“Heeehhh, kau lihai....!”
Cui-beng Koai-ong berseru dan kini dialah yang harus menangkis sinar pedang yang bergulung-gulung itu dengan kedua tangannya. Betapapun kebal tubuhnya, tak mungkin dia melatih mata menjadi kebal! Maka tentu saja dia tidak ingin matanya dicokel keluar oleh ujung pedang lawan. Begitu kakek ini mengeluarkan seruan memuji yang menyembunyikan kemarahannya, tubuhnya bergerak cepat dan angin berdesir-desir menyambar keluar dari kedua tangannya.
Nirahai diam-diam terkejut dan harus mengakui bahwa selama hidupnya, baru sekali ini dia berhadapan dengan lawan yang memiliki ilmu kesaktian seperti kakek itu. Maka dia berlaku hati-hati sekali dan mengandalkan gin-kangnya untuk selalu menghindarkan diri, mengerahkan sin-kangnya untuk melawan sambaran angin pukulan dahsyat itu.
Ketika Bhong Ji Kun dan Maharya mendengar bahwa kakek telanjang itu adalah seorang dari Pulau Neraka yang telah membunuh para panglima, mereka lalu menerjang maju, mengeroyok Cui-beng Koai-ong!
Bhong Ji Kun menggunakan pecutnya yang menyambar-nyambar ganas, berusaha menangkap tubuh dan terutama kedua tangan kaki kakek telanjang dengan ujung pecut. Maharya sudah mengeluarkan senjata bulan sabitnya dan menyerang hebat, meniru taktik Nirahai menyerang ke arah kedua mata, sedangkan Thian Tok Lama tetap mempergunakan Ilmu Pukulan Hek-in-hwi-hong-ciang yang biarpun tidak dapat melukai lawan, namun sedikitnya pukulan ini dapat membuat lawan terlempar. Dan setelah dia mengerahkan pukulan-pukulannya ke arah pusar, Cui-beng Koai-ong ternyata tidak berani sembarangan menerimaa pukulan ampuh itu.
Dikeroyok empat orang yang demikian saktinya, betapapun lihai, Cui-beng Koai-ong kewalahan juga, akan tetapi dia tertawa-tawa,
“Heh-heh-heh, banyak orang hebat!”
Maharya menyaksikan kehebatan kakek telanjang itu, menjadi penasaran dan ia membentak,
“Manusia telanjang tak tahu malu! Lihat aku siapa!”
“Heh-heh, kau orang berkulit hitam berhidung seperti kakatua, heh-heh!” Cui-beng Koai-ong dengan berani memandang muka dan menentang mata Maharya.
“Engkau merasa kakimu lumpuh, rebahlah!”
“Heh-heh-heh, otakmu miring, ya?”
Maharya kaget setengah mati ketika merasa betapa ilmu sihirnya sama sekali tidak mempan terhadap mayat hidup itu dan merasa betapa getaran ilmu sihirnya membalik, seolah-olah terbentur pada benteng yang aneh dan kuat!
Cui-beng Koai-ong terdesak hebat, dan anehnya, kalau Ketua Thian-liong-pang bekerja sama dengan pimpinan pemerintah menghadapi kakek ini, adalah orang-orang Thian-liong-pang sendiri bertempur melawan pasukan yang dipimpin oleh para panglima! Betapapun lihai orang-orang Thian-liong-pang, dikeroyok ratusan orang pasukan itu, mereka mandi keringat dan terdesak.
Tiba-tiba dari atas gubuk melayang turun Milana yang terus mengamuk. Hebat tentu saja gerakan dara ini dan sebentar saja belasan orang anak buah pasukan berikut dua orang panglima roboh oleh sambaran pedangnya. Pertandingan makin hebat dan kacau balau.
“Aku ikut....! Ha-ha-ha, Twa-suheng, aku ikut, jangan borong sendiri ahhh!”
Tiba-tiba muncul seorang kakek berkaki telanjang yang mukanya lucu, berwarna kuning. Dia ini bukan lain adalah Kwi-bun Lo-mo Ngo Bouw Ek, tokoh Pulau Nereka yang suka merantau. Begitu masuk, dia lalu secara ngawur menerjang, membantu twa-suhengnya dan disambut oleh Thian Tok Lama.
Pendeta Lama ini maklum bahwa orang yang menjadi sute dari mayat hidup tentu lihai sekali, maka datang-datang, dia memapakinya dengan pukulan Hek-in-hwi-hong-ciang yang mengeluarkan uap hitam!
“Wah berbahaya....”
Kwi-bun Lo-mo tertawa, cepat mengelak dan menggunakan ilmu memindahkan tenaga, sambil mengelak dia menghantam dari samping, seolah-olah memindahkan atau memutar tenaga lawan untuk menghantam pemiliknya sendiri, ditambah tenaganya sendiri.
“Omitohud....!”
Thian Tok Lama sempat menarik kembali tangannya dan mencelat mundur, kalau tidak tentu lengannya akan patah oleh tenaga dahsyat, campuran dari tenaganya sendiri yang meliuk ditambah tenaga lawan baru ini.
Kwi-bun Lo-mo tertawa-tawa, akan tetapi dia segera menjadi sibuk sekali setelah Thian Tok Lama menjalankan pukulan. Memang tingkatnya maaih kalah oleh pendeta Lama itu, hanya karena kakek ini memang mempunysi banyak ilmu aneh, maka dia masih mampu mempertahankan dirinya.
Cui-beng Koai-ong berseru dan kini dialah yang harus menangkis sinar pedang yang bergulung-gulung itu dengan kedua tangannya. Betapapun kebal tubuhnya, tak mungkin dia melatih mata menjadi kebal! Maka tentu saja dia tidak ingin matanya dicokel keluar oleh ujung pedang lawan. Begitu kakek ini mengeluarkan seruan memuji yang menyembunyikan kemarahannya, tubuhnya bergerak cepat dan angin berdesir-desir menyambar keluar dari kedua tangannya.
Nirahai diam-diam terkejut dan harus mengakui bahwa selama hidupnya, baru sekali ini dia berhadapan dengan lawan yang memiliki ilmu kesaktian seperti kakek itu. Maka dia berlaku hati-hati sekali dan mengandalkan gin-kangnya untuk selalu menghindarkan diri, mengerahkan sin-kangnya untuk melawan sambaran angin pukulan dahsyat itu.
Ketika Bhong Ji Kun dan Maharya mendengar bahwa kakek telanjang itu adalah seorang dari Pulau Neraka yang telah membunuh para panglima, mereka lalu menerjang maju, mengeroyok Cui-beng Koai-ong!
Bhong Ji Kun menggunakan pecutnya yang menyambar-nyambar ganas, berusaha menangkap tubuh dan terutama kedua tangan kaki kakek telanjang dengan ujung pecut. Maharya sudah mengeluarkan senjata bulan sabitnya dan menyerang hebat, meniru taktik Nirahai menyerang ke arah kedua mata, sedangkan Thian Tok Lama tetap mempergunakan Ilmu Pukulan Hek-in-hwi-hong-ciang yang biarpun tidak dapat melukai lawan, namun sedikitnya pukulan ini dapat membuat lawan terlempar. Dan setelah dia mengerahkan pukulan-pukulannya ke arah pusar, Cui-beng Koai-ong ternyata tidak berani sembarangan menerimaa pukulan ampuh itu.
Dikeroyok empat orang yang demikian saktinya, betapapun lihai, Cui-beng Koai-ong kewalahan juga, akan tetapi dia tertawa-tawa,
“Heh-heh-heh, banyak orang hebat!”
Maharya menyaksikan kehebatan kakek telanjang itu, menjadi penasaran dan ia membentak,
“Manusia telanjang tak tahu malu! Lihat aku siapa!”
“Heh-heh, kau orang berkulit hitam berhidung seperti kakatua, heh-heh!” Cui-beng Koai-ong dengan berani memandang muka dan menentang mata Maharya.
“Engkau merasa kakimu lumpuh, rebahlah!”
“Heh-heh-heh, otakmu miring, ya?”
Maharya kaget setengah mati ketika merasa betapa ilmu sihirnya sama sekali tidak mempan terhadap mayat hidup itu dan merasa betapa getaran ilmu sihirnya membalik, seolah-olah terbentur pada benteng yang aneh dan kuat!
Cui-beng Koai-ong terdesak hebat, dan anehnya, kalau Ketua Thian-liong-pang bekerja sama dengan pimpinan pemerintah menghadapi kakek ini, adalah orang-orang Thian-liong-pang sendiri bertempur melawan pasukan yang dipimpin oleh para panglima! Betapapun lihai orang-orang Thian-liong-pang, dikeroyok ratusan orang pasukan itu, mereka mandi keringat dan terdesak.
Tiba-tiba dari atas gubuk melayang turun Milana yang terus mengamuk. Hebat tentu saja gerakan dara ini dan sebentar saja belasan orang anak buah pasukan berikut dua orang panglima roboh oleh sambaran pedangnya. Pertandingan makin hebat dan kacau balau.
“Aku ikut....! Ha-ha-ha, Twa-suheng, aku ikut, jangan borong sendiri ahhh!”
Tiba-tiba muncul seorang kakek berkaki telanjang yang mukanya lucu, berwarna kuning. Dia ini bukan lain adalah Kwi-bun Lo-mo Ngo Bouw Ek, tokoh Pulau Nereka yang suka merantau. Begitu masuk, dia lalu secara ngawur menerjang, membantu twa-suhengnya dan disambut oleh Thian Tok Lama.
Pendeta Lama ini maklum bahwa orang yang menjadi sute dari mayat hidup tentu lihai sekali, maka datang-datang, dia memapakinya dengan pukulan Hek-in-hwi-hong-ciang yang mengeluarkan uap hitam!
“Wah berbahaya....”
Kwi-bun Lo-mo tertawa, cepat mengelak dan menggunakan ilmu memindahkan tenaga, sambil mengelak dia menghantam dari samping, seolah-olah memindahkan atau memutar tenaga lawan untuk menghantam pemiliknya sendiri, ditambah tenaganya sendiri.
“Omitohud....!”
Thian Tok Lama sempat menarik kembali tangannya dan mencelat mundur, kalau tidak tentu lengannya akan patah oleh tenaga dahsyat, campuran dari tenaganya sendiri yang meliuk ditambah tenaga lawan baru ini.
Kwi-bun Lo-mo tertawa-tawa, akan tetapi dia segera menjadi sibuk sekali setelah Thian Tok Lama menjalankan pukulan. Memang tingkatnya maaih kalah oleh pendeta Lama itu, hanya karena kakek ini memang mempunysi banyak ilmu aneh, maka dia masih mampu mempertahankan dirinya.
“Wah-wah-wah, ada pesta besar! Sam-te engkau tidak akan menang melawan Si Gundul itu. Berikan kepadaku!”
Tiba-tiba muncul seorang kakek lagi yang mukanya pucat seperti muka Si Mayat Hidup, akan tetapi begitu dia datang dan menangkis pukulan Thian Tok Lama, pendeta Lama ini terjengkang dan terhuyung-huyung ke belakang. Melihat ini, Maharya cepat menubruk maju dan menghadapi kakek yang baru tiba ini. Kakek ini bentuk tubuh dan mukanya serupa benar dengan Kwi-bun Lo-mo, akan tetapi mukanya selalu tertawa, matanya lebar sekali dan rambutnya riap-riapan.
“Tua bangka gila, engkau siapa?” Maharya membentak sambil melintangkan senjatanya bulan sabit.
“Ha-ha-ha! Aku siapa dan engkau siapa? Tak tahulah aku perbedaannya, kecuali bahwa engkau jangkung dan aku pendek, bahwa namamu Maharya dan aku disebut Bu-tek Siauw-jin (Orang Rendah), tidak seperti kau yang tinggi. Ha-ha-ha!”
Kakek itu tertawa-tawa. Dia adalah orang aneh dari Pulau Neraka yang baru sekarang ini muncul, seperti halnya Cui-beng Koai-ong. Dia adalah sute dari Si Mayat Hidup, dan ji-suheng (kakak seperguruan ke dua) dari Kwi-bun Lo-mo Ngo Bouw Ek.
Ilmu kepandaian Bu-tek Siauw-jin ini luar biasa sekali, bahkan twa-suhengnya sendiri segan menghadapi sutenya ini yang biarpun tingkatnya masih kalah sedikit, namun ditutup oleh aneka macam kepandaian ilmu aneh-aneh yang dimilikinya. Sifatnya seperti Ngo Bouw Ek Si Muka Kuning, akan tetapi dia jauh lebih lihai!
Kini pasukan pemerintah mulai mengeroyok orang aneh ini, membantu pimpinan mereka yang benar-benar baru sekali ini menghadapi lawan berat. Biarpun pasukan itu seperti sekumpulan nyamuk melawan api menghadapi orang-orang aneh Pulau Neraka, namun jumlah mereka yang banyak membuat Cui-beng Koai-ong dan kedua orang sutenya kewalahan juga, apalagi lawan-lawan mereka juga bukanlah orang-orang sembarangan.
Cui-beng Koai-ong dikeroyok dua oleh Nirahai dan Bhong Ji Kun, keadaan mereka seimbang, Ngo Bouw Ek kewalahan melawan Thian Tok Lama yang lebih lihai, sedangkan Bu-tek Siauw-jin mendapat lawan yang tangguh dari Maharya. Kalau mereka masih diganggu oleh ratusan orang pasukan, tentu saja mereka menjadi repot juga!
“Aihhh, Sucouw mengapa nekat membentur kekuatan yang jauh lebih besar? Sucouw nakal sekali, tidak menurut omongan teecu!” Tiba-tiba berkelebat bayangan orang dan muncullah seorang pemuda tampan.
Melihat munculnya seorang pemuda tampan yang dengan tenang berjalan menuju ke medan pertandingan antara orang-orang sakti itu, beberapa orang perajurit segera mengepungnya. Akan tetapi pemuda ini melangkah terus seolah-olah tidak melihat atau tidak mempedulikan mereka, matanya tetap memandang ke arah Cui-beng Koai-ong yang sedang repot dikeroyok dua oleh Ketua Thian-liong-pang dan Bhong Ji Kun.
Menyaksikan sikap yang angkuh ini, para perajurit menjadi marah dan berbareng mereka menerjang maju. Enam orang banyaknya yang mengepung pemuda itu menggerakkan senjata, menyerangnya dari enam penjuru.
“Singggg.... sratttt!”
Tampak sinar kilat berkelebat menyilaukan mata dan.... enam orang itu dengan pinggang hampir putus terbabat pedang yang menjadi sinar kilat tadi. Kini tampak pemuda itu dengan mata masih memandang Cui-beng Koai-ong, memasukkan kembali pedangnya yang bersinar kilat, melanjutkan langkah seolah-olah tak pernah terjadi apa-apa. Para perajurit lainnya memandang dengan mata terbelalak penuh kemarahan akan tetapi juga gentar!
Pada saat itu, terdengar bentakan nyaring Thian Tok Lama dan sekali ini dia berhasil memukul lawannya. Kwi-bun Lo-mo Ngo Bouw Ek, tokoh Pulau Neraka yang bermuka kuning, yang semenjak tadi memang sudah terdesak biarpun dia masih tertawa-tawa, sekali ini tidak dapat mengelak atau manangkis, bahkan tidak sempat menggunakan ilmu memindahkan tenaga, dadanya terpukul Hek-in-hwi-hong-ciang sehingga tubuhnya terpental, bergulingan dan dari mulutnya terpancar darah segar.
“Eh, Sam-te, kau terluka?”
Bu-tek Siauw-jin yang melihat ini meloncat dekat, menghampiri dan tidak mempedulikan lagi Maharya yang mengejarnya.
“Heh-heh-heh, ji-suheng, aku.... aku pamit.... mendahuluimu....” Kwi-bun Lo-mo terengah-engah, akan tetapi masih tersenyum lebar.
“Wuuuttt!”
Senjata bulan sabit di tangan Maharya menyambar dan cepat sekali Bu-tek Siauw-jin menggulingkan diri mengelak lalu melanjutkan pembicaraannya dengan Kwi-bun Lo-mo yang sudah menggeletak dengan napas empas-empis.
“Wah, kau licik, mau pergi dulu, membiarkan aku Si Tua Bangka melanjutkan hukuman di dunia, ya?”
“Heh-heh, Ji-suheng. Kau.... kau pesan apa....?”
“Pesan tempat! Kau pesankan untukku satu tempat yang baik, ya?”
Kembali Bu-tek Siauw-jin mengelak dan balas dengan sodokan tangan ke arah perut Maharya yang membuat Maharya cepat meloncat ke belakang.
“Di dalam neraka, mana ada tempat yang baik? Heh-heh.... akan kupesankan untukmu, Ji-suheng.... dekat aku...., heh-heh....”
Dan terputuslah kata-kata kakek muka kuning yang jenaka itu, berbareng dengan nyawanya yang melayang.
“Aihhhh.... Sam-sute, jangan lupa lho....!”
Pada saat itu, Maharya sudah menerjang lagi, marah bukan main melihat betapa lawannya melayaninya sambil omong-omong seenaknya dengan orang lain yang mau mati!
“Siuuuutttt.... wessss....!”
Senjatanya menyambar dan tiba-tiba tubuh pendek itu lenyap dan ketika ia berdongak, dari atas menyambar sebuah benda hitam yang segera meledak ketika menyentuh tanah di dekat Maharya! Maharya sudah cepat meloncat, akan tetapi betisnya masih terkena api yang panas sekali, membuat dia makin marah.
Akan tetapi, sambil tertawa-tawa Bu-tek Siauw-jin sudah menaburi jenazah Kwi-bun Lo-mo dengan obat bubuk putih, kemudian meledakkan senjata rahasia dan.... jenazah itu terbakar, menyala-nyala tinggi sehingga terciumlah bau sangit yang memenuhi tempat pertandingan itu.
“Sucouw, mari kita pergi saja!” Pemuda tampan itu kini sudah berada dekat suhunya yang masih dikeroyok dua.
“Aihhhh! Orang baru enak-enak bercanda, kau ganggu saja!”
Kakek telanjang itu mengomel. Akan tetapi pemuda itu yang bukan lain adalah Wan Keng In, putera Majikan Pulau Neraka yang menjadi muridnya, telah menyambar tangannya kemudian mengajak suhunya melompat jauh.
Nirahai dan Bhong Ji Kun hendak mengejar, akan tetapi tiba-tiba pemuda itu melemparkan sesuatu ke atas tanah dan.... asap hitam membubung tinggi, membentuk tirai yang gelap dan mengeluarkan bau yang memuakkan, terpaksa Nirahai dan Bhong Ji Kun mundur lagi.
“Wah-wah, keringat kalian bau sekali! Aku tidak tahan lagi....!”
Tiba-tiba Bu-tek Siauw-jin berkata dan diapun meloncat meninggalkan Maharya dan Thian Tok Lama yang sudah mulai mengeroyoknya. Dia inipun melemparkan benda hitam yang mengeluarkan asap hitam tebal dan sebentar saja menghilang. Di sepanjang jalan ke arah perginya tiga orang manusia aneh dari Pulau Neraka itu, para perajurit yang mencoba menghalang roboh terpelanting ke kanan kiri dalam keadaan tidak bernyawa lagi!
Nirahai tertegun, dan diam-diam dia harus mengakui bahwa tokoh-tokoh Pulau Neraka merupakan lawan berat. Dia kini baru sadar bahwa anak buahnya masih bertanding melawan para perajurit pemerintah, bahkan kini Thian Tok La-ma, Maharya dan Bhong Ji Kun sudah mengurungnya dengan sikap mengancam.
“Bhong-koksu, hentikan pertempuran ini!” katanya kepada Bhong Ji Kun.
“Hemm, Thian-liong-pang sudah berani memberontak, akan kami hancurkan!” jawab Bhong Ji Kun sambil menyerang, diikuti oleh Maharya dan Thian Tok La-ma.
“Bhong Ji Kun, aku mau bicara, mari ikut ke atas!”
Tubuh Nirahai melayang ke atas gubuknya. Bhong Ji Kun merasa heran dan meloncat pula mengejar.
“Kalian jangan ikut!” Nirahai membentak ke bawah ketika melihat Maharya dan Thian Tok Lama hendak meloncat naik pula. “Apakah kalian tidak percaya kepadaku!”
Bhong Ji Kun berkata ke bawah,
“Jangan naik, biarkan aku bicara dengan Thian-liong-pangcu!” Ia lalu mengikuti masuk ke dalam gubuk itu.
Nirahai menghadapi Bhong-koksu, sambil menarik kerudungnya terbuka.
“Bhong-koksu lihat siapa aku!”
Bukan main kagetnya Bhong Ji Kun ketika ia melihat wajah yang cantik jelita dan agung berwibawa itu. Cepat ia menjura sambil berkata,
“Kiranya Paduka Puteri Nirahai yang menjadi Ketua Thian-liong-pang.”
Nirahai memasangkan kerudungnya kembali.
“Jangan beritahukan kepada orang lain. Tahukah engkau bahwa aku tidak ingin memusuhi pasukan ayahku sendiri? Aku sedang hendak menguasai dunia kang-ouw agar tidak terjadi lagi pemberontakan! Kau sudah menyaksikan sendiri kelihaian orang-orang Pulau Neraka, dan tanpa kerja sama mana mungkin kau akan menumpas atau menguasai mereka? Lekas perintahkan pasukanmu mundur!”
Maharya dan Thian Tok Lama yang menanti di bawah, sudah siap untuk meloncat naik dan membantu kalau koksu terancam bahaya. Akan tetapi, alangkah heran hati mereka ketika melihat koksu muncul lagi, lalu berseru dari atas,
“Semua pasukan! Hentikan pertempuran dan mundur!”
Juga Nirahai muncul dan melengking nyaring.
“Wi Siang, hentikan pertempuran!”
Teriakan-teriakan ini amat nyaring sehingga terdengar oleh semua orang yang bertanding, dan seketika mereka masing-masing kedua pihak mundur dan menghentikan pertandingan. Milana yang maklum bahwa ibunya tentu tidak menghendaki pertempuran melawan pasukan Kaisar, kakeknya sendiri, segera memimpin orang-orangnya mundur dan mengelilingi gubuk.
Adapun Bhong Ji Kun lalu melompat turun memerintahkan sisa panglima untuk menarik semua pasukan dan dia sendiri memandang ke atas, kepada wanita berkerudung, menjura dan berkata,
“Thian-liong-pangcu! Thian-liong-pang bukan musuh kami, bukan pula pemberontak, maka kami mohon diri!”
Nirahai mengangkat tangan melambai dan pergilah pasukan itu membawa yang terluka dan meninggalkan yang tewas. Nirahai lalu mengajak anak buahnya pergi pula dari tempat itu.
“Kiang-lopek, ke sinilah, kuobati lukamu!”
Kata Nirahai setelah melompat turun dan melihat betapa lengan kiri Kiang Bok Sam, seorang tokoh Thian-liong-pang yang bertubuh tinggi besar seperti raksasa, telah buntung.
Raksasa ini dalam pertempuran tadi, menghadapi pula Wan Keng In dan lengan kirinya kena disambar Lam-mo-kiam sehingga buntung. Namun dia masih terus mengamuk melawan pasukan pemerintah!
“Hemm, engkau seorang yang gagah dan setia, Kiang-lopek.” Nirahai memuji sambil menaruh bubuk obat dan membalut lengan yang buntung itu. “Jangan khawatir, buntungnya lengan kirimu tidak akan mengurangi kegagahanmu. Aku sendiri akan menurunkan ilmu kepadamu.”
Maka pergilah rombongan Thian-liong-pang itu, dan setelah tiba di pusat mereka, benar saja Nirahai mengajarkan ilmu silat tinggi yang membuat Kiang Bok Sam menjadi seorang yang lebih lihai daripada sebelum lengannya buntung, bahkan ilmu tongkat dengan satu tangan yang diajarkan Nirahai membuat dia lebih lihai daripada Sai-cu Lo-mo sendiri! Mungkin hanya Tang Wi Siang saja yang masih dapat menandinginya, dan tentu saja dia masih kalah tingkat kalau dibandingkan dengan Milana.
Padang tandus yang gersang itu kini berubah sunyi mengerikan. Di sekeliling pondok yang tinggi itu berserakan mayat-mayat manusia, dan tanah yang kering itu kini basah, bukan oleh air, melainkan oleh darah manusia!
Menjelang senja, seorang penunggang kuda menjalankan kudanya perlahan memasuki padang tandus itu. Orang ini adalah Gak Bun Beng. Dia terpaksa berdiam di dalam hutan dan bersamadhi, mengobati luka di dalam dadanya akibat pukulan maut terakhir dari Thai Li Lama. Setelah merasa bahwa bahaya telah lewat dan dadanya tidak begitu sesak lagi, Bun Beng bangkit.
Hari telah menjadi sore dan tiba-tiba dia melihat beberapa ekor kuda tanpa penunggang berlari ke dalam hutan seperti ketakutan. Cepat ia menyambar kendali seekor yang terseret, dan dengan ringan dia meloncat ke atas punggung kuda itu. Kuda itu meringkik dan berjingkrak ketakutan, akan tetapi setelah mendapat kenyataan bahwa yang menungganginya tidak mengganggunya, dia menjadi jinak, keempat kakinya menggigil dan tubuhnya lemas.
“Hemm, agaknya terjadi sesuatu yang hebat di tempat pertemuan di bawah sana. Kuda yang patut dikasihani, engkau tentu telah menyaksikan hal-hal yang menakutkan. Tenanglah, dan bawa aku turun ke sana.”
Dia lalu menunggang kuda itu menuruni lereng gunung, perlahan-lahan karena kudanya sudah lelah sekali. Beberapa ekor kuda itu adalah kuda tunggangan para panglima yang roboh tewas dan binatang-binatang itu melarikan diri, naik ke gunung dengan ketakutan.
Dapat dibayangkan betapa ngeri dan kaget hati Bun Beng ketika kudanya membawanya ke tempat bekas terjadinya pertandingan itu. Di sana-sini berserakan mayat-mayat manusia yang berpakaian seperti orang-orang kang-ouw.
Itulah mayat-mayat para mata-mata, yaitu para panglima yang berpakaian sebagai orang kang-ouw, ada yang putus kepalanya, ada yang mati dalam keadaan tidak terluka sama sekali. Dan banyak lagi orang-orang berpakaian biasa yang tewas dekat tiang gubuk, akan tetapi lebih banyak lagi mayat-mayat berpakaian tentara.
Tempat itu menjadi tempat pesta burung-burung gagak yang memekik dan terbang pergi ketika Bun Beng lewat di atas kudanya, akan tetapi mereka turun kembali setelah Bun Beng lewat, melanjutkan pesta mereka mematuki daging segar dari luka-luka di tubuh mayat-mayat itu yang masih ada darah segarnya!
Bung Beng menghentikan kudanya, memandang ke sekeliling dan menarik napas panjang. Betapa mengerikan akibat perbuatan manusia, pikirnya. Setelah memandang mayat-mayat itu, dia terharu, dan lenyaplah semua rasa benci. Mayat-mayat itu sekarang sama saja, tidak terpisah-pisah oleh golongan-golongan lagi, kesemuanya mendatangkan rasa iba dan haru di hatinya.
Mayat-mayat manusia yang mati secara sia-sia setelah menjadi mayatpun masih tersia-sia. Haruskah manusia saling bunuh seperti ini? Kembali dia menarik napas panjang, lalu turun dari atas punggung kuda. Ia memungut sebatang golok besar, kemudian digalinya lubang-lubang di tempat itu dan dikuburnya mayat-mayat itu.
Lima buah mayat selubang, tanpa membedakan pakaian mereka. Ketika ia melihat setumpuk mayat yang telah menjadi arang, sebuah mayat yang agaknya terbakar, tanpa mengetahui bahwa itu adalah mayat Kwi-bun Lo-mo Ngo Bouw Ek, kakek jenaka dari Pulau Neraka yang pernah mengajarnya mengendalikan layang-layang raksasa sehingga tanpa disengaja menurunkan ilmu memindahkan tenaga kepadanya, Bun Beng menggeleng-geleng kepala dan tak dapat mengerti mengapa ada yang mati terbakar! Dia lalu mengubur pula arang bekas mayat itu.
Sampai jauh malam barulah selesai dia menguburkan semua mayat itu, kemudian menunggangi pula kudanya dan meninggalkan tempat mengerikan itu dengan hati berat dan perasaan muak terhadap ulah para manusia yang haus darah.
Dia mengerti bahwa mereka yang menjadi korban itu hanyalah manusia-manusia yang diperalat, yang bertempur karena perintah tanpa ada permusuhan pribadi, tanpa alasan, hanya menurutkan perintah semata. Dan yang memerintahkan tentulah orang-orang yang dibencinya itu, Koksu dan kaki tangannya dan.... agaknya Ketua Thian-liong-pang juga!
Diam-diam dia merasa penasaran dan kecewa sekali, apalagi kalau dia teringat kepada Milana. Mengapa gadis seperti itu, puteri Pendekar Super Sakti, terlahir di tengah-tengah lingkungan yang penuh kekejaman itu? Dia menghela napas dan menepuk-nepuk punggung kudanya.
“Kuda, engkau hanya binatang, akan tetapi pernahkah terjadi di dunia ini binatang berperang saling bunuh-membunuh seperti yang dilakukan manusia, mahluk yang merasa diri paling suci itu?”
Kuda itu tentu saja tidak bisa menjawab, akan tetapi tepukan-tepukan penuh perasaan pada punggungnya membuat dia menggerak-gerakkan ekornya sambil berjalan perlahan meninggalkan tempat itu.
Tiba-tiba muncul seorang kakek lagi yang mukanya pucat seperti muka Si Mayat Hidup, akan tetapi begitu dia datang dan menangkis pukulan Thian Tok Lama, pendeta Lama ini terjengkang dan terhuyung-huyung ke belakang. Melihat ini, Maharya cepat menubruk maju dan menghadapi kakek yang baru tiba ini. Kakek ini bentuk tubuh dan mukanya serupa benar dengan Kwi-bun Lo-mo, akan tetapi mukanya selalu tertawa, matanya lebar sekali dan rambutnya riap-riapan.
“Tua bangka gila, engkau siapa?” Maharya membentak sambil melintangkan senjatanya bulan sabit.
“Ha-ha-ha! Aku siapa dan engkau siapa? Tak tahulah aku perbedaannya, kecuali bahwa engkau jangkung dan aku pendek, bahwa namamu Maharya dan aku disebut Bu-tek Siauw-jin (Orang Rendah), tidak seperti kau yang tinggi. Ha-ha-ha!”
Kakek itu tertawa-tawa. Dia adalah orang aneh dari Pulau Neraka yang baru sekarang ini muncul, seperti halnya Cui-beng Koai-ong. Dia adalah sute dari Si Mayat Hidup, dan ji-suheng (kakak seperguruan ke dua) dari Kwi-bun Lo-mo Ngo Bouw Ek.
Ilmu kepandaian Bu-tek Siauw-jin ini luar biasa sekali, bahkan twa-suhengnya sendiri segan menghadapi sutenya ini yang biarpun tingkatnya masih kalah sedikit, namun ditutup oleh aneka macam kepandaian ilmu aneh-aneh yang dimilikinya. Sifatnya seperti Ngo Bouw Ek Si Muka Kuning, akan tetapi dia jauh lebih lihai!
Kini pasukan pemerintah mulai mengeroyok orang aneh ini, membantu pimpinan mereka yang benar-benar baru sekali ini menghadapi lawan berat. Biarpun pasukan itu seperti sekumpulan nyamuk melawan api menghadapi orang-orang aneh Pulau Neraka, namun jumlah mereka yang banyak membuat Cui-beng Koai-ong dan kedua orang sutenya kewalahan juga, apalagi lawan-lawan mereka juga bukanlah orang-orang sembarangan.
Cui-beng Koai-ong dikeroyok dua oleh Nirahai dan Bhong Ji Kun, keadaan mereka seimbang, Ngo Bouw Ek kewalahan melawan Thian Tok Lama yang lebih lihai, sedangkan Bu-tek Siauw-jin mendapat lawan yang tangguh dari Maharya. Kalau mereka masih diganggu oleh ratusan orang pasukan, tentu saja mereka menjadi repot juga!
“Aihhh, Sucouw mengapa nekat membentur kekuatan yang jauh lebih besar? Sucouw nakal sekali, tidak menurut omongan teecu!” Tiba-tiba berkelebat bayangan orang dan muncullah seorang pemuda tampan.
Melihat munculnya seorang pemuda tampan yang dengan tenang berjalan menuju ke medan pertandingan antara orang-orang sakti itu, beberapa orang perajurit segera mengepungnya. Akan tetapi pemuda ini melangkah terus seolah-olah tidak melihat atau tidak mempedulikan mereka, matanya tetap memandang ke arah Cui-beng Koai-ong yang sedang repot dikeroyok dua oleh Ketua Thian-liong-pang dan Bhong Ji Kun.
Menyaksikan sikap yang angkuh ini, para perajurit menjadi marah dan berbareng mereka menerjang maju. Enam orang banyaknya yang mengepung pemuda itu menggerakkan senjata, menyerangnya dari enam penjuru.
“Singggg.... sratttt!”
Tampak sinar kilat berkelebat menyilaukan mata dan.... enam orang itu dengan pinggang hampir putus terbabat pedang yang menjadi sinar kilat tadi. Kini tampak pemuda itu dengan mata masih memandang Cui-beng Koai-ong, memasukkan kembali pedangnya yang bersinar kilat, melanjutkan langkah seolah-olah tak pernah terjadi apa-apa. Para perajurit lainnya memandang dengan mata terbelalak penuh kemarahan akan tetapi juga gentar!
Pada saat itu, terdengar bentakan nyaring Thian Tok Lama dan sekali ini dia berhasil memukul lawannya. Kwi-bun Lo-mo Ngo Bouw Ek, tokoh Pulau Neraka yang bermuka kuning, yang semenjak tadi memang sudah terdesak biarpun dia masih tertawa-tawa, sekali ini tidak dapat mengelak atau manangkis, bahkan tidak sempat menggunakan ilmu memindahkan tenaga, dadanya terpukul Hek-in-hwi-hong-ciang sehingga tubuhnya terpental, bergulingan dan dari mulutnya terpancar darah segar.
“Eh, Sam-te, kau terluka?”
Bu-tek Siauw-jin yang melihat ini meloncat dekat, menghampiri dan tidak mempedulikan lagi Maharya yang mengejarnya.
“Heh-heh-heh, ji-suheng, aku.... aku pamit.... mendahuluimu....” Kwi-bun Lo-mo terengah-engah, akan tetapi masih tersenyum lebar.
“Wuuuttt!”
Senjata bulan sabit di tangan Maharya menyambar dan cepat sekali Bu-tek Siauw-jin menggulingkan diri mengelak lalu melanjutkan pembicaraannya dengan Kwi-bun Lo-mo yang sudah menggeletak dengan napas empas-empis.
“Wah, kau licik, mau pergi dulu, membiarkan aku Si Tua Bangka melanjutkan hukuman di dunia, ya?”
“Heh-heh, Ji-suheng. Kau.... kau pesan apa....?”
“Pesan tempat! Kau pesankan untukku satu tempat yang baik, ya?”
Kembali Bu-tek Siauw-jin mengelak dan balas dengan sodokan tangan ke arah perut Maharya yang membuat Maharya cepat meloncat ke belakang.
“Di dalam neraka, mana ada tempat yang baik? Heh-heh.... akan kupesankan untukmu, Ji-suheng.... dekat aku...., heh-heh....”
Dan terputuslah kata-kata kakek muka kuning yang jenaka itu, berbareng dengan nyawanya yang melayang.
“Aihhhh.... Sam-sute, jangan lupa lho....!”
Pada saat itu, Maharya sudah menerjang lagi, marah bukan main melihat betapa lawannya melayaninya sambil omong-omong seenaknya dengan orang lain yang mau mati!
“Siuuuutttt.... wessss....!”
Senjatanya menyambar dan tiba-tiba tubuh pendek itu lenyap dan ketika ia berdongak, dari atas menyambar sebuah benda hitam yang segera meledak ketika menyentuh tanah di dekat Maharya! Maharya sudah cepat meloncat, akan tetapi betisnya masih terkena api yang panas sekali, membuat dia makin marah.
Akan tetapi, sambil tertawa-tawa Bu-tek Siauw-jin sudah menaburi jenazah Kwi-bun Lo-mo dengan obat bubuk putih, kemudian meledakkan senjata rahasia dan.... jenazah itu terbakar, menyala-nyala tinggi sehingga terciumlah bau sangit yang memenuhi tempat pertandingan itu.
“Sucouw, mari kita pergi saja!” Pemuda tampan itu kini sudah berada dekat suhunya yang masih dikeroyok dua.
“Aihhhh! Orang baru enak-enak bercanda, kau ganggu saja!”
Kakek telanjang itu mengomel. Akan tetapi pemuda itu yang bukan lain adalah Wan Keng In, putera Majikan Pulau Neraka yang menjadi muridnya, telah menyambar tangannya kemudian mengajak suhunya melompat jauh.
Nirahai dan Bhong Ji Kun hendak mengejar, akan tetapi tiba-tiba pemuda itu melemparkan sesuatu ke atas tanah dan.... asap hitam membubung tinggi, membentuk tirai yang gelap dan mengeluarkan bau yang memuakkan, terpaksa Nirahai dan Bhong Ji Kun mundur lagi.
“Wah-wah, keringat kalian bau sekali! Aku tidak tahan lagi....!”
Tiba-tiba Bu-tek Siauw-jin berkata dan diapun meloncat meninggalkan Maharya dan Thian Tok Lama yang sudah mulai mengeroyoknya. Dia inipun melemparkan benda hitam yang mengeluarkan asap hitam tebal dan sebentar saja menghilang. Di sepanjang jalan ke arah perginya tiga orang manusia aneh dari Pulau Neraka itu, para perajurit yang mencoba menghalang roboh terpelanting ke kanan kiri dalam keadaan tidak bernyawa lagi!
Nirahai tertegun, dan diam-diam dia harus mengakui bahwa tokoh-tokoh Pulau Neraka merupakan lawan berat. Dia kini baru sadar bahwa anak buahnya masih bertanding melawan para perajurit pemerintah, bahkan kini Thian Tok La-ma, Maharya dan Bhong Ji Kun sudah mengurungnya dengan sikap mengancam.
“Bhong-koksu, hentikan pertempuran ini!” katanya kepada Bhong Ji Kun.
“Hemm, Thian-liong-pang sudah berani memberontak, akan kami hancurkan!” jawab Bhong Ji Kun sambil menyerang, diikuti oleh Maharya dan Thian Tok La-ma.
“Bhong Ji Kun, aku mau bicara, mari ikut ke atas!”
Tubuh Nirahai melayang ke atas gubuknya. Bhong Ji Kun merasa heran dan meloncat pula mengejar.
“Kalian jangan ikut!” Nirahai membentak ke bawah ketika melihat Maharya dan Thian Tok Lama hendak meloncat naik pula. “Apakah kalian tidak percaya kepadaku!”
Bhong Ji Kun berkata ke bawah,
“Jangan naik, biarkan aku bicara dengan Thian-liong-pangcu!” Ia lalu mengikuti masuk ke dalam gubuk itu.
Nirahai menghadapi Bhong-koksu, sambil menarik kerudungnya terbuka.
“Bhong-koksu lihat siapa aku!”
Bukan main kagetnya Bhong Ji Kun ketika ia melihat wajah yang cantik jelita dan agung berwibawa itu. Cepat ia menjura sambil berkata,
“Kiranya Paduka Puteri Nirahai yang menjadi Ketua Thian-liong-pang.”
Nirahai memasangkan kerudungnya kembali.
“Jangan beritahukan kepada orang lain. Tahukah engkau bahwa aku tidak ingin memusuhi pasukan ayahku sendiri? Aku sedang hendak menguasai dunia kang-ouw agar tidak terjadi lagi pemberontakan! Kau sudah menyaksikan sendiri kelihaian orang-orang Pulau Neraka, dan tanpa kerja sama mana mungkin kau akan menumpas atau menguasai mereka? Lekas perintahkan pasukanmu mundur!”
Maharya dan Thian Tok Lama yang menanti di bawah, sudah siap untuk meloncat naik dan membantu kalau koksu terancam bahaya. Akan tetapi, alangkah heran hati mereka ketika melihat koksu muncul lagi, lalu berseru dari atas,
“Semua pasukan! Hentikan pertempuran dan mundur!”
Juga Nirahai muncul dan melengking nyaring.
“Wi Siang, hentikan pertempuran!”
Teriakan-teriakan ini amat nyaring sehingga terdengar oleh semua orang yang bertanding, dan seketika mereka masing-masing kedua pihak mundur dan menghentikan pertandingan. Milana yang maklum bahwa ibunya tentu tidak menghendaki pertempuran melawan pasukan Kaisar, kakeknya sendiri, segera memimpin orang-orangnya mundur dan mengelilingi gubuk.
Adapun Bhong Ji Kun lalu melompat turun memerintahkan sisa panglima untuk menarik semua pasukan dan dia sendiri memandang ke atas, kepada wanita berkerudung, menjura dan berkata,
“Thian-liong-pangcu! Thian-liong-pang bukan musuh kami, bukan pula pemberontak, maka kami mohon diri!”
Nirahai mengangkat tangan melambai dan pergilah pasukan itu membawa yang terluka dan meninggalkan yang tewas. Nirahai lalu mengajak anak buahnya pergi pula dari tempat itu.
“Kiang-lopek, ke sinilah, kuobati lukamu!”
Kata Nirahai setelah melompat turun dan melihat betapa lengan kiri Kiang Bok Sam, seorang tokoh Thian-liong-pang yang bertubuh tinggi besar seperti raksasa, telah buntung.
Raksasa ini dalam pertempuran tadi, menghadapi pula Wan Keng In dan lengan kirinya kena disambar Lam-mo-kiam sehingga buntung. Namun dia masih terus mengamuk melawan pasukan pemerintah!
“Hemm, engkau seorang yang gagah dan setia, Kiang-lopek.” Nirahai memuji sambil menaruh bubuk obat dan membalut lengan yang buntung itu. “Jangan khawatir, buntungnya lengan kirimu tidak akan mengurangi kegagahanmu. Aku sendiri akan menurunkan ilmu kepadamu.”
Maka pergilah rombongan Thian-liong-pang itu, dan setelah tiba di pusat mereka, benar saja Nirahai mengajarkan ilmu silat tinggi yang membuat Kiang Bok Sam menjadi seorang yang lebih lihai daripada sebelum lengannya buntung, bahkan ilmu tongkat dengan satu tangan yang diajarkan Nirahai membuat dia lebih lihai daripada Sai-cu Lo-mo sendiri! Mungkin hanya Tang Wi Siang saja yang masih dapat menandinginya, dan tentu saja dia masih kalah tingkat kalau dibandingkan dengan Milana.
Padang tandus yang gersang itu kini berubah sunyi mengerikan. Di sekeliling pondok yang tinggi itu berserakan mayat-mayat manusia, dan tanah yang kering itu kini basah, bukan oleh air, melainkan oleh darah manusia!
Menjelang senja, seorang penunggang kuda menjalankan kudanya perlahan memasuki padang tandus itu. Orang ini adalah Gak Bun Beng. Dia terpaksa berdiam di dalam hutan dan bersamadhi, mengobati luka di dalam dadanya akibat pukulan maut terakhir dari Thai Li Lama. Setelah merasa bahwa bahaya telah lewat dan dadanya tidak begitu sesak lagi, Bun Beng bangkit.
Hari telah menjadi sore dan tiba-tiba dia melihat beberapa ekor kuda tanpa penunggang berlari ke dalam hutan seperti ketakutan. Cepat ia menyambar kendali seekor yang terseret, dan dengan ringan dia meloncat ke atas punggung kuda itu. Kuda itu meringkik dan berjingkrak ketakutan, akan tetapi setelah mendapat kenyataan bahwa yang menungganginya tidak mengganggunya, dia menjadi jinak, keempat kakinya menggigil dan tubuhnya lemas.
“Hemm, agaknya terjadi sesuatu yang hebat di tempat pertemuan di bawah sana. Kuda yang patut dikasihani, engkau tentu telah menyaksikan hal-hal yang menakutkan. Tenanglah, dan bawa aku turun ke sana.”
Dia lalu menunggang kuda itu menuruni lereng gunung, perlahan-lahan karena kudanya sudah lelah sekali. Beberapa ekor kuda itu adalah kuda tunggangan para panglima yang roboh tewas dan binatang-binatang itu melarikan diri, naik ke gunung dengan ketakutan.
Dapat dibayangkan betapa ngeri dan kaget hati Bun Beng ketika kudanya membawanya ke tempat bekas terjadinya pertandingan itu. Di sana-sini berserakan mayat-mayat manusia yang berpakaian seperti orang-orang kang-ouw.
Itulah mayat-mayat para mata-mata, yaitu para panglima yang berpakaian sebagai orang kang-ouw, ada yang putus kepalanya, ada yang mati dalam keadaan tidak terluka sama sekali. Dan banyak lagi orang-orang berpakaian biasa yang tewas dekat tiang gubuk, akan tetapi lebih banyak lagi mayat-mayat berpakaian tentara.
Tempat itu menjadi tempat pesta burung-burung gagak yang memekik dan terbang pergi ketika Bun Beng lewat di atas kudanya, akan tetapi mereka turun kembali setelah Bun Beng lewat, melanjutkan pesta mereka mematuki daging segar dari luka-luka di tubuh mayat-mayat itu yang masih ada darah segarnya!
Bung Beng menghentikan kudanya, memandang ke sekeliling dan menarik napas panjang. Betapa mengerikan akibat perbuatan manusia, pikirnya. Setelah memandang mayat-mayat itu, dia terharu, dan lenyaplah semua rasa benci. Mayat-mayat itu sekarang sama saja, tidak terpisah-pisah oleh golongan-golongan lagi, kesemuanya mendatangkan rasa iba dan haru di hatinya.
Mayat-mayat manusia yang mati secara sia-sia setelah menjadi mayatpun masih tersia-sia. Haruskah manusia saling bunuh seperti ini? Kembali dia menarik napas panjang, lalu turun dari atas punggung kuda. Ia memungut sebatang golok besar, kemudian digalinya lubang-lubang di tempat itu dan dikuburnya mayat-mayat itu.
Lima buah mayat selubang, tanpa membedakan pakaian mereka. Ketika ia melihat setumpuk mayat yang telah menjadi arang, sebuah mayat yang agaknya terbakar, tanpa mengetahui bahwa itu adalah mayat Kwi-bun Lo-mo Ngo Bouw Ek, kakek jenaka dari Pulau Neraka yang pernah mengajarnya mengendalikan layang-layang raksasa sehingga tanpa disengaja menurunkan ilmu memindahkan tenaga kepadanya, Bun Beng menggeleng-geleng kepala dan tak dapat mengerti mengapa ada yang mati terbakar! Dia lalu mengubur pula arang bekas mayat itu.
Sampai jauh malam barulah selesai dia menguburkan semua mayat itu, kemudian menunggangi pula kudanya dan meninggalkan tempat mengerikan itu dengan hati berat dan perasaan muak terhadap ulah para manusia yang haus darah.
Dia mengerti bahwa mereka yang menjadi korban itu hanyalah manusia-manusia yang diperalat, yang bertempur karena perintah tanpa ada permusuhan pribadi, tanpa alasan, hanya menurutkan perintah semata. Dan yang memerintahkan tentulah orang-orang yang dibencinya itu, Koksu dan kaki tangannya dan.... agaknya Ketua Thian-liong-pang juga!
Diam-diam dia merasa penasaran dan kecewa sekali, apalagi kalau dia teringat kepada Milana. Mengapa gadis seperti itu, puteri Pendekar Super Sakti, terlahir di tengah-tengah lingkungan yang penuh kekejaman itu? Dia menghela napas dan menepuk-nepuk punggung kudanya.
“Kuda, engkau hanya binatang, akan tetapi pernahkah terjadi di dunia ini binatang berperang saling bunuh-membunuh seperti yang dilakukan manusia, mahluk yang merasa diri paling suci itu?”
Kuda itu tentu saja tidak bisa menjawab, akan tetapi tepukan-tepukan penuh perasaan pada punggungnya membuat dia menggerak-gerakkan ekornya sambil berjalan perlahan meninggalkan tempat itu.
**** 054 ****
Tidak ada komentar:
Posting Komentar