betapa sinar mata pendekar itu menembus jantungnya!

“Maafkan, teecu mendapatkannya secara tidak sengaja, dari sebuah kitab dan ilmu ini bernama Lo-thian Kiam-sut, hampir sama dasarnya dengan Ilmu Sam-po-cin-keng yang pernah teecu dapatkan pula dalam sebuah guha. Akan tetapi, Ilmu Lo-thian Kiam-sut ini teecu pelajari secara sembunyi dan.... dan.... mencuri....”

Bu-tek Siauw-jin tertawa bergelak, akan tetapi Suma Han kecewa sekali dan dia berkata,
“Mencuri? Dari siapa?”

“Dari Ketua Thian-liong-pang.”

“Heh....?” Dua orang sakti itu terbelalak dan bahkan Bu-tek Siauw-jin sendiri kaget karena tidak menyangka sama sekali.

Bun Beng sudah menjatuhkan diri berlutut dan tanpa menyembunyikan sesuatu dia lalu menceritakan semua pengalamannya sampai dia mempelajari ilmu yang luar biasa, ilmu yang oleh Nirahai sendiri tidak dapat dimainkan itu.

Mendengar ini, kembali Bu-tek Siauw-jin tertawa kagum, sedangkan Suma Han menghela napas panjang dan berkata,

“Dia tersesat, mencuri ilmu-ilmu orang lain, sedangkan ilmu tertinggi tidak dapat dipelajarinya, bahkan terjatuh ke tangan orang lain. Ini namanya pembalasan! Gak Bun Beng, tahukah engkau, bahwa setelah engkau memiliki Ilmu Pedang Lo-thian Kiam-sut ini, sebetulnya engkau terhitung suteku (adik sepergururuanku) sendiri? Melihat dasar gerakanmu aku yakin bahwa kitab itu adalah peninggalan Suhu Koai-lojin.”

“Ahhhh....!” Bun Beng terbelalak penuh kaget dan kagum. “Teecu.... teecu.... mana berani....?”

Suma Han tersenyum. Dia merasa makin suka kepada Bun Beng. Jelas bahwa pemuda ini memiliki watak baik, dan ternyata memiliki kepandaian yang hebat pula, hal yang tidaklah mengherankan kalau wataknya demikian sederhana dan merendah.

“Tidak mengapalah, Bun Beng. Tidak ada bedanya apakah engkau menjadi suteku, ataukah muridku, ataukah hanya sahabat saja. Apa sih artinya segala sebutan kosong? Sekarang yang penting, engkau harus benar-benar mengerahkan seluruh ketekunan dan semangatmu, mencurahkan seluruh perhatian untuk menerima gabungan inti tenaga sakti dari kami berdua, hal yang tak mungkin ditemukan oleh orang lain di dunia ini.”

Mulailah kedua orang sakti itu melatih Bun Beng. Pendekar Super Sakti menurunkan Hwi-yang Sin-kang dan Swat-im Sin-kang, dua inti tenaga panas dan tenaga dingin, sedangkan Kakek Bu-tek Siauw-jin menurunkan sin-kang dari Pulau Neraka yang telah merubah warna muka semua tokoh Pulau Neraka!

Karena pada diri Bun Beng sudah terdapat tenaga sin-kang yang mujijat dari jamur-jamur berwarna yang dimakannya ketika dia berada di dalam guha di bawah tanah tempat persembunyian Ketua Thian-liong-pang, maka Ilmu Tenaga Sakti Inti Bumi yang mujijat dari Bu-tek Siauw-jin ini tidak mempengaruhi warna mukanya.

Bun Beng yang amat tekun, cerdas dan memang berbakat luar biasa sekali itu, melatih diri siang malam tanpa pernah mengaso dan hanya membutuhkan waktu tiga hari saja untuk mewarisi ilmu gabungan dari dua orang manusia sakti itu!

Melihat hasil ini, makin kagumlah Suma Han dan dia lalu memberi petunjuk kepada Bun Beng bagaimana untuk memanfaatkan Ilmu Pedang Lo-thian Kiam-sut itu sebagai ilmu tangan kosong atau dengan menggunakan senjata lain. Biarpun Suma Han sendiri tidak pernah mempelajari ilmu ini, namun karena dasarnya sama dengan ilmu-ilmu yang ia pelajari dari Pulau Es, peninggalan Koai-lojin, ditambah pengetahuannya yang luas akan ilmu silat, dia dapat memberi petunjuk yang amat berharga itu.

Pada hari ke empat, ketika Bun Beng sedang tekun berlatih silat dengan tangan kosong, menggunakan tenaga sakti sehingga terdengar suara bercuitan sebagai akibat menyambarnya hawa pukulannya yang mengerikan, Suma Han yang berdiri agak jauh bersama Bu-tek Siauw-jin, berkata,

“Dia telah memperoleh kemajuan yang luar biasa.”

“Ha-ha-ha, tak mungkin ada lawannya lagi!”

Bu-tek Siauw-jin mengelus jenggotnya, menyesal mengapa pemuda sehebat itu bukan menjadi murid tunggalnya. Diapun telah mengajarkan Tenaga Sakti Inti Bumi kepada Kwi Hong, namun dara itu tidak dapat menggabungkannya dengan dua tenaga Im-yang dari pamannya, juga bakat dara itu kalah jauh kalau dibandingkan dengan Bun Beng.

“Bu-tek Siauw-jin, sekarang aku hendak pergi.”

Kakek itu menoleh ke kiri, memandang wajah pendekar besar yang kini tidaklah keruh dan berduka lagi, bahkan dari sepasang mata yang tajam luar biasa membuat dia tidak berani lama-lama menentangnya itu keluar sinar yang penuh harapan dan gairah hidup yang besar!

“Kemana kalau aku boleh bertanya? Siapa tahu, kita dapat saling berjumpa pula. Perkenalanku denganmu ini amat menyenangkan dan amat menguntungkan, dan mau rasanya aku menganggap kau sebagai guru karena engkaulah yang telah membuka mata batinku ketika menghadapi teka-teki Maharya, Suma taihiap.”

Suma Han menarik napas panjang.
“Hanya kebetulan saja, dan ternyata sifatmu yang polos sederhana itu malah lebih mudah menerima penerangan kebenaran sehingga aku tertinggal jauh. Telah kukatakan, ucapan pemuda yang menjadi murid kita itulah yang membuat aku berterima kasih sekali, yang membuka mataku, menyadarkan aku betapa tololnya selama belasan tahun ini aku telah menempuh hidup. Karena ucapannya itulah aku harus segera pergi menyusul mereka.”

“Lulu dan Puteri Nirahai?” kakek itu bertanya.

Suma Han mengangguk.
“Persoalan yang rumit dan sukar takkan dapat dipecahkan oleh pikiran yang penuh dengan pengetahuan lama, oleh pikiran yang hanya dapat melamun dan merasa diri terlalu pandai, terlalu bersih. Hanya pikiran yang sederhana, tidak melayang-layang di angkasa khayal, yang dapat menghadapi kenyataan saja yang akan dapat menyelami dan memecahkan serta mengatasi persoalan, seperti yang diucapkan Bun Beng empat hari yang lalu itu. Aku hendak menyusul mereka sekarang juga. Harap kau orang tua yang baik suka mencari Kwi Hong dan suruh dia kembali ke Pulau Es yang akan kubangun kembali bersama mereka.”

Bu-tek Siauw-jin mengangguk-angguk dan tertawa.
“Engkau masih belum setua aku, Suma-taihiap, segalanya masih belum terlambat. Selamat berjuang dan sampai jumpa pula. Ingin aku bertemu kembali denganmu kelak, di Pulau Es, di samping mereka yang kau cinta.”

Akan tetapi tubuh Suma Han telah berkelebat lenyap dari depan kakek itu yang masih tertawa-tawa dan mengangguk-angguk. Sudah puluhan tahun kakek ini tidak pernah mempedulikan dunia ramai, hidup seperti orang sinting dan tidak sudi mempedulikan dirinya sendiri, apalagi orang lain. Kini bertemu dengan Suma Han, dia tertarik sekali, merasa suka sekali dan kagum sehingga perasaan ini membangkitkan gairah hidupnya kembali.

Bun Beng berhenti berlatih, cepat menghampiri Bu-tek Siauw-jin dan berkata,
“Kemanakah perginya Suma taihiap tadi, Locianpwe?”

Biarpun dia tadi berlatih tekun, namun pendengarannya cukup tajam untuk mendengar suara berkelebatnya tubuh pendekar itu. Dia tetap menyebut Locianpwe kepada Bu-tek Siauw-jin dan taihiap kepada Suma Han, karena kedua orang ini, yang hanya menurunkan tenaga inti mereka, tidak mau dianggap guru.

“Dia sudah pergi menyusul kedua orang yang dicintanya. Ha-ha-ha, sungguh kasihan sekali dia, merana selama belasan tahun. Dengan bekal pengertiannya yang baru tentang hidup dan pandangan hidup, tentu dia akan dapat berbahagia bersama mereka itu. Sekarang kitapun harus pergi, Bun Beng.”

“Kemana, Locianpwe?”

“Kau bantu aku mencari Kwi Hong ke kota raja. Entah kemana perginya bocah nakal itu!”

Menurutkan kata hatinya, Bun Beng lebih ingin mencari Milana, akan tetapi karena diapun tidak tahu kemana perginya Milana, dan kemungkinan besar masih berada di kota raja, maka kebetulan sekali kalau kakek ini hendak mengajaknya ke kota raja. Tentu saja dia tidak berani menolak setelah mendengar penuturan kakek itu bahwa Kwi Hong adalah muridnya!

Berangkatlah kakek dan pemuda itu dengan gerakan cepat sekali, menuju ke kota raja. Dengan bekal kepandaiannya yang hebat dengan mudah Bun Beng dapat mengimbangi gerakan kaki Bu-tek Siauw-jin yang amat cepat larinya.

Akan tetapi, ketika Bun Beng dan Bu-tek Siauw-jin tiba di kota raja, keadaan disana sudah sepi. Para pimpinan pemberontak yang dipimpin oleh Im-kan Seng-jin Bhong Ji Kun, Koksu yang memberontak itu, telah melarikan diri setelah komplotan yang hendak membunuh Kaisar digagalkan oleh Lulu dan Nirahai. Kini bahkan kedua orang wanita perkasa itu diserahi pimpinan barisan urtuk melakukan pengejaran dan membasmi pasukan-pasukan pemberontak yang sudah dikumpulkan di perbatasan utara.

Bu-tek Siauw-jin yang ugal-ugalan itu masih tidak mau terima. Dia menyelundup ke dalam istana mencari-cari, bahkan memasuki bekas istana Koksu, memeriksa bekas kamar tahanan kalau-kalau muridnya masih “terselip” disitu, namun sia-sia belaka karena Kwi Hong tidak dapat ditemukan, bahkan tidak ada seorangpun yang tahu kemana perginya gadis itu.

Kesempatan itu dipergunakan pula oleh Bun Beng untuk mencari dan menyelidiki tentang Milana, dara yang dicintanya. Akan tetapi juga tidak ada orang yang dapat menerangkan kemana adanya dara itu, bahkan tidak ada yang mengenalnya.

Sebaliknya, hampir semua orang tahu bahwa kini Puteri Nirahai telah kembali ke istana, dan bahwa kini puteri perkasa itu memimpin pasukan besar untuk mengejar dan membasmi pemberontak. Mendengar ini, Bun Beng menduga bahwa tentu dara itu ikut bersama ibunya untuk membantu. Maka diapun mengajak Bu-tek Siauw-jin untuk melakukan pengejaran ke utara.

“Teecu tahu dimana berkumpulnya kaki tangan pemberontak Koksu itu. Siapa tahu Kwi Hong juga ikut kesana untuk menonton keramaian membasmi pemberontak,” kata Bun Beng.

Kakek itu menggeleng kepala.
“Celaka tiga belas Si Koksu dan Si Maharya gila! Ulah mereka mendatangkan perang dan bunuh-membunuh, saling menyembelih antara manusia itu kau katakan tontonan? Benar-benar dunia sudah tua, ataukah manusianya yang tolol semua? Hayolah!” Mereka kembali meninggalkan kota raja menuju ke utara.

**** 087 ****





Tidak ada komentar:

Posting Komentar