Sesosok bayangan putih menyambar turun dari angkasa dan bunyi kelepak sayap terdengar disusul bergeraknya daun-daun pohon ketika pohon itu tertiup angin yang keluar dari gerakan sayap dan burung garuda putih yang besar itu hinggap di atas tanah. Laki-laki berkaki buntung sebelah itu meloncat turun dan terdengar keluhannya lirih ditujukan kepada si Burung Garuda.
“Pek-eng (Garuda Putih), kita tidak berhasil mencari Kwi Hong! Aihhh.... kenapa selama hidupku aku harus menderita kehilangan selalu....?”
Burung itu menggerak-gerakkan lehernya dan paruhnya yang kuat mengelus-elus kepala Suma Han yang berambut putih, seolah-olah burung itu hendak menghiburnya. Laki-laki itu bukan lain adalah Suma Han. Majikan Pulau Es yang terkenal dengan julukan Pendekar Super Sakti, juga Pendekar Siluman.
Usia pendekar sakti ini belum ada tiga puluh tahun, akan tetapi biarpun wajahnya masih tampan dan segar, rambutnya yang putih dan pandang matanya yang sayu membuat pendekar ini memiliki wibawa seperti seorang kakek-kakek tua renta!
“Pek-eng....” katanya lirih bisik-bisik sambil mengelus leher burung itu, “siapa yang mempunyai, dia yang akan kehilangan....”
“Nguk-nguk....” Garuda itu mengeluarkan suara lirih, seolah-olah ikut berduka.
“Engkau pun merasa kehilangan karena engkau mempunyai garuda betina yang kini pergi bersama Kwi Hong. Aku telah banyak menderita kehilangan karena aku banyak mempunyai orang-orang yang kucinta....! Ahhh, betapa bahagianya orang yang tidak mempunyai apa-apa karena dia tidak akan menderita kehilangan apa-apa! Siapa bilang yang punya lebih senang daripada yang tidak punya? Ah, dia tidak tahu! Mempunyai berarti menjaga karena selalu diintai bahaya kehilangan. Hanya orang yang tidak mempunyai apa-apa saja yang dapat enak tidur, tidak khawatir kehilangan apa-apa!”
Suma Han menjatuhkan diri di atas tanah, bersandar batang pohon dan dalam waktu beberapa menit saja dia sudah tidur pulas! Memang To-cu (Majikan Pu-lau) Pulau Es ini di samping kesaktian-nya yang luar biasa, mempunyai kebiasaan aneh, yaitu dalam urusan makan dan tidur ia berbeda dengan manusia-manusia biasa.
Kadang-kadang sampai belasan malam dia tidak tidur sekejap mata pun, selama belasan hari tidak makan sesuap pun, akan tetapi dia dapat tidur sampai berhari-hari dan sekali makan menghabiskan beberapa kati gandum!
Garuda putih yang setia dan cerdik itu, begitu melihat majikannya pulas, lalu terbang ke atas pohon, hinggap di cabang pohon dan tidur juga. Burung ini sudah melakukan penerbangan amat jauh dan lama sehingga tubuhnya terasa lelah. Dua mahluk yang sama-sama lelah itu kini mengaso dan keadaan di dalam hutan itu sunyi, yang terdengar hanya bersilirnya angin mempermainkan ujung-ujung daun pohon.
Dalam keadaan tertidur pulas itu, wajah Suma Han berubah sama sekali. Biasanya di waktu ia sadar, wajah yang tampan itu selalu terselubung kemuraman yang mendalam, apalagi karena sinar matanya yang tajam dan dingin serta aneh itu selalu tampak sayu, membuat wajahnya seperti matahari tertutup awan hitam. Kini setelah ia tidur pulas, lenyaplah garis-garis dan bayangan gelap, membuat wajahnya kelihatan tenang tenteram dan mulutnya tersenyum penuh pengertian bahwa segala yang telah, sedang dan akan terjadi adalah hal-hal yang sudah wajar dan semestinya, hal-hal yang tidak perlu mendatangkan suka maupun duka!
Wajahnya seperti wajah seorang yang telah mati, tenang dan tidak membayangkan penderitaan batin karena seluruh urat syaraf mengendur dan tidak dirangsang nafsu perasaan lagi karena di dalam tidur atau mati, segala persoalan lenyap dari dalam hati dan pikiran.
“Suma Han, bangunlah!”
Tiba-tiba terdengar bentakan halus namun mengandung getaran kuat yang membuat Pendekar Super Sakti membuka mata. Dengan malas ia bangkit dan memandang orang yang membangunkannya. Kiranya di depannya telah berdiri seorang kakek yang dikenalnya baik karena kakek yang memegang tongkat berujung kepala naga itu bukan lain adalah Im-yang Seng-cu!
Namun ia bersikap tak acuh dan garis-garis bayangan suram kembali memenuhi wajahnya ketika ia bangkit berdiri, bersandar pada tongkatnya. Ia hanya sekilas memandang wajah kakek itu, kemudian menunduk, seolah-olah enggan untuk berurusan dan memang sesungguhnya, dalam saat seperti itu Suma Han merasa malas untuk berurusan dengan siapapun juga.
Betapapun, mengingat bahwa kakek ini adalah seorang tokoh besar yang dikenalnya baik, bahkan Im-yang Seng--cu adalah guru dari orang-orang yang amat dikenal dan disayangnya, maka ia berkata sambil tetap menundukkan muka.
“Locianpwe Im-yang Seng-cu, apakah yang Locianpwe kehendaki maka perlu membangunkan saya yang sedang mengaso?”
“Apa yang kukehendaki? Ha-ha! Thian yang Maha Adil agaknya yang menuntun aku sehingga tanpa kusengaja dapat bertemu denganmu di sini, Suma Han. Aku hendak membunuhmu!”
Suma Han sama sekali tidak memperlihatkan kekagetan, bahkan seperti tidak peduli. Dia hanya mengangkat muka dan memandang sejenak, membuat Im-yang Seng-cu terpaksa mengejapkan mata karena merasa seolah-olah ada sinar yang menusuk-nusuk keluar dari sepasang mata Pendekar Super Sakti atau Pendekar Siluman itu. Akan tetapi sepasang mata itu menunduk kembali dan dada Suma Han mengembung besar ketika ia menarik napas panjang.
“Ada akibat tentu bersebab. Datang-datang Locianpwe hendak membunuh saya, pasti ada sebabnya. Kiranya tidak keterlaluan kalau saya yang hendak Locianpwe bunuh ini lebih dulu mendengar apa yang menyebabkan Locianpwe hendak membunuh saya.” Suaranya tetap tenang.
Im-yang Seng-cu juga menghela napas panjang. Sebenarnya, tidak ada seujung rambut pun rasa senang di hatinya untuk menghadapi Pendekar Super Sakti dengan ancaman untuk membunuhnya! Baik karena pengetahuannya bahwa dia tidak akan mampu mengalahkan pendekar muda ini maupun karena memang dia selalu merasa suka dan kagum kepada Suma Han.
“Tentu ada sebabnya! Dahulu engkau yang menjadi sebab kematian seorang muridku yang tersayang, yaitu Soan Li. Hal itu masih dapat kulupakan sungguh-pun ada orang yang takkan dapat melupakannya, yaitu Tan-siucai....”
Suma Han memejamkan matanya dan bibirnya mengeluarkan keluhan disusul ucapannya yang menggetar,
“Mohon Lo-cianpwe jangan menyebut-nyebut namanya lagi....”
Di depan kedua matanya yang terpejam itu, pendekar muda yang berkaki buntung ini membayangkan semua peristiwa yang terjadi beberapa tahun yang lalu. Hoa-san Kiam-li (Pende-kar Pedang Wanita dari Hoa-san) Lu Soan Li adalah murid ke dua Im-yang Seng-cu, seorang dara jelita yang lihai sekali dan berjiwa patriot, seorang gadis manis yang jatuh cinta kepadanya, bahkan kemudian telah mengorbankan nyawanya untuk dia!
Lu Soan Li tewas di dalam pelukannya dan menghembuskan napas terakhir setelah mengaku cinta kepadanya. Dara perkasa itu tewas dalam usaha untuk menyelamatkannya.
“Suma Han, urusan Soan Li memang sudah kulupakan. Akan tetapi sekarang engkau kembali telah menghancurkan kebahagiaan hidup dua orang yang paling kusayang di dunia ini, kusayang seperti anak-anakku sendiri. Engkaulah yang menjadi sebab kehancuran hidup mereka, karena itu tidak ada jalan lain bagiku kecuali membunuhmu atau mati di tanganmu!”
Suma Han merasa seolah-olah jantungnya ditembusi anak panah beracun, akan tetapi sikapnya tenang dan ia hanya memandang penuh pertanyaan sambil berkata,
“Locianpwe, apakah yang telah terjadi dengan Lulu dan Sin Kiat?”
Pendekar Siluman Majikan Pulau Es ini merasa gelisah karena ia dapat menduga bahwa tentu telah terjadi sesuatu dengan adik angkatnya, yaitu seorang gadis Mancu yang amat dicintanya, bahkan merupakan satu-satunya orang yang paling dicintanya di dunia ini.
“Pek-eng (Garuda Putih), kita tidak berhasil mencari Kwi Hong! Aihhh.... kenapa selama hidupku aku harus menderita kehilangan selalu....?”
Burung itu menggerak-gerakkan lehernya dan paruhnya yang kuat mengelus-elus kepala Suma Han yang berambut putih, seolah-olah burung itu hendak menghiburnya. Laki-laki itu bukan lain adalah Suma Han. Majikan Pulau Es yang terkenal dengan julukan Pendekar Super Sakti, juga Pendekar Siluman.
Usia pendekar sakti ini belum ada tiga puluh tahun, akan tetapi biarpun wajahnya masih tampan dan segar, rambutnya yang putih dan pandang matanya yang sayu membuat pendekar ini memiliki wibawa seperti seorang kakek-kakek tua renta!
“Pek-eng....” katanya lirih bisik-bisik sambil mengelus leher burung itu, “siapa yang mempunyai, dia yang akan kehilangan....”
“Nguk-nguk....” Garuda itu mengeluarkan suara lirih, seolah-olah ikut berduka.
“Engkau pun merasa kehilangan karena engkau mempunyai garuda betina yang kini pergi bersama Kwi Hong. Aku telah banyak menderita kehilangan karena aku banyak mempunyai orang-orang yang kucinta....! Ahhh, betapa bahagianya orang yang tidak mempunyai apa-apa karena dia tidak akan menderita kehilangan apa-apa! Siapa bilang yang punya lebih senang daripada yang tidak punya? Ah, dia tidak tahu! Mempunyai berarti menjaga karena selalu diintai bahaya kehilangan. Hanya orang yang tidak mempunyai apa-apa saja yang dapat enak tidur, tidak khawatir kehilangan apa-apa!”
Suma Han menjatuhkan diri di atas tanah, bersandar batang pohon dan dalam waktu beberapa menit saja dia sudah tidur pulas! Memang To-cu (Majikan Pu-lau) Pulau Es ini di samping kesaktian-nya yang luar biasa, mempunyai kebiasaan aneh, yaitu dalam urusan makan dan tidur ia berbeda dengan manusia-manusia biasa.
Kadang-kadang sampai belasan malam dia tidak tidur sekejap mata pun, selama belasan hari tidak makan sesuap pun, akan tetapi dia dapat tidur sampai berhari-hari dan sekali makan menghabiskan beberapa kati gandum!
Garuda putih yang setia dan cerdik itu, begitu melihat majikannya pulas, lalu terbang ke atas pohon, hinggap di cabang pohon dan tidur juga. Burung ini sudah melakukan penerbangan amat jauh dan lama sehingga tubuhnya terasa lelah. Dua mahluk yang sama-sama lelah itu kini mengaso dan keadaan di dalam hutan itu sunyi, yang terdengar hanya bersilirnya angin mempermainkan ujung-ujung daun pohon.
Dalam keadaan tertidur pulas itu, wajah Suma Han berubah sama sekali. Biasanya di waktu ia sadar, wajah yang tampan itu selalu terselubung kemuraman yang mendalam, apalagi karena sinar matanya yang tajam dan dingin serta aneh itu selalu tampak sayu, membuat wajahnya seperti matahari tertutup awan hitam. Kini setelah ia tidur pulas, lenyaplah garis-garis dan bayangan gelap, membuat wajahnya kelihatan tenang tenteram dan mulutnya tersenyum penuh pengertian bahwa segala yang telah, sedang dan akan terjadi adalah hal-hal yang sudah wajar dan semestinya, hal-hal yang tidak perlu mendatangkan suka maupun duka!
Wajahnya seperti wajah seorang yang telah mati, tenang dan tidak membayangkan penderitaan batin karena seluruh urat syaraf mengendur dan tidak dirangsang nafsu perasaan lagi karena di dalam tidur atau mati, segala persoalan lenyap dari dalam hati dan pikiran.
“Suma Han, bangunlah!”
Tiba-tiba terdengar bentakan halus namun mengandung getaran kuat yang membuat Pendekar Super Sakti membuka mata. Dengan malas ia bangkit dan memandang orang yang membangunkannya. Kiranya di depannya telah berdiri seorang kakek yang dikenalnya baik karena kakek yang memegang tongkat berujung kepala naga itu bukan lain adalah Im-yang Seng-cu!
Namun ia bersikap tak acuh dan garis-garis bayangan suram kembali memenuhi wajahnya ketika ia bangkit berdiri, bersandar pada tongkatnya. Ia hanya sekilas memandang wajah kakek itu, kemudian menunduk, seolah-olah enggan untuk berurusan dan memang sesungguhnya, dalam saat seperti itu Suma Han merasa malas untuk berurusan dengan siapapun juga.
Betapapun, mengingat bahwa kakek ini adalah seorang tokoh besar yang dikenalnya baik, bahkan Im-yang Seng--cu adalah guru dari orang-orang yang amat dikenal dan disayangnya, maka ia berkata sambil tetap menundukkan muka.
“Locianpwe Im-yang Seng-cu, apakah yang Locianpwe kehendaki maka perlu membangunkan saya yang sedang mengaso?”
“Apa yang kukehendaki? Ha-ha! Thian yang Maha Adil agaknya yang menuntun aku sehingga tanpa kusengaja dapat bertemu denganmu di sini, Suma Han. Aku hendak membunuhmu!”
Suma Han sama sekali tidak memperlihatkan kekagetan, bahkan seperti tidak peduli. Dia hanya mengangkat muka dan memandang sejenak, membuat Im-yang Seng-cu terpaksa mengejapkan mata karena merasa seolah-olah ada sinar yang menusuk-nusuk keluar dari sepasang mata Pendekar Super Sakti atau Pendekar Siluman itu. Akan tetapi sepasang mata itu menunduk kembali dan dada Suma Han mengembung besar ketika ia menarik napas panjang.
“Ada akibat tentu bersebab. Datang-datang Locianpwe hendak membunuh saya, pasti ada sebabnya. Kiranya tidak keterlaluan kalau saya yang hendak Locianpwe bunuh ini lebih dulu mendengar apa yang menyebabkan Locianpwe hendak membunuh saya.” Suaranya tetap tenang.
Im-yang Seng-cu juga menghela napas panjang. Sebenarnya, tidak ada seujung rambut pun rasa senang di hatinya untuk menghadapi Pendekar Super Sakti dengan ancaman untuk membunuhnya! Baik karena pengetahuannya bahwa dia tidak akan mampu mengalahkan pendekar muda ini maupun karena memang dia selalu merasa suka dan kagum kepada Suma Han.
“Tentu ada sebabnya! Dahulu engkau yang menjadi sebab kematian seorang muridku yang tersayang, yaitu Soan Li. Hal itu masih dapat kulupakan sungguh-pun ada orang yang takkan dapat melupakannya, yaitu Tan-siucai....”
Suma Han memejamkan matanya dan bibirnya mengeluarkan keluhan disusul ucapannya yang menggetar,
“Mohon Lo-cianpwe jangan menyebut-nyebut namanya lagi....”
Di depan kedua matanya yang terpejam itu, pendekar muda yang berkaki buntung ini membayangkan semua peristiwa yang terjadi beberapa tahun yang lalu. Hoa-san Kiam-li (Pende-kar Pedang Wanita dari Hoa-san) Lu Soan Li adalah murid ke dua Im-yang Seng-cu, seorang dara jelita yang lihai sekali dan berjiwa patriot, seorang gadis manis yang jatuh cinta kepadanya, bahkan kemudian telah mengorbankan nyawanya untuk dia!
Lu Soan Li tewas di dalam pelukannya dan menghembuskan napas terakhir setelah mengaku cinta kepadanya. Dara perkasa itu tewas dalam usaha untuk menyelamatkannya.
“Suma Han, urusan Soan Li memang sudah kulupakan. Akan tetapi sekarang engkau kembali telah menghancurkan kebahagiaan hidup dua orang yang paling kusayang di dunia ini, kusayang seperti anak-anakku sendiri. Engkaulah yang menjadi sebab kehancuran hidup mereka, karena itu tidak ada jalan lain bagiku kecuali membunuhmu atau mati di tanganmu!”
Suma Han merasa seolah-olah jantungnya ditembusi anak panah beracun, akan tetapi sikapnya tenang dan ia hanya memandang penuh pertanyaan sambil berkata,
“Locianpwe, apakah yang telah terjadi dengan Lulu dan Sin Kiat?”
Pendekar Siluman Majikan Pulau Es ini merasa gelisah karena ia dapat menduga bahwa tentu telah terjadi sesuatu dengan adik angkatnya, yaitu seorang gadis Mancu yang amat dicintanya, bahkan merupakan satu-satunya orang yang paling dicintanya di dunia ini.
Telah lima tahun ia meninggalkan adiknya itu ketika adiknya menikah dengan Wan Sin Kiat yang berjuluk Hoa-san Gi-Hiap (Pendekar Budiman dari Hoa-san) yaitu murid pertama Im-yang Seng-cu! Siapa lagi yang merupakan dua orang yang dicinta kakek ini kalau bukan muridnya itu? Adapun tentang pertanyaan Im-yang Seng-cu tentang dendam yang dikandung di hati orang yang benama Tan--siucai (Pelajar Tan), dia tidak peduli.
Dia tahu bahwa Tan-siucai adalah tunangan mendiang Lu Soan Li dan karena dia tidak merasa berdosa terhadap kematian Soan Li yang mengorbankan diri untuk menyelamatkannya, maka dia pun tidak peduli apakah ada orang yang mendendam kepadanya atau tidak. Akan tetapi kalau adiknya, Lulu yang dicintainya itu tertimpa malapetaka....!
“Locianpwe, saya minta Locianpwe menceritakan kepada saya apa yang telah terjadi dengan Lulu!”
Kembali Suma Han berkata, sungguhpun sikap dan suaranya tenang, namun jelas ia mendesak dan pandang matanya penuh tuntutan.
“Kau mau tahu? Baiklah, sebaiknya engkau dengar sejelasnya agar kalau nanti kau tewas di tanganku tidak menjadi setan penasaran dan kalau sebaliknya aku yang mati di tanganmu agar lengkap noda darah di tanganmu!”
Kakek itu lalu menghampiri pohon yang menonjol. Melihat sikap kakek itu, Suma Han juga duduk di depannya, siap mendengarkan penuturan kakek itu.
Im-yang Seng-cu lalu mulai dengan penuturannya tentang keadaan Lulu dan Sin Kiat. Lima tahun lebih yang lalu, dengan disaksikan oleh Im-yang Seng-cu sebagai wali pengantin pria, yaitu muridnya Wan Sin Kiat, dilangsungkanlah pernikahan Wan Sin Kiat dengan Lulu yang dihadiri oleh Suma Han sebagai kakak angkat dan walinya (baca cerita Pendekar Super Sakti ). Setelah menyaksikan pernikahan adiknya, Suma Han lalu pergi dan semenjak itu tidak pernah kembali atau bertemu dengan Lulu lagi.
Akan tetapi, semenjak ditinggal pergi kakak angkatnya, Lulu selalu kelihatan berduka. Memang pada bulan-bulan pertama dia agak terhibur oleh limpahan kasih sayang Wan Sin Kiat, suaminya. Akan tetapi, bulan-bulan berikutnya hiburan suaminya tidak dapat menyembuhkan kedukaan hatinya, seolah-olah semua kegembiraan hidupnya terbawa pergi oleh bayangan Suma Han, kakaknya. Lebih-lebih setelah Lulu melahirkan seorang anak laki-laki, hubungan suami isteri ini kelihatan makin merenggang.
Im-yang Seng-cu yang seringkali mengunjungi muridnya, dapat melihat kerenggangan ini, akan tetapi tentu saja dia tidak tahu apa sebenarnya yang terjadi antara suami isteri itu. Kurang lebih setahun kemudian setelah Lulu melahirkan anak, pada suatu hari Im-yang Seng-cu didatangi muridnya, dan betapa kaget hatinya melihat Wan Sin Kiat menjatuhkan diri berlutut di depannya sambil menangis! Hal ini benar-benar mengejutkan hati kakek itu yang mengenal betul kegagahan muridnya.
“Sin Kiat, hentikan tangismu! Air mata seorang gagah jauh lebih berharga daripada darahnya, jangan dibuang-buang!”
Bentak kakek itu yang tidak tahan melihat muridnya yang gagah perkasa itu menangis tersedu-sedu. Wan Sin Kiat menyusut air matanya dan menekan kedukaan hatinya.
“Ceritakan apa yang telah terjadi. Seorang jantan harus berani menerima segala peristiwa yang menimpanya, baik maupun buruk, secara gagah pula!”
“Maaf, Suhu. Teecu sanggup menghadapi derita apapun juga, akan tetapi ini.... ah, Suhu. Isteri teecu, Lulu, telah pergi meninggalkan teecu!”
“Apa....?” Im-yang Seng-cu terkejut juga mendengar ini. “Dan puteramu?”
“Dibawanya pergi.”
“Kenapa tidak kau kejar dia? Mengapa datang ke sini dan tidak segera mengejar dan membujuknya pulang?”
Im-yang Seng-cu menegur muridnya karena mengira bahwa tentu terjadi percekcokan antara suami isteri itu, hal yang amat lumrah. Akan tetapi Sin Kiat menggeleng kepala dengan penuh duka.
“Percuma, Suhu. Hatinya keras sekali dan kepergiannya merupakan hal yang sudah ditahan-tahannya selama dua tahun, semenjak teecu menikah dengannya.”
“Aihh, bagaimana pula ini? Bukankah kalian menikah atas dasar saling mencinta?”
“Teecu memang mencintanya dengan jiwa raga teecu bahkan sampai saat ini pun teecu tak pernah berkurang rasa cinta teecu terhadap Lulu. Akan tetapi.... dia.... ah, kasihan Lulu.... dia menderita karena cinta kasihnya bukan kepada teecu, melainkan kepada Han Han....”
“Suma Han? Dia kakaknya!”
“Itulah soalnya, Suhu. Sesungguhnya, Lulu amat mencinta kakak angkatnya, dan baru setelah melangsungkan pernikahan dan ditinggal pergi Han Han, dia sadar dan menyesal, Lulu sudah berusaha untuk melupakan kakak angkatnya, berusaha untuk membalas cinta kasih teecu, aduh kasihan dia.... semua gagal, cintanya terhadap kakak angkatnya makin mendalam dan membuatnya makin menderita....”
“Dan semua itu dia ceritakan kepadamu?”
Im-yang Seng-cu bertanya dengan mata terbelalak, terheran-heran mendengar penuturan yang dianggapnya aneh tak masuk akal itu.
“Tidak pernah, sampai ketika ia pergi, Suhu. Dia meninggalkan surat, mengakui segala isi hatinya dan minta teecu agar mengampunkan dia, melupakan dia, akan tetapi dengan pesan agar teecu tidak mencarinya karena sampai mati pun dia tidak akan mau kembali kepada teecu.”
“Mau kemana dia?”
“Dia tidak menyatakan dalam surat, akan tetapi teecu rasa dia mau pergi mencari Han Han.”
“Si Pemuda Keparat Suma Han!” Im-yang Seng-cu mengetukkan tongkatnya di lantai.
“Jangan, Suhu. Han Han tidak bersalah dalam hal ini.... juga Lulu tidak bersalah. Sejak dahulu teecu sudah menduga bahwa cinta kasih di antara kakak beradik angkat itu melebihi cinta kasih kakak adik biasa. Hanya karena sudah tergila-gila kepada Lulu teecu tidak berpikir panjang lagi....”
“Tidak bersalah, katamu? Kalau memang mereka saling mencinta, kenapa dia membiarkan adiknya menikah denganmu? Akan kucari mereka, kalau sampai mereka berdua itu kudapatkan menjadi suami isteri, hemmm.... hanya mereka atau aku yang boleh hidup lebih lama di dunia ini!”
“Suhu!”
Wan Sin Kiat membujuk suhunya, akan tetapi Im-yang Seng-cu berkeras karena merasa betapa peristiwa itu merupakan penghinaan dan penghancuran kehidupan muridnya yang dianggapnya sebagai anaknya sendiri.
Dapat dibayangkan betapa hancur hati guru ini ketika beberapa bulan kemudian ia mendengar bahwa Hoa-san Gi--hiap Wan Sin Kiat, murid yang patah hati itu, gugur di dalam perang membela Raja Muda Bu Sam Kwi di Se-cuan, ketika bala tentara Mancu menyerbu Se-cuan dan dalam perang ini pulalah Bu Sam Kwi meninggal dunia.
Menurut berita yang didengar oleh Im-yang Seng-cu, muridnya itu berperang seperti orang gila tidak mengenal mundur lagi sehingga diam-diam ia mengerti bahwa muridnya sengaja menyerahkan nyawa, mencari mati dalam perang.
Hatinya seperti ditusuk pedang dan biarpun dia merasa bangga bahwa di dalam kedukaannya muridnya itu memilih mati sebagai seorang patriot sejati, namun dia berduka sekali karena kematian muridnya adalah kematian akibat putusnya cinta kasih!
Mendengar penuturan Im-yang Seng-cu, Suma Han memandang dengan mata terbelalak. Wajahnya tidak berubah, akan tetapi pandang matanya makin sayu seperti orang mengantuk.
Im-yang Seng-cu bangkit berdiri.
“Nah, sekarang bersiaplah engkau untuk menebus dosamu. Kedua orang muridku mati karena engkau. Hidupku yang tidak berapa lama lagi ini akan tersiksa oleh dendam dan penasaran, maka aku harus membunuhmu atau engkau menghentikan siksa batinku dengan membunuhku!”
Akan tetapi Suma Han tetap bengong, sama sekali tidak memandang kepada Im-yang Seng-cu, melainkan memandang kosong ke depan dan mulutnya berkata lirih,
“Hemm.... kalau begitu.... dia agaknya....” Ucapan ini diulang beberapa kali.
Pada saat itu, muncullah dua orang pendeta Lama yaitu Thian Tok Lama dan Thai Li Lama, diikuti oleh Bhe Ti Kong panglima tinggi besar. Begitu muncul, terdengar suara Thian Tok Lama,
“Suma-taihiap, pinceng bertiga datang menyampaikan permintaan koksu supaya Taihiap suka menyerahkan Sepasang Pedang Iblis kepada pinceng.”
Akan tetapi Pendekar Super Sakti masih termenung seperti tadi, sama sekali tidak mempedulikan munculnya tiga orang ini, bahkan seolah-olah tidak mendengar kata-kata Thian Tok Lama. Ia tetap berdiri termenung memandang jauh dan terdengar suaranya lirih berulang-ulang.
“Aihhh.... tentu dia....!”
Thian Lok Lama mengerutkan alisnya melihat sikap Suma Han yang dianggapnya memandang rendah kepadanya. Dahulu, pendeta Lama ini pernah beberapa kali bentrok dengan Suma Han dan maklum akan kepandaian pendekar muda berkaki buntung ini, akan tetapi karena kini ia mengandalkan pengaruh koksu dia tidak menjadi takut. Terdengar pendeta Tibet itu berkata lagi, suaranya lantang menggema di seluruh hutan.
“Suma-taihiap! Koksu menghormati Taihiap sebagai To-cu terkenal dari Pulau Es, maka mengajukan permintaan secara baik dan hormat. Harap saja Taihiap suka menghargai penghormatan Koksu!”
Suma Han tetap tidak menjawab dan termenung. Terdengarlah suara ketawa Im-yang Seng-cu,
“Ha-ha-ha! Penghormatan yang menyembunyikan paksaan adalah penghormatan palsu. Menuduh orang menyimpan pusaka tanpa bukti lebih mendekati fitnah!”
Thian Tok Lama menoleh ke arah Im-yang Seng-cu dengan sikap marah, akan tetapi pendeta Tibet yang cerdik ini tidak mau melayani karena dia tahu bahwa menghadapi Suma Han saja sudah merupakan lawan berat, apalagi kalau dibantu kakek aneh yang dia tahu bukan orang sembarangan pula itu. Maka dia berkata lagi, tetap ditujukan kepada Suma Han.
“Koksu berpendapat bahwa karena Taihiap-lah orangnya yang dahulu menguburkan jenazah Siang-mo Kiam-eng (Sepasang Pendekar Pedang Iblis) bersama sepasang pedang itu, maka kini tetap Taihiap pula yang membongkar kuburan dan mengambil sepasang pedang itu. Hendaknya diketahui bahwa yang berhak atas Sepasang Pedang Iblis adalah Kok-su Im-kan Seng-jin Bhong Ji Kun, karena pembuat pedang itu adalah nenek moyangnya dari India. Maka pinceng percaya akan kebijaksanaan Suma-taihiap untuk mengembalikan pedang-pedang itu kepada yang berhak.”
Akan tetapi Suma Han mengangguk-angguk dan bicara seorang diri.
“Benar, tak salah lagi, tentu dia....”
“Orang ini terlalu sombong!” Tiba-tiba Bhe Ti Kong membentak dan meloncat maju. “Berani engkau menghina utusan Koksu negara, orang muda buntung yang sombong?”
Setelah membentak demikian, Bhe-ciangkun sudah menerjang maju, mencengkeram ke arah pundak Suma Han dengan maksud menangkapnya dan memaksanya tunduk.
“Plakk! Auggghhh....!”
Tubuh tinggi besar Bhe-ciangkun terlempar ke belakang dan terbanting ke atas tanah. Ia meloncat bangun dengan muka pucat dan tangan kirinya memijit-mijit tangan kanan yang tadi ia pakai mencengkeram pundak Suma Han.
Pendekar Super Sakti itu masih berdiri tak bergerak, termenung seolah-olah tidak pernah terjadi sesuatu. Ketika Bhe Ti Kong mencengkeram tadi, Pendekar Siluman itu sama sekali tidak mengelak atau menangkis, akan tetapi begitu tangan panglima kerajaan mencengkeram pundak, Bhe-ciangkun merasa tangannya seperti ia masukkan ke dalam tungku perapian yang luar biasa panasnya dan ada daya tolak yang amat kuat sehingga ia terjengkang dan terpelanting.
Melihat kawannya roboh, Thian Lok Lama dan Thai Li Lama terkejut dan marah, mengira bahwa pendekar berkaki buntung itu sengaja menyerang Bhe Ti Kong, maka dengan gerakan otomatis keduanya lalu menggerakkan tangan memukul dari jarak jauh.
Angin yang dahsyat menyambar dari tangan mereka, menyerang Suma Han yang masih berdiri termenung, seolah-olah tidak tahu bahwa dia sedang diserang dengan pukulan maut jarak jauh yang amat kuat.
Baju di tubuh Suma Han berkibar terlanda angin pukulan itu akan tetapi, tenaga pukulan dengan sin-kang itu seperti “menembus” tubuh Suma Han lewat begitu saja dan “kraaakkk!” Sebatang pohon yang berada di belakang Suma Han tumbang dilanda angin pukulan itu, akan tetapi tubuh Pendekar Siluman itu sendiri sedikit pun tidak bergoyang!
Hal ini membuat Thian Tok Lama dan Thai Li Lama terheran-heran dan penasaran. Kalau lawan itu menggunakan tenaga sin-kang melawan serangan mereka, bahkan andaikata mengalahkan sin-kang mereka sendiri, hal itu tidaklah mengherankan.
Akan tetapi Pendekar Siluman Majikan Pulau Es itu sama sekali tidak melawan dan angin pukulan mereka hanya lewat saja seolah-olah tubuh itu terbuat daripada uap hampa! Rasa penasaran membuat keduanya menerjang maju menggunakan dorongan telapak tangan mereka menghantam dada Suma Han dari kanan kiri!
“Buk! Bukk!”
Dua buah pukulan itu mengenai dada Suma Han, akan tetapi akibatnya kedua orang pendeta Lama itu terjengkang dan terbanting seperti halnya Bhe Ti Kong tadi!
“Ha-ha-ha-ha! Kiranya utusan-utusan koksu kerajaan adalah pelawak-pelawak yang pandai membadut, pandai menari jungkir balik!”
Im-yang Seng-cu bersorak dan bertepuk tangan seperti orang kagum dan gembira menyaksikan aksi para pelawak di panggung.
Dua orang pendeta Lama itu meloncat bangun dan memandang Im-yang Seng-cu dengan mata mendelik. Keduanya tadi roboh karena biarpun Suma Han kelihatannya diam tidak bergerak, namun dengan kecepatan yang tak dapat diikuti mata, dua buah jari tangan kanan kiri pemuda berkaki buntung itu telah menyambut pukulan telapak tangan kedua lawan dengan totokan sehingga begitu telapak tangan berhasil memukul dada, tenaganya sudah buyar sehingga merekalah yang “terpukul” oleh hawa sin-kang yang melindungi tubuh Suma Han.
Tentu saja keduanya terkejut setengah mati. Mereka sudah mengenal Suma Han, sudah tahu akan kelihaian Pendekar Super Sakti itu. Akan tetapi, yang mereka hadapi sekarang ini adalah pemuda buntung yang kepandaiannya beberapa kali lipat daripada dahulu, lima tahun yang lalu. Hal ini mengejutkan hati mereka, juga mendatangkan rasa jerih. Kemudian mereka menimpakan kemarahan, yang timbul karena malu kepada Im-yang Seng-cu yang mengejek mereka.
“Im-yang Seng-cu, engkau sungguh seorang yang tak tahu diri! Di muara Huang-ho Koksu telah mengampuni nyawamu, sekarang engkau berani menghina kami. Coba kau terima pukulan pinceng!”
Thian Tok Lama menerjang Im-yang Seng-cu yang cepat meloncat ke samping karena datangnya serangan itu amat hebat. Pukulan yang dilancarkan Thian Tok Lama adalah pukulan Hek-in-hui-hong-ciang, ketika memukul tubuhnya agak merendah, perutnya yang gendut makin menggembung dan dari dalam perutnya terdengar suara seperti seekor ayam biang bertelur, berkokokan dan tangan kanannya berubah biru. Pukulannya bukan hanya mendatangkan angin dahsyat, akan tetapi juga membawa uap hitam!
Melihat betapa serangan Thian Tok Lama dapat dielakkan oleh Im-yang Seng-cu, Thai Li Lama yang juga marah sekali terhadap kakek bertelanjang kaki itu sudah menyambut dari kiri dengan pukulan Sin-kun-hoat-lek yang tidak kalah ampuh dan dahsyatnya dibanding dengan Hek-in-hui-hong-ciang.
“Ayaaa....!”
Biarpun diancam bahaya maut, Im-yang Seng-cu masih dapat mengejek sambil melompat tinggi ke atas kemudian ia berjungkir balik.
“Kedua pelawak ini selain lucu juga gagah sekali!”
Tentu saja Thian Tok Lama dan Thai Li Lama menjadi makin marah. Api kemarahan di dalam hati mereka seperti dikipas, makin berkobar dan dengan nafsu mereka kembali menyerang. Im-yang Seng-cu tentu saja repot bukan main. Ia memutar tongkatnya melindungi tubuh. Melawan seorang di antara kedua orang Lama ini saja tidak akan menang apalagi dikeroyok dua.
“Plak.... krekkkk!”
Ujung tongkat di tangan Im-yang Seng-cu patah dan ia terhuyung ke belakang. Thai Li Lama mengejarnya dengan pukulan maut. Tiba-tiba tampak bayangan putih berkelebat, meluncur turun dari atas dan Thai Li Lama yang sedang menyerang Im-yang Seng-cu terkejut sekali ketika ada angin dahsyat menyambar dari atas ke arah kepalanya. Cepat ia mengelak dan mengibaskan tangan.
“Bresss!”
Dua helai bulu burung garuda putih membodol ketika cengkeraman burung itu dapat ditangkis Thai Li Lama. Pendeta Tibet ini menjadi marah dan terjadilah pertandingan hebat antara burung garuda dengan pendeta ini, sedangkan Thian Tok Lama kembali sudah menerjang dan mendesak Im-yang Seng-cu dengan Pukulan Hek-in-hui-hong-ciang yang merupakan cengkeraman maut.
Im-yang Seng-cu adalah seorang bekas tokoh Hoa-san-pai yang sudah mempelajari banyak macam ilmu silat tinggi sehingga jarang ada orang yang mampu menandinginya. Hampir segala macam ilmu-ilmu silat tinggi dikenalnya dan inilah yang membuat kakek itu lihai sekali, bahkan pada waktu itu, tingkat ilmu kepandaiannya malah telah melampaui tingkat Ketua Hoa-san-pai sendiri!
Akan tetapi sekali ini menghadapi Thian Tok Lama, dia benar-benar bertemu tanding yang amat kuat. Pendeta Lama itu adalah seorang tokoh Tibet yang memiliki kepandaian tinggi ditambah tenaga mujijat dari ilmu hoat-sut (sihir) yang banyak dipelajari oleh tokoh-tokoh Tibet. Biarpun hoat-sut yang dikuasai Thian Tok Lama tidaklah sekuat ilmu Hoat-sut Thai Li Lama, namun ilmu ini memperkuat sin-kangnya dan menambah kewibawaannya menghadapi lawan.
Dalam hal tenaga sin-kang, Im-yang Seng-cu kalah setingkat oleh lawannya. Memang tubuh gendut Thian Tok Lama mengurangi kegesitannya dan Im-yang Seng-cu lebih gesit dan ringan, namun sekali ini Im-yang Seng-cu bertemu dengan lawan yang menggunakan ilmu silat aneh dan asing, sama sekali tidak dikenalnya!
Setelah saling serang puluhan jurus lamanya, akhirnya Im-yang Seng-cu terdesak dan hanya mundur sambil mempertahankan diri saja, tidak mampu balas menyerang. Hanya ada sebuah keuntungan yang membuat dia tidak dapat cepat dirobohkan, yaitu bahwa dia bersikap tenang dan gembira, selalu mengejek, berbeda dengan sikap Thian Tok Lama yang dipengaruhi kemarahan dan penasaran.
Seperti juga Im-yang Seng-cu, garuda putih yang menyambar dan menyerang Thai Li Lama mau tidak mau harus mengakui kelihaian pendeta Tibet kurus itu. Memang Thai Li Lama tidak akan mampu menyerang burung itu kalau Si Garuda terbang tinggi, akan tetapi biarpun kelihatannya Si Burung yang selalu meluncur turun dan menyerang kepala Thai Li Lama, selalu burung itu yang terpental oleh tangkisan dan pukulan Thai Li Lama!
Banyak sudah bulu putih burung itu bodol dan kini serangannya makin mengendur, bahkan mulailah garuda putih itu mencampuri pekik kemarahannya dengan bunyi tanda gentar.
Sementara itu, Suma Han masih berdiri bersandar tongkatnya. Sinar matanya memandang kosong dan bibirnya bergerak-gerak,
“Tentu dia.... wahai.... Lulu.... untuk apakah engkau mengambil pusaka-pusaka itu....? Lulu.... satu-satunya sinar bahagia yang menembus semua awan hitam di hatiku hanya melihat engkau hidup bahagia di samping suami dan anakmu.... akan tetapi.... engkau menghancurkan kebabagiaanmu sendiri.... sekaligus memadamkan sinar bahagia di hatiku. Mengapa....? Mengapa....?”
Biarpun wajah yang tampan itu masih tidak membayangkan perasaan apa-apa, namun bulu matanya basah dan jari-jari tangan yang memegang kepala tongkatnya gemetar, jantungnya seperti diremas-remas, perasaan hatinya menangis dan mengeluh.
Bhe Ti Kong, panglima Mancu tinggi besar yang tadi terpelanting roboh sendiri ketika menyerang Suma Han, sejak tadi memandang pendekar kaki buntung super sakti itu. Dengan hati khawatir panglima ini menyaksikan kedua orang temannya yang bertanding melawan Im-yang Seng-cu dan burung garuda putih. Biarpun kedua orang temannya selalu mendesak, akan tetapi Bhe Ti Kong mengerti bahwa kalau Si Kaki Buntung itu maju, tentu kedua orang pendeta Tibet itu akan kalah.
Im-yang Seng-cu adalah seorang bekas tokoh Hoa-san-pai yang sudah mempelajari banyak macam ilmu silat tinggi sehingga jarang ada orang yang mampu menandinginya. Hampir segala macam ilmu-ilmu silat tinggi dikenalnya dan inilah yang membuat kakek itu lihai sekali, bahkan pada waktu itu, tingkat ilmu kepandaiannya malah telah melampaui tingkat Ketua Hoa-san-pai sendiri!
Akan tetapi sekali ini menghadapi Thian Tok Lama, dia benar-benar bertemu tanding yang amat kuat. Pendeta Lama itu adalah seorang tokoh Tibet yang memiliki kepandaian tinggi ditambah tenaga mujijat dari ilmu hoat-sut (sihir) yang banyak dipelajari oleh tokoh-tokoh Tibet. Biarpun hoat-sut yang dikuasai Thian Tok Lama tidaklah sekuat ilmu Hoat-sut Thai Li Lama, namun ilmu ini memperkuat sin-kangnya dan menambah kewibawaannya menghadapi lawan.
Dalam hal tenaga sin-kang, Im-yang Seng-cu kalah setingkat oleh lawannya. Memang tubuh gendut Thian Tok Lama mengurangi kegesitannya dan Im-yang Seng-cu lebih gesit dan ringan, namun sekali ini Im-yang Seng-cu bertemu dengan lawan yang menggunakan ilmu silat aneh dan asing, sama sekali tidak dikenalnya!
Setelah saling serang puluhan jurus lamanya, akhirnya Im-yang Seng-cu terdesak dan hanya mundur sambil mempertahankan diri saja, tidak mampu balas menyerang. Hanya ada sebuah keuntungan yang membuat dia tidak dapat cepat dirobohkan, yaitu bahwa dia bersikap tenang dan gembira, selalu mengejek, berbeda dengan sikap Thian Tok Lama yang dipengaruhi kemarahan dan penasaran.
Seperti juga Im-yang Seng-cu, garuda putih yang menyambar dan menyerang Thai Li Lama mau tidak mau harus mengakui kelihaian pendeta Tibet kurus itu. Memang Thai Li Lama tidak akan mampu menyerang burung itu kalau Si Garuda terbang tinggi, akan tetapi biarpun kelihatannya Si Burung yang selalu meluncur turun dan menyerang kepala Thai Li Lama, selalu burung itu yang terpental oleh tangkisan dan pukulan Thai Li Lama!
Banyak sudah bulu putih burung itu bodol dan kini serangannya makin mengendur, bahkan mulailah garuda putih itu mencampuri pekik kemarahannya dengan bunyi tanda gentar.
Sementara itu, Suma Han masih berdiri bersandar tongkatnya. Sinar matanya memandang kosong dan bibirnya bergerak-gerak,
“Tentu dia.... wahai.... Lulu.... untuk apakah engkau mengambil pusaka-pusaka itu....? Lulu.... satu-satunya sinar bahagia yang menembus semua awan hitam di hatiku hanya melihat engkau hidup bahagia di samping suami dan anakmu.... akan tetapi.... engkau menghancurkan kebabagiaanmu sendiri.... sekaligus memadamkan sinar bahagia di hatiku. Mengapa....? Mengapa....?”
Biarpun wajah yang tampan itu masih tidak membayangkan perasaan apa-apa, namun bulu matanya basah dan jari-jari tangan yang memegang kepala tongkatnya gemetar, jantungnya seperti diremas-remas, perasaan hatinya menangis dan mengeluh.
Bhe Ti Kong, panglima Mancu tinggi besar yang tadi terpelanting roboh sendiri ketika menyerang Suma Han, sejak tadi memandang pendekar kaki buntung super sakti itu. Dengan hati khawatir panglima ini menyaksikan kedua orang temannya yang bertanding melawan Im-yang Seng-cu dan burung garuda putih. Biarpun kedua orang temannya selalu mendesak, akan tetapi Bhe Ti Kong mengerti bahwa kalau Si Kaki Buntung itu maju, tentu kedua orang pendeta Tibet itu akan kalah.
Dia tahu bahwa Tan-siucai adalah tunangan mendiang Lu Soan Li dan karena dia tidak merasa berdosa terhadap kematian Soan Li yang mengorbankan diri untuk menyelamatkannya, maka dia pun tidak peduli apakah ada orang yang mendendam kepadanya atau tidak. Akan tetapi kalau adiknya, Lulu yang dicintainya itu tertimpa malapetaka....!
“Locianpwe, saya minta Locianpwe menceritakan kepada saya apa yang telah terjadi dengan Lulu!”
Kembali Suma Han berkata, sungguhpun sikap dan suaranya tenang, namun jelas ia mendesak dan pandang matanya penuh tuntutan.
“Kau mau tahu? Baiklah, sebaiknya engkau dengar sejelasnya agar kalau nanti kau tewas di tanganku tidak menjadi setan penasaran dan kalau sebaliknya aku yang mati di tanganmu agar lengkap noda darah di tanganmu!”
Kakek itu lalu menghampiri pohon yang menonjol. Melihat sikap kakek itu, Suma Han juga duduk di depannya, siap mendengarkan penuturan kakek itu.
Im-yang Seng-cu lalu mulai dengan penuturannya tentang keadaan Lulu dan Sin Kiat. Lima tahun lebih yang lalu, dengan disaksikan oleh Im-yang Seng-cu sebagai wali pengantin pria, yaitu muridnya Wan Sin Kiat, dilangsungkanlah pernikahan Wan Sin Kiat dengan Lulu yang dihadiri oleh Suma Han sebagai kakak angkat dan walinya (baca cerita Pendekar Super Sakti ). Setelah menyaksikan pernikahan adiknya, Suma Han lalu pergi dan semenjak itu tidak pernah kembali atau bertemu dengan Lulu lagi.
Akan tetapi, semenjak ditinggal pergi kakak angkatnya, Lulu selalu kelihatan berduka. Memang pada bulan-bulan pertama dia agak terhibur oleh limpahan kasih sayang Wan Sin Kiat, suaminya. Akan tetapi, bulan-bulan berikutnya hiburan suaminya tidak dapat menyembuhkan kedukaan hatinya, seolah-olah semua kegembiraan hidupnya terbawa pergi oleh bayangan Suma Han, kakaknya. Lebih-lebih setelah Lulu melahirkan seorang anak laki-laki, hubungan suami isteri ini kelihatan makin merenggang.
Im-yang Seng-cu yang seringkali mengunjungi muridnya, dapat melihat kerenggangan ini, akan tetapi tentu saja dia tidak tahu apa sebenarnya yang terjadi antara suami isteri itu. Kurang lebih setahun kemudian setelah Lulu melahirkan anak, pada suatu hari Im-yang Seng-cu didatangi muridnya, dan betapa kaget hatinya melihat Wan Sin Kiat menjatuhkan diri berlutut di depannya sambil menangis! Hal ini benar-benar mengejutkan hati kakek itu yang mengenal betul kegagahan muridnya.
“Sin Kiat, hentikan tangismu! Air mata seorang gagah jauh lebih berharga daripada darahnya, jangan dibuang-buang!”
Bentak kakek itu yang tidak tahan melihat muridnya yang gagah perkasa itu menangis tersedu-sedu. Wan Sin Kiat menyusut air matanya dan menekan kedukaan hatinya.
“Ceritakan apa yang telah terjadi. Seorang jantan harus berani menerima segala peristiwa yang menimpanya, baik maupun buruk, secara gagah pula!”
“Maaf, Suhu. Teecu sanggup menghadapi derita apapun juga, akan tetapi ini.... ah, Suhu. Isteri teecu, Lulu, telah pergi meninggalkan teecu!”
“Apa....?” Im-yang Seng-cu terkejut juga mendengar ini. “Dan puteramu?”
“Dibawanya pergi.”
“Kenapa tidak kau kejar dia? Mengapa datang ke sini dan tidak segera mengejar dan membujuknya pulang?”
Im-yang Seng-cu menegur muridnya karena mengira bahwa tentu terjadi percekcokan antara suami isteri itu, hal yang amat lumrah. Akan tetapi Sin Kiat menggeleng kepala dengan penuh duka.
“Percuma, Suhu. Hatinya keras sekali dan kepergiannya merupakan hal yang sudah ditahan-tahannya selama dua tahun, semenjak teecu menikah dengannya.”
“Aihh, bagaimana pula ini? Bukankah kalian menikah atas dasar saling mencinta?”
“Teecu memang mencintanya dengan jiwa raga teecu bahkan sampai saat ini pun teecu tak pernah berkurang rasa cinta teecu terhadap Lulu. Akan tetapi.... dia.... ah, kasihan Lulu.... dia menderita karena cinta kasihnya bukan kepada teecu, melainkan kepada Han Han....”
“Suma Han? Dia kakaknya!”
“Itulah soalnya, Suhu. Sesungguhnya, Lulu amat mencinta kakak angkatnya, dan baru setelah melangsungkan pernikahan dan ditinggal pergi Han Han, dia sadar dan menyesal, Lulu sudah berusaha untuk melupakan kakak angkatnya, berusaha untuk membalas cinta kasih teecu, aduh kasihan dia.... semua gagal, cintanya terhadap kakak angkatnya makin mendalam dan membuatnya makin menderita....”
“Dan semua itu dia ceritakan kepadamu?”
Im-yang Seng-cu bertanya dengan mata terbelalak, terheran-heran mendengar penuturan yang dianggapnya aneh tak masuk akal itu.
“Tidak pernah, sampai ketika ia pergi, Suhu. Dia meninggalkan surat, mengakui segala isi hatinya dan minta teecu agar mengampunkan dia, melupakan dia, akan tetapi dengan pesan agar teecu tidak mencarinya karena sampai mati pun dia tidak akan mau kembali kepada teecu.”
“Mau kemana dia?”
“Dia tidak menyatakan dalam surat, akan tetapi teecu rasa dia mau pergi mencari Han Han.”
“Si Pemuda Keparat Suma Han!” Im-yang Seng-cu mengetukkan tongkatnya di lantai.
“Jangan, Suhu. Han Han tidak bersalah dalam hal ini.... juga Lulu tidak bersalah. Sejak dahulu teecu sudah menduga bahwa cinta kasih di antara kakak beradik angkat itu melebihi cinta kasih kakak adik biasa. Hanya karena sudah tergila-gila kepada Lulu teecu tidak berpikir panjang lagi....”
“Tidak bersalah, katamu? Kalau memang mereka saling mencinta, kenapa dia membiarkan adiknya menikah denganmu? Akan kucari mereka, kalau sampai mereka berdua itu kudapatkan menjadi suami isteri, hemmm.... hanya mereka atau aku yang boleh hidup lebih lama di dunia ini!”
“Suhu!”
Wan Sin Kiat membujuk suhunya, akan tetapi Im-yang Seng-cu berkeras karena merasa betapa peristiwa itu merupakan penghinaan dan penghancuran kehidupan muridnya yang dianggapnya sebagai anaknya sendiri.
Dapat dibayangkan betapa hancur hati guru ini ketika beberapa bulan kemudian ia mendengar bahwa Hoa-san Gi--hiap Wan Sin Kiat, murid yang patah hati itu, gugur di dalam perang membela Raja Muda Bu Sam Kwi di Se-cuan, ketika bala tentara Mancu menyerbu Se-cuan dan dalam perang ini pulalah Bu Sam Kwi meninggal dunia.
Menurut berita yang didengar oleh Im-yang Seng-cu, muridnya itu berperang seperti orang gila tidak mengenal mundur lagi sehingga diam-diam ia mengerti bahwa muridnya sengaja menyerahkan nyawa, mencari mati dalam perang.
Hatinya seperti ditusuk pedang dan biarpun dia merasa bangga bahwa di dalam kedukaannya muridnya itu memilih mati sebagai seorang patriot sejati, namun dia berduka sekali karena kematian muridnya adalah kematian akibat putusnya cinta kasih!
Mendengar penuturan Im-yang Seng-cu, Suma Han memandang dengan mata terbelalak. Wajahnya tidak berubah, akan tetapi pandang matanya makin sayu seperti orang mengantuk.
Im-yang Seng-cu bangkit berdiri.
“Nah, sekarang bersiaplah engkau untuk menebus dosamu. Kedua orang muridku mati karena engkau. Hidupku yang tidak berapa lama lagi ini akan tersiksa oleh dendam dan penasaran, maka aku harus membunuhmu atau engkau menghentikan siksa batinku dengan membunuhku!”
Akan tetapi Suma Han tetap bengong, sama sekali tidak memandang kepada Im-yang Seng-cu, melainkan memandang kosong ke depan dan mulutnya berkata lirih,
“Hemm.... kalau begitu.... dia agaknya....” Ucapan ini diulang beberapa kali.
Pada saat itu, muncullah dua orang pendeta Lama yaitu Thian Tok Lama dan Thai Li Lama, diikuti oleh Bhe Ti Kong panglima tinggi besar. Begitu muncul, terdengar suara Thian Tok Lama,
“Suma-taihiap, pinceng bertiga datang menyampaikan permintaan koksu supaya Taihiap suka menyerahkan Sepasang Pedang Iblis kepada pinceng.”
Akan tetapi Pendekar Super Sakti masih termenung seperti tadi, sama sekali tidak mempedulikan munculnya tiga orang ini, bahkan seolah-olah tidak mendengar kata-kata Thian Tok Lama. Ia tetap berdiri termenung memandang jauh dan terdengar suaranya lirih berulang-ulang.
“Aihhh.... tentu dia....!”
Thian Lok Lama mengerutkan alisnya melihat sikap Suma Han yang dianggapnya memandang rendah kepadanya. Dahulu, pendeta Lama ini pernah beberapa kali bentrok dengan Suma Han dan maklum akan kepandaian pendekar muda berkaki buntung ini, akan tetapi karena kini ia mengandalkan pengaruh koksu dia tidak menjadi takut. Terdengar pendeta Tibet itu berkata lagi, suaranya lantang menggema di seluruh hutan.
“Suma-taihiap! Koksu menghormati Taihiap sebagai To-cu terkenal dari Pulau Es, maka mengajukan permintaan secara baik dan hormat. Harap saja Taihiap suka menghargai penghormatan Koksu!”
Suma Han tetap tidak menjawab dan termenung. Terdengarlah suara ketawa Im-yang Seng-cu,
“Ha-ha-ha! Penghormatan yang menyembunyikan paksaan adalah penghormatan palsu. Menuduh orang menyimpan pusaka tanpa bukti lebih mendekati fitnah!”
Thian Tok Lama menoleh ke arah Im-yang Seng-cu dengan sikap marah, akan tetapi pendeta Tibet yang cerdik ini tidak mau melayani karena dia tahu bahwa menghadapi Suma Han saja sudah merupakan lawan berat, apalagi kalau dibantu kakek aneh yang dia tahu bukan orang sembarangan pula itu. Maka dia berkata lagi, tetap ditujukan kepada Suma Han.
“Koksu berpendapat bahwa karena Taihiap-lah orangnya yang dahulu menguburkan jenazah Siang-mo Kiam-eng (Sepasang Pendekar Pedang Iblis) bersama sepasang pedang itu, maka kini tetap Taihiap pula yang membongkar kuburan dan mengambil sepasang pedang itu. Hendaknya diketahui bahwa yang berhak atas Sepasang Pedang Iblis adalah Kok-su Im-kan Seng-jin Bhong Ji Kun, karena pembuat pedang itu adalah nenek moyangnya dari India. Maka pinceng percaya akan kebijaksanaan Suma-taihiap untuk mengembalikan pedang-pedang itu kepada yang berhak.”
Akan tetapi Suma Han mengangguk-angguk dan bicara seorang diri.
“Benar, tak salah lagi, tentu dia....”
“Orang ini terlalu sombong!” Tiba-tiba Bhe Ti Kong membentak dan meloncat maju. “Berani engkau menghina utusan Koksu negara, orang muda buntung yang sombong?”
Setelah membentak demikian, Bhe-ciangkun sudah menerjang maju, mencengkeram ke arah pundak Suma Han dengan maksud menangkapnya dan memaksanya tunduk.
“Plakk! Auggghhh....!”
Tubuh tinggi besar Bhe-ciangkun terlempar ke belakang dan terbanting ke atas tanah. Ia meloncat bangun dengan muka pucat dan tangan kirinya memijit-mijit tangan kanan yang tadi ia pakai mencengkeram pundak Suma Han.
Pendekar Super Sakti itu masih berdiri tak bergerak, termenung seolah-olah tidak pernah terjadi sesuatu. Ketika Bhe Ti Kong mencengkeram tadi, Pendekar Siluman itu sama sekali tidak mengelak atau menangkis, akan tetapi begitu tangan panglima kerajaan mencengkeram pundak, Bhe-ciangkun merasa tangannya seperti ia masukkan ke dalam tungku perapian yang luar biasa panasnya dan ada daya tolak yang amat kuat sehingga ia terjengkang dan terpelanting.
Melihat kawannya roboh, Thian Lok Lama dan Thai Li Lama terkejut dan marah, mengira bahwa pendekar berkaki buntung itu sengaja menyerang Bhe Ti Kong, maka dengan gerakan otomatis keduanya lalu menggerakkan tangan memukul dari jarak jauh.
Angin yang dahsyat menyambar dari tangan mereka, menyerang Suma Han yang masih berdiri termenung, seolah-olah tidak tahu bahwa dia sedang diserang dengan pukulan maut jarak jauh yang amat kuat.
Baju di tubuh Suma Han berkibar terlanda angin pukulan itu akan tetapi, tenaga pukulan dengan sin-kang itu seperti “menembus” tubuh Suma Han lewat begitu saja dan “kraaakkk!” Sebatang pohon yang berada di belakang Suma Han tumbang dilanda angin pukulan itu, akan tetapi tubuh Pendekar Siluman itu sendiri sedikit pun tidak bergoyang!
Hal ini membuat Thian Tok Lama dan Thai Li Lama terheran-heran dan penasaran. Kalau lawan itu menggunakan tenaga sin-kang melawan serangan mereka, bahkan andaikata mengalahkan sin-kang mereka sendiri, hal itu tidaklah mengherankan.
Akan tetapi Pendekar Siluman Majikan Pulau Es itu sama sekali tidak melawan dan angin pukulan mereka hanya lewat saja seolah-olah tubuh itu terbuat daripada uap hampa! Rasa penasaran membuat keduanya menerjang maju menggunakan dorongan telapak tangan mereka menghantam dada Suma Han dari kanan kiri!
“Buk! Bukk!”
Dua buah pukulan itu mengenai dada Suma Han, akan tetapi akibatnya kedua orang pendeta Lama itu terjengkang dan terbanting seperti halnya Bhe Ti Kong tadi!
“Ha-ha-ha-ha! Kiranya utusan-utusan koksu kerajaan adalah pelawak-pelawak yang pandai membadut, pandai menari jungkir balik!”
Im-yang Seng-cu bersorak dan bertepuk tangan seperti orang kagum dan gembira menyaksikan aksi para pelawak di panggung.
Dua orang pendeta Lama itu meloncat bangun dan memandang Im-yang Seng-cu dengan mata mendelik. Keduanya tadi roboh karena biarpun Suma Han kelihatannya diam tidak bergerak, namun dengan kecepatan yang tak dapat diikuti mata, dua buah jari tangan kanan kiri pemuda berkaki buntung itu telah menyambut pukulan telapak tangan kedua lawan dengan totokan sehingga begitu telapak tangan berhasil memukul dada, tenaganya sudah buyar sehingga merekalah yang “terpukul” oleh hawa sin-kang yang melindungi tubuh Suma Han.
Tentu saja keduanya terkejut setengah mati. Mereka sudah mengenal Suma Han, sudah tahu akan kelihaian Pendekar Super Sakti itu. Akan tetapi, yang mereka hadapi sekarang ini adalah pemuda buntung yang kepandaiannya beberapa kali lipat daripada dahulu, lima tahun yang lalu. Hal ini mengejutkan hati mereka, juga mendatangkan rasa jerih. Kemudian mereka menimpakan kemarahan, yang timbul karena malu kepada Im-yang Seng-cu yang mengejek mereka.
“Im-yang Seng-cu, engkau sungguh seorang yang tak tahu diri! Di muara Huang-ho Koksu telah mengampuni nyawamu, sekarang engkau berani menghina kami. Coba kau terima pukulan pinceng!”
Thian Tok Lama menerjang Im-yang Seng-cu yang cepat meloncat ke samping karena datangnya serangan itu amat hebat. Pukulan yang dilancarkan Thian Tok Lama adalah pukulan Hek-in-hui-hong-ciang, ketika memukul tubuhnya agak merendah, perutnya yang gendut makin menggembung dan dari dalam perutnya terdengar suara seperti seekor ayam biang bertelur, berkokokan dan tangan kanannya berubah biru. Pukulannya bukan hanya mendatangkan angin dahsyat, akan tetapi juga membawa uap hitam!
Melihat betapa serangan Thian Tok Lama dapat dielakkan oleh Im-yang Seng-cu, Thai Li Lama yang juga marah sekali terhadap kakek bertelanjang kaki itu sudah menyambut dari kiri dengan pukulan Sin-kun-hoat-lek yang tidak kalah ampuh dan dahsyatnya dibanding dengan Hek-in-hui-hong-ciang.
“Ayaaa....!”
Biarpun diancam bahaya maut, Im-yang Seng-cu masih dapat mengejek sambil melompat tinggi ke atas kemudian ia berjungkir balik.
“Kedua pelawak ini selain lucu juga gagah sekali!”
Tentu saja Thian Tok Lama dan Thai Li Lama menjadi makin marah. Api kemarahan di dalam hati mereka seperti dikipas, makin berkobar dan dengan nafsu mereka kembali menyerang. Im-yang Seng-cu tentu saja repot bukan main. Ia memutar tongkatnya melindungi tubuh. Melawan seorang di antara kedua orang Lama ini saja tidak akan menang apalagi dikeroyok dua.
“Plak.... krekkkk!”
Ujung tongkat di tangan Im-yang Seng-cu patah dan ia terhuyung ke belakang. Thai Li Lama mengejarnya dengan pukulan maut. Tiba-tiba tampak bayangan putih berkelebat, meluncur turun dari atas dan Thai Li Lama yang sedang menyerang Im-yang Seng-cu terkejut sekali ketika ada angin dahsyat menyambar dari atas ke arah kepalanya. Cepat ia mengelak dan mengibaskan tangan.
“Bresss!”
Dua helai bulu burung garuda putih membodol ketika cengkeraman burung itu dapat ditangkis Thai Li Lama. Pendeta Tibet ini menjadi marah dan terjadilah pertandingan hebat antara burung garuda dengan pendeta ini, sedangkan Thian Tok Lama kembali sudah menerjang dan mendesak Im-yang Seng-cu dengan Pukulan Hek-in-hui-hong-ciang yang merupakan cengkeraman maut.
Im-yang Seng-cu adalah seorang bekas tokoh Hoa-san-pai yang sudah mempelajari banyak macam ilmu silat tinggi sehingga jarang ada orang yang mampu menandinginya. Hampir segala macam ilmu-ilmu silat tinggi dikenalnya dan inilah yang membuat kakek itu lihai sekali, bahkan pada waktu itu, tingkat ilmu kepandaiannya malah telah melampaui tingkat Ketua Hoa-san-pai sendiri!
Akan tetapi sekali ini menghadapi Thian Tok Lama, dia benar-benar bertemu tanding yang amat kuat. Pendeta Lama itu adalah seorang tokoh Tibet yang memiliki kepandaian tinggi ditambah tenaga mujijat dari ilmu hoat-sut (sihir) yang banyak dipelajari oleh tokoh-tokoh Tibet. Biarpun hoat-sut yang dikuasai Thian Tok Lama tidaklah sekuat ilmu Hoat-sut Thai Li Lama, namun ilmu ini memperkuat sin-kangnya dan menambah kewibawaannya menghadapi lawan.
Dalam hal tenaga sin-kang, Im-yang Seng-cu kalah setingkat oleh lawannya. Memang tubuh gendut Thian Tok Lama mengurangi kegesitannya dan Im-yang Seng-cu lebih gesit dan ringan, namun sekali ini Im-yang Seng-cu bertemu dengan lawan yang menggunakan ilmu silat aneh dan asing, sama sekali tidak dikenalnya!
Setelah saling serang puluhan jurus lamanya, akhirnya Im-yang Seng-cu terdesak dan hanya mundur sambil mempertahankan diri saja, tidak mampu balas menyerang. Hanya ada sebuah keuntungan yang membuat dia tidak dapat cepat dirobohkan, yaitu bahwa dia bersikap tenang dan gembira, selalu mengejek, berbeda dengan sikap Thian Tok Lama yang dipengaruhi kemarahan dan penasaran.
Seperti juga Im-yang Seng-cu, garuda putih yang menyambar dan menyerang Thai Li Lama mau tidak mau harus mengakui kelihaian pendeta Tibet kurus itu. Memang Thai Li Lama tidak akan mampu menyerang burung itu kalau Si Garuda terbang tinggi, akan tetapi biarpun kelihatannya Si Burung yang selalu meluncur turun dan menyerang kepala Thai Li Lama, selalu burung itu yang terpental oleh tangkisan dan pukulan Thai Li Lama!
Banyak sudah bulu putih burung itu bodol dan kini serangannya makin mengendur, bahkan mulailah garuda putih itu mencampuri pekik kemarahannya dengan bunyi tanda gentar.
Sementara itu, Suma Han masih berdiri bersandar tongkatnya. Sinar matanya memandang kosong dan bibirnya bergerak-gerak,
“Tentu dia.... wahai.... Lulu.... untuk apakah engkau mengambil pusaka-pusaka itu....? Lulu.... satu-satunya sinar bahagia yang menembus semua awan hitam di hatiku hanya melihat engkau hidup bahagia di samping suami dan anakmu.... akan tetapi.... engkau menghancurkan kebabagiaanmu sendiri.... sekaligus memadamkan sinar bahagia di hatiku. Mengapa....? Mengapa....?”
Biarpun wajah yang tampan itu masih tidak membayangkan perasaan apa-apa, namun bulu matanya basah dan jari-jari tangan yang memegang kepala tongkatnya gemetar, jantungnya seperti diremas-remas, perasaan hatinya menangis dan mengeluh.
Bhe Ti Kong, panglima Mancu tinggi besar yang tadi terpelanting roboh sendiri ketika menyerang Suma Han, sejak tadi memandang pendekar kaki buntung super sakti itu. Dengan hati khawatir panglima ini menyaksikan kedua orang temannya yang bertanding melawan Im-yang Seng-cu dan burung garuda putih. Biarpun kedua orang temannya selalu mendesak, akan tetapi Bhe Ti Kong mengerti bahwa kalau Si Kaki Buntung itu maju, tentu kedua orang pendeta Tibet itu akan kalah.
Im-yang Seng-cu adalah seorang bekas tokoh Hoa-san-pai yang sudah mempelajari banyak macam ilmu silat tinggi sehingga jarang ada orang yang mampu menandinginya. Hampir segala macam ilmu-ilmu silat tinggi dikenalnya dan inilah yang membuat kakek itu lihai sekali, bahkan pada waktu itu, tingkat ilmu kepandaiannya malah telah melampaui tingkat Ketua Hoa-san-pai sendiri!
Akan tetapi sekali ini menghadapi Thian Tok Lama, dia benar-benar bertemu tanding yang amat kuat. Pendeta Lama itu adalah seorang tokoh Tibet yang memiliki kepandaian tinggi ditambah tenaga mujijat dari ilmu hoat-sut (sihir) yang banyak dipelajari oleh tokoh-tokoh Tibet. Biarpun hoat-sut yang dikuasai Thian Tok Lama tidaklah sekuat ilmu Hoat-sut Thai Li Lama, namun ilmu ini memperkuat sin-kangnya dan menambah kewibawaannya menghadapi lawan.
Dalam hal tenaga sin-kang, Im-yang Seng-cu kalah setingkat oleh lawannya. Memang tubuh gendut Thian Tok Lama mengurangi kegesitannya dan Im-yang Seng-cu lebih gesit dan ringan, namun sekali ini Im-yang Seng-cu bertemu dengan lawan yang menggunakan ilmu silat aneh dan asing, sama sekali tidak dikenalnya!
Setelah saling serang puluhan jurus lamanya, akhirnya Im-yang Seng-cu terdesak dan hanya mundur sambil mempertahankan diri saja, tidak mampu balas menyerang. Hanya ada sebuah keuntungan yang membuat dia tidak dapat cepat dirobohkan, yaitu bahwa dia bersikap tenang dan gembira, selalu mengejek, berbeda dengan sikap Thian Tok Lama yang dipengaruhi kemarahan dan penasaran.
Seperti juga Im-yang Seng-cu, garuda putih yang menyambar dan menyerang Thai Li Lama mau tidak mau harus mengakui kelihaian pendeta Tibet kurus itu. Memang Thai Li Lama tidak akan mampu menyerang burung itu kalau Si Garuda terbang tinggi, akan tetapi biarpun kelihatannya Si Burung yang selalu meluncur turun dan menyerang kepala Thai Li Lama, selalu burung itu yang terpental oleh tangkisan dan pukulan Thai Li Lama!
Banyak sudah bulu putih burung itu bodol dan kini serangannya makin mengendur, bahkan mulailah garuda putih itu mencampuri pekik kemarahannya dengan bunyi tanda gentar.
Sementara itu, Suma Han masih berdiri bersandar tongkatnya. Sinar matanya memandang kosong dan bibirnya bergerak-gerak,
“Tentu dia.... wahai.... Lulu.... untuk apakah engkau mengambil pusaka-pusaka itu....? Lulu.... satu-satunya sinar bahagia yang menembus semua awan hitam di hatiku hanya melihat engkau hidup bahagia di samping suami dan anakmu.... akan tetapi.... engkau menghancurkan kebabagiaanmu sendiri.... sekaligus memadamkan sinar bahagia di hatiku. Mengapa....? Mengapa....?”
Biarpun wajah yang tampan itu masih tidak membayangkan perasaan apa-apa, namun bulu matanya basah dan jari-jari tangan yang memegang kepala tongkatnya gemetar, jantungnya seperti diremas-remas, perasaan hatinya menangis dan mengeluh.
Bhe Ti Kong, panglima Mancu tinggi besar yang tadi terpelanting roboh sendiri ketika menyerang Suma Han, sejak tadi memandang pendekar kaki buntung super sakti itu. Dengan hati khawatir panglima ini menyaksikan kedua orang temannya yang bertanding melawan Im-yang Seng-cu dan burung garuda putih. Biarpun kedua orang temannya selalu mendesak, akan tetapi Bhe Ti Kong mengerti bahwa kalau Si Kaki Buntung itu maju, tentu kedua orang pendeta Tibet itu akan kalah.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar