“Aihhh....!” Kwi-bun Lo-mo meloncat ke belakang dengan mata terbelalak dan balas menyerang sambil memaki, “Gadis liar, siluman galak!”
Kwi Hong miringkan tubuh dan membabat ke arah lengan yang memukulnya, akan tetapi kakek itu dapat menarik kembali lengannya.
“Tahan....!” Bun Beng berseru. “Nona Kwi Hong, dia bermaksud membantumu!”
“Membantu apa? Dia.... ah, mukanya berwarna, dia tentu iblis dari Pulau Neraka!”
“Hemm, memang aku dari Pulau Neraka, habis kau mau apa?” Kakek itu menantang dengan marah.
“Aku mau membasmi orang-orang Pulau Neraka, dan engkau lebih dulu!” Kembali Kwi Hong menyerang.
“Iblis betina tak tahu diri!”
Kwi-bun Lo-mo mengelak lagi dan diam-diam terkejut karena biarpun pedangnya sudah buntung, nona ini merupakan lawan yang amat tangguh, gerakannya cepat, ilmu pedangnya aneh dan tenaga sin-kangnya amat kuat, dapat diduga dari suara bercuitan ketika pedang buntung menyambar. Terpaksa dia mencelat lagi ke kanan untuk menghindar.
“Tahan! Locianpwe, dia itu adalah murid Pendekar Siluman, To-cu dari Pulau Es!” Bun Beng berseru.
“Apa....?” Muka kakek itu berubah, matanya terbelalak. “Be.... betulkah....?”
“Aku mengenalnya, masa membohong?”
Kwi Hong makin marah dan menuding dengan pedang buntungnya.
“Kakek sialan! Apa kau pura-pura tidak mengenal aku yang pernah kalian culik ke Pulau Neraka?”
Kakek itu menggeleng kepala.
“Aku mendengar akan peristiwa itu, akan tetapi aku sedang merantau keluar pulau, tidak tahu.... maaf.... aku tidak berani mengganggu murid Pendekar Siluman tanpa seijin To-cu kami....”
“Tidak peduli, kau harus mampus!”
Kwi Hong menyerang lagi. Kwi-bun Lo-mo meloncat jauh ke belakang, kemudian melarikan diri! Kakek ini pernah merasai kelihaian Pendekar Siluman ketika ia bertanding melawan Nayakavhira, maka kini mendengar bahwa gadis ini murid pendekar sakti itu, dia menyangka bahwa tentu Pendekar Siluman berada pula disitu, pula tanpa seijin To-cu, Majikannya, mana dia berani mengganggu murid Majikan Pulau Es?
Kwi Hong hendak mengejar, akan tetapi Bun Beng meloncat menghadang dan berkata,
“Sudahlah, Nona, perlu apa dikejar orang yang tidak mau melawan? Dahulu pun, Pamanmu tidak mengejarnya.”
Kwi Hong berhenti, karena maklum bahwa diapun tak dapat menyusul kakek yang lari seperti terbang cepatnya itu, apalagi kalau ia ingat bahwa kakek itu memiliki senjata rahasia peledak yang mengandung asap beracun berbahaya.
“Hemm, aku mengenalmu sekarang,” katanya sambil memandang wajah pemuda itu. “Engkau Gak Bun Beng....”
Bun Beng menjura sambil tersenyum.
“Kuharap selama ini Nona dalam keadaan baik dan kulihat bahwa Nona telah mewarisi ilmu kepandaian hebat dari Pamanmu. Selamat!”
“Engkau mengejek?” Kwi Hong membentak marah.
Bun Beng melongo dan memandang dengan mata terbelalak. Kenapa Nona ini marah-marah? Dia menggelengkan kepala tanpa dapat menjawab.
“Engkau mengejek, ya? Karena aku tidak mampu merampas kembali pedang itu, karena pedangku patah, karena aku tidak mampu membunuh kakek Pulau Neraka!”
Pandang mata itu seperti mengeluarkan api yang menyerang Bun Beng, dia mundur ketika dara itu melangkah maju dengan muka merah saking jengkel oleh kegagalannya.
“Hayo katakan engkau mengejekku, biar aku mempunyai alasan untuk menyerangmu!”
“Tidak! Tidak....! Wah, siapa mengejek, Nona? Sama sekali aku tidak mengejek. Bukan salahmu kalau pedang Nona patah, dan kalau tidak dibantu gurunya, kakek India itu, tentu Si Siucai gila sudah mampus olehmu dan pedangnya terampas.”
Mendengar kata-kata ini, agak berkurang kemarahan Kwi Hong. Ia membanting kaki dan memandang pedangnya yang buntung, lalu membantingnya ke atas tanah sambil mengomel.
“Sialan! Tentu Paman akan marah kepadaku karena pedang ini!”
Melihat wajah cantik jelita yang menjadi merah, mata yang membayangkan penyesalan dan kedukaan besar, hati Bun Beng tergerak. Teringatlah ia akan sepasang pedang yang ditinggalkannya di guha rahasia di tempat para pemuja Sun-go-kong, maka serta merta ia berkata,
“Harap Nona jangan berduka, aku mempunyai sepasang pedang pusaka yang hebat, bahkan yang diperebutkan oleh seluruh tokoh kang-ouw.”
“Sepasang pedang yang.... Pedang Iblis?” Kwi Hong memotong, matanya terbelalak, kedukaannya lenyap seketika.
Bun Beng mengangguk.
“Agaknya benar Sepasang Pedang Iblis yang kudapatkan secara kebetulan sekali. Kini kusimpan di dalam guha rahasia. Kalau Nona suka, akan kuberikan sebatang kepada Nona, yang pendek. Pedang itu mengeluarkan sinar kilat yang mendirikan bulu roma sehingga aku tidak berani mencabut seluruhnya, agaknya tidak kalah ampuh oleh pedang yang dicuri Tan-siucai tadi.”
“Benarkah itu? Paman juga mencari-cari pedang itu! Benarkah akan kau berikan kepadaku?”
Kwi Hong miringkan tubuh dan membabat ke arah lengan yang memukulnya, akan tetapi kakek itu dapat menarik kembali lengannya.
“Tahan....!” Bun Beng berseru. “Nona Kwi Hong, dia bermaksud membantumu!”
“Membantu apa? Dia.... ah, mukanya berwarna, dia tentu iblis dari Pulau Neraka!”
“Hemm, memang aku dari Pulau Neraka, habis kau mau apa?” Kakek itu menantang dengan marah.
“Aku mau membasmi orang-orang Pulau Neraka, dan engkau lebih dulu!” Kembali Kwi Hong menyerang.
“Iblis betina tak tahu diri!”
Kwi-bun Lo-mo mengelak lagi dan diam-diam terkejut karena biarpun pedangnya sudah buntung, nona ini merupakan lawan yang amat tangguh, gerakannya cepat, ilmu pedangnya aneh dan tenaga sin-kangnya amat kuat, dapat diduga dari suara bercuitan ketika pedang buntung menyambar. Terpaksa dia mencelat lagi ke kanan untuk menghindar.
“Tahan! Locianpwe, dia itu adalah murid Pendekar Siluman, To-cu dari Pulau Es!” Bun Beng berseru.
“Apa....?” Muka kakek itu berubah, matanya terbelalak. “Be.... betulkah....?”
“Aku mengenalnya, masa membohong?”
Kwi Hong makin marah dan menuding dengan pedang buntungnya.
“Kakek sialan! Apa kau pura-pura tidak mengenal aku yang pernah kalian culik ke Pulau Neraka?”
Kakek itu menggeleng kepala.
“Aku mendengar akan peristiwa itu, akan tetapi aku sedang merantau keluar pulau, tidak tahu.... maaf.... aku tidak berani mengganggu murid Pendekar Siluman tanpa seijin To-cu kami....”
“Tidak peduli, kau harus mampus!”
Kwi Hong menyerang lagi. Kwi-bun Lo-mo meloncat jauh ke belakang, kemudian melarikan diri! Kakek ini pernah merasai kelihaian Pendekar Siluman ketika ia bertanding melawan Nayakavhira, maka kini mendengar bahwa gadis ini murid pendekar sakti itu, dia menyangka bahwa tentu Pendekar Siluman berada pula disitu, pula tanpa seijin To-cu, Majikannya, mana dia berani mengganggu murid Majikan Pulau Es?
Kwi Hong hendak mengejar, akan tetapi Bun Beng meloncat menghadang dan berkata,
“Sudahlah, Nona, perlu apa dikejar orang yang tidak mau melawan? Dahulu pun, Pamanmu tidak mengejarnya.”
Kwi Hong berhenti, karena maklum bahwa diapun tak dapat menyusul kakek yang lari seperti terbang cepatnya itu, apalagi kalau ia ingat bahwa kakek itu memiliki senjata rahasia peledak yang mengandung asap beracun berbahaya.
“Hemm, aku mengenalmu sekarang,” katanya sambil memandang wajah pemuda itu. “Engkau Gak Bun Beng....”
Bun Beng menjura sambil tersenyum.
“Kuharap selama ini Nona dalam keadaan baik dan kulihat bahwa Nona telah mewarisi ilmu kepandaian hebat dari Pamanmu. Selamat!”
“Engkau mengejek?” Kwi Hong membentak marah.
Bun Beng melongo dan memandang dengan mata terbelalak. Kenapa Nona ini marah-marah? Dia menggelengkan kepala tanpa dapat menjawab.
“Engkau mengejek, ya? Karena aku tidak mampu merampas kembali pedang itu, karena pedangku patah, karena aku tidak mampu membunuh kakek Pulau Neraka!”
Pandang mata itu seperti mengeluarkan api yang menyerang Bun Beng, dia mundur ketika dara itu melangkah maju dengan muka merah saking jengkel oleh kegagalannya.
“Hayo katakan engkau mengejekku, biar aku mempunyai alasan untuk menyerangmu!”
“Tidak! Tidak....! Wah, siapa mengejek, Nona? Sama sekali aku tidak mengejek. Bukan salahmu kalau pedang Nona patah, dan kalau tidak dibantu gurunya, kakek India itu, tentu Si Siucai gila sudah mampus olehmu dan pedangnya terampas.”
Mendengar kata-kata ini, agak berkurang kemarahan Kwi Hong. Ia membanting kaki dan memandang pedangnya yang buntung, lalu membantingnya ke atas tanah sambil mengomel.
“Sialan! Tentu Paman akan marah kepadaku karena pedang ini!”
Melihat wajah cantik jelita yang menjadi merah, mata yang membayangkan penyesalan dan kedukaan besar, hati Bun Beng tergerak. Teringatlah ia akan sepasang pedang yang ditinggalkannya di guha rahasia di tempat para pemuja Sun-go-kong, maka serta merta ia berkata,
“Harap Nona jangan berduka, aku mempunyai sepasang pedang pusaka yang hebat, bahkan yang diperebutkan oleh seluruh tokoh kang-ouw.”
“Sepasang pedang yang.... Pedang Iblis?” Kwi Hong memotong, matanya terbelalak, kedukaannya lenyap seketika.
Bun Beng mengangguk.
“Agaknya benar Sepasang Pedang Iblis yang kudapatkan secara kebetulan sekali. Kini kusimpan di dalam guha rahasia. Kalau Nona suka, akan kuberikan sebatang kepada Nona, yang pendek. Pedang itu mengeluarkan sinar kilat yang mendirikan bulu roma sehingga aku tidak berani mencabut seluruhnya, agaknya tidak kalah ampuh oleh pedang yang dicuri Tan-siucai tadi.”
“Benarkah itu? Paman juga mencari-cari pedang itu! Benarkah akan kau berikan kepadaku?”
Sikap Kwi Hong berubah sama sekali, agaknya dia tidak ingat lagi akan kemarahan dan kedukaan hatinya, wajahnya berseri dan sepasang matanya mengeluarkan cahaya, amat indahnya seperti sepasang bintang pagi dalam pandangan Bun Beng.
“Benar, Nona. Pedang itu sepasang, boleh untukmu sebatang dan untukku sebatang.”
Tiba-tiba wajah yang cerah itu kembali agak muram oleh berkerutnya sepasang alis yang hitam kecil melengkung itu.
“Bun Beng, bagaimana engkau bisa mendapatkan Siang-mo-kiam? Seluruh dunia kang-ouw mencari dan memperebutkannya. Bagaimana tiba-tiba kau bisa mengatakan kepadaku bahwa engkau menemukan pedang-pedang itu?” Dalam pertanyaan ini terkandung keraguan dan ketidak percayaan.
“Aku mendapatkannya secara kebetulan saja, Nona. Terjadinya ketika aku terjatuh ke dalam pusaran maut di Sungai Huang-ho.”
Dengan singkat Bun Beng menceritakan semua pengalamannya, akan tetapi sengaja dia tidak menyebutkan tempat ia menyimpan sepasang pedang itu, juga tidak tentang kitab Sam-po-cin-keng.
Kwi Hong mendengarkan dengan alis berkerut.
“Jadi ketika kita saling bertemu itu engkau telah menemukan Siang-mo-kiam?”
“Benar, aku tidak sempat bercerita, pula pada waktu itu memang aku hendak merahasiakannya dari siapapun juga.”
“Hemm, kalau begitu, mengapa sekarang mendadak engkau ingin memberikan sebatang kepadaku? Apa sebabnya?”
Sambil berkata demikian, Kwi Hong memandang dengan sinar mata tajam penuh selidik. Bun Beng kagum bukan main. Mata itu...., bukan kepalang indahnya! Sejenak ia menentang pandang mata itu penuh kagum, akan tetapi sinar mata itu seperti sepasang pedang iblis sendiri yang menusuk, menembus mata sampai ke jantung! Terpaksa ia menundukkan pandang matanya.
“Mengapa....? Aihh, tak terpikir olehku.... hemm, agaknya karena melihat pedangmu patah, Nona. Karena melihat engkau berduka tadi....”
“Heh, omong kosong! Mengapa mendadak engkau menaruh perhatian seperti itu kepadaku? Apa hubungannya kedukaanku denganmu? Engkau merasa kasihan? Alasan yang dangkal dan kosong!” Kembali di dalam suaranya terkandung kecurigaan dan ketidak percayaan.
Cepat Bun Beng membantah.
“Tidak! Tidak hanya itu, Nona. Sesungguhnya.... pertama karena Nona telah menyelamatkan nyawaku tadi. Kalau tidak Nona keburu turun tangan, bukankah aku akan mati terjatuh dari atas kalau tali layangan itu diputus oleh kakek tadi? Untuk membalas budi Nona yang telah menyelamatkan nyawaku, apa artinya pemberian sebatang pedang? Pula, kedua memang aku merasa amat kagum kepada Paman Nona, dan satu-satunya orang di dunia ini yang aku ingin agar pedang yang diperebutkan itu dimilikinya, adalah Paman Nona, Pendekar Super Sakti. Maka, kebetulan sekali aku bertemu dengan Nona, bahkan Nona telah menolongku sehingga ada alasan bagiku untuk menyerahkan pedang.”
Kwi Hong mengangguk-angguk, wajahnya kembali cerah dan ia mulai percaya kepada Bun Beng. Pemuda ini girang sekali menyaksikan perubahan wajah itu, memandang penuh kagum wajah cantik jelita yang matanya menunduk itu. Tiba-tiba wajah itu diangkat, pandang mata mereka saling bertaut dan dengan jantung berdebar Bun Beng melihat betapa alis yang bagus itu kembali dikerutkan, lalu terdengar suara gadis itu membentak marah.
“Aku tidak percaya kepadamu!”
Mula-mula Bun Beng tertegun, kemudian ia menarik napas panjang, wajahnya membayangkan kekesalan dan kedukaan hati.
“Hemm, agaknya Nona curiga kepadaku?”
“Siapa tahu kalau-kalau engkau ini amat licik dan curang dan sengaja hendak menipuku?”
Bun Beng merasa jantungnya perih seperti ditusuk pedang. Ia mengangguk dan menjawab,
“Aku mengerti, Nona. Tentu Nona curiga kepadaku mengingat bahwa aku adalah anak seorang tokoh hitam yang amat licik dan curang? Sudah banyak aku mendengar makian itu.”
“Tidak peduli! Aku tidak mengatakan begitu dan tidak berpikir begitu. Hanya siapa mau percaya kepada seorang yang telah gulang-gulung bergaul dengan seorang iblis Pulau Neraka? Engkau datang bersama dia, tentu sahabat baiknya, atau siapa tahu engkau sudah menjadi anggauta Pulau Neraka. Mereka adalah iblis-iblis kejam, tentu engkau juga bukan orang baik-baik. Bagaimana aku dapat percaya?”
Lega hati Bun Beng. Nona ini satu-satunya orang yang tidak menyinggung ayahnya. Alasan yang diucapkan untuk kecurigaannya memang tepat. Maka ia cepat-cepat menuturkan pengalamannya semenjak ia ditawan oleh Thian-liong-pang sampai berhasil lolos, dikeroyok ikan, diterkam rajawali yang kemudian bertempur melawan garuda dan akhirnya terlepas.
“Ketika melayang jatuh itulah aku tersangkut pada tali layang-layang yang dikemudikan oleh kakek Pulau Neraka itu. Baru pertama itulah aku berkenalan dengan dia dan kami sama-sama turun setelah terhindar dari angin taufan dan terancam maut oleh kakek India yang akan memutus tali. Untung Nona muncul dan menyerangnya.”
Penuturan Bun Beng yang amat luar biasa seperti terjadi dalam dongeng itu membuat Kwi Hong melongo.
“Wah-wah.... hebat sekali pengalamanmu!” Ia duduk di atas rumput. “Engkau menjadi tawanan Thian-liong-pang? Buka main! Dan berhasil lolos? Eh, ceritakanlah, Bun Beng. Bagaimana kau bisa lolos dari Thian-liong-pang yang terkenal sekali amat kuat itu? Aku mendengar banyak orang pandai dan sakti disana, bahkan tidak kalah saktinya oleh orang-orang Pulau Neraka!”
Melihat wajah itu betul-betul sudah percaya kepadanya, sudah cerah dan bekas-bekas kecurigaan dan ketidak percayaan tidak tampak lagi, Bun Beng duduk pula diatas rumput. Mereka duduk berhadapan, bercakap-cakap dan merasa seperti telah menjadi sahabat lama.
Dengan terus terang Bun Beng menceritakan pengalamannya ketika berusaha menolong Ketua Bu-tong-pai dan melihat tokoh-tokoh kang-ouw itu diadu oleh Ketua Thian-liong-pang untuk dicuri jurus simpanan mereka yang terpaksa digunakan dalam pertandingan itu. Kemudian betapa dia diaku sebagai cucu keponakan Si Muka Singa dan akan dijadikan anggauta. Akan tetapi ia menolak dan akhirnya di jebloskan dalam penjara di bawah tanah.
“Sama sekali aku tidak tahu bahwa dinding itu menembus ke sungai yang besar dimana banyak terdapat ikan raksasa yang hampir saja membunuhku. Kalau tahu begitu, agaknya belum tentu aku berani membobol dinding itu. Heran, sungai apakah itu?”
Kwi Hong yang tertarik sekali berkata.
“Apakah kau tidak tahu? Kini kita berada di lembah Sungai Huang-ho, dan sarang Thian-liong-pang berada di kota Cie-bun, disebelah utara kota Cin-an. Sudah lama aku mendengar akan perbuatan Thian-liong-pang menculik orang-orang kang-ouw. Sayang Paman melarang aku bentrok dengan orang Thian-liong-pang, kalau tidak aku akan menyerbu ke sana. Hemm.... kalau Paman mendengar bahwa orang-orang kang-ouw itu diculik untuk dicuri ilmu mereka tentu Paman akan tertarik sekali. Eh, Bun Beng, dimanakah adanya guha rahasia dimana engkau menyembunyikan Siang-mo-kiam?”
“Aku tidak tahu namanya, hanya aku tahu jalan kesana kalau sudah melihat bentuk gunungnya. Kalau tidak salah, dekat dengan laut karang ketika aku dibawa terbang burung rajawali yang kemudian bertanding dengan burung garuda yang kunaiki itu, dan aku terlepas ke bawah, aku jatuh ke dalam laut.”
Kwi Hong memutar otaknya.
“Hemm, tentu di Laut Utara. Mari kita cari kesana. Sayang burung kami telah dibunuh oleh siucai sinting dan gurunya, kalau tidak, tentu dengan mudah kita bisa mencari sambil menunggang pek-eng.”
“Apakah tidak ada garuda putih lagi di Pulau Es? Aku tadi melihat burung garuda putih menyerang rajawali yang mencengkeramku.”
“Benarkah? Tentu burung garuda liar. Kami tidak mempunyai garuda lagi. Aku baru saja keluar dari Pulau Es, baru mendapat ijin dari Paman setelah berulang-ulang aku minta supaya diijinkan merantau. Aku ingin ke kota raja mencari dan menengok kuburan Ibuku. Akan tetapi sekarang bertemu denganmu, sebaiknya kita mencari Siang-mo-kiam, baru akan pergi ke kota raja. Marilah kita berangkat sebelum gelap, Bun Beng.”
“Baiklah, Nona.”
Mereka bangkit dan Kwi Hong berkata mencela.
“Jangan sebut Nona, kenapa kau begini merendah? Menjemukann benar!”
“Habis, aku harus menyebut apa?”
“Apa kau tidak tahu namaku? Kalau kau mau bersahabat denganku, jangan merendah seolah-olah engkau ini orang bawahanku di Pulau Es. Sebut saja namaku!”
“Baiklah.... Kwi Hong.”
Hati Bun Beng girang sekali. Dara ini cantik menarik dan membuat hatinya berdebar aneh, membuat ia ingin selalu berdekatan dan bercakap-cakap dengannya. Pula, gadis inilah satu-satunya orang yang tidak menyebut-nyebut tentang kejahatan ayahnya. Dan yang lebih dari semua itu, gadis ini adalah murid dan keponakan Pendekar Super Sakti, orang yang dikagumi dan dipuja di dalam hati.
“Tempat itu dahulu kutemukan setelah aku terjatuh ke dalam pusaran maut di Sungai Huang-ho, sebuah gunung yang aneh dan terletak dekat laut. Tentu tidak jauh dari muara sungai. Sebaiknya kita mencari jejak mulai dari pulau di tengah muara sungai dari mana aku terlempar dan jatuh ke dalam pusaran maut.”
“Baik, memang mestinya begitu. Kalau tidak dapat menemukan tempat itu melalui darat, kita harus mengikuti jejakmu dahulu melalui pusaran maut.”
Bun Beng terbelalak.
“Apa....? Wah, itu berbahaya sekali, Kwi Hong!”
Gadis itu memandangnya dan menggeleng kepala.
“Engkau pun tidak mati, bukan? Nah, kalau di waktu masih kecil dahulu saja bisa sampai di tempat itu melalui pusaran maut dengan selamat, mengapa sekarang tidak?”
“Ah, dahulu lain lagi. Aku terlempar ke sana bukan atas kehendakku, dan aku setengah pingsan ketika terbawa pusaran, agaknya memang Tuhan tidak menghendaki aku mati di waktu itu. Kalau sekarang aku harus terjun ke sana, hiiiiiih.... ngeri sekali, aku tidak berani.”
Kwi Hong cemberut.
“Kalau kau tidak berani, aku berani! Pedang Siang-mo-kiam itu terlalu penting untuk dibiarkan di tempat itu. Terlalu berharga untuk dicari dengan taruhan nyawa. Kalau bisa kudapatkan dan kuperlihatkan kepada Paman, tentu dia akan girang sekali karena Paman pernah bilang bahwa kalau sepasang pedang iblis itu sampai muncul di dunia dalam tangan orang-orang sesat, sukar untuk ditundukkan dan di dunia pasti akan kacau balau dan kejahatan merajalela. Nah, kau tahu betapa besarnya arti kedua pedang itu, dan betapa pentingnya untuk didapatkan kembali.”
Mereka mulai melakukan perjalanan dan Kwi Hong yang menjadi penunjuk jalan sampai mereka tiba di tepi Sungai Huang-ho. Akan tetapi malam sudah tiba ketika mereka sampai di tepi sungai.
“Kita bermalam di tepi sungai ini, besok baru kita melanjutkan,” kata gadis itu.
Bun Beng lalu mengumpulkan kayu kering dan membuat api unggun. Tepi sungai itu sunyi senyap, akan tetapi menyenangkan sekali bagi Bun Beng. Tempatnya bersih, tanahnya tertutup rumput hijau seperti permadani, pohon-pohon dan bunga-bunga mendatangkan bau yang sedap dan segar, dan bulan hampir bulat muncul tak lama kemudian, membuat tempat itu menjadi indah, romantis, dan menyenangkan.
Tentu saja ia tidak sadar bahwa yang membuat keadaan menjadi demikian indah adalah hadirnya Kwi Hong karena kalau tidak ada gadis itu disana, belum tentu tempat sunyi ini akan tampak seindah malam itu!
Mereka duduk menghadapi api unggun. Enak dan nyaman, hangat. Bun Beng duduk melamun, merasa betapa selama hidupnya, baru sekarang inilah ia mengalami kebahagiaan, merasa betapa senangnya hidup!
“Eh, Bun Beng, kenapa melamun saja kau?”
Bun Beng terkejut dan sadar dari lamunanpya yang mengangkatnya ke angkasa. Ia memandang dan tidak dapat menjawab karena sepasang mata yang terkena sinar api unggun itu kelihatan begitu indah dan tajam berkilau.
“Apa perutmu tidak lapar?” Gadis itu bertanya ketika melihat pemuda itu hanya melongo.
Mendengar ini, kontan perut Bun Beng berbunyi, seolah-olah menjawab pertanyaan itu. Dengan gugup ia menekan perut dengan tangannya sambil memaki dalam hati kepada perutnya yang tak tahu malu. Memang ia merasa lapar sekali. Apalagi hawa begitu nyaman, pemandangan begitu indah, membuat perut yang kosong terasa sekali.
“Heiii! Bagaimana?”
Gadis itu kembali bertanya, menahan geli hatinya karena telinganya yang berpendengaran tajam dapat menangkap perut yang berkokok tadi.
“He? Apa?” Bun Beng bertanya gugup, masih merasa malu oleh perutnya.
“Lapar tidak?”
“Lapar sekali, Kwi Hong tapi.... makan apa....?”
“Betapa bodohnya! Ikan berkeliaran di dalam sungai masih bertanya makan apa?”
Bun Beng teringat dan meloncat bangun.
“Tepat sekali! Mengapa aku begitu bodoh dan pelupa? Ikan-ikan yang mengeroyokku siang tadi! Aku harus membalas dendam, setidaknya kutangkap seekor, kupanggang sampai matang dan kita ganyang dagingnya!” Setelah berkata demikian, ia lari ke pinggir sungai dan langsung meloncat ke sungai.
“Byurrrr!”
Air muncrat tinggi dan Kwi Hong terbelalak, kemudian tertawa terpingkal-pingkal dan menggeleng-geleng kepala.
“Sungguh orang aneh,”
Gumamnya sambil berdiri di pinggir sungai menonton Bun Beng yang menyelam hendak menangkap ikan begitu saja dengan kedua tangan, lengkap dengan pakaiannya, bahkan sepatunya tidak dicopot!
Akan tetapi ia kagum ketika tak lama kemudian Bun Beng sudah muncul lagi, memondong seekor ikan yang besarnya sebantal dan melemparkan ikan itu ke darat! Ikan itu menggelepar-gelepar di darat dan Bun Beng sudah berenang ke pinggir lalu mendarat pula, tersenyum lebar, pakaiannya basah kuyup, air menetes-netes dari seluruh pakaiannya, rambutnya pun basah kuyup dan kuncirnya melibat leher.
.
“Aihh, ikan besar ini mana bisa kita menghabiskannya? Dan bagaimana pula membersihkan isi perutnya, kaulah yang melakukannya itu, nanti aku yang memanggangnya.”
“Jangan khawatir, Kwi Hong. Kalau tidak ada pisau, batu karangpun cukup tajam dan runcing.”
Dengan gembira Bun Beng lalu mencari batu karang yang keras, menghampiri ikan. Sekali pukul dengan batu pecahlah kepala ikan itu dan ia segera membelah perut ikan dengan batu yang tajam, membuang isi perutnya ke sungai dan membersihkan kulit ikan yang tak bersisik itu dengan gosokan batu karang.
Kwi Hong sudah menyediakan sebuah ranting, menusuk ikan besar itu dari mulut sampai menembus ekor, kemudian memanggangnya di atas api unggun sambil menanti Bun Beng mencuci tangannya ke air sungai. Setelah pemuda itu duduk dekat api, dia mencela.
“Kau ini aneh sekali, mengapa menangkap ikan begitu saja dengan memakai pakaian lengkap? Lihat, pakaian dan sepatumu basah kuyup, tentu dingin sekali. Sebaiknya kau buka dan peras pakaianmu, panggang dekat api biar kering.”
Muka Bun Beng tiba-tiba berubah merah. Bagaimana dia bisa menanggalkan pakaian di depan gadis itu?
“Biarlah, diperas begini pun bisa, dan kalau aku duduk dekat api, sebentar juga kering.”
Ia memeras rambut dan pakaiannya, melepas sepatunya dan menggeser duduknya dekat api. Beberapa kali Kwi Hong melirik kepadanya dengan pandang mata penuh rasa heran. Pemuda ini aneh sekali. Kadang-kadang pendiam dan canggung, akan tetapi gerak-geriknya amat menarik hatinya.
Bau sedap daging ikan dipanggang menusuk hidung, langsung merangsang selera mulut dan menambah lapar perut. Setelah matang, kedua orang itu lalu menyerbu daging ikan yang terasa sedap dan gurih sekali. Hanya separuh termakan oleh mereka. Terpaksa sisanya mereka buang lagi ke sungai.
“Sayang air sungai begitu kotor, bagaimana bisa minum?”
Kwi Hong bertanya sambil mencuci tangannya yang penuh minyak ikan, juga mengusap bibirnya dengan air sungai, kemudian menggosoknya dengan saputangan.
“Aku akan mencari buah!”
Berkata demikian, Bun Beng meloncat dan lari pergi, mencari-cari pohon yang ada buahnya. Sampai jauh ia meninggalkan tepi sungai itu dan untung bahwa bulan bersinar terang sehingga akhirnya setelah payah mencari-cari, ia datang lagi membawa beberapa butir buah yang sudah masak.
Kemudian, keduanya duduk menghadapi api unggun yang menjadi makin besar setelah ditambah daun kering dan kayu oleh Kwi Hong. Hawa yang hangat, perut yang kenyang, membuat gadis itu merasa mengantuk dan ia menguap di belakang telapak tangannya.
“Ahhh, aku ingin tidur. Kau berjagalah dulu, Bun Beng sambil mengeringkan pakaianmu. Nanti aku giliran menjaga dan kau tidur. Di tempat seperti ini, apalagi baru saja kita bertemu dengan siucai sinting dan gurunya, tidak boleh kita berdua tidur semua tanpa ada yang menjaga.”
“Baik, kau tidurlah, Kwi Hong. Aku tidak mengantuk dan aku akan menjagamu.”
Kwi Hong mundur agak menjauhi api unggun, kemudian merebahkan dirinya, miring menghadapkan mukanya ke api unggun dan memejamkan kedua matanya. Bun Beng kini berani menatap wajah itu sepuas hatinya. Entah mengapa dia sendiri tidak mengerti, menyaksikan wajah yang kemerahan, dengan rambut yang agak mawut dan sebagian terurai menutup pipi dan dahi, melihat bulu mata yang menjadi panjang dan tebal membentuk bayang-bayang di pipi, hidung yang mancung dan cupingnya bergerak sedikit ketika bernapas dalam-dalam, bibir yang merah dan mengkilap terkena minyak daging ikan, ia merasa terharu sekali.
Ia membandingkan wajah ini dengan wajah Ang Siok Bi, puteri Ketua Bu-tong-pai yang pernah menarik hatinya. Keduanya sama cantik dan memiliki daya tarik masing-masing. Akan tetapi, melihat Kwi Hong tertidur tak jauh di depannya, ia harus mengaku bahwa Kwi Hong lebih cantik jelita.
Teringatlah ia betapa dalam keadaan menghadapi maut, hanya tiga wajah orang yang terbayang olehnya. Wajah Kwi Hong, wajah Siok Bi dan wajah Milana! Akan tetapi, ketika itu ia membayangkan wajah Kwi Hong dan Milana di waktu mereka masih kecil. Betapa jauh perbedaannya setelah ia bertemu dengan Kwi Hong sekarang, demikian cantik dan menarik!
Tiba-tiba Bun Beng mengutuk diri sendiri di dalam batinnya. Mengapa ia membayangkan wajah wanita-wanita cantik? Celaka, inikah yang membuat ayahnya dahulu memperkosa ibunya? Ia bergidik ketika merasa betapa ada hasrat di hatinya untuk memeluk tubuh wanita yang berbaring di depannya itu, ingin mencium pipi itu, bibir itu!
Keparat! Ingin ia menghantam kepalanya sendiri, menghancurkan kepala yang berisi pikiran busuk itu. Apakah ia mewarisi watak ayahnya? Tidak! Ayahnya telah disebut datuk kaum sesat, tentu merupakan seorang yang sesat kelakuannya. Buktinya sampai memperkosa ibunya! Dia tidak akan melakukan hal seperti itu! Biarpun dia tertarik akan wanita-wanita cantik, dia akan memerangi perasaannya sendiri dan mencegah agar jangan sampai ia melakukan perbuatan terkutuk! Ia harus memilih seorang di antara mereka, bukan untuk diperkosa, bukan untuk dipermainkan, melainkan untuk dijadikan isteri! Kwi Hong ini! Ah, betapa akan bahagia hatinya kalau ia dapat memperisteri Kwi Hong.
Kwi Hong mengeluh perlahan dan menghela napas panjang, agaknya mimpi. Keluhan lirih dan helaan napas itu membuat dara itu tampak makin menarik sehingga Bun Beng terpaksa membuang muka, tidak kuat memandang lebih jauh karena jantungnya sudah berdenyut keras.
Memang tidak terlalu dapat disalahkan kalau Bun Beng diamuk nafsu berahi dan cinta. Usianya sudah cukup dewasa, sudah dua puluh dua tahun lebih. Dalam usia sebanyak itu, tentu saja timbul perasaan ini dan masih mengagumkan bahwa dia dapat menahan diri kalau diingat bahwa sejak kecil dia tidak pernah menerima pendidikan tentang susila, tidak pernah menerima pendidikan ayah bunda sendiri. Untung bahwa ia digembleng oleh hwesio-hwesio Siauw-lim-pai sehingga batinnya cukup kuat, biarpun darahnya, darah ayahnya yang panas membuat ia condong untuk melakukan perbuatan menyeleweng.
Namun, justeru nama buruk ayahnya membuat ia berkeras hati untuk menebus semua kesalahan ayahnya dengan perbuatan baik, bukan menambah kotor nama ayahnya dengan perbuatan seperti yang pernah dilakukan ayahnya.
Betapa bahagianya kalau ia dapat menjadi suami Kwi Hong, pikirnya lagi setelah hatinya tenang dan dia berani lagi memandang wajah Kwi Hong. Gadis itu kini telah rebah terlentang sehingga nampak tonjolan dadanya yang turun naik kalau bernapas lembut. Bibir itu setengah terbuka, seperti tersenyum menantang!
Betapa cantik jelitanya, betapa gagah perkasanya. Tadi telah dia saksikan sendiri betapa lihai gadis ini. Dia sendiri meragukan apakah dia akan mampu melawan Kwi Hong. Betapa tidak gagah perkasa dan lihai kalau diingat bahwa dara ini adalah keponakan dan murid Pendekar Super Sakti!
“Benar, Nona. Pedang itu sepasang, boleh untukmu sebatang dan untukku sebatang.”
Tiba-tiba wajah yang cerah itu kembali agak muram oleh berkerutnya sepasang alis yang hitam kecil melengkung itu.
“Bun Beng, bagaimana engkau bisa mendapatkan Siang-mo-kiam? Seluruh dunia kang-ouw mencari dan memperebutkannya. Bagaimana tiba-tiba kau bisa mengatakan kepadaku bahwa engkau menemukan pedang-pedang itu?” Dalam pertanyaan ini terkandung keraguan dan ketidak percayaan.
“Aku mendapatkannya secara kebetulan saja, Nona. Terjadinya ketika aku terjatuh ke dalam pusaran maut di Sungai Huang-ho.”
Dengan singkat Bun Beng menceritakan semua pengalamannya, akan tetapi sengaja dia tidak menyebutkan tempat ia menyimpan sepasang pedang itu, juga tidak tentang kitab Sam-po-cin-keng.
Kwi Hong mendengarkan dengan alis berkerut.
“Jadi ketika kita saling bertemu itu engkau telah menemukan Siang-mo-kiam?”
“Benar, aku tidak sempat bercerita, pula pada waktu itu memang aku hendak merahasiakannya dari siapapun juga.”
“Hemm, kalau begitu, mengapa sekarang mendadak engkau ingin memberikan sebatang kepadaku? Apa sebabnya?”
Sambil berkata demikian, Kwi Hong memandang dengan sinar mata tajam penuh selidik. Bun Beng kagum bukan main. Mata itu...., bukan kepalang indahnya! Sejenak ia menentang pandang mata itu penuh kagum, akan tetapi sinar mata itu seperti sepasang pedang iblis sendiri yang menusuk, menembus mata sampai ke jantung! Terpaksa ia menundukkan pandang matanya.
“Mengapa....? Aihh, tak terpikir olehku.... hemm, agaknya karena melihat pedangmu patah, Nona. Karena melihat engkau berduka tadi....”
“Heh, omong kosong! Mengapa mendadak engkau menaruh perhatian seperti itu kepadaku? Apa hubungannya kedukaanku denganmu? Engkau merasa kasihan? Alasan yang dangkal dan kosong!” Kembali di dalam suaranya terkandung kecurigaan dan ketidak percayaan.
Cepat Bun Beng membantah.
“Tidak! Tidak hanya itu, Nona. Sesungguhnya.... pertama karena Nona telah menyelamatkan nyawaku tadi. Kalau tidak Nona keburu turun tangan, bukankah aku akan mati terjatuh dari atas kalau tali layangan itu diputus oleh kakek tadi? Untuk membalas budi Nona yang telah menyelamatkan nyawaku, apa artinya pemberian sebatang pedang? Pula, kedua memang aku merasa amat kagum kepada Paman Nona, dan satu-satunya orang di dunia ini yang aku ingin agar pedang yang diperebutkan itu dimilikinya, adalah Paman Nona, Pendekar Super Sakti. Maka, kebetulan sekali aku bertemu dengan Nona, bahkan Nona telah menolongku sehingga ada alasan bagiku untuk menyerahkan pedang.”
Kwi Hong mengangguk-angguk, wajahnya kembali cerah dan ia mulai percaya kepada Bun Beng. Pemuda ini girang sekali menyaksikan perubahan wajah itu, memandang penuh kagum wajah cantik jelita yang matanya menunduk itu. Tiba-tiba wajah itu diangkat, pandang mata mereka saling bertaut dan dengan jantung berdebar Bun Beng melihat betapa alis yang bagus itu kembali dikerutkan, lalu terdengar suara gadis itu membentak marah.
“Aku tidak percaya kepadamu!”
Mula-mula Bun Beng tertegun, kemudian ia menarik napas panjang, wajahnya membayangkan kekesalan dan kedukaan hati.
“Hemm, agaknya Nona curiga kepadaku?”
“Siapa tahu kalau-kalau engkau ini amat licik dan curang dan sengaja hendak menipuku?”
Bun Beng merasa jantungnya perih seperti ditusuk pedang. Ia mengangguk dan menjawab,
“Aku mengerti, Nona. Tentu Nona curiga kepadaku mengingat bahwa aku adalah anak seorang tokoh hitam yang amat licik dan curang? Sudah banyak aku mendengar makian itu.”
“Tidak peduli! Aku tidak mengatakan begitu dan tidak berpikir begitu. Hanya siapa mau percaya kepada seorang yang telah gulang-gulung bergaul dengan seorang iblis Pulau Neraka? Engkau datang bersama dia, tentu sahabat baiknya, atau siapa tahu engkau sudah menjadi anggauta Pulau Neraka. Mereka adalah iblis-iblis kejam, tentu engkau juga bukan orang baik-baik. Bagaimana aku dapat percaya?”
Lega hati Bun Beng. Nona ini satu-satunya orang yang tidak menyinggung ayahnya. Alasan yang diucapkan untuk kecurigaannya memang tepat. Maka ia cepat-cepat menuturkan pengalamannya semenjak ia ditawan oleh Thian-liong-pang sampai berhasil lolos, dikeroyok ikan, diterkam rajawali yang kemudian bertempur melawan garuda dan akhirnya terlepas.
“Ketika melayang jatuh itulah aku tersangkut pada tali layang-layang yang dikemudikan oleh kakek Pulau Neraka itu. Baru pertama itulah aku berkenalan dengan dia dan kami sama-sama turun setelah terhindar dari angin taufan dan terancam maut oleh kakek India yang akan memutus tali. Untung Nona muncul dan menyerangnya.”
Penuturan Bun Beng yang amat luar biasa seperti terjadi dalam dongeng itu membuat Kwi Hong melongo.
“Wah-wah.... hebat sekali pengalamanmu!” Ia duduk di atas rumput. “Engkau menjadi tawanan Thian-liong-pang? Buka main! Dan berhasil lolos? Eh, ceritakanlah, Bun Beng. Bagaimana kau bisa lolos dari Thian-liong-pang yang terkenal sekali amat kuat itu? Aku mendengar banyak orang pandai dan sakti disana, bahkan tidak kalah saktinya oleh orang-orang Pulau Neraka!”
Melihat wajah itu betul-betul sudah percaya kepadanya, sudah cerah dan bekas-bekas kecurigaan dan ketidak percayaan tidak tampak lagi, Bun Beng duduk pula diatas rumput. Mereka duduk berhadapan, bercakap-cakap dan merasa seperti telah menjadi sahabat lama.
Dengan terus terang Bun Beng menceritakan pengalamannya ketika berusaha menolong Ketua Bu-tong-pai dan melihat tokoh-tokoh kang-ouw itu diadu oleh Ketua Thian-liong-pang untuk dicuri jurus simpanan mereka yang terpaksa digunakan dalam pertandingan itu. Kemudian betapa dia diaku sebagai cucu keponakan Si Muka Singa dan akan dijadikan anggauta. Akan tetapi ia menolak dan akhirnya di jebloskan dalam penjara di bawah tanah.
“Sama sekali aku tidak tahu bahwa dinding itu menembus ke sungai yang besar dimana banyak terdapat ikan raksasa yang hampir saja membunuhku. Kalau tahu begitu, agaknya belum tentu aku berani membobol dinding itu. Heran, sungai apakah itu?”
Kwi Hong yang tertarik sekali berkata.
“Apakah kau tidak tahu? Kini kita berada di lembah Sungai Huang-ho, dan sarang Thian-liong-pang berada di kota Cie-bun, disebelah utara kota Cin-an. Sudah lama aku mendengar akan perbuatan Thian-liong-pang menculik orang-orang kang-ouw. Sayang Paman melarang aku bentrok dengan orang Thian-liong-pang, kalau tidak aku akan menyerbu ke sana. Hemm.... kalau Paman mendengar bahwa orang-orang kang-ouw itu diculik untuk dicuri ilmu mereka tentu Paman akan tertarik sekali. Eh, Bun Beng, dimanakah adanya guha rahasia dimana engkau menyembunyikan Siang-mo-kiam?”
“Aku tidak tahu namanya, hanya aku tahu jalan kesana kalau sudah melihat bentuk gunungnya. Kalau tidak salah, dekat dengan laut karang ketika aku dibawa terbang burung rajawali yang kemudian bertanding dengan burung garuda yang kunaiki itu, dan aku terlepas ke bawah, aku jatuh ke dalam laut.”
Kwi Hong memutar otaknya.
“Hemm, tentu di Laut Utara. Mari kita cari kesana. Sayang burung kami telah dibunuh oleh siucai sinting dan gurunya, kalau tidak, tentu dengan mudah kita bisa mencari sambil menunggang pek-eng.”
“Apakah tidak ada garuda putih lagi di Pulau Es? Aku tadi melihat burung garuda putih menyerang rajawali yang mencengkeramku.”
“Benarkah? Tentu burung garuda liar. Kami tidak mempunyai garuda lagi. Aku baru saja keluar dari Pulau Es, baru mendapat ijin dari Paman setelah berulang-ulang aku minta supaya diijinkan merantau. Aku ingin ke kota raja mencari dan menengok kuburan Ibuku. Akan tetapi sekarang bertemu denganmu, sebaiknya kita mencari Siang-mo-kiam, baru akan pergi ke kota raja. Marilah kita berangkat sebelum gelap, Bun Beng.”
“Baiklah, Nona.”
Mereka bangkit dan Kwi Hong berkata mencela.
“Jangan sebut Nona, kenapa kau begini merendah? Menjemukann benar!”
“Habis, aku harus menyebut apa?”
“Apa kau tidak tahu namaku? Kalau kau mau bersahabat denganku, jangan merendah seolah-olah engkau ini orang bawahanku di Pulau Es. Sebut saja namaku!”
“Baiklah.... Kwi Hong.”
Hati Bun Beng girang sekali. Dara ini cantik menarik dan membuat hatinya berdebar aneh, membuat ia ingin selalu berdekatan dan bercakap-cakap dengannya. Pula, gadis inilah satu-satunya orang yang tidak menyebut-nyebut tentang kejahatan ayahnya. Dan yang lebih dari semua itu, gadis ini adalah murid dan keponakan Pendekar Super Sakti, orang yang dikagumi dan dipuja di dalam hati.
“Tempat itu dahulu kutemukan setelah aku terjatuh ke dalam pusaran maut di Sungai Huang-ho, sebuah gunung yang aneh dan terletak dekat laut. Tentu tidak jauh dari muara sungai. Sebaiknya kita mencari jejak mulai dari pulau di tengah muara sungai dari mana aku terlempar dan jatuh ke dalam pusaran maut.”
“Baik, memang mestinya begitu. Kalau tidak dapat menemukan tempat itu melalui darat, kita harus mengikuti jejakmu dahulu melalui pusaran maut.”
Bun Beng terbelalak.
“Apa....? Wah, itu berbahaya sekali, Kwi Hong!”
Gadis itu memandangnya dan menggeleng kepala.
“Engkau pun tidak mati, bukan? Nah, kalau di waktu masih kecil dahulu saja bisa sampai di tempat itu melalui pusaran maut dengan selamat, mengapa sekarang tidak?”
“Ah, dahulu lain lagi. Aku terlempar ke sana bukan atas kehendakku, dan aku setengah pingsan ketika terbawa pusaran, agaknya memang Tuhan tidak menghendaki aku mati di waktu itu. Kalau sekarang aku harus terjun ke sana, hiiiiiih.... ngeri sekali, aku tidak berani.”
Kwi Hong cemberut.
“Kalau kau tidak berani, aku berani! Pedang Siang-mo-kiam itu terlalu penting untuk dibiarkan di tempat itu. Terlalu berharga untuk dicari dengan taruhan nyawa. Kalau bisa kudapatkan dan kuperlihatkan kepada Paman, tentu dia akan girang sekali karena Paman pernah bilang bahwa kalau sepasang pedang iblis itu sampai muncul di dunia dalam tangan orang-orang sesat, sukar untuk ditundukkan dan di dunia pasti akan kacau balau dan kejahatan merajalela. Nah, kau tahu betapa besarnya arti kedua pedang itu, dan betapa pentingnya untuk didapatkan kembali.”
Mereka mulai melakukan perjalanan dan Kwi Hong yang menjadi penunjuk jalan sampai mereka tiba di tepi Sungai Huang-ho. Akan tetapi malam sudah tiba ketika mereka sampai di tepi sungai.
“Kita bermalam di tepi sungai ini, besok baru kita melanjutkan,” kata gadis itu.
Bun Beng lalu mengumpulkan kayu kering dan membuat api unggun. Tepi sungai itu sunyi senyap, akan tetapi menyenangkan sekali bagi Bun Beng. Tempatnya bersih, tanahnya tertutup rumput hijau seperti permadani, pohon-pohon dan bunga-bunga mendatangkan bau yang sedap dan segar, dan bulan hampir bulat muncul tak lama kemudian, membuat tempat itu menjadi indah, romantis, dan menyenangkan.
Tentu saja ia tidak sadar bahwa yang membuat keadaan menjadi demikian indah adalah hadirnya Kwi Hong karena kalau tidak ada gadis itu disana, belum tentu tempat sunyi ini akan tampak seindah malam itu!
Mereka duduk menghadapi api unggun. Enak dan nyaman, hangat. Bun Beng duduk melamun, merasa betapa selama hidupnya, baru sekarang inilah ia mengalami kebahagiaan, merasa betapa senangnya hidup!
“Eh, Bun Beng, kenapa melamun saja kau?”
Bun Beng terkejut dan sadar dari lamunanpya yang mengangkatnya ke angkasa. Ia memandang dan tidak dapat menjawab karena sepasang mata yang terkena sinar api unggun itu kelihatan begitu indah dan tajam berkilau.
“Apa perutmu tidak lapar?” Gadis itu bertanya ketika melihat pemuda itu hanya melongo.
Mendengar ini, kontan perut Bun Beng berbunyi, seolah-olah menjawab pertanyaan itu. Dengan gugup ia menekan perut dengan tangannya sambil memaki dalam hati kepada perutnya yang tak tahu malu. Memang ia merasa lapar sekali. Apalagi hawa begitu nyaman, pemandangan begitu indah, membuat perut yang kosong terasa sekali.
“Heiii! Bagaimana?”
Gadis itu kembali bertanya, menahan geli hatinya karena telinganya yang berpendengaran tajam dapat menangkap perut yang berkokok tadi.
“He? Apa?” Bun Beng bertanya gugup, masih merasa malu oleh perutnya.
“Lapar tidak?”
“Lapar sekali, Kwi Hong tapi.... makan apa....?”
“Betapa bodohnya! Ikan berkeliaran di dalam sungai masih bertanya makan apa?”
Bun Beng teringat dan meloncat bangun.
“Tepat sekali! Mengapa aku begitu bodoh dan pelupa? Ikan-ikan yang mengeroyokku siang tadi! Aku harus membalas dendam, setidaknya kutangkap seekor, kupanggang sampai matang dan kita ganyang dagingnya!” Setelah berkata demikian, ia lari ke pinggir sungai dan langsung meloncat ke sungai.
“Byurrrr!”
Air muncrat tinggi dan Kwi Hong terbelalak, kemudian tertawa terpingkal-pingkal dan menggeleng-geleng kepala.
“Sungguh orang aneh,”
Gumamnya sambil berdiri di pinggir sungai menonton Bun Beng yang menyelam hendak menangkap ikan begitu saja dengan kedua tangan, lengkap dengan pakaiannya, bahkan sepatunya tidak dicopot!
Akan tetapi ia kagum ketika tak lama kemudian Bun Beng sudah muncul lagi, memondong seekor ikan yang besarnya sebantal dan melemparkan ikan itu ke darat! Ikan itu menggelepar-gelepar di darat dan Bun Beng sudah berenang ke pinggir lalu mendarat pula, tersenyum lebar, pakaiannya basah kuyup, air menetes-netes dari seluruh pakaiannya, rambutnya pun basah kuyup dan kuncirnya melibat leher.
.
“Aihh, ikan besar ini mana bisa kita menghabiskannya? Dan bagaimana pula membersihkan isi perutnya, kaulah yang melakukannya itu, nanti aku yang memanggangnya.”
“Jangan khawatir, Kwi Hong. Kalau tidak ada pisau, batu karangpun cukup tajam dan runcing.”
Dengan gembira Bun Beng lalu mencari batu karang yang keras, menghampiri ikan. Sekali pukul dengan batu pecahlah kepala ikan itu dan ia segera membelah perut ikan dengan batu yang tajam, membuang isi perutnya ke sungai dan membersihkan kulit ikan yang tak bersisik itu dengan gosokan batu karang.
Kwi Hong sudah menyediakan sebuah ranting, menusuk ikan besar itu dari mulut sampai menembus ekor, kemudian memanggangnya di atas api unggun sambil menanti Bun Beng mencuci tangannya ke air sungai. Setelah pemuda itu duduk dekat api, dia mencela.
“Kau ini aneh sekali, mengapa menangkap ikan begitu saja dengan memakai pakaian lengkap? Lihat, pakaian dan sepatumu basah kuyup, tentu dingin sekali. Sebaiknya kau buka dan peras pakaianmu, panggang dekat api biar kering.”
Muka Bun Beng tiba-tiba berubah merah. Bagaimana dia bisa menanggalkan pakaian di depan gadis itu?
“Biarlah, diperas begini pun bisa, dan kalau aku duduk dekat api, sebentar juga kering.”
Ia memeras rambut dan pakaiannya, melepas sepatunya dan menggeser duduknya dekat api. Beberapa kali Kwi Hong melirik kepadanya dengan pandang mata penuh rasa heran. Pemuda ini aneh sekali. Kadang-kadang pendiam dan canggung, akan tetapi gerak-geriknya amat menarik hatinya.
Bau sedap daging ikan dipanggang menusuk hidung, langsung merangsang selera mulut dan menambah lapar perut. Setelah matang, kedua orang itu lalu menyerbu daging ikan yang terasa sedap dan gurih sekali. Hanya separuh termakan oleh mereka. Terpaksa sisanya mereka buang lagi ke sungai.
“Sayang air sungai begitu kotor, bagaimana bisa minum?”
Kwi Hong bertanya sambil mencuci tangannya yang penuh minyak ikan, juga mengusap bibirnya dengan air sungai, kemudian menggosoknya dengan saputangan.
“Aku akan mencari buah!”
Berkata demikian, Bun Beng meloncat dan lari pergi, mencari-cari pohon yang ada buahnya. Sampai jauh ia meninggalkan tepi sungai itu dan untung bahwa bulan bersinar terang sehingga akhirnya setelah payah mencari-cari, ia datang lagi membawa beberapa butir buah yang sudah masak.
Kemudian, keduanya duduk menghadapi api unggun yang menjadi makin besar setelah ditambah daun kering dan kayu oleh Kwi Hong. Hawa yang hangat, perut yang kenyang, membuat gadis itu merasa mengantuk dan ia menguap di belakang telapak tangannya.
“Ahhh, aku ingin tidur. Kau berjagalah dulu, Bun Beng sambil mengeringkan pakaianmu. Nanti aku giliran menjaga dan kau tidur. Di tempat seperti ini, apalagi baru saja kita bertemu dengan siucai sinting dan gurunya, tidak boleh kita berdua tidur semua tanpa ada yang menjaga.”
“Baik, kau tidurlah, Kwi Hong. Aku tidak mengantuk dan aku akan menjagamu.”
Kwi Hong mundur agak menjauhi api unggun, kemudian merebahkan dirinya, miring menghadapkan mukanya ke api unggun dan memejamkan kedua matanya. Bun Beng kini berani menatap wajah itu sepuas hatinya. Entah mengapa dia sendiri tidak mengerti, menyaksikan wajah yang kemerahan, dengan rambut yang agak mawut dan sebagian terurai menutup pipi dan dahi, melihat bulu mata yang menjadi panjang dan tebal membentuk bayang-bayang di pipi, hidung yang mancung dan cupingnya bergerak sedikit ketika bernapas dalam-dalam, bibir yang merah dan mengkilap terkena minyak daging ikan, ia merasa terharu sekali.
Ia membandingkan wajah ini dengan wajah Ang Siok Bi, puteri Ketua Bu-tong-pai yang pernah menarik hatinya. Keduanya sama cantik dan memiliki daya tarik masing-masing. Akan tetapi, melihat Kwi Hong tertidur tak jauh di depannya, ia harus mengaku bahwa Kwi Hong lebih cantik jelita.
Teringatlah ia betapa dalam keadaan menghadapi maut, hanya tiga wajah orang yang terbayang olehnya. Wajah Kwi Hong, wajah Siok Bi dan wajah Milana! Akan tetapi, ketika itu ia membayangkan wajah Kwi Hong dan Milana di waktu mereka masih kecil. Betapa jauh perbedaannya setelah ia bertemu dengan Kwi Hong sekarang, demikian cantik dan menarik!
Tiba-tiba Bun Beng mengutuk diri sendiri di dalam batinnya. Mengapa ia membayangkan wajah wanita-wanita cantik? Celaka, inikah yang membuat ayahnya dahulu memperkosa ibunya? Ia bergidik ketika merasa betapa ada hasrat di hatinya untuk memeluk tubuh wanita yang berbaring di depannya itu, ingin mencium pipi itu, bibir itu!
Keparat! Ingin ia menghantam kepalanya sendiri, menghancurkan kepala yang berisi pikiran busuk itu. Apakah ia mewarisi watak ayahnya? Tidak! Ayahnya telah disebut datuk kaum sesat, tentu merupakan seorang yang sesat kelakuannya. Buktinya sampai memperkosa ibunya! Dia tidak akan melakukan hal seperti itu! Biarpun dia tertarik akan wanita-wanita cantik, dia akan memerangi perasaannya sendiri dan mencegah agar jangan sampai ia melakukan perbuatan terkutuk! Ia harus memilih seorang di antara mereka, bukan untuk diperkosa, bukan untuk dipermainkan, melainkan untuk dijadikan isteri! Kwi Hong ini! Ah, betapa akan bahagia hatinya kalau ia dapat memperisteri Kwi Hong.
Kwi Hong mengeluh perlahan dan menghela napas panjang, agaknya mimpi. Keluhan lirih dan helaan napas itu membuat dara itu tampak makin menarik sehingga Bun Beng terpaksa membuang muka, tidak kuat memandang lebih jauh karena jantungnya sudah berdenyut keras.
Memang tidak terlalu dapat disalahkan kalau Bun Beng diamuk nafsu berahi dan cinta. Usianya sudah cukup dewasa, sudah dua puluh dua tahun lebih. Dalam usia sebanyak itu, tentu saja timbul perasaan ini dan masih mengagumkan bahwa dia dapat menahan diri kalau diingat bahwa sejak kecil dia tidak pernah menerima pendidikan tentang susila, tidak pernah menerima pendidikan ayah bunda sendiri. Untung bahwa ia digembleng oleh hwesio-hwesio Siauw-lim-pai sehingga batinnya cukup kuat, biarpun darahnya, darah ayahnya yang panas membuat ia condong untuk melakukan perbuatan menyeleweng.
Namun, justeru nama buruk ayahnya membuat ia berkeras hati untuk menebus semua kesalahan ayahnya dengan perbuatan baik, bukan menambah kotor nama ayahnya dengan perbuatan seperti yang pernah dilakukan ayahnya.
Betapa bahagianya kalau ia dapat menjadi suami Kwi Hong, pikirnya lagi setelah hatinya tenang dan dia berani lagi memandang wajah Kwi Hong. Gadis itu kini telah rebah terlentang sehingga nampak tonjolan dadanya yang turun naik kalau bernapas lembut. Bibir itu setengah terbuka, seperti tersenyum menantang!
Betapa cantik jelitanya, betapa gagah perkasanya. Tadi telah dia saksikan sendiri betapa lihai gadis ini. Dia sendiri meragukan apakah dia akan mampu melawan Kwi Hong. Betapa tidak gagah perkasa dan lihai kalau diingat bahwa dara ini adalah keponakan dan murid Pendekar Super Sakti!
Tidak ada komentar:
Posting Komentar